• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar pria pasangan usia subur di Kecamatan Hutaimbaru Padangsidimpuan yang sebahagian besar tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebesar 73,6% dari 121 orang responden.

Dari data Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Padangsidimpuan, Kecamatan Hutaimbaru adalah salah satu kecamatan yang berada di Kota Padangsidimpuan dengan jumlah pasangan usia subur sebanyak 2.324 dan pencapaian peserta keluarga berencana kondom aktif masih rendah yaitu sebanyak 2,8% sedangkan target yang harus dicapai 5%.

Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria dalam keluarga berencana yang dilihat dari berbagai aspek, yaitu dari sisi klien pria itu sendiri (pengetahuan, sikap dan praktek serta kebutuhan yang ia inginkan), faktor lingkungan yaitu sosial budaya, dukungan istri, masyarakat (tokoh masyarakat) dan keluarga/istri, keterbatasan informasi dari tenaga kesehatan dan aksesabilitas terhadap pelayanan keluarga berencana pria, keterbatasan jenis kontrasepsi pria disertai masih adanya persepsi di masyarakat mengenai keluarga berencana pria (BkkbN, 2010).

Partisipasi pria dalam program keluarga berencana merupakan tanggung jawab pria dalam keterlibatan dan kesertaan berkeluarga berencana dan kesehatan

reproduksi serta berperilaku yang sehat dan aman bagi dirinya, pasangannya dan keluarganya.

Rendahnya partisipasi pria dalam keluarga berencana pada dasarnya disebabkan antara lain ketidakmengertian pria akan pentingnya cara-cara berperan dalam keluarga berencana. Hal ini tercermin dari adanya kebiasaan masyarakat yang masih cenderung menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada istri. Dewasa ini kesetaraan dan keadilan gender, serta hak- hak reproduksi merupakan bagian integral dari hak-hak azasi manusia yang universal, yang secara bertahap harus diperbaiki dan ditingkatkan.

Pria yang menggunakan kondom untuk alat kontrasepsi keluarga berencana merupakan salah satu sikap pria yang bertanggung jawab, karena telah mampu meyakinkan pasangan atau isterinya bahwa dengan menggunakan kondom, pria sudah mengambil bagian dalam pengaturan anak dan mencerminkan kesetiaan terhadap keluarga.

5.2 Pengaruh Pengetahuan Pria Pasangan Usia Subur tentang Alat Kontrasepsi Kondom terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

Pada analisis univariat didapatkan bahwa pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi kondom dengan pengetahuan yang baik sebesar 44,6%. penelitian Abraham et al (2010) di Ethopia, prevalensi penggunaan kontrasepsi pria hanya 5%, pernah mendengar tentang alat kontrasepsi kondom sebesar 89% dan pernah mendengar tentang alat kontrasepsi sebesar 96%.

Penelitian Budisantosa (2009) di Bantul memperoleh hasil penelitian frekuensi pengetahuan pria dengan pengetahuan yang baik sebesar 55%. Penelitian Simanjuntak (2007) di Medan memperoleh tingkat pengetahuan yang baik sebesar 35,5%.berdasarkan hasil penelitian Barus (2009) di Kabupaten Karo memperoleh hasil penelitian dengan pengetahuan pria yang kurang sebesar 64%.

Hasil analisis bivariat terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi kondom dengan partisipasi pria dalam keluarga berencana. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi kondom yang baik cenderung akan berpartisipasi dalam keluarga berencana dibanding pria pasangan usia subur dengan pengetahuan yang kurang. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Nurwanti (2007) di Kabupaten Sragen yang dikutip oleh Ekarini tidak hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan terhadap penggunaan kontrasepsi pria.

Sejalan dengan penelitian Ekayanthi (2005) dikutip oleh Budisantosa yang menyatakan ada hubungan antara pengetahuan tentang metode kontrasepsi pria terhadap partisipasi pria dalam keluarga berencana. Penelitian Ekarini (2008) di Kabupaten Semarang menyatakan ada hubungan pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi kondom dengan partisipasi pria dalam keluarga berencana. Penelitian Purwoko (2000) yang dikutip oleh Ekarini bahwa pengetahuan menyumbangkan peran dalam menentukan pengambilan keputusan untuk memilih alat kontrasepsi tertentu. Semakin tinggi tingkat pengetahuan tentang alat kontrasepsi, maka makin meningkatpula perannya sebagai pengambil keputusan.

Penelitian menunjukkan variabel pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi kondom berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam keluarga berencana di Kecamatan Hutaimbaru. Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa tingginya pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi kondom akan meningkatkan partisipasi pria dalam keluarga berencana. Dan sebaliknya jika pengetahuan kurang maka partisipasi pria dalam keluarga berencana juga rendah. Maka peluang responden untuk berpartisipasi dalam keluarga berencana 5 kali lebih besar dibandingkan jika tidak mendapat pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian Dewi (2009) di Indonesia pria yang mengetahui mengenai kontrasepsi pria metode ini 1,5 kali lebih mungkin untuk berpartisipasi aktif dalam keluarga berencana dibandingkan laki-laki yang tidak mengetahui mengenai alat kontrasepsi pria.

Dari 121 responden di Kecamatan Hutaimbaru sebanyak 21 orang (38,9%) yang berpengetahuan baik pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi kondom yang berpartisipasi dalam keluarga berencana. Sedangkan tidak berpartisipasi dalam keluarga berencana sebanyak 56 orang (83,6%). Hal ini didukung karena pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul dan penerangan- penerangan yang keliru. Sangat tidak penting untuk diketaui bahwa pengetahuan berbeda dengan buah pikiran karena tidak semua buah pikiran merupakan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui kenyataan dengan melihat dan mendengar sendiri, serta melalui alat-alat komunikasi, juga diperoleh sebagai akibat

pengaruh dari hubungan dengan orangtua, kakak-adik, tetangga, kawan-kawan sekolah dan lain-lain (Soekanto, 2007).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah adanya penginderaan terhadap suatu objek dan sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Penelitian Rogers tahun 1974 yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) mengungkapkan apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Contohnya pria pasangan usia subur menjadi peserta keluarga berencana, karena diperintahkan lurah atau ketua rumah tangga tanpa mengetahui makna dan tujuan keluarga berencana, maka mereka akan segera keluar dari keikutsertaan dalam keluarga berencana setelah beberapa saat perintah tersebut diterima.

Perlu upaya untuk meningkatkan partisipasi pria dalam keluarga berencana, serta jenis pelayanan keluarga berencana yang dapat diperoleh di puskesmas. Kemampuan pria untuk menyerap informasi yang diberikan juga dipengaruhi oleh pendidikan pria. Kondisi ini menjelaskan bahwa penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih sangat kurang yang menyebabkan kurangnya pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi. Pengetahuan sebagai hasil penginderaan manusia baik melalui indera mata, hidung, telinga dan sebagainya akan mengubah pemahaman kurang baik menjadi baik bila didukung oleh media dan metode yang tepat pula. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai

menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sejalan dengan Bloom dalam Notoatmodjo (1993) bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain terpenting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Menurut Nursalam (2007) pada umumnya orang yang berpengetahuan baik akan berprilaku baik pula sesuai dengan apa yang diketahuinya dan tahu apa manfaat yang diperoleh dari prilaku tersebut, sebaliknya orang yang berpengetahuan kurang akan berprilaku kurang pula karena tidak mengetahui tentang tujuan, manfaat dalam keluarga berencana.

Perlu dilakukan upaya promosi kesehatan kepada masyarakat melalui upaya peningkatan pemahaman tentang pentingnya keluarga berencana dan pengembangan pelayanan dalam rangka peningkatan partisipasi pria dalam keluarga berencana adalah suatu upaya memperluas dan meningkatkan jangkauan sekaligus cakupan pelayanan dengan maksud meningkatkan pengetahuan pria pasangan usia subur tentang alat kontrasepsi.

Upaya promosi/sosialisasi partisipasi pria dalam keluarga berencana merupakan suatu kegiatan atau tindakan untuk menginformasikan, mempengaruhi dan membujuk serta meningkatkan pengetahuan dan perilaku pria dalam keluarga berencana. Promosi dilaksanakan dengan prinsip yang sesuai dengan sosial budaya, terintegrasi sehingga mudah dipahami oleh pria pasangan usia subur.

5.3. Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

Dari hasil sebaran responden dalam distribusi frekuensi ditemukan bahwa 71,9% responden yang tidak mendapat dukungan sosial untuk berpartisipasi dalam keluarga berencana, secara persentase partisipasi pria dalam keluarga berencana yang memperoleh dukungan yang lebih tinggi dibanding kelompok yang tidak mendukung. Penelitian Abraham et al (2010) di Ethopia dukungan istri yang lebih tinggi sebesar 77% dan dukungan dari petugas kesehatan sebesar 61%.

Hasil penelitian Zaeni (2006) dengan penelitian kualitatif di Kecamatan Grinsing Kabupaten Batang Jawa Tengah terhadap 15 informan yang memiliki dukungan yang baik dari tokoh panutan seperti tokoh agama, petugas kesehatan dengan partisipasi pria dalam keluarga berencana.

Hasil penelitian dukungan suami terhadap partisipasi pria tentang alat kontrasepsi dari 121 responden diperoleh 64,7% yang mendapat dukungan, sedangkan yang tidak mendapat dukungan ada sebanyak 88,5%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,001 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara dukungan sosial dengan partisipasi pria tentang alat kontrasepsi di Kecamatan Hutaimbaru yaitu semakin tinggi dukungan sosial maka semakin baik partisipasi pria dalam memakai alat kontrasepsi.

Hasil penelitian Simanjuntak (2007) di kalangan prajurit di Medan menemukan bahwa ada hubungan dukungan istri dengan partisipasi pria dalam keluarga berencana istri. Penelitian Ningsih (2011) di Bengkulu menyatakan ada

hubungan antara kesepakatan pria dengan pasangan dengan partisipasi pria dalam pemakaian alat kontrasepsi. Kesepakatan yang diambil melalui musyawarah dan keterbukaan antara pasangan suami istri dalam menentukan kontrasepsi.

Dalam upaya pengembangan program keluarga berencana kaum pria juga diberikan perhatian agar dapat ikut berperan dalam program keluarga berencana. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang paling berpengaruh terhadap partisipasi pria tentang alat kontrasepsi 21 kali lebih besar dibandingkan jika tidak mendapat dukungan.

Pencanangan keluarga berencana sebagai gerakan masyarakat dimulai dengan meningkatnya kepedulian dan peran serta masyarakat baik dalam mengelola program keluarga berencana atau dalam memenuhi kebutuhan keluarga berencana bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat. Oleh sebab itu kesepakatan operasional baik oleh aparat kecamatan, desa, tokoh masyarakat, tokoh agama petugas kesehatan perlu makin dirangsang partisipasinya dalam upaya memperkuat jaringan pelayanan dan pemberian dukungan positif pelaksanaan keluarga berencana.

Kondisi lingkungan sosial masyarakat yang kurang mendukung, serta kurang dukungan dari istri, para tokoh masyarakat, tokoh agama yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat setempat, kurangnya penerimaan masyarakat terhadap keluarga berencana termasuk motivasi dan persuasi oleh petugas kesehatan.

Istri merupakan orang yang paling dekat dengan suami yang dapat memberikan informasi kepada suami. Partisipasi pria dalam keluarga berencana dapat meningkatkan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak termasuk pencegahan kematian

maternal. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kerjasama antar pengurus, anggota, masyarakat maupun pimpinan formal (Kepala Desa, Camat) dan Informal (Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat).

Menurut Notoatmodjo (2010b) perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap objek kesehatan, ada tidaknya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan/ bertindak,dan situasi yang memungkinkan berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak seorang pria yang tidak mau ikut keluarga berencana mungkin karena tidak ada minat dan niat atau karena kurangnya dukungan dari istri, petugas kesehatan dan masyarakat sekitarnya. Dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui tokoh masyarakat baik formal dan informal dengan mensosialisasikan program-program kesehatan agar masyarakat mau menerima dan berpartisipasi terhadap program keluarga berencana

Dokumen terkait