• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

B. HASIL PENELITIAN

2. Pasangan MM dan SS

a. Profil dan Observasi Informan MM

Inisial : MM

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat tanggal lahir : Tapanuli Utara, 9 Maret 1948 Pendidikan terakhir : STM

Pekerjaan : Pensiunan Jumlah anak : 7 orang Usia pernikahan : 39 tahun

Agama : Katolik

MM merupakan suami dari informan SS berusia 68 tahun dan merupakan anak ketujuh dari sebelas orang bersaudara. MM memiliki tujuh orang saudara perempuan dan tiga orang saudara laki-laki namun berasal dari tiga orang ibu. Ibu MM merupakan istri ketiga dan memiliki anak kandung sebanyak lima orang. Meskipun berasal dari ibu yang berbeda namun MM dan saudara-saudara saling akur dan menganggap bahwa mereka berasal dari satu ibu yang sama.

Saat muda, MM pergi merantau ke Pulau Bangka dan menjadi karyawan di salah satu perusahaan tambang BUMN yang memproduksi timah. MM dan pasangannya SS dijodohkan oleh kedua orang tuanya dan memboyong istrinya ke daerah ia bekerja hingga masa tua. Usia pernikahan MM dan pasangannya sudah berjalan selama 39 tahun dan dikaruniai tujuh orang anak perempuan. Namun, anak-anaknya belum

ada yang menikah. Anak sulung MM sudah terhitung dalam usia yang matang namun belum menikah. Anak-anak informan ada yang tinggal berjauhan dari MM dan pasangannya karena bekerja namun ada juga yang tinggal bersama. Walaupun tidak memiliki anak laki-laki, MM merasa terbantu dengan adanya anak-anak yang perhatian terhadap dirinya dan pasangan.

Selama 39 tahun hidup berkeluarga dengan pasangannya, semua permasalahan dapat diatasi bersama-sama. MM tidak pernah bertindak kasar atau pun berbicara yang kasar terhadap pasangannya hal ini sudah merupakan prinsip dari MM sendiri. Saat ini, informan sudah pension dan menikmati hari tuanya dengan berkebun dan aktif dalam kegiatan-kegiatan punguan (perkumpulan orang Batak Toba sesuai marga).

Saat peneliti datang ke rumah MM, MM mengenakan pakaian rapi yaitu celana panjang berbahan kain dan kemeja. Saat peneliti tiba, MM dan pasangannya SS sedang menonton bersama. Walaupun cuaca sedang tidak mendukung karena turun hujan selama wawancara berlangsung, MM tampak santai dan dengan seksama menyimak serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan. Namun, MM menjadi lebih serius saat membicarakan penerus harta warisannya saat ia meninggal nanti.

b. Profil dan Observasi Informan SS

Inisial : SS

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat tanggal lahir : Siantar, 29 Agustus 1951 Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Jumlah anak : 7 orang

Usia pernikahan : 39 tahun

Agama : Katolik

SS merupakan istri dari informan MM berusia 65 tahun dan merupakan anak pertama dari sepuluh orang bersaudara. SS memiliki tiga orang saudara perempuan dan enam orang saudara perempuan. Sebelum menikah dengan pasangannya, SS pernah mengenyam dunia perkuliahan namun akhirnya ditinggalkan karena menikah dan harus ikut dengan pasangannya yang bekerja di Pulau Bangka. Orang tua SS juga berpikir bahwa walaupun bersekolah tinggi, setelah menikah perempuan akan mengurusi suami dan dapur.

Pernikahan SS dan pasangannya telah dikaruniai tujuh orang anak perempuan. Anak-anak informan ada yang tinggal berjauhan dari SS dan pasangannya karena bekerja namun ada juga yang tinggal bersama. Walaupun tidak memiliki anak laki-laki, SS merasa terbantu dengan adanya anak-anak yang dapat membantu pekerjaan rumah ataupun pekerjaan laki-laki. Selain itu, perhatian yang diberikan oleh anak-anak

perempuannya terhadap dirinya dan pasangan membuat SS bersyukur. Di sisi lain, SS merasa sedih karena anak-anak perempuannya belum ada seorang pun yang menikah. SS berharap anak-anaknya segera menikah karena anak-anak temannya yang seusia sudah menikah dan memiliki anak.

Selama 38 tahun hidup berkeluarga dengan pasangannya, SS tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari pasangannya. Bahkan, SS merasa sangat didukung dan dibantu. SS juga merasa bersyukur terhadap pasangannya MM karena selalu baik dan mau mengurus anak-anaknya saat tidak sedang bekerja.

Saat peneliti datang ke rumah, SS sedang menonton bersama dengan pasangannya. SS tampak mengenakan pakaian tidur berwarna ungu. Saat wawancara berlangsung, turun hujan sehingga peneliti dan SS harus berbicara lebih keras. Selama wawancara berlangsung, SS tampak berusaha santai dalam menjawab pertanyaan peneliti. Namun, saat peneliti mengajukan pertanyaan terkait anak laki-laki, SS terlihat ada keputusasaan yang tampak dari nada bicaranya yang merendah dan sesekali ada jeda. Saat membicarakan anak perempuan khususnya anak sulungnya yang yang belum menikah, SS tampak sedih. Hal ini terlihat dari ekspresi wajah SS yang berubah menjadi sedikit muram.

c. Struktur Dasar Pengalaman Pasangan MM dan SS

Pada struktur dasar pengalaman terdapat temuan mengenai adat budaya suku Batak Toba, proses penerimaan diri masing-masing informan, proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing informan terhadap pasangannya dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri.

i. Adat Budaya Suku Batak Toba

i.1. Pemahaman Mengenai Nilai 3H (Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon)

Pada pasangan MM dan SS pemahaman mengenai nilai 3H (hagabeon, hamoraon dan hasangapon) terbagi menjadi pemahaman nilai dari 3H, cara mencapai 3H dan pandangan terhadap nilai 3H. Nilai hamoraon berkaitan dengan kekayaan harta benda yang dimiliki oleh sesorang, hasangapon berkaitan dengan kehormatan juga dari jabatan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Nilai dari hagabeon yaitu berkaitan dengan keturunan yaitu laki-laki dan perempuan. Mencapai nilai hamoraon dengan bekerja keras dan hagabeon yaitu atas pemberian dari Tuhan. Menurut MM hasangapon tercapai dengan menghormati dan menghargai orang terlebih dahulu lalu akan dihargai dan dihormati oleh orang lain. Sedangkan, menurut SS hasangapon tercapai dengan jabatan yang dimiliki dalam pekerjaan.

“Artinya gabe itu kan artinya punya anak lakik punya anak perempuan. Hamoraon itu ya materilah harta benda. Nah hasangapon itu ya sangab lah ee umpamanya ada pangkatnya umapama dia anggota DPR nah disitu lah semua, dihormatin orang kan. Itulah hasangapon itu artinya” (4-6, SS).

“Macam hamoraon itu kan kerja keras kita kan. Kita punya hamoraon tapi bukan itu satu-satunya yang bikin na mora (kaya). Ade harta dimane-mane, bukan hamoraon yang jadi patokan buat kita bahagia, kan bukan itu. Nah hamoraon, hasangapon. Nah hasangapon kan pribadi kita yang menentukan kalo kita menghormati orang kan orang tetap menghargai kita. Sebaliknya, kalo kita enggak menghormati orang ya cemane (gimana) orang mau menghormati kite kan timbal balik, nah itu tergantung dari pribadi kita kan itu. Hagabeon itu kan udah termasuk ee dari Tuhan,anak” (67-71, MM).

Nilai-nilai 3H yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon merupakan hal yang dicari oleh orang suku Batak Toba dalam hidupnya, “i do dilului jolma (itulah yang di cari oleh orang Batak), itu yang dicari orang Batak” (3-4, MM), “hagabeon, hamoraon, hasangapon itulah umumnya pada orang Batak” (3, SS). Namun, menurut SS tidak semua orang bisa memiliki ketiga nilai tersebut dalam hidupnya. MM sendiri tidak mempermasalahkan dampak yang terjadi bila ketiganya tidak dapat tercapai dalam hidupnya karena baginya yang terpenting ialah berusaha terlebih dahulu.

“Kalo tiga itu enggak dapat ee didapat, gimana pung? Ee kan tidak jadi masalah yang pentingkan kita kan udah berikhtiar, udah berupaya dengan sebaik mungkin. Jadi kalo misal kita ee kekayaan udah berusaha ya itulah yang kita terima, yang harus kita tampilkan yang penting kita

sudah berusaha ee untuk melakukan semaksimal mungkin ya kan tapi yang wajar” (74-76, MM).

i.2. Arti Dan Peranan Anak Dalam Adat Budaya Suku Batak Toba

Berdasarkan hasil wawancara arti dan peranan anak dalam suku Batak Toba dinyatakan dalam beberapa bagian pada pasangan MM dan SS diantaranya makna anakhon hi do hamoraon di au dan arti dan peranan anak Selain itu, ada penjelasan terhadap cara pandang orang suku Batak Toba terhadap keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dan respon terhadap cara pandang orang suku Batak Toba terhadap keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Bagi pasangan MM dan SS, makna dari ungkapan anakhon hi do hamoraon di au yaitu anak merupakan hal yang terpenting dalam hidup. MM menambahkan bahwa anak menjadi suatu kepuasan bagi orang tuanya melebihi harta benda, seperti yang ada dalam wawancara:

“Jadi budaya Batak tetap mee ee menganjurkan biar punya anak yang lebih penting kek orang tuanya. Hamoraon itu bukan berarti dalam artian harta benda, anak yang berbakti lah sama orang tua itu udah menjadi kepuasan bagi orang tua. Anakhon hi do hamoraon di au gitu katanya kan itu secara kekeluargaan. Tadi kan hamoraon, hasangapon, hagabeon kan hamoraon itu kan secara harta benda kan. Nah kalo dalam budaya Batak anakhon hi do hamoraon di au ya kalo semua anaknya sudah termasuk baik-baik nah termasuk hamoraon itu, sudah mendatangkan kebahagian itu bagi keluarga orang Batak” (87-92, MM).

“Anakhon hi do hamoraon di au (anaklah kekayaan bagi orang tuanya) itulah segala-galanya bagi kita” (56-57, SS).

Menurut pasangan MM dan SS, anak laki-laki berperan sebagai penerus generasi atau marga. MM menambahkan bahwa anak laki-laki juga sebagai penerus kekayaan orang tua. SS menambahkan bahwa anak laki-laki nantinya akan berperan sebagai kepala rumahtangga dan tidak melakukan pekerjaan rumahtangga. Di sisi lain, menurut SS, anak perempuan lebih perhatian terhadap orang tua dibanding anak laki-laki. SS mengungkapkan bahwa di zaman sekarang anak perempuan sudah berhak membiayai pemakaman orang tua secara adat.

“Ya karena anak laki-laki kan kalo kita kan untuk penerus ee penerus marga, penerus kekayaan” (97-98, MM).

“Anak laki-laki karena itulah yang penerus generasi, penerus marga, penerus keturunan/tarombo. Padahal kalo dipikir ya anak perempuan itu yang lebih kasih kepada orang tuanya, lebih memperhatikan orang tua” (44, 51-52, SS).

MM menuturkan bahwa orang suku Batak Toba zaman dulu memiliki pandangan bahwa suami yang tidak memiliki anak laki-laki dapat menikah lagi untuk mendapat anak laki-laki, “kalo zaman dahulu kalo misalnya keluarga zaman dulu yang enggak punya anak laki bisa lagi kawin sampai dapat anak lakik” (98-99, MM). Namun, cara pandang orang suku Batak Toba terhadap keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki ini

mengalami perubahan karena tidak semua orang memiliki cara pandang tersebut. MM memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang suku Batak Toba umumnya. Bagi MM tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan, seperti yang muncul dalam wawancara:

“Orang kita sekarang kan udah makin maju mau anak laki anak bini sama saja” (95-96, MM).

Secara tradisi adat budaya, keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, seluruh harta kekayaannya akan diambil alih oleh oleh pihak saudara laki-laki suami. Meskipun begitu, MM tetap tidak rela jika hartanya diambil oleh saudara laki-lakinya karena keadaannya tidak memiliki anak laki-laki.

“Kalo nanti saya udah tua ya katakanlah meninggal jadi kalo ada hak-hak yang saya miliki ya katakan rumah atau apalah, aku endak rela di diambil alih sama seperadek-seperadek (saudara-saudara) aku. Itu kan hak anakku, kalopun die bini (dia perempuan) ya dia kan anakku. Ya untuk anakku inilah yang bini (perempuan) endak boleh diganggu dari anak abang atau anak dari adek” (168-171, MM).

ii. Proses Penerimaan Diri Pasangan MM dan SS

Proses penerimaan diri pada umumnya melalui lima tahapan proses seperti yang diungkapkan oleh Kubler-Ross yaitu tahap denial and isolation, tahap anger, tahap bargaining, tahap depression dan tahap acceptance. Namun, berdasarkan hasil wawancara, proses penerimaan diri pasangan MM dan SS tidak

diawali dengan tahap denial dan isolation juga tidak melalui semua tahapan tersebut seperti yang ada dalam teori proses penerimaan diri Kubler-Ross. Pada proses ini juga disajikan peran pasangan dalam proses penerimaan diri masing-masing informan. Selain itu, proses ini dibagi menjadi tiga bagian besar berdasarkan peristiwa yaitu keadaan sebelum kelahiran anak bungsu, saat kelahiran anak bungsu dan setelah kelahiran anak bungsu. Berikut proses dalam penerimaan diri yang dialami oleh pasangan MM dan SS.

ii.1. Sebelum Kelahiran Anak Bungsu

Berdasarkan hasil wawancara, pada saat sebelum kelahiran anak bungsu, informan SS mengalami beberapa ciri mengarah pada tahap anger dan ada tahap depression. Sedangkan, pasangannya yaitu informan MM, dalam satu yakni peristiwa sebelum kelahiran anak bungsu ada tahap bargaining dan sering menghibur diri dalam prosesnya untuk menerima keadaan serta tahap depression.

Saat kelahiran anak pertama dan kedua, ibu mertua SS yang juga merupakan ibu dari suaminya MM, selalu datang berkunjung. Saat kunjungan kelahiran anak kedua, SS mendapat pertanyaan dari ibu mertua terkait kemampuannya untuk melahirkan anak laki-laki. SS sadar pertanyaan itu terlontar dari ibu mertuanya karena ibu mertuanya sangat ingin memiliki cucu laki-laki. Terutama yang berasal dari pasangannya yaitu MM

karena MM merupakan anak laki-laki pertama. Tekanan dari pihak keluarga ini membuat SS mulai mengalami kegusaran, kemarahan dan mulai ada tuntutan terutama untuk dirinya memiliki anak laki-laki. Hal ini muncul dari ketakutan SS berpikir negatif bahwa ia berpeluang untuk diceraikan atas saran ibu mertua karena tidak bisa memberi anak laki-laki. SS masuk ke dalam tahap anger.

“Anak kedua lahir mertuaku mamaknya Opung lakik (kakek) datang, anak pertama juga dia datang. Jadi emang sifatnya orang tua, kok belum ada anak laki yang kau lahirkan? Dok inang, baru dua mana tau anak ke 3, ke 4 anak ke 5 anak ke 6 sampai seterusnya laki saya bilang begitu. Ku enggak punya anak laki rasaku tau mua (taulah) orang dulu kan jadi diceraikanlah kalo a (mungkin)” (174-178).

Hal inilah yang membuat SS terus berusaha mendapat anak laki-laki. Demi mendapat anak laki-laki, SS tergerak pergi ke Gua Maria untuk berdoa meminta kepada Tuhan dengan harapan agar anak ketiganya berjenis kelamin laki-laki. Usaha yang dilakukan oleh SS ini menunjukkan bahwa SS masih berusaha dengan memohon dan menawar (bargaining) kepada Tuhan agar diberi anak laki-laki. Namun, anak ketiga SS tetap berjenis kelamin perempuan, lagi kenyataan tidak sesuai dengan harapannya. Berikut pernyataan SS:

“Kalo ku melahirkan anak pertama perempuan, yah baru anak pertama. Kedua perempuan, ketiga minta laki-laki lah Tuhan. Nah, berdoalah minta ke Tuhan laki-laki kan sampai pernah saya berdoa di Gua Maria untuk meminta

anak laki tapi bukan tuh pula yang rasanya diberikan Tuhan” (65-67).

Saat pasangan MM dan SS memiliki anak ketiga dan berjenis kelamin sama seperti dua anak sebelumnya yaitu perempuan, timbul pikiran negatif dalam diri MM. Keadaannya yang belum memiliki anak laki-laki, pendidikan dan perekonomian yang pas-pas an merupakan dampak dari hukuman atas kesalahan yang dilakukan oleh leluhurnya dahulu. Kesalahan itu yaitu mengambil alih seluruh harta keluarga saudara yang tidak memiliki anak laki-laki karena sudah merupakan tradisi adat suku Batak Toba. Namun, MM berusaha berpikir positif bahwa keadaan ini tidak seperti yang dipikirkan olehnya. Dari kutipan wawancara terlihat ada usaha menghibur diri juga bargaining pada TS.

“Aku berpikir apa karna dosa dari nenek moyang kami opung-opung kami dulu itu jadi kayak gini sekarang? Seolah aku berpikir demikian tapi mudah-mudahanlah bukan karena itu” (31-32).

Di sisi lain, SS disarankan oleh suaminya MM untuk melakukan sterilisasi (KB). MM sendiri tidak mempermasalahkan jenis kelamin anak yang mereka miliki karena baginya anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Namun, saran dan alasan dari MM tidak dapat mengubah pendirian SS yang sangat ingin memiliki anak laki-laki sehingga

menolak melakukan KB. Keinginan SS ini menunjukkan bahwa ada suatu tuntutan dalam dirinya yaitu memiliki anak laki-laki. Di dalam diri SS juga terdapat perasaan cemburu/iri terhadap keluarga lain yaitu keluarga saudara-saudaranya dan pasangannya MM yang memiliki anak laki-laki dalam keluarga. Kecemburuan/iri dan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan ini memunculkan keluhan dalam diri SS sehingga menimbulkan pertanyaan dalam dirinya. Dari beberapa ciri di atas pada diri SS, terlihat mengarah pada tahap anger.

“Kalo ku melahirkan anak pertama perempuan, yah baru anak pertama. Kedua perempuan, ketiga minta laki-laki lah Tuhan. Nah, berdoalah minta ke Tuhan laki-laki kan sampai pernah saya berdoa di Gua Maria untuk meminta anak laki tapi bukan tuh pula yang rasanya diberikan Tuhan. Waktu anak ke-3, baru tiga, kata Opung (kakek) udahlah di steril ajalah. Saya enggak mau, sampai anak laki saya bilang. Kenapa adek-adekku ada anak laki, cuma (hanya) ku sendiri yang endak ada anak laki?” (65-67, 69-70, 218).

Meskipun sudah menyarankan SS untuk melakukan KB namun keinginan SS untuk memiliki anak laki-laki pun tidak dapat ditolak oleh MM. MM ternyata masih mempunyai harapan untuk memiliki anak laki-laki. MM pun berdoa meminta kepada Tuhan agar anak keempatnya berjenis kelamin laki-laki. Namun, lagi-lagi kenyataan tidak sesuai dengan harapan hingga akhirnya timbul kepasrahan dalam arti menyerah dalam diri MM, seperti pernyataan informan berikut:

“Waktu itu pikir kalo minta sama Tuhan anak laki tapi yang keempat cewek juga. Aah akhirnya dus do i (ya itulah apa adanya) jadi itulah pikirannya” (34-35).

Namun, keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Saat yang sama tampak ada gejolak dalam diri MM. Gejolak tersebut memperlihatkan bahwa MM masih memiliki harapan untuk mendapatkan anak laki-laki. Terlihat dari tujuan pemberian nama pada anak keempatnya yaitu agar diberikan anak laki-laki saat anak kelima nanti. Secara tidak langsung menunjukkan bahwa MM menawar agar mendapat anak laki-laki. Tindakan MM ini menunjukkan bahwa MM berada dalam tahap bargaining. Berikut pernyataan MM:

“Pada waktu anak opung (kakek) lahir yang keempat ee dibikin name a Rindu Marito, Rindu kan pingin punya ito e anak lakik ee waktu anak keempat tapi kan kita cuma niat dalam batin namun kalo enggak pun diberi ya kita harus syukuri juga kan. Ada terbesit pengharapan tuh di anak keempat dibikin nama Rindu Marito, merindukan itonya. O maksudnya itu harapan agar memiliki anak laki? iya iya, namun ya yang menentukan di tangan Tuhan” (102-105).

Keadaan keluarga MM dan SS yang sudah memiliki empat orang anak perempuan namun belum juga memiliki anak laki-laki mendapat perhatian dari teman MM. MM disarankan oleh teman mengadopsi anak laki-laki namun saran ini ditolaknya. Alasan MM tidak mau mengadopsi anak laki-laki ialah anak adopsi dapat menyusahkan hidupnya. Dari alasan yang

diutarakan MM ini memperlihatkan bahwa ada ketakutan dalam dirinya. Di saat yang bersamaan tampak MM berusaha menghibur diri dengan berpikir bahwa keadaannya yang hanya memiliki anak perempuan merupakan yang terbaik dari Tuhan baginya.

“Ada kawan yang menyarankan untuk adopsi anak laki tapi ku tolak karena udah ada anak ke-4 kan. Apa yang diberikan Tuhan itulah yang terbaik untuk saya. Nanti kalo misalnya saya adopsi anak laki siapa tahu itu nanti menyusahkan aku, yang bikin aku stress jadi stroke kan saya bilang hehe (tertawa)” (167-170).

Walaupun sudah memiliki lima orang anak, nyatanya SS tetap berusaha memenuhi keinginannya yaitu memiliki anak laki-laki. Sikap SS yang bersikeras akan terus hamil hingga mendapat anak laki-laki juga mendapat perhatian dari seorang dokter kandungan saat memeriksakan kehamilan. “Udah 5. Haa?? Mau berapa anaknya bu? Sampai dapat anak laki dok. Wah wah wah jadi sampai dapat anak laki? Iya. Jadi kalo pun enggak dapat anak laki sampai menopause, dak tau ngapelah (ya mau gimana lagi) dok saya pasrah. Ku bilang gitu” (72-74). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sudah memiliki lima orang anak perempuan, masih ada tuntutan dalam diri SS yaitu memiliki anak laki-laki. Namun, disaat bersamaan dalam diri SS ada keputusasaan jika memiliki anak laki-laki tidak tercapai. Hal ini pun berlangsung hingga SS hamil anak ketujuh.

Pada kehamilan anak ketujuh atau terakhir, SS memiliki pemikiran bahwa anak yang dikandungnya akan berjenis kelamin sama seperti anak-anak sebelumnya yaitu perempuan. SS tidak pernah melakukan pemeriksaan USG (ultrasonography) untuk mengetahui jenis kelamin bayi dalam kandungan. Namun, dari perilakukannya yang disadari sendiri oleh SS sehari-hari menunjukkan adanya kesamaan ciri dengan kehamilan anak-anak sebelumnya. Ternyata hal ini juga disadari oleh suaminya MM dan diungkapkan kepada SS bahwa anak

Dokumen terkait