• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur)"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur)

FARIZAN KEMAL ADZHANI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2016

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya ilmiah berjudul ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir karya ilmiah ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Farizan Kemal A NIM H34144027

(4)
(5)

FARIZAN KEMAL ADZHANI. Analisis Dampak Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan Terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur). Dibimbing oleh SUHARNO.

Kebutuhan akan konsumsi daging sapi di Indonesia cukup tinggi, tetapi tingginya permintaan akan daging sapi tersebut belum sepenuhnya mampu tercukupi dari produksi lokal. Salah satu cara memenuhi tingginya konsumsi tersebut adalah dengan melakukan impor sapi. PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang menggunakan sapi impor bakalan sebagai input produksinya, tetapi kuota dari impor PT XYZ dibatasi oleh intervensi atau kebijakan dari pemerintah guna menjaga kestabilan harga serta produksi didalam negeri. Sehingga muncul pertanyaan tentang bagaimana daya saing PT XYZ setelah kebijakan pembatasan volume impor itu di berlakukan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak dari kebijakan pembatasan volume impor sapi terhadap usaha sapi potong di PT XYZ yang dilihat dari beberapa indikator menggunakan metode Policy Analysis Matriks (PAM).

Berdasarkan hasil analisis, dengan diberlakukannya kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan menimbulkan masalah bagi perusahaan, salah satu masalah yang terjadi adalah terjadinya kerugian yang dialami oleh PT XYZ. Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan kapasitas produksi akibat pembatasan volume impor sapi oleh pemerintah sehingga PT XYZ berproduksi dibawah kemampuan kapasitasnya.

Kata Kunci : Daya saing, impor sapi bakalan, kebijakan

ABSTRACT

FARIZAN KEMAL ADZHANI. Analysis Impact of Import Volume Restrictions Cows Going To The Competitiveness of Beef Cattle Fattening (Case Study: PT XYZ, East Jakarta). Guided by SUHARNO.

Demand of meat beef in Indonesia is quite high, but the high demand for meat beef has not been fully able fulfilled from local production. One way to fullfilled the high consumption is by importing cattle. XYZ is one of the companies that use imported feeder cattle as a production input, but quotas of imports XYZ bounded by the intervention or policy of the government to maintain price stability as well as production in the country. So the question arises of how competitiveness XYZ after import volume restriction policy was enacted. This study was conducted to analyze the impact of the policy of limiting the volume of beef imports to beef cattle business in XYZ seen from several indicators using the Policy Analysis Matrix (PAM). Based on the analysis, with the implementation of policy to restrict the volume of imports of cows pose a problem for the company, one of the problems that occur are the losses incurred by PT XYZ. This happens due to a decrease in production capacity due to the volume of beef import restrictions by the government so that the XYZ producing below capacity capabilities.

Keywords: Competitiveness, imports of feeder cattle, policy

(6)
(7)

PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur)

FARIZAN KEMAL ADZHANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMENAGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2016

(8)
(9)
(10)

Jakarta Timur)

Nama : Farizan Kemal Adzhani

NIM : H34144027

Disetujui oleh

Dr Ir Suharno, M.Adev Pembimbing

Diketahui Oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, Msi Ketua Departemen

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah ini ialah Analisis Dampak Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan Terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Suharno, M.Adev selaku pembimbing yang telah banyak memberi kritik dan saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

Farizan Kemal Adzhani

(13)
(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Produksi dan Daya Saing Sapi Potong atau Daging Sapi 6 Penelitian Mengenai Daya Saing dan Policy Analysis Matrix (PAM) 6

KERANGKA PEMIKIRAN 7

Kerangka Pemikiran Teoritis 7

Kerangka Pemikiran Operasional 23

METODE PENELITIAN 25

Jenis Data dan Sumber Data 25

Metode Pengumpulan Data 25

Metode Analisis dan Pengolahan Data 25

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 30

Gambaran Umum Perusahaan 30

Sejarah Perusahaan 30

Letak Geografis 30

Sumberdaya Manusia 31

Manajemen Perusahaan 31

HASIL DAN PEMBAHASAN 33

Kebijakan Pemerintah dan Dampaknya terhadap Sapi Impor 33 Analisis Kebijakan Pemerintah dan Daya Saing Perusahaan PT XYZ 36 Indikator-Indikator PAM PT XYZ pada tahun 2015 38

SIMPULAN DAN SARAN 42

Simpulan 42

Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 44

(15)

DAFTAR TABEL

1 Populasi hewan ternak di Indonesia tahun 2010-2015 1 2 Permintaan dan penawaran daging sapi di Indonesia tahun 2010 - 2014 2 3 Tingkat produksi daging sapi di beberapa wilayah 3

4 Klasifikasi kebijakan harga pemerintah 9

5 Matriks Policy Analysis Matriks (PAM) 15

6 Format Policy Analysis Matrix (PAM) 26

7 Alokasi sumberdaya manusia PT XYZ 31

8 Dampak kebijakan swasembada terhadap populasi sapi 35 9 Policy Analysis Matrix (PAM) PT XYZ tahun 2015 37 10 Indikator-indikator PAM pada PT XYZ tahun 2015 38

DAFTAR GAMBAR

1 Pajak dan subsidi pada input tradable 12

2 Pembatasan dan penambahan kuota pada input tradable 12

3 Pajak dan subsidi pada input non-tradable 13

4 Kerangka pemikiran operasional 24

5 Struktur organisasi PT XYZ 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Harga Privat PT XYZ tahun 2015 39

2 Harga bayangan PT XYZ tahun 2015 39

3 Harga bayangan PT XYZ tahun 2015 (lanjutan) 40

4 Biaya aset privat PT XYZ tahun 2015 41

5 Biaya aset bayangan PT XYZ tahun 2015 42

6 Biaya budget privat PT XYZ persiklus tahun 2015 43

7 Budget sosial PT XYZpersiklus tahun 2015 44

8 Alokasi komponen domestik dan asing 45

9 Shadow exchange rate (SER) tahun 2015 45

10 Biaya HOK pertahun PT XYZ tahun 2015 46

11 Biaya HOK persiklus PT XYZ tahun 2015 46

(16)
(17)
(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang berpotensi untuk memproduksi beberapa komoditas agribisnis. Keadaan geografis Indonesia dapat dijadikan salah satu keunggulan komparatif dibanding negara lain karena memiliki tanah yang luas, perairan yang luas dan juga keaneka ragaman hayati yang cukup melimpah yang tidak dimiliki negara lain. Salah satu potensi yang dimiliki oleh Indonesia adalah Sapi. Potensi tersebut didukung oleh data BPS tahun 2015 yang melampirkan tentang selalu meningkatnya populasi sapi dalam negeri. Data tersebut dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1 Populasi hewan ternak di Indonesia tahun 2010-2015

Komoditi Jumlah Populasi (ekor)

2010 2011 2012 2013 2014 2015

Sapi

Potong 13 581 570 14 824 373 15 980 696 12 686 239 14 726 875 15 494 288

Kuda 418 618 408 665 437 383 434 208 428 051 436 098

Kerbau 1 999 604 1 305 078 1 438 295 1 109 636 1 335 147 1 381 331 Babi 7 476 665 7 524 788 7 900 362 7 598 694 7 694 161 8 043 794 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015 (diolah)

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa populasi hewan yang paling besar adalah sapi, khususnya sapi potong. Sapi sendiri terdiri dari 2 jenis umum yaitu sapi potong dan sapi perah. Sapi potong maupun sapi perah memiliki produk akhir yang sama sama dibutuhkan oleh konsumen, dengan demikian dapat dikatakan bahwa komoditi sapi potong merupakan sebuah potensi besar yang ada di Indonesia karena dapat hidup dengan baik di lingkungan yang ada.

Sapi potong biasanya digemukkan untuk kemudian diambil dagingnya sebagai konsumsi masyarakat Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini menjadi pilihan terhadap pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan masyarakat Indonesia. Seiring meningkatnya perkembangan jumlah penduduk dan perbaikan taraf hidup penduduk di Indonesia, maka permintaan produk-produk bergizi seperti daging sapi semakin meningkat.

Permintaan akan daging sapi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal tersebut selain dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan penduduk itu sendiri terhadap pentingnya protein hewani sehingga pola konsumsi juga berubah, yang semula lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat beralih mengkonsumsi daging, telur dan susu. Kebutuhan Indonesia akan ayam boiler dan telur dalam negeri saat ini telah dipenuhi oleh produksi lokal, akan tetapi susu dan daging sapi masih perlu melakukan impor dari beberapa negara tetangga karena stok sapi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan dalam negri sendiri.

Tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, seperti yang telah di publikasi oleh Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan hewan tahun 2015, konsumsi daging sapi masyarakat

(19)

Indonesia tahun 2010 mencapai 1.76 kg/kapita/tahun, tahun 2011 mencapai 1.87 kg/kapita/tahun, tahun 2012 mencapai 2.09 kg/kapita/tahun, tahun 2013 mencapai 2.22 kg/kapita/tahun, dan tahun 2014 mencapai 2.36 kg/kapita/tahun. Tingginya permintaan daging sapi daripada penawaran daging ini akhirnya berimbas pada kebijakan impor dimana pemerintah Indonesia menetapkan batas impor untuk memenuhi kebutuhan daging Indonesia, seperti data yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2014, realisasi impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 87 457 ton, tahun 2010 sekitar 120 100 ton, tahun 2011 sekitar 102 400 ton, tahun 2012 sekitar 84 700 ton, tahun 2013 sekitar 66 300 ton, dan tahun 2014 sekitar 46 700 ton, tetapi angka tersebut adalah lebih kecil dari yang sebenarnya karena adanya mafia impor sapi. Semakin menurunya impor sapi Indonesia merupakan efek dari diberlakukannya kebijakan pemerintah pada tahun 2010 tentang pembatasan impor sapi dan juga kebijakan tentang swasembada bahan pangan pada 2014 yang dapat dikatakan berhasil sehingga tingkat permintaan bakalan sapi dari luar negri berkurang.

Peningkatan produksi sapi dalam negeri setiap tahunnya sampai dengan tahun 2014 masih belum mampu memenuhi kebutuhan permintaan akan daging sapi yang ada di Indonesia, tabel 1 memperlihatkan tentang adanya kesenjangan atau gap antara permintaan dengan penawaran daging sapi Indonesia.

Tabel 2 Permintaan dan penawaran daging sapi di Indonesia tahun 2010 - 2014

Uraian (ton) 2010 2011 2012 2013 2014

Produksi Lokal 283 000 316 100 349 700 384 200 420 400

Impor 120 100 102 400 84 700 66 300 46 700

Permintaan/Konsumsi 417 040 449 310 509 890 549 670 593 040 Gap/Selisih (13 940) (30 810) (75 490) (99 170) (125 940) Sumber : Badan Pusat Statistik 2014 (diolah)

Kebijakan pemerintah tentang swasembada sapi mampu meningkatkan produksi dalam negeri, dapat dilihat pada tabel 1 peningkatan produksi lokal terjadi setiap tahunnya, akan tetapi produksi dari dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen walaupun sudah dibantu oleh impor sapi. Mulai dari tahun 2010 kebijakan tentang pembatasan volume impor sapi diberlakukan dan menyebabkan penurunan impor sapi yang cukup signifikan dalam 5 tahun terakhir, padahal walaupun sudah impor supply daging sapi di Indonesia masih belum terpenuhi. Pembatasan impor sapi sendiri bertujuan untuk melindungi dan mendongkrak industri sapi potong dalam negeri untuk berkembang dan bisa dibilang berhasil karena produksi sapi dalam negeri setiap tahunnya meningkat.

Saat ini Indonesia telah masuk kedalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dimana semua perdagangan komoditas termasuk daging sapi dari setiap negara di Asia Tenggara dapat dipasarkan dengan mudah. Hal ini merupakan suatu momen yang harus diperhatikan karena beberapa tahun belakangan ini Indonesia yang memiliki penduduk keempat terbesar di dunia telah menjadi target pasar dunia.

Jangan sampai ketika pasar bebas antara Asia Tenggara terjadi, Indonesia hanya menjadi target pasar. Hasilnya adalah Indonesia menjadi lebih banyak mengimpor daripada mengekspor, padahal saat ini Indonesia sedang mengalami food trap yaitu

(20)

kecenderungan mengimpor bahan pangan. Selain dikarenakan penawaran domestik yang kurang memenuhi, ternyata faktor harga impor yang lebih murah dari harga domestik juga mempengaruhi. Tentu saja pasar bebas akan membuat harga barang impor menjadi lebih murah, ini sebuah keuntungan bagi konsumen dalam negeri tetapi sebuah kerugian bagi para peternak. Kurangnya efisien para peternak yang umumnya 90 persen adalah peternakan rakyat akan membuat mereka sulit bersaing.

Dinas Peternakan Jawa Barat, Abdullah Fathul Alam mengatakan dalam majalah online antarantb.com bahwa salah satu daerah yang terpengaruhi dengan kebijakan pembatasan impor ini adalah Jawa Barat. Jawa Barat merupakan salah satu daerah dengan tingkat produksi yang cukup tinggi. Tingkat produksi beberapa wilayah di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 3 Tingkat produksi daging sapi di beberapa wilayah

No Provinsi Tingkat Produksi (ton) Growth

2011 2012 2013 2014 2015

1 Jawa Barat 78 476 74312 71881 67073 73442 9.50 2 Jawa Tengah 60322 60893 61141 55988 59281 5.88 3 Jawa Timur 112447 110762 100707 97908 100172 2.31

4 Lampung 10064 9833 14099 13074 13446 2.85

5 Aceh 8303 6569 8747 8814 10663 20.98

6 Bali 8081 8759 8964 7283 7337 0.74

Sumber : Badan Pusat Statistika, 2015 (diolah)

Tingginya hasil produksi dari Jawa Barat disebabkan karena daerah ini menjadi salah satu sentra dan juga fokus pemerintah dalah kebijakan swasembada sapi disamping Jawa Timur dan NTT/NTB. Hasil produksi Jawa Barat diharapkan dapat memenuhi tingginya permintaan daging sapi di Indonesia.

Kekurangan pasokan daging sapi untuk nasional terjadi pula secara lokal di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena kurangnya populasi sapi ternak yang dapat menghasilkan daging sapi untuk dikonsumsi. Seperti yang dilansir oleh majalah online Kompas pada kamis, 11 Februari 2016 bahwa hingga tahun 2016 ini kebutuhan akan daging sapi di Jawa barat dan DKI Jakarta masih kekurangan dan masih ditopang oleh sebagian besar sapi impor untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Berdasarkan kondisi demikian, pemerintah berinisiatif untuk mengawali upaya untuk meningkatkan produksi ternak sapi potong dalam negeri khususnya di Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu sentra produksi daging sapi sehingga dengan demikian kebutuhan daging sapi impor dalam negri dapat dikurangi.

Perumusan Masalah

Perkembangan ekonomi dan arus global telah mendorong masyarakat Indonesia mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur, dan susu lebih banyak sehingga terjadi peningkatan pada jumlah permintaanya. Namun produksi daging sapi dalam negeri saat ini masih belum mampu memenuhi permintaan tersebut walaupun pertambahan populasi sapi di Indonesia setiap tahunnya meningkat, hal tersebut terjadi karena tidak semua pemilik sapi tersebut mengetahui tentang umur potensial sapi untuk dipotong, tanda-tanda sapi sudah siap dipotong, ataupun tanda-tanda sapi tersebut sudah tidak dapat dijual karena

(21)

terlalu tua. Keadaan tersebut dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia tidak berbanding lurus dengan produksi daging sapinya.

Ditambah lagi pertambahan populasi sapi potong yang produktif dan berpotensi tidak seimbang dengan kebutuhan konsumsi daging nasional, serta adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan usaha ternak sapi potong di dalam negeri merupakan sebuah kendala tersendiri bagi penyediaan daging sapi untuk wilayah domestik.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di provinsi Jawa Baratyang memiliki potensi yang besar dalam pengembangan usaha peternakan khususnya peternakan sapi potong. Data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Peternakan tahun 2015 menyatakan bahwa perkembangan populasi sapi potong di Jawa Barat berada pada angka 78 476 ekor pada tahun 2011, 74 312 ekor pada tahun 2012, 71 881 pada tahun 2013, 67 703 pada tahun 2014, dan 73 442 pada tahun 2015.

Dengan jumlah populasi ini, perkembangan produksi daging sapi lokal ternyata juga belum mampu mengimbangi laju permintaan masyarakat, hal ini ditunjukkan oleh masih dilakukannya impor sapi untuk memenuhi permintaan yang ada.

Peningkatan impor daging sapi dan sapi bakalan setiap tahunnya juga menguras devisa negara yangsangat besar. Saat ini pengeluaran devisa Negara untuk impor tersebut telah mencapai 5.1 trilyun rupiah per tahunnya. Pengurasan devisa Negara ini akanterus berlanjut, apabila penyediaan daging produksi lokal tidak ditingkatkan secara signifikan. Oleh karena itu, diperlukan terobosan untuk meningkatkan populasi ternak sapi dan produksi daging lokal melalui pemanfaatan sumber daya lokal yang belum diberdayakan secara optimal (Blue Print PSDS 2014).

Berdasarkan kebijakan tersebut, menjadi suatu hal yang dilematis bagi pemerintah dan peternak, karena impor sapi bakalan untuk selanjutnya digemukan pada usaha penggemukan sapi ternyata tetap menjadi pilihan dibandingkan harus mengimpor daging sapi, hal ini dikarenakan kualitas bakalan sapi impor yang digunakan untuk produksi masih lebih baik dibanding sapi lokal. Namun di lain sisi, ternyata usaha penggemukan sapi dalam negri secara tidak langsung memiliki potensi dalam meningkatkan daya saing domestik dibandingkan dengan impor daging sapi dengan terkena dampak kebijakan kebijakan tersebut.

Salah satu perusahaan yang bergerak dibidang penggemukan sapi potong yang berada di Jawa Barat adalah PT XYZ, dimana menggunakan sapi bakalan impor sebagai input produksinya. Kapasitas produksi PT XYZ adalah 5000 ekor dengan kurang lebih mampu mengimpor 3700-4000 ekor sapi impor setiap tahunnya tergantung dari kuota yang tersedia dari pemerintah. Kapasitas produksi sapi potong yang dimiliki oleh perusahaan dibawah naungan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) ini dapat menjelaskan bahwa perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan yang berperan dalam pemenuhan pasokan daging sapi di Indonesia.

Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan yang telah ditetapkanpemerintah sejaktahun 2010, berdampak pada kelangsunganproduksi usaha penggemukan sapi potong baikdi Indonesia khususnya Jawa Barat,hal ini juga terjadi padaPT XYZ yang input produksinya masih menggunakan sapi bakalan impor.

Terjadinya pembatasan volume sapi bakalan impor sejak akhir tahun 2010 secara langsungmengurangi jumlah produksi yang berdampak pada terjadinya

(22)

penurunan pendapatan perusahaan. Tidak hanya kebijakan tentang pembatasan sapi impor yang mempengaruhi PT XYZ namun beberapa peraturan atau kebijakan seperti kebijakan lama ternak dan harga jual juga menyebabkan PT XYZ memiliki keterbatasan dalam melakukan usaha yang dijalankan. Kelangkaan yang terjadi pada sapi bakalan impor menyebabkan terjadinya peningkatan harga sapi bakalan impor yang merupakan input utama usaha penggemukan sapi potong.

Penurunan pendapatan, peningkatan harga input, serta peningkatan biaya produksi mempengaruhi tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di Jawa Barat dan sekitarnya. Karena dengan semakin terbatasnya input yang tersedia untuk perusahaan sebagai salah satu produksi akan menyebabkan setiap perusahaan memiliki kebijakan masing-masing dalam memenangi persaingan di pasar. Keunggulan secara kompetitif maupun komparatif sangat perlu di perhatikan oleh perusahaan dalam situasi seperti ini.

Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif ini mencerminkan tingkat dayasaing usaha penggemukan sapi potong di Jawa Barat diantaranya PT XYZ di Jakarta timur.

Berdasarkan dinamika yang terjadi pada usaha penggemukan sapi potong Indonesia dan khususnya di wilayah Jawa Barat, maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1 Bagaimana dampak kebijakan pemerintah mempengaruhi usaha penggemukan sapi potong PT XYZ?

2 Bagaimana tingkat daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usaha penggemukan sapi potong PT XYZ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitianini adalah :

1 Mengetahui dan menganalisis struktur biaya PT XYZ yang terkena dampak pembatasan impor sapi bakalan

2 Menganalisis dampak kebijakan input-output terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian mengambil studi kasus di PT XYZ, Kp. Rambutan, Jakarta Timur dengan asumsi bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan dengan usaha penggemukan sapi potong yang memiliki kapasitas cukup besar untuk keadaan saat ini di Jawa Barat, dengan semakin ketatnya peraturan atau kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tentang ternak sapi maka semakin ketat juga perusahaan melakukan proteksi hal-hal yang dianggap penting oleh pihak internal.

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi dan Daya Saing Sapi Potong atau Daging Sapi

Ada beberapa negara dengan tingkat produksi sapi potong yang cukup tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan negaranya sendiri, tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negri negara-negara tersebutpun mampu memasarkan produknya ke luar negri atau ekspor. Negara tersebut diantaranya adalah Australia mengekspor 2.5 juta ton (1.8 juta ton adalah daging beku), Brazil memproduksi 9.9 juta ton, dan mengekspor 1.9 juta ton, Cina memproduksi 5.8 juta ton, dan mengimpor 475 000 ton. Uni Eropa memproduksi 7.8 juta ton, dan mengimpor 350 000 ton. Mexico memproduksi 118 juta ton, dan mengimpor 235 000 ton.

Argentina memproduksi 2.8 juta ton, dan mengekspor 220 000 ton. New Zealand memproduksi 640 000 ton, mengekspor 536 000 ton. Sedangkan Indonesia sendiri mampu memproduksi sekitar 420 400 ton tetapi masih mengimpor sebesar 46 700 ton sampai dengan tahun 2015 (Kementrian Pertanian, 2015).

Penelitian Terdahulu Mengenai Daya Saing dan Policy Analysis Matrix (PAM)

Kuraisin (2006) melakukan penelitian mengenai daya saing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi. Menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani sapi perah pada ketiga skala usaha di Desa Tajurhalang menguntungkan secara finansial dan secara ekonomi. Artinya komoditas susulayak untuk diusahakan dan dikembangkan di Desa Tajurhalang baik dengan atau tanpa kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu pada ketiga skala usaha menyebabkan surplus produsen berkurang, keuntungan privat lebih kecil dari keuntungan sosial dan tidak memberikan proteksi yang positif. Dengan demikian secara keseluruhan kebijaksanaan pemerintah tidak memberikan intensif bagi produsen untuk berproduksi. Berdasarkan hasil sensitivitas pada saat terjadi peningkatan harga pakan ternak sebesar 30 persen dan enurunan harga susu sapi, analisis sensitivitas gabungan menunjukan bahwa usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha tetap memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Karena nilai dari keuntungan finansial dan ekonominya lebih dari nol sehingga tetap efisien untuk diusahakan.

Aliyatillah (2009) melakukan penelitian tentang analisis daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala. Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix(PAM) menunjukkan bahwa pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala efisien secara privat dan ekonomi serta memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif . Dampak kebijakan pemerintah yang ada terhadap pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala juga secara umum dapat dikatakan menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing

(24)

komoditi kakao. Penurunan produktivitas lebih dari 10 persen dan penurunan harga kakao sebesar 5 persen akan menyebabkan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala tidak berdayasaing baik dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitifmya sedangkan depresi dan apresiasi mempengaruhi dayasaing kakao dalam segi keunggulan komparatifnya.

Nhimas (2011) melakukan peneltian di PT. Widodo Makmur Perkasa tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing perusahaan sapi potong di Kabupaten Bogor dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) menunjukan bahwa Nilai keuntungan privat bernilai positif menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong PT. Widodo Makmur Perkasa memperoleh profit di atas normal sedangkan nilai PCR menunjukkan nilai yang kurang dari satu, hal ini menunjukkan usaha ini efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Analisis keungguluan komparatif terdiri dari analisis keuntungan sosial (SocialProfit/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic ResourceCost/DRC). Nilai keuntungan sosial bernilai positif, sedangkan nilai DRC yang dihasilkan kurang dari satu, hal ini menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong PT. Widodo Makmur Perkasa efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai PCR dan DRC yang tercermin diperoleh dari kedua jenis sapi bakalan yang diproduksi. Pengaruh adanya kebijakan pemerintah berupa pembatasan impor sapi bakalan secara tidak langsung meningkatkan tingkat efisiensi yang berdampak padapeningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang diwakili oleh PT.Widodo Makmur Perkasa. Kebijakan ini menyebabkan PT.Widodo Makmur Perkasa mengeluarkan biaya lebih rendah dari opportunity cost untuk berproduksi.

menetapkan harga output di atas harga efisiensinya, serta meningkatkan surplus usaha. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sensitivitas dengan skenario penurunan volume sapi bakalan, dimana ketika kebijakan pembatasan impor sapi bakalan semakin diperketat maka tingkat daya saingnya semakin meningkat.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Kebijakan Pemerintah

Menurut Carl Friedrich, Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan- hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Sedangkan menurut Mustopadidjaja, Kebijakan adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam :

1 Pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan

(25)

2 Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.

Dalam penelitian ini, kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan pemerintah yaitu diberlakukan terhadap input seperti sapi bakalan, pakan ternak, tenaga kerja, maupun output berupa sapi yang mengakibatkan adanya perbedaan antara harga input atau output yang diterima produsen dengan harga yang seharusnya diterima pada kondisi tanpa intervensi pemerintah atau pada pasar persaingan sempurna. Pada akhirnya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output akan mempengaruhi daya saing suatu komoditas.

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial).

Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarifdan kouta.

Menurut Salvatore (1994), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan Perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Salah satu kebijakan perdagangan adalah quota yang diterapkan dengan tujuan supaya produsen tidak menjual seluruh produknya ke pasar internasional yang disebabkan oleh harga di pasar internasional yang tinggi, sehingga berdampak merugikan konsumen dalam negeri karena ketersediaan barang di dalam negeri berkurang. Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas yang tradable maupun yang non tradablese dangkan kebijakan perdagangan yang hanya diterapkan untuk barang- barang yang diperdagangkan (Tradable).

Menurut David (2009), kebeijakan adalah sarana yang dengannya tujuan tahunan akan dicapai. Kebijakan, meliputi pedoman, aturan, dan prosedur yang diterapkan untuk mendukung upaya-upaya pencapaian tujuan yang tersurat.

Kebijakan adalah panduan untuk mengambil keputusan dan menagani situasi- situasi yang repetitive atau berulang-ulang. Kebijakan memungkinkan konsistensi dan koordinasi di dalam dan antar departemen organisasional.

Kebijakan Output

Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapatditerapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Adapun klasifikasi kebijakan harga pemerintah yang diterangkan oleh Monke dan Pearson (1989) dalam jurnal Riswandha (2002) digambarkan pada tabel 4.

(26)

Tabel 4 Klasifikasi kebijakan harga pemerintah

Instrumen Dampak terhadap produsen Dampak terhadap konsumen Kebijakan Subsidi

• Tidak merubah harga pasar dalam negeri.

• Merubah harga pasar dalam negeri.

Subsidi Pada Produsen

Pada barang-barang subtitusi impor (S+PI ; S- PI).

Pada barang-barang orientasi ekspor

Subsidi Pada Konsumen

Pada barang-barang subtitusi impor (S+CI ; S- CI).

Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE; S- CE).

Kebijakan perdagangan (merubah harga pasar dalam negeri).

Hambatan pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Sumber : Monke and Pearson, 1989.

Keterangan:

S+ = Subsidi TPI = Hambatan barang impor S- = Pajak

PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang subtitusi impor CI = Konsumen barang subtitusi impor TCE = Hambatan barang ekspor

Tabel 4 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan perdagangan, kedua, kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen dan ketiga, tipe komoditas yang berupa komoditas dapat diimpor atau dapat diekspor.

Tipe-tipe Instrumen

Dalam kebijakan pemerintah tipe instrumen, dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri.

Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk barang yang diimpor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit (pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi kuantitas yang diimpor dan meningkatkan harga domestik di atas harga nternasional.

Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah yang diekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga dipasar dunia/harga internasional. Kebijakan subsidi dan perdagangan

(27)

berbedadalam tiga aspek, pertama, yang berimplikasi pada anggaran pemerintah, kedua berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan.

a Implikasi terhadap anggaran pemerintah

Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidinegatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah.

b Tipe Alternatif Kebijakan

Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barangorientasi ekspor (PE) dan barang subtitusi impor (SI) yaitu :

1 Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2 Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3 Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4 Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) 5 Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 6 Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 7 Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) 8 Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)

Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah demikian halnya bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan sebelum ada kebijakan subsidi positif, sedangkan penerapan subsidi negatif (pajak) akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah, dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan.

Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE), Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan ekspor atau impor (lawan dari hambatan perdagangan pada ekspor dan impor) tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan, namun kegiatan ini merupakan kebijakan subsidi bukan kebijakan perdagangan.

Tingkat Kemampuan Penerapan

Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas tradable maupun komoditas non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable).

Kelompok Penerima

Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan dimaksudkan untuk konsumen atau produsen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan ketika konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Pada kondisi seperti ini menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu

(28)

pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang, maka keuntungan yang akan diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita.

Oleh karena itu, manfaat yang diperolah kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok lainnya.

Tipe Komoditas

Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga pasar internasional, dimana untuk barang yang dapat diekspor digunakan adalah hargafob (free on board/harga dipelabuhan ekspor) dan untuk barang yang dapat diimpor digunakan harga cif (cost insurance freight/harga di pelabuhan impor).

Kebijakan harga yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan yang berupa tarif kuota. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan surplus konsumen berubah.

Kebijakan Input

Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input tradable dan non tradable. Kebijakan pada kedua input tersebut dapat berupa subsidi positif maupun negatif (pajak) sedangkan kebijakan hambatan perdagangan hanya berlaku pada input tradable karena input domestik hanya diterapkan pada komoditas yang doproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.

Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini.

Q2 Q1 Q

P

PW

S S1

A

B

C

Q1 Q2 Q

P

PW

A B

C

S S1

(a) S-II (b) S+II

(29)

Sumber: Monke and Pearson, 1989 Keterangan :

S-II = Pajak untuk Imput Impor S+II = Subsidi untuk Impor Impor

Gambar 1(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1-C-A-Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2-B-C-Q1. Gambar 2(b) menggambarkan dampak subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva suplai bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output dengan peningkatan nilai input.

Teori mengenai pajak dan subsidi tersebut dapat juga terjadi dalam keadaan lain. Kebijakan yang mengenai input tradable tidak hanya berupa pajak atau subsidi, namun ada kebijakan tentang kuota. Kebijakan kuota ini dapat merupakan kebijakan pembatasan kuota input ataupun penambahan kuota input tergantung dengan kondisi yang terjadi. Dapat digambarkan pengaruh dari kebijakan pembatasan kuota ataupun penambahan kuota sebagai berikut.

Keterangan :

(a) S-II : Kebijakan pembatasan kuota (b) S+II : Kebijakan penambahan kuota

Gambar 1 Pajak dan subsidi pada input tradable

(a) S-II (a) S+II

Q2 Q1 Q

P

PW

S S1

A

B

C

Q1 Q2 Q

P

PW

A B

C

S S1

Gambar 2 Pembatasan dan penambahan kuota pada input tradable

(30)

Gambar 2(a) menunjukkan pengaruh pembatasan kuota input terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pembatasan pada input menyebabkan biaya produksi khususnya biaya tetap yang digunakan tetap sama, tetapi output yang dihasilkan menjadi sedikit karena input yang digunakan menurun. Output domestikpun turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke atas atau ke kiri.

Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC,yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1-C-A-Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2-B-C-Q1. Gambar 2(b) menggambarkan dampak penambahan kuota input yang menyebabkan biaya produksi yang digunakan dapat dipakai seoptimal mungkin karena sesuai dengan kapasitas yang ada sehingga kurva suplai bergeser ke bawah atau ke kanan dan produksi naik dari Q1 ke Q2.

Kebijakan Input non-tradable

Pada input non tradable kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak dan subsidi karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi dalam negeri, sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non- tradable. Ilustrasi mengenai kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan :

S-N = Pajak untuk Barang Non Tradable S+N = Subsidi untu Barang Non Tradable

Pada Gambar 2(a) dengan adanya pajak (Pc-Pp) menyebabkan produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi positif (Gambar 2(b)), adanya subsidi menyebabkan produk meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara

S

D A

C P

Q D

B PC

PD Pp Pp'

Q3 '

Q2 '

Q1 ' (a) S - N

Q2 ' S

D D Pp

PD

B

PC

Q3 '

Q2 '

Q1 ' A

C

(a) S + N

Gambar 3 Pajak dan subsidi pada input non-tradable

(31)

peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.

Teori Matriks Kebijakan (Policy Analysis Matrix)

Matriks analisis kebijakan adalah hasil dari dua identitas akuntansi, salah mendefinisikan profitabilitas sebagai perbedaan antara pendapatan dan biaya dan lain mengukur efek divergensi (distorsi kebijakan dan kegagalan pasar) sebagai perbedaan antara parameter yang diamati dan parameter yang akan ada jika divergensi telah dihapus. Dengan mengisi elemen dari PAM untuk sistem pertanian, seorang analis dapat mengukur baik tingkat transfer disebabkan oleh serangkaian kebijakan yang bekerja pada sistem dan efisiensi ekonomi yang melekat dari sistem.

Laba atau profit didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah (atau per unit) pendapatan penjualan dan biaya produksi. Definisi ini menghasilkan identitas pertama dari matriks akuntansi. Dalam PAM, profitabilitas diukur horizontal di kolom dari matriks.

Perancangan model dengan metode PAM, biasanya melibatkan temuan informasi tentang pendapatan privat, biaya input sosial, biaya faktor privat, pendapatan sosial, biaya sosial input tradable, dan biaya faktor sosial. Perhitungan tersebut dapat menghasilkan nilai daya saing dan keuntungan.

Karena data untuk PAM mewakili tahun dasar yang dipilih, hasilnya statis dan berpotensi berlaku hanya tahun itu. Proyeksi perubahan harga di masa depan dunia, teknologi, dan harga faktor dapat dibuat untuk mensimulasikan jalur keunggulan komparatif dinamis, sebagai keuntungan sosial perubahan dalam menanggapi parameter yang bervariasi. Pendekatan PAM dengan demikian dapat digunakan untuk menerangi kondisi dasar dan kemudian untuk mengukur efek dari perubahan harga, atau kebijakan ekonomi makro, investasi pada keuntungan pribadi dan sosial sistem pertanian pada tahun dasar atau di masa depan sebagai parameter kunci berubah.

Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas, yaitu tingkat usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani kepengolahan, pengolahan maupun pemasaran (Monke and Pearson, 1989).

Tujuan dari penggunaan sebuah tabel PAM untuk analisis suatu usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat, yaitu sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual.

Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity cost). Tujuan lain dari analisis PAM adalah menghitung transfer effects, sebagai dampak dari suatu kebijakan (Pearson et al.,2005).

Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasikan tiga analisis yaitu analisis keuntungan yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial/ekonomi, analisis daya saing (keunggulan kompetifif dan komparatif) serta analasis dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem komoditas.

(32)

Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan dayasaing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi (Pearson et al.,2005).

Penerimaan dan biaya produksi pada harga finansial dan harga sosial dibagi menjadi komponen tradable (asing) dan nontradable (domestik). Input yang digunakan seperti sapi bakalan, pakan, peralatan, dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Pearson et al.,2005).

Matriks PAM dijelaskan pada tabel 5.

Tabel 5 Matriks Policy Analysis Matriks (PAM) Uraian Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable

Faktor Domestik

Private A B C D

Ekonomi E F G H

Efek Divergensi I J K L

Sumber : Pearson et al, 2005

Keterangan :

A : Penerimaan Privat

B : Biaya Input tradable Privat C : Biaya Input Domestik Privat D : Keuntungan Privat = A - (B+C) E : Penerimaan Sosial

F : Biaya Input tradable Sosial G : Biaya Input Domestik Sosial H : Keuntungan Sosial = E - (F+G) I : Transfer Output (A - E)

J : Transfer Input tradable (B – F) K : Transfer Faktor domestik (C – G) L : Transfer Bersih (D – H)

Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B)

Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E-F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =B/F Koefisien Keuntungan (PC) = D/H

(33)

Teori Pedagangan International

Teori ekonomi internasional biasanya mengasumsikan dua negara, dua komoditas, dan dua faktor negara. Lebih lanjut mengasumsikan tidak ada pembatasan perdagangan untuk memulai, dengan mobilitas sempurnafaktor dalam negara tapi tidak ada mobilitas internasional, persaingan sempurna di semua komoditas dan pasar faktor produksi, dan tidak ada biaya transportasi. Gagasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah adanya perbedaan karunia sumber-sumber daya yang dimiliki oleh setiap negara. Hal ini merupakan suatu landasan teori yang sangat berpengaruh dalam ilmu ekonomi internasional.

Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama.

Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Berdasarkan teori perdagangan internasional, motivasi utama melakukan perdagangan adalah memperoleh keuntungan (Salvatore 2013)

Manfaat langsung yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan internasional antara lain adalah:

1 Suatu negara mampu memperoleh komoditas yang tidak dapat diproduksidi dalam negeri sehingga negara tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan terhadap barang atau jasa yang tidak dapat diproduksi secaralokal karena adanya keterbatasan kemampuan produksi 2 Negara yang bersangkutan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi

yaitu dapat mengekspor komoditas yang diproduksi lebih murah untuk ditukar dengan komoditas yang dihasilkan negara lain jika diproduksi sendiri biayanya akan mahal.

3 Perluasan pasar produk suatu negara, akan meningkatkan pendapatan nasional nantinya dapat meningkatkan output dan laju pertumbuhan ekonomi, mampu memberikan peluang kesempatan kerja dan peningkatan upah bagi warga dunia, menghasilkan devisa, dan memperoleh kemajuanteknologi yang tidak tersedia di dalam negeri.

Sedangkan, manfaat secara tidak langsung yang diperoleh dari adanya perdagangan internasional antara lain adalah :

i Perluasan pasar di bidang promosi.

ii Meningkatnya kemampuan suatu negara untuk memperbaiki kualitas danmutu hasil produksi.

iii Terciptanya iklim persaingan yang sehat dan sarana pemasukan modalasing.

iv Terciptanya peluang untuk meningkatkan teknologi.

Teori Kebijakan Impor Pengertian Impor

Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor, kegiatan demikian itu akan menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan

(34)

masuknya uang asing kenegara kita yang dapat digunakan untuk membayar pembelian atas impor dan jasa dari luar negeri.

Tujuan Impor

Kegiatan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan,tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat.

Kebijakan Impor

Untuk melindungi produksi dalam negerinya dari ancaman produk sejenis yang diproduksi di luar negeri, maka pemerintah suatu negara biasanya akan menerapkan atau mangeluarkan suatu kebijakan perdagangan internasional di bidang impor . Kebijakan ini, secara langsung maupun tidak langsung pasti akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha untuk mendorong/melindungi pertumbuhan industri dalam negeri (domestik) dan penghematan devisa negara.

Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kebijakan hambatan tarif (tariff barrier) dan kebijakan hambatan non-tarif (non-tariff barrier).

1 Hambatan Tarif

Hambatan tarif (tariff barrier) adalah suatu kebijakan proteksionis terhadap barang-barang produksi dalam negeri dari ancaman membanjirnya barang-barang sejenis yang diimpor dari luar negeri. Tarif adalah hambatan perdagangan yang berupa penetapan pajak atas barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang melintasi daerah pabean (custom area). Sementara itu, barang-barang yang masuk ke wilayah negara dikenakan bea masuk. Efek kebijakan ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang. Dengan pengenaan bea masuk yang besar, pendapatan negara akan meningkat sekaligus membatasi permintaan konsumen terhadap produk impor dan mendorong konsumen menggunakan produk domestik.

a. Macam-macam Penentuan Tarif, yaitu:

1. Bea Ekspor (export duties) adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang yang diangkut menuju negara lain (di luar costum area).

2. Bea Transito (transit duties) adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang melalui batas wilayah suatu negara dengan tujuan akhir barang tersebut negara lain.

3. Bea Impor (import duties) adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang masuk dalam suatu negara (tom area).

b. Jenis Tarif :

1. Ad valorem duties, yakni bea pabean yang tingginya dinyatakan dalam presentase dari nilai barang yang dikenakan bea tersebut.

2. Specific duties, yakni bea pabean yang tingginya dinyatakan untuk tiap ukuran fisik daripada barang.

3. Specific ad valorem atau compound duties, yakni bea yang merupakan kombinasi antara specific dan ad valorem.

(35)

c. Sistem Tarif :

1. Single-column tariffs : Sistem di mana untuk masing-masing barang hanya mempunyai satu macam tarif. Biasanya sifatnya autonomous tariffs (tarif yang tingginya ditentukan sendiri oleh sesuatu negara tanpa persetujuan dengan negara lain). Kalau tingginya tarif ditentukan dengan perjanjian dengan negara lain disebut conventional tariffs.

2. Double-column tariffs : sistem di mana untuk setiap barang mempunyai 2 (dua) tarif. Apabila kedua tarif tersebut ditentukan sendiri dengan undang- undang, maka namanya “bentuk maksimum dan minimum”.

3. Triple-column tariffs : biasanya sistem ini digunakan oleh negara penjajah.

Sebenarnya sistem ini hanya perluasan daripada double column tariffs, yakni dengan menambah satu macam tariff preference untuk negara- negara bekas jajahan atau afiliasi politiknya. Sistem ini sering disebut dengan nama preferential system.

d. Efek tarif :

Pembebanan tarif terhadap sesuatu barang dapat mempunyai efek terhadap perekonomian suatu negara, khususnya terhadap pasar barang tersebut. Beberapa sfek tarif tersebut adalah :

- Efek terhadap harga (price effect)

- Efek terhadap konsumsi (consumption effect)

- Efek terhadap produk (protective/import substitution effect) - Efek terhadap redistribusi pendapatan (redistribution effect)

e. Effective Rate of Protection

Tarif terhadap bahan mentah akan menaikkan ongkos produksi. Apabila tarif hanya dikenakan pada barang jadi maka harga barang tersebut akan naik.

Hubungan antara tarif terhadap barang jadi dan tarif terhadap bahan mentah dapat dinyatakan dengan adanya “effective rate of protection” yang dinikmati oleh produsen yang memproses barang jadi tersebut. apabila barang jadi dan juga bahan mentah impor itu dikenakan tarif, maka effective rate of protection bagi produsen barang tersebut makin tinggi apabila makin rendah tarif terhadap bahan mentah.

f. Alasan pembebanan tarif :

1. Secara ekonomis dapat dipertanggungjawabkan : A. Memperbaiki dasar tukar

Pembebanan tarif dapat mengurangi keinginan untuk mengimpor. Hal ini berarti bahwa untuk sejumlah tertentu ekspor menghendaki jumlah impor yang lebih besar, sebagian daripadanya diserahkan kepada pemerintah sebagai pembayaran tarif.

B. Infant-industry

Pembebanan terif terhadap barang dari luar negeri dapat memberi perlindungan terhadap industri dalam negeri yang sedang tumbuh ini.

(36)

C. Diversifikasi

Pembebanan tarif industry dalam negeri dapat berkembang sehingga dapat memperbanyak jumlah serta jenis barang yang dihasilkan terutama oleh negara yang hanya menghasilkan satu atau beberapa macam barang saja

D. Employment

Pembebanan tarif mengakibatkan turunnya impor dan menaikkan produksi dalam negeri.

E. Anti dumping

Pembebanan tarif terhadap barang yang berasal dari negara yang menjalankan politik dumping supaya tidak terkena akibat jelek daripada politik tersebut.

2. Secara ekonomis tidak dapat dipertanggungjawabkan : A. To keep money at home

Pembebanan tarif impor, maka impor akan berkurang sehingga akan mencegah larinya uang ke luar negeri.

B. The low-wage

Negara yang tingkat upahnya tinggi tidak dapat mengadakan hubungan dengan negara yang tingkat upahnya rendah tanpa menanggung risiko akan turunnya tingkat upah. Untuk melindungi para pekerja yang upahnya tinggi dari persaingan para pekerja yang upahnya rendah maka negara yang tingkat upahnya tinggi tersebut perlu membebankan tarif bagi barang yang berasal dari negara yang tingkat upahnya rendah.

C. Home market

Yang tidak dapar diuji atau dibuktikan, karena mengandung premis ekonomi yang salah. Tarif akan mengakibatkan turunnya atau hilangnya impor dan diganti dengan prosuksi dalam negeri.

Kenaikan produksi berarti tambahnya kesempatan kerja yang akhirnya berarti pula kenaikan kegiatan ekonomi.

2 Hambatan non-tarif

Hambatan non-tarif (non-tarif barrier) adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional (Dr. Hamdy Hady).

A.M. Rugman dan R.M. Hodgetts mengelompokkan hambatan non-tarif (non-tariff barrier) sebagai berikut :

A. Pembatasan spesifik (specific limitation) : a. Larangan impor secara mutlak

b. Pembatasan impor (quota system)

c. Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu d. Peraturan kesehatan / karantina

e. Peraturan pertahanan dan keamanan negara f. Peraturan kebudayaan

g. Perizinan impor (import licence) h. Embargo

i. Hambatan pemasaran / marketing

(37)

B. Peraturan bea cukai (customs administration rules) a. Tatalaksana impor tertentu (procedure)

b. Penetapan harga pabean

c. Penetapan forex rate (kurs valas) dan pengawasan devisa (forex control) d. Consulate formalities

e. Packaging / labelling regulations f. Documentation needed

g. Quality and testing standard h. Pungutan administasi (fees) i. Tariff classification

C. Partisipasi pemerintah (government participation) a. Kebijakan pengadaan pemerintah

b. Subsidi dan insentif ekspor

Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan atau bantuan kepada indusrti dalam negeri dalam bentuk keringanan pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit, subsidi harga, dll.

c. Countervaling duties

d. Domestic assistance programs e. Trade-diverting

D. Import charges - Import deposits - Supplementary duties - Variable levies Pelarangan impor

Larangan impor adalah kebijakan pemerintah yang melarang masuknya barang-barang tertentu atau produk-produk asing (ke dalam pasar domestik) ke dalam negeri. Kebijakan larangan impor dilakukan untuk menghindari barang- barang yang dapat merugikan masyarakat. Misalnya melarang impor daging sapi yang mengandung penyakit Anthrax. Kebijakan ini biasanya dilakukan karena alasan politik dan ekonomi.

Pada dasarnya ada tiga sasaran kebijakan larangan impor, yaitu:

a. Kebijakan Larangan Impor Berorientasi Lingkungan Hidup

b. Kebijakan Larangan Impor Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri dan c. Menjaga Balance of Payments

Teori Daya Saing

Konsep daya saing umumnya dikaitkan dengan konsep comparative advantage, yakni dimilikinya unsur-unsur penunjang proses produksi yang memungkinkan satu negara menarik investor untuk melakukan investasi ke negaranya, tidak ke negara yang lain. Konotasi advantage di sini adalah situasi yang memungkinkan pemodal menuai keuntungan semaksimal mungkin.

Misalnya dengan menyediakan lahan murah, upah buruh murah, dan suplai bahan mentah produksi yang terjamin kontinyuitasnya dengan hatpa yang lebih murah daripada harga yang ditawarkan oleh negara lain. Artinya, kekuatan modal dan

(38)

keunggulan teknologi menjadi kunci penentu peningkatan daya saing (penjualan produk) satu negara (Rhiswanda 2002).

Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak 1992). Dengan kata lain, dayasaing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik.

Teori Keunggulan Komparatif

Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah Negara kurang efisien dibandingkan (memiliki keunggulan absolut terhadap) Negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki keunggulan komparatif (Salvatore, 2013).

Teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurnakan oleh Haberler (1936) yang mengemukakan Konsep keunggulan komparatif yang berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Haberler menyatakan bahwa biaya dari satu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan pertama (Salvatore 2013).

Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Heckscher- Ohlin (1933), yang menekankan pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar Negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori H-O menganggap bahwa setiap Negara akan mengekspor komoditas yang relatif intensif menggunakan faktor produksi yang melimpah karena biayanya akan cenderung murah, serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif langka dan mahal.

Simatupang (1995) dalam Novianti 2003, mengemukakan bahwa untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian yang diarahkan pada pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem keseluruhan yang dilandasi prinsip-prinsip efisiensi dan berkelanjutan, dimana konsolidasi usahatani diwujudkan melalui koordinasi vertikal sehingga produk akhir dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Keunggulan komparatif bersifat dinamis. Artinya, suatu Negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan memberdayakan secara optimal sehingga dapat bersaing dengan negara lain dengan kata lain, keunggulan komparatif adalah suatu keunggulan yang dimiliki oleh suatu organisasi untuk dapat membandingkannya dengan yang lainnya. Maka,

Gambar

Tabel 1 Populasi hewan ternak di Indonesia tahun 2010-2015
Tabel 2 Permintaan dan penawaran daging sapi di Indonesia tahun 2010 - 2014
Tabel 3 Tingkat produksi daging sapi di beberapa wilayah
Tabel 4 Klasifikasi kebijakan harga pemerintah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lamhot Hutabarat (2010) Pengaruh PDB sektor industri terhadap kualitas lingkungan ditinjau dari tingkat emisi sulfur dan CO 2 di lima negara anggota ASEAN periode 1980- 2000

Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa peran PPTK dalam pengadaan barang/jasa sesuai dengan PERMENDAGRI nomor 13 tahun 2006 adalah menyiapkan dokumen

kasus-kasus tanah, masalah hukum di kalangan masyarakat. Adanya peningkatan usaha-usaha penggalangan massa oleh kekuatan sosial politik.. 2) Dari informasi yang diperoleh

Manfaat yang diperoleh dalam Aplikasi Peramalan Penjualan Aquaky ini adalah dapat mengetahui hasil dari prediksi tingkat penjualan di hari yang akan datang, untuk

Sedangkan pada tahun 2009 masih didominasi oleh Dana Perimbangan sebesar 97,5 % mengalami kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan dengan tahun 2008 hal ini

“PENGEMBANGAN SISTEM KEAMANAN BRANKAS MENGGUNAKAN NFC DENGAN OTENTIKASI PASSWORD VIA SMS DILENGKAPI KAMERA CCTV (HARDWARE)” beserta seluruh isinya adalah karya saya

Hasil penelitian rata-rata menunjukkan positif dan signifikan hubungan antara variabel terhadap penggunaan mobile banking, penulis memberikan kesimpulan bahwa (1) perceived

Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al- Qur‟an, (Cet.. Merujuk pada hakekat khalifah dan konsep amanah yang dibebankan kepada