• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

B. HASIL PENELITIAN

4. Struktur Dasar Keseluruhan

a. Data Demografi Ketiga Pasangan

Dari ketiga pasang informan penelitian, peneliti menemukan beberapa data demografi yang sama antara pasangan TS dan ST dan pasangan MM dan SS. Pasangan TS dan ST dan Pasangan MM dan SS memiliki usia pernikahan lebih dari 30 tahun. Dari kedua pasangan ini, pihak suami sama-sama telah pensiun. Selain itu, memiliki agama yang sama yaitu Katolik. Pihak suami dari dua pasangan ini merupakan lulusan STM. Sedangkan, usia pernikahan pasangan PT dan TN yaitu 20 tahun. Pasangan PT dan TN beragama Kristen. Pihak suami pasangan PT dan TN masih bekerja sebagai wirausahawan.

Pihak istri dari masing-masing pasangan memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang berbeda. Latar belakang pendidikan pihak istri dari pasangan TS dan ST yaitu lulusan sarjana S1 dan bekerja sebagai seorang guru. Pihak istri dari pasangan MM dan SS berlatar belakang pendidikan yaitu lulusan SMA. Sedangkan latar belakang pendidikan pihak istri pasangan PT dan TN yaitu lulusan SD dan bekerja sebagai seorang pedagang.

Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti selama wawancara berlangusung, peneliti menemukan perbedaan respon terhadap pertanyaan yang diajukan diantara ketiga pasang informan. Ketiga pasang informan tampak bersemangat saat menjawab pertanyaan terkait dengan pemahaman nilai-nilai 3H (hagabeon, hamoraon dan hasangapon). Di sisi lain, saat diajukan pertanyaan terkait anak laki-laki, ada perubahan yang terjadi diantara ketiga pasang informan. Ketiga pasang informan menjadi lebih serius tampak dari nada bicara dan sikap saat menjawab pertanyaan. Selain itu, ada perubahan emosi seperti mata berkaca-kaca, menangis dan ada jeda saat menjawab pertanyaan. Pada informan SS yang merupakan pasangan dari MM, terlihat ada keputusasaan yang terlihat dari nada bicara yang merendah, sesekali menghela nafas dan sesekali ada jeda saat menjawab pertanyaan. Berbeda dengan informan yang lain, informan MM tampak biasa saja saat menjawab pertanyaan mengenai anak laki-laki. Ditemukan bahwa pihak istri dari setiap pasangan lebih emosional terhadap pertanyaan terkait anak laki-laki.

b. Pemahaman 3H Ketiga Pasangan

Ketiga pasang informan penelitian memiliki pemahaman yang sama terkait nilai hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Nilai hagabeon menurut ketiga pasang informan yaitu nilai yang terkait

dengan memiliki keturunan lengkap yakni anak laki-laki dan perempuan. Nilai ini dapat tercapai atas pemberian dari Tuhan. Nilai hamoraon menurut ketiga pasang informan yaitu nilai yang terkait dengan kekayaan-harta benda seseorang dan dapat dicapai dengan bekerja keras. Sedangkan, nilai hasangapon yaitu nilai yang terkait dengan kehormatan/harga diri dan jabatan seseorang.

Dari tiga pasang informan ditemukan ada empat jawaban yang berbeda untuk mencapai nilai hasangapon. Menurut informan ST dan PT, nilai hasangapon tercapai dengan perekonomian yang baik dan memiliki keturunan yang lengkap. Menurut TS dan SS nilai ini tercapai melalui pangkat/jabatan yang dimiliki seperti dalam pekerjaan. Nilai hasangapon menurut MM tercapai dengan menghormati dan menghargai orang terlebih dahulu. Sedangkan, menurut TN nilai ini tercapai dengan mendidik anak menjadi anak yang beriman dan berpendidikan, anak menghormati orang tua dan berkelakuan baik sehingga orang tua bangga.

Terkait dengan 3H, ada informasi lain dari informan secara pribadi. Menurut TS dan pasangan MM dan SS nilai 3H merupakan filosofi hidup dan dicari oleh orang suku Batak Toba dalam hidup. Menurut PT orang suku Batak Toba yang memiliki ketiga nilai ini dianggap sempurna. Namun, ada pandangan lain menurut TS dan SS bahwa tidak semua orang dapat mencapai ketiga nilai 3H ini.

c. Arti dan Peranan Anak Menurut Ketiga Pasangan

Bagi ketiga pasang informan kecuali informan TN, makna anakhon hi do hamoroan di au yaitu anak merupakan hal yang terpenting bagi orang tua. Orang tua akan melakukan apapun demi anaknya. Sedangkan, TN memaknai ungkapan anakhon hi do hamoroan di au yakni anak yang berhasil dan sukses akan membuat orang tua menjadi bangga dan senang.

Ketiga pasang informan memiliki persamaan terhadap peranan anak laki-laki dalam adat budaya suku Batak Toba yaitu sebagai penerus keturunan (marga). Ada tambahan lain dari para informan yang berbeda terkait peranan anak laki-laki seperti pasangan MM dan SS serta informan TS menambahkan bahwa anak laki-laki sebagai penerus harta kekayaan. Menurut PT dan TN juga menambahkan bahwa peranan anak laki-laki ialah bertanggungjawab terhadap keluarga orang tuanya karena bermarga sama dan memiliki tanggungjawab tertentu dalam adat. TS menambahkan bahwa anak laki-laki memberikan hak tertentu bagi orang tuanya dalam adat. Sedangkan, anak perempuan tidak bisa meneruskan keturunan. Menurut PT, anak secara umum berperan menciptakan hubungan sosial dengan pihak keluarga lain secara budaya Batak Toba (Dalihan Na Tolu), menjaga nama baik orang tua/keluarga dan membanggakan orang tua.

Tambahan dari TS yakni anak berarti keturunan. Namun, dalam suku Batak Toba ada perbedaan penyebutan untuk anak berdasarkan jenis kelaminnya. Anak yang berjenis kelamin laki-laki disebut anak. Sedangkan, anak yang berjenis kelamin perempuan disebut boru.

Pasangan TS dan ST serta informan MM tidak setuju atas cara pandang orang suku Batak Toba yang membedakan anak laki-laki dan perempuan. Menurut pasangan TS dan ST, anak perempuan kurang dianggap dalam keluarga karena cara pandang ini. Cara pandang informan MM juga berbeda dengan orang suku Batak Toba pada umumnya. MM tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan.

d. Proses Penerimaan Diri Ketiga Pasangan (TS dan ST, MM dan SS, PT dan TN)

Pada penelitian ini, fokus yang menjadi utama adalah memahami bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki. Hasil dari penelitian yang peneliti temukan menunjukkan bahwa ketiga pasang informan melalui proses menuju penerimaan diri yang berbeda-beda. Secara individu, para informan juga melalui proses yang berbeda-beda. Secara keseluruhan, para pasangan belum mencapai tahap penerimaan kecuali informan MM.

Informan pasangan TS dan ST melalui tahap yang berbeda. Sebelum kelahiran anak bungsu (keenam), informan TS melalui tahap anger sejak anak kedua kemudian saat kelahiran anak bungsu tahap denial dibarengi rasa bersalah. Setelah kelahiran anak bungsu TS mengalami tahap depression tetapi ada usaha menghibur diri. Meskipun ada usaha menghibur diri, TS kembali ke tahap depression dan dibarengi dengan adanya koping terhadap nilai religious sebagai usaha menghibur diri. TS kembali regresif ke tahap anger dibarengi lagi dengan usaha menghibur diri. Sementara itu, pasangannya ST sebelum kelahiran anak bungsu (keenam) ada rasa cemburu hingga menjelang kelahiran anak keenam/bungsu melalui tahap anger berupa kemarahan, keluhan, terkejut dan rasa gusar. Saat kelahiran anak bungsu, meskipun kurang bahagia tetapi tetap mau bersyukur. Meskipun bersyukur, tahap anger muncul lagi kemudian berganti menjadi tahap depression dan dibarengi dengan usaha mengibur diri hingga saat ini.

Sementara itu, informan pasangan MM dan SS juga melalui tahap yang berbeda. Informan MM dalam mencapai tahap acceptance melalui usaha menghibur dirinya dan bargaining, kemudian berganti menjadi tahap bargaining dan memiliki harapan baru untuk memiliki anak laki-laki hingga sebelum saat kelahiran anak bungsu (ketujuh). Saat kelahiran anak ketujuh (bungsu), ada koping yang digunakan oleh MM hingga MM berusaha menghibur

dirinya yang dibarengi dengan penerimaan. Berbeda dengan MM, pasangannya SS saat anak kedua melalui tahap anger. Kemudian saat hamil anak ketiga SS masuk ke dalam tahap bargaining dan saat kelahiran anak ketiga regresif ke tahap anger. Menjelang kelahiran anak bungsu (ketujuh) beralih ke tahap depression. Saat kelahiran anak bungsu (ketujuh), SS menggunakan koping untuk mengatasi kendala karena keadaannya yaitu nilai religius, tetapi kemudian kembali ke tahap depression. Setelah kelahiran anak bungsu SS masih mengalami tahap depression tetapi berupaya menghibur dirinya sampai sekarang.

Pasangan PT dan TN juga berbeda, PT melalui tahap anger disusul bargaining saat anak ketiga, kemudian pada saat kelahiran anak bungsu (kelahiran keenam) melalui tahap depression yang dibarengi dengan usaha menghibur diri. Kemudian tahap anger dibarengi dengan perasaan tertekan hingga kembali terulang mengalami tahap depression. Ada koping yang digunakan untuk mengatasi keadaan. Sedangkan, pasangan PT yaitu TN melalui tahap anger saat kelahiran anak bungsu tetapi dibarengi rasa syukur atas kelahiran. Setelah kelahiran anak bungsu, berganti ke tahap depression kemudian regresif ke tahap anger dibarengi depression sampai sekarang.

Dari ketiga pasang informan, peneliti menemukan bahwa yang melatarbelakangi semuanya ingin memiliki anak laki-laki yaitu

terkait adat budaya suku Batak Toba, penerus keturunan keluarga. Namun, ada faktor lain yang turut melatarbelakangi setiap informan ingin memiliki anak laki-laki. Seperti pasangan TS dan ST, selain sebagai penerus keturunan, anak laki-laki sebagai penerus harta warisan dan cara mendapat ulos pansamot dalam adat. Selain alasan utama tersebut, informan TN sendiri ingin memiliki keturunan yang lengkap yaitu anak perempuan dan laki-laki terlepas dari adat budaya suku Batak Toba. Berbeda dengan informan SS, ada ketakutan akan diceraikan oleh ibu mertuanya dan informan PT terkait dengan tekanan adat budaya suku Batak Toba (situasional). Temuan lainnya yaitu pihak suami lebih banyak porsinya dalam memberikan dukungan terhadap pasangan mereka masing-masing dalam menghadapi keadaan tidak memiliki anak laki-laki.

Dari hasil ketiga pasang informan penelitian, peneliti juga menemukan bahwa ketiga pasang informan sama-sama tidak diawali tahap denial dan isolation seperti yang ada dalam tahap penerimaan diri Kulber-Ross (1998). Peneliti juga menemukan bahwa tahap-tahap yang terjadi pada setiap pasangan bersifat fleksibel. Hal ini terlihat dari tahapan yang dilalui dapat melompat-lompat (tidak berurutan), tidak semua tahapan dilalui, terjadi bersamaan dengan tahap yang lain dan tahapan dapat berubah yaitu bersifat progresif dan regresif. Hal ini terlihat pada informan pasangan TS dan ST dan pasangan PT dan TN. Selain itu, selama wawancara berlangsung dari

ketiga pasang informan, para istri merupakan pihak yang lebih emosional terutama saat pertanyaan terkait anak laki-laki.

Secara khusus, informan MM yang merupakan pasangan dari SS telah mencapai tahap acceptance atau penerimaan diri atas keadaannya yang tidak memiliki anak laki-laki. Dalam diri MM sudah ada penerimaan juga sudah tidak ada lagi ketakutan, keputusasaan dan kemarahan. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1981) bahwa penerimaan diri adalah toleransi seseorang terhadap peristiwa frustasi maupun menjengkelkan serta pengakuan terhadap kekuatan yang dimiliki. Dampak dari penerimaan diri (Hurlock, 1974) informan MM yaitu memiliki penyesuaian diri seperti dapat mengevaluasi diri dan memiliki keyakinan diri serta penyesuaian sosial seperti merasa aman memberi perhatian terhadap orang lain dan penyesuaian sosial yang baik.

Meskipun secara keseluruhan belum mencapai tahap acceptance kecuali informan MM, ada faktor-faktor yang mendukung ketiga pasang informan dalam proses menuju penerimaan yaitu faktor eksternal (pasangan, lingkungan, ajaran agama) dan internal (nilai religius dan rasa syukur, diri). Faktor internal yaitu nilai religius dan rasa syukur, diri. Dari ketiga pasang, faktor yang mempengaruhi atau pendukung menuju proses penerimaan diri ialah nilai religius dan rasa syukur. Nilai religius dan rasa syukur membantu ketiga pasang informan untuk mengatasi

kendala yang dialami dan rasakan seperti emosi-emosi negatif. Seperti pasangan TS dan ST yang mensyukuri dan berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi ialah kehendak Tuhan. Faktor internal yang berkaitan dengan diri yaitu keyakinan/prinsip yang dimiliki dalam hidup. Faktor lainnya yang hanya ada pada setiap informan yaitu faktor usia yang semakin tua seperti pada informan TS, pengalihan objek harapan kepada menantu laki-laki terjadi pada SS. Kesuksesan yang pernah dicapai yaitu memiliki anak perempuan juga jadi faktor pendukung pada informan TS dan SS.

Faktor eksternal yang peneliti temukan pada ketiga pasang informan yaitu pasangan, lingkungan dan ajaran agama juga menjadi faktor pendukung bagi ketiga informan dalam proses menuju penerimaan. Faktor yang penting ialah dukungan sosial dari pasangan. Dukungan dari pasangan dalam hal ini ialah berupa ajakan untuk menerima keadaan dan berbagai bentuk perhatian. Para informan merasa mendapatkan dukungan dari pasangan masing-masing namun, hal ini tidak tampak pada informan PT. Selain itu, tidak ada hambatan yang dirasa dari lingkungan sesama orang orang suku Batak Toba. Fakta nyata bahwa anak laki-laki tidak selalu baik dan menyusahkan juga jadi faktor pendukung bagi kedua pasangan yaitu pasangan TS dan ST dan pasangan MM dan SS dalam proses menuju penerimaan. Kehadiran cucu laki-laki di rumah menjadi faktor lain bagi pasangan TS dan ST. Sedangkan, faktor lain yang

ada pada pasangan MM dan SS ialah kebanggaan memiliki anak-anak perempuan yang berkelakuan baik. Peneliti juga menemukan keunikan pada informan MM yaitu adanya lingkungan sosial (mesosistem) yang baik semasa muda antara pengalaman dalam keluarga dan lingkungan sekolah. Ajaran agama tidak mengharuskan memiliki anak laki-laki juga turut mempengaruhi informan SS.

Di sisi lain, faktor yang menghambat datang dari pihak keluarga ketiga pasang informan. Pihak keluarga ketiga pasang informan tidak siap akan keadaan mereka yang tidak memiliki anak laki-laki sehingga membuat mereka secara tidak langsung (tersirat) kurang menerima. Kondisi ini akhirnya membuat pihak keluarga secara tidak langsung menyarankan khususnya pihak suami untuk menikah lagi dan atau mengadopsi anak laki-laki. Namun, saran-saran tersebut tidak ditanggapi oleh ketiga pasangan informan khususnya para suami.

Dokumen terkait