• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5 Pasal 4 ayat (a) UU PPN Nomor 42/2009

Disebutkan impor daging sapi tidak termasuk kelompok yang dikenai PPn. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7/2007 tentang impor atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang dibebaskan dari PPN, Pasal 1 juga disebutkan barang peternakan masuk dalam barang strategis yang bebas dari PPN.

Analisis Kebijakan Pemerintah dan Daya Saing Perusahaan PT XYZ Dampak dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong dapat diukur menggunakan beberapa metode diantaranya ada Policy Analysis Matrix (PAM). Daya saing usaha penggemukan sapi potong diukur menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif. Tabel PAM juga dapat digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong. Pada penelitian ini, daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ yang beralokasi di Jakarta. Daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ dihitung dari jenis sapi bakalan yang merupakan seluruhnya adalah sapi bakalan impor yang merupakan input produksi peternak utama. Perhitungan daya saing usaha penggemukan sapi potong dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan tabel PAM di PT XYZ pada tahun 2015 yang dimana telah diberlakukannya kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan di Indonesia.

Karena terdapatnya keterbatas peneliti dalam mengakses data di PT XYZ maka perhitungan yang terjadi tidak mencemirkan persis seperti keadaan aslinya.

Baris pertama dari Tabel PAM merupakan estimasi dari keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar yang ada. Perhitungan dari budget privat usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ dijelaskan pada Lampiran 6. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 6, dapat diketahui bahwa jumlah penerimaan privat usaha penggemukan sapi potong PT XYZ sebesar Rp 21 096 000 000, biaya input tradable sebesar Rp 7 520 278 167, dan biaya privat input domestik Rp 12 555

739 029. Oleh karena itu diperoleh hasil keuntungan privat sebesar Rp 1 019 982 805 yang merupakan selisih dari total penerimaandan total biaya (tradable dan faktor domestik).

Baris kedua merupakan estimasi keuntungan sosial atau daya saing dalam keunggulan komparatif yang tercermin dari keuntungan sosial. Perhitungan dari budget sosial usaha penggemukan sapi potong PT XYZ dijelaskan pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah penerimaan sosial usaha penggemukan sapi potong PT XYZ sebesar Rp 17 280 000 000, kemudian biaya input tradable sebesar Rp 7 409 887 687, dan biaya input domestik sebesar Rp 8 474 802 229, sehingga diperoleh keuntungan sosial sebesar Rp 1 395 310 084.

Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah yang berlaku.

Matriks PAM juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Berdasarkan perhitungan budget privat dan sosial tersebut, kemudian diperoleh Tabel PAM usaha penggemukan sapi potong yang menggambarkan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ. Adapun hasil tabulasi dasar matriks kebijakanpemerintah pada usaha penggemukan sapi potong PT XYZ dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9 Policy Analysis Matrix (PAM) Usaha Penggemukan Sapi Potong PT XYZ tahun 2015

Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ memiliki daya saing pada harga privat dan sosial. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai Keuntungan Privat (Privat Provit/PP) dan Keuntungan Sosial (Social Provit/SP) sebesar Rp 1 019 982 805 dan Rp 1 395 310 084. Besar nilai PP dan SP menunjukkan besar penerimaanyang diterima perusahaan setelah membayar semua biaya input produksi. Nilai keuntungan sosial lebih besar dibanding nilai keuntungan private, hal ini menggambarkan bahwa kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ merugikan bagi perusahaan. Dijelaskan pada tabel 6, bahwa angka divergensi dari keuntungan privat dengan keuntungan sosial adalah -375 327 279, artinya adalah perusahaan mendapatkan kehilangan pendapatan sebesar 375 327 279 ketika kebijakan pembatasan volume impor sapi diberlakukan. Oleh sebab itu dengan dibatasinya keran impor sapi bakalan dari luar negeri menyebabkan terbatasnya pula input yang dibutuhkan oleh perusahaan yang menggunakan sapi bakalan impor sebagai inputnya, dengan demikian perusahaan - perusahaan sejenis dituntut untuk mampu mengeluarkan strategi yang paling tepat dalam kondisi saat ini.

Divergensi atau selisih antara penerimaan privat dan sosial bernilai positif, penerimaan privat berada pada angka Rp 21 096 000 000 sedangkan penerimaan sosial berada pada angka 17 280 000 000, perbedaan harga privat dan sosial ini diindikasikan karena adanya kebijakan pemerintah berupa penetapan kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan sebagai input produksi. Pembatasan tersebut menyebabkan supply sapi bakalan impor berkurang, sehingga permintaanakan sapi bakalan domestik meningkat dan harga sapi bakalan domestik naik. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah berupa pembatasan volume impor sapi bakalan merugikan bagi perusahaan seperti PT XYZ.

Divergensi atau selisih antara biaya input tradable privat dan sosial juga bernilai positif yaitu Rp 7 520 278 167 untuk biaya privat input tradable dan Rp 7 409 887 687 untuk biaya sosial input tradable. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah, usaha penggemukan sapi potong PT XYZ harus membayar harga lebih tinggi dari harga ekonominya atau harga aktualnya.

Kemudian divergensi atau selisih antara biaya faktor domestik privat dan sosial juga bernilai positif yaitu sebesar Rp 12 555 739 029 untuk biaya privat input domestik dan Rp 8 474 802 229 untuk biaya sosial input domestik. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha penggemukan sapi potong PT XYZ harus mengeluarkan biaya lebih atas input domestik dibanding dengan biaya input domestik secara ekonomi.

Indikator-Indikator PAM pada Usaha Panggemukan Sapi Potong PT XYZ pada tahun 2015

Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah seperti peraturan menteri dan undang-undang yang berhubungan dengan impor sapi bakalan secara signifikan mempengaruhi perusahaan yang menggunakan input sapi impor untuk digemukan, tidak terkecuali PT XYZ yang menggunakan 100 persen input sapi bakalan yang berasal dari Australia juga terkena dampaknya. Kesulitan mendapatkan akses untuk kuota impor yang sesuai dengan keadaan biasanya menyebabkan perusahaan harus mampu mengatasi keadaan dengan strategi-strategi yang tepat. Setelah dilakukan analisis kebijakan dan daya saing menggunakan metode PAM maka munculah indikator-indikator yang menjelaskan tentang keadaan PT XYZ pada tahun 2015. Tabel indikator PAM PT XYZ dilampirkan dalam Tabel 10 berikut.

Tabel 10 Indikator-indikator PAM pada PT XYZ tahun 2015

No Indikator Nilai

No Indikator Nilai

5 Transfer Output (TO) 3 816 000 000

6 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)

1.22 Dampak Kebijakan Input

7 Transfer Input 110 390 480

8 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)

1.01

9 Transfer Faktor 4 080 936 799

Kebijakan Input-Output

10 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 1.38

11 Transfer Bersih (NT) -375 327 279

12 Koefisien Keuntungan (PC) 0.73

13 Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) -0.022

Tabel 10 menunjukkan indikator mulai dari indikator daya saing usaha sampai dengan dampak dari kebijakan pemerintah yang berlaku terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ. Analasis daya saing dapat dilihat dari dua indikator antara lain, indikator keunggulankompetitif yaitu Keuntungan Privat (Privat Provit/PP) dan Rasio Biaya Privat (Privat Cost Ratio/PCR). Keunggulan komparatif dapat diukur dari indikator KeuntunganSosial (Social Provit/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC).

Keunggulan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ ditunjukkan oleh nilai Keuntungan Privat/Private Price (PP) dan Rasio Biaya Privat/Private Coefecient Ratio (PCR). Adapun nilai keuntungan privat untuk usaha penggemukan sapi potong tersebut bernilai positif yaitu Rp 1 019 982 805 dan 0.925. Dengan demikian, sistem usaha penggemukan sapi potong PT XYZ menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat.

Sementara itu, nilai PCR di PT XYZ adalah 0.925, hal ini mempunyai arti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah ouput sebesar satu satuan pada harga privat di PT XYZ, diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu satuan yaitu sebesar 0,925.Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh atau dapat dibilang semakin mendekati nol, maka akan semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Berdasarkan nilai PCR tersebut, dengan menggunakan input berupa sapi bakalan impor, sistem usaha penggemukan sapi potong PT XYZ dapat dikatakan efisien sacara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif.

Keunggulan komparatif adalah salah satu indikator untuk menilai apakah usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ memiliki dayasaing dan mampu bertahan tanpa adanya intervensi pemerintah. Keunggulan komparatif dapat dilihat dari keuntungan sosial/Social Provit (SP) dan nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC). Keuntungan sosial pada usaha penggemukan sapi potong ini berada pada angka Rp 1 395 310 084. Hal ini berarti usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ memiliki keuntungan sebesar angka tersebut saat tidak adanya intervensi dari pemerintah. Adapun nilai DRC pada usaha penggemukan sapi potong PT XYZ yaitu 0.859. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki keunggulan komparatif karena nilai DRC <1, memiliki keunggulan komparatif berarti PT XYZ mampu menggunakan SDM yang ada secara optimal untuk mencapai tujuan perusahaan. Dengan

demikian, PT XYZ bisa dikatakan tetap mampu bersaing dengan perusahaan lain ketika ada atau tidak adanya intervensi dari pemerintah, pemanfaatan SDM dengan baik dan juga efisien telah mampu dilakukan oleh PT XYZ.

Setelah melihat indikator dari bagian daya saing, analisis PAM juga mampu memberikan indikasi analisis kebijakan pemerintah terhadap usaha sapi potong PT XYZ. Kebijakan pemerintah dalam output dapat dilihat dari dua indikator yaitu transfer output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (Nominal Protection Coefficient Outputs/NPCO). Nilai transfer output yang dihasilkan pada usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ yaitu Rp 3 816 000 000. Hal ini berarti masyarakat atau konsumen membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan kepada produsen. Dengan kata lain, masyarakat memberikan insentif terhadap PT XYZ dengan adanya kebijakan pemerintah.

Nilai Koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial, bila NPCO>1, berarti harga domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) dan berarti usaha yang sedang diteliti menerima proteksi. Nilai NPCO yang dihasilkan pada usaha sapi potong di PT XYZ yaitu 1.22, artinya karena adanya pembatasan volume impor sapi bakalan nilai output dari PT XYZ lebih tinggi dari seharusnya sekitar 22 persen dari yang seharusnya. Hal ini berarti pemerintah memberikan proteksi pada usaha penggemukan sapi potong PT XYZ dengan cara menaikkan harga output di atas harga efisiensinya.

Kebijakan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan output saja, melainkan juga kebijakan yang berkaitan dengan input. Penerapakan kebijakan berupa pembatasan volume impor sapi bakalan merupakan kebijakan yang sebenarnya dilakukan pemerintah untuk melindungi produsen atau dalam hal ini adalah peternak yang berada di dalam negeri. Kebijakan pemerintah terhadap input produksi dapat dilihat darinilai transfer input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Nominal pada Input (Nominal Protection Coefficient on Inputs/NPCI).

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai transfer input (TI) yang dihasilkan untuk usaha sapi potong PT XYZ adalah Rp 110 390 480. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ, harga input tradable yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan harga input tradable yang harus dikeluarkan pada harga ekonomi. Dengan kata lain, harga sosial input tradable lebih rendah dari harga privatnya, sehingga PT XYZ membayar input lebih besar Rp 110 390 480 dari kondisi seharusnya akibat divergensi pemerintah.

Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar harga domestik dari input tradable berbeda dengan harga sosialnya.

Bila NPCI>1 artinya biaya input domestik lebih mahal dari biaya input pada tingkat harga dunia. Dengan kata lain, sistem seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang ada, sedangkan jika nilai NPCI<1 maka seolah-olah sistem disubsidi oleh kebijakan yang ada. Nilai NPCI yang diperoleh pada usaha sapi potong PT XYZ adalah 1.01 yang berarti pemerintah meningkatkan harga input tradable di pasar domestik sebesar satu persen dari harga seharusnya. Peningkatan harga input yang dialami oleh PT XYZ adalah karena terdapatnya pajak impor serta pajak-pajak lainnya. Nilai NPCI>1 menunjukkan adanya proteksi

pemerintah terhadap produsen input tradable di pasar domestik. Dengan kata lain, adanya proteksi terhadap produsen input tradable dalam negeri akan berdampak kepada PT XYZ sebagai sektor yang menggunakan input sapi bakalan impor dirugikan dengan tingginya biaya produksi.

Transfer faktor (TF) adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat yang diterima oleh PT XYZ untuk pembayaran faktor produksi domestik. Nilai TF pada penelitian ini adalah positif yaitu Rp 4 080 936 799 yang menunjukkan bahwa harga input domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi. Artinya, adanya kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input domestik. Kondisi ini mengakibatkan PT XYZ sebagai salah satu usaha penggemukan sapi potong harus membayar input domestik lebih mahal dari harga sosialnya, sementara produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 4 080 936 799.

Analisis berikutnya adalah analisis kebijakan Input-Output yang merupakan analisis gabungan antara analisis input dan output. Analisa kebijakan input-output antara lain Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/ EPC), Transfer Bersih (Net Transfer/TB), Koefisien keuntungan (Profitability Coefficient/ PC), dan Rasio Subsidi Produsen (Subsidiy Ratio to Producer/SRP).

Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator yang bertujuan untuk menunjukkan dampak transfer gabungan yang disebabkan oleh sebuah kebijakan, baik transfer output tradable maupun transfer input tradable. Nilai EPC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lebih dari satu yaitu 1.38 yang artinya bahwa adanya proteksi pemerintah dalam sistem usaha penggemukan sapi potong.

Diindaksikan bahwa dampak kebijakan pemerintah secara tidak langsung memberikan dukungan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong dengan menetapkan harga output di atas harga efisiensinya atau dengan kata lain usaha penggemukan sapi potong PT XYZ menerima insentif dari konsumen.

Secara umum, nilai EPC lebih dari satu mengandung arti bahwa terdapat kebijakan pemerintah terhadap harga output dan input yang efektif melindungi usaha penggemukan sapi potong.

Transfer bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan privat dengankeuntungan bersih sosialnya. Nilai transfer bersih di lokasi penelitian adalah lebih kecil dari nol yaitu Rp -375 327 279 yang berarti adanya keuntungan yang hilang untuk PT XYZ yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Nilai tersebut juga mencerminkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output akan menghilangkan surplus usaha penggemukan sapi potong PT XYZ sebesar Rp -375 327 279.

Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing atau tradable, dan input domestik (net policy transfer). Nilai PC yang dihasilkan pada penelitian ini bernilai kurang dari satu yaitu 0.73. Angka tersebut menunjukkan keuntungan privat yang diterima PT XYZ lebih kecil dari keuntungan bersih sosialnya. Artinya kebijakan pemerintah yang ada mengakibatkan keuntungan yang diterima lebih kecil jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.

Rasio subsidi produsen (Subsidiy Ratio to Producer/SRP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer. SRP itu sendiri adalah ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output (output tarif equivalent).

Seandainya seluruh transfer dampak dilakukan melalui tarif impor, berapa tarif yang harus dikenakan. Rasio ini merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. Nilai SRP juga menunjukkan sejauh mana pendapatan dari sistem meningkat atau menurun karena pengaruh transfer.

Bila kegagalan pasar tidak signifikan, maka SRP memperlihatkan dampak bersih dari kebijakan yang distortif atas sistem. Nilai SRP yang diperoleh pada penelitian ini adalah -0.022 yang berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan usaha penggemukan sapi potong PT XYZ mengeluarkan biaya lebih tinggi sekitar 2.2 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi.

Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang ada secara tidak langsung merugikan bagi pengembangan dan peningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ.

Dokumen terkait