• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerimaan diri pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerimaan diri pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki."

Copied!
353
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN DIRI PASANGAN SUKU BATAK TOBA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK LAKI-LAKI

Vivid Anna

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki, 2) proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing terhadap pasangannya dan 3) faktor-faktor yang mempengaruhi. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi-terstruktur dan observasi kepada 3 pasang informan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga pasang informan belum mencapai tahap penerimaan diri (acceptance) kecuali informan MM. Tetapi, secara umum, ada usaha dari para informan untuk mengurangi dan mengatasi kendala yang dialami yaitu dengan

emotion-focused coping. Koping yang dilakukan oleh ketiga pasang informan jadi faktor

pendukung proses menuju penerimaan dalam beragam bentuk. Faktor pendukung ada dua yaitu faktor eksternal (dukungan sosial dari pasangan, tidak ada kendala dari lingkungan suku Batak Toba dan ajaran agama) dan internal (nilai religius dan rasa syukur, diri). Faktor penghambat berasal dari pihak keluarga yang tidak siap menerima keadaan sehingga menyarankan untuk menikah lagi dan/atau mengadopsi anak laki-laki tetapi ditolak pihak suami karena nilai agama yang dianut dan memegang janji pernikahan.

(2)

SELF-ACCEPTANCE OF BATAK TOBA’S COUPLES WHO DO NOT HAVE SON

Vivid Anna

ABSTRACT

This research aimed to 1) understand self-acceptance of each individual couples of Batak Toba who do not have son, 2) the process of interplay of self-acceptance respectively to the spouse and 3) the factors which influence their self-acceptance. The research question is how Batak Toba

ethnic group’s couples who do not have son tried to accept their circumstance without a son in

their family. The type of this research used qualitative research method with descriptive phenomenology analysis. Data were collected by doing semi structured interview and observation as methods to the three couples. The results show that the three couples of informants have not reached the stage of self-acceptance except informant MM. But, in general, there were efforts from the informants to reduce and overcome the constraints experienced with emotional-focused coping. The coping that performed by the three of couples is as a supporting factor to the process of self-acceptance in various forms. There are two supporting factors namely external (social support from the spouse, there are no constraints surroundings on Batak Toba ethnic group and dogma) and internal (religious values and gratitude, self). Inhibiting factor came from the families who are not ready to accept the situation so that prompt to remarry and/or adopt a son but was rejected by the husbands because of the religion professed values and holds the promise of marriage.

(3)

i

PENERIMAAN DIRI PASANGAN SUKU BATAK TOBA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK LAKI-LAKI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Vivid Anna

109114099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANAT DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang

engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.

(Yesaya 41:10)

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.

(Pengkhotbah 3:11)

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh.

(Confucius)

Problems are like washing machines. They twist, they spin and knock us around, but in the end we come out cleaner, brighter and better than before.

(Unknown)

We met for a reason, either you’re a blessing or a lesson.

(Frank Ocean)

(7)
(8)

vi

PENERIMAAN DIRI PASANGAN SUKU BATAK TOBA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK LAKI-LAKI

Vivid Anna

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki, 2) proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing terhadap pasangannya dan 3) faktor-faktor yang mempengaruhi. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi-terstruktur dan observasi kepada 3 pasang informan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga pasang informan belum mencapai tahap penerimaan diri (acceptance) kecuali informan MM. Tetapi, secara umum, ada usaha dari para informan untuk mengurangi dan mengatasi kendala yang dialami yaitu dengan

emotion-focused coping. Koping yang dilakukan oleh ketiga pasang informan jadi faktor

pendukung proses menuju penerimaan dalam beragam bentuk. Faktor pendukung ada dua yaitu faktor eksternal (dukungan sosial dari pasangan, tidak ada kendala dari lingkungan suku Batak Toba dan ajaran agama) dan internal (nilai religius dan rasa syukur, diri). Faktor penghambat berasal dari pihak keluarga yang tidak siap menerima keadaan sehingga menyarankan untuk menikah lagi dan/atau mengadopsi anak laki-laki tetapi ditolak pihak suami karena nilai agama yang dianut dan memegang janji pernikahan.

(9)

vii

SELF-ACCEPTANCE OF BATAK TOBA’S COUPLES WHO DO NOT HAVE SON

Vivid Anna

ABSTRACT

This research aimed to 1) understand self-acceptance of each individual couples of Batak Toba who do not have son, 2) the process of interplay of self-acceptance respectively to the spouse and 3) the factors which influence their self-acceptance. The research question is how Batak Toba ethnic group’s couples who do not have son tried to accept their circumstance without a son in their family. The type of this research used qualitative research method with descriptive phenomenology analysis. Data were collected by doing semi structured interview and observation as methods to the three couples. The results show that the three couples of informants have not reached the stage of self-acceptance except informant MM. But, in general, there were efforts from the informants to reduce and overcome the constraints experienced with emotional-focused coping. The coping that performed by the three of couples is as a supporting factor to the process of self-acceptance in various forms. There are two supporting factors namely external (social support from the spouse, there are no constraints surroundings on Batak Toba ethnic group and dogma) and internal (religious values and gratitude, self). Inhibiting factor came from the families who are not ready to accept the situation so that prompt to remarry and/or adopt a son but was rejected by the husbands because of the religion professed values and holds the promise of marriage.

(10)
(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan, atas berkat dan kasih-Nya yang luar biasa tak pernah berkesudahan di setiap nafas saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyelesaian skripsi ini membuat saya sebagai peneliti mengalami berbagai pengalaman suka dan duka serta pelajaran yang berharga hingga membuat saya semakin berkembang. Pengalaman yang memberitahu dan mengajarkan khususnya tentang diri saya yang selama ini saya tidak tahu dan pendam menjadi pribadi yang lebih dewasa.

Saya sebagai peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak baik secara moral ataupun material yang begitu berharga dari orang-orang terkasih peneliti. Selain dalam proses penyelesaian skripsi juga proses selama berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada:

1. Dosen pembimbing skripsi Ibu Dr. Tjipto Susana, M. Si. yang telah dengan sabar membimbing, berdiskusi, memberikan pencerahan dengan saran dan pendapat yang sangat bermanfaat bagi saya. Selain sebagai DPS, dari beliau saya belajar banyak khususnya mengenai diri saya yang selama ini tidak saya sadari. Terima kasih banyak ibu .

(12)

x

sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya dan lebih mengetahui kebudayaan suku Batak Toba.

3. Seluruh anggota keluarga, Bapak dan Mama yang tak pernah lelah memberikan dukungan moral-material dan doa yang senantiasa menguatkan di berbagai situasi yang saya hadapi, serta saudara-saudara Bang Peri, Bang Win, dan Dek Chiles yang selalu memotivasi dengan moral-material dan bertanya mengenai kendala yang dihadapi terkait pengerjaan skripsi ini khususnya.

4. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang juga dosen Pembimbing Akademik, Bapak Dr. Priyo Widiyanto, M. Si. yang selama ini tak henti mengingatkan dan menasihati dengan kasih agar dapat menyelesaikan program pendidikan saya dengan baik dan lancar.

5. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pembelajaran baik akademik maupun kehidupan yang berharga bagi saya. Terima kasih juga atas senyum, canda tawa, sapa serta nasihat yang selalu menyertai langkah perjalanan saya selama berkuliah di Fakultas Psikologi.

6. Para sahabat terkasih Meaningful TKSD, Mb Ester, Ika, Tante Rinta, Christy, Filinia, dan Rachel. Terima kasih atas cerita kehidupan suka duka yang mewarnai perjalanan hidup kita sejak pertama kali kenal, selama perkuliahan ini, saat ini dan hingga nanti. Semua yang kita lalui memberikan pembelajaran hidup jadi pribadi yang lebih matang. Kalian sungguh luar

(13)

xi

7. Terima kasih juga atas segala cerita kehidupan Dien, Vica, Anggi, Rieke . 8. Iwel-chan teman SMA yang selalu menyemangati penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi, makaseh ye iwel. Tika-chan juga teman SMA yang selalu menjadi motivasi penulis untuk berani bermimpi besar dan menghadapi tantangan dalam menggapai mimpi tersebut, danke mein Freund. Mb Yoke dengan kata-katanya yang memotivasi penulis agar tidak mudah menyerah pada tantangan yang ada di dalam hidup, ฀฀฀฀฀.

9. Terima kasih untuk semua teman-teman satu bimbingan yang saling menyemangati dan mendukung satu sama lain agar segera menyelesaikan skripsi masing-masing.

10. Terima kasih untuk semua teman-teman seangkatan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 2010 atas semua kesempatan yang terjalin dalam dinamika perkuliahan.

11. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas doa, kasih sayang, perhatian dan dukungan selama ini. Terima kasih telah mewarnai sepenggal dari perjalanan kehidupan saya di dunia ini. God bless!

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi yang dibuat masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti bersedia membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya ini.

(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ...vi

ABSTRACT ...vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...viii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR TABEL ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ...12

C. TUJUAN PENELITIAN ...12

D. MANFAAT PENELITIAN ...13

1. Manfaat Praktis ...13

(15)

xiii BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. PENERIMAAN DIRI ...14

1. Pengertian Penerimaan Diri ...14

2. Aspek-aspek Penerimaan Diri ...16

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ...17

4. Dampak Penerimaan Diri ...21

5. Proses/Tahap-tahap Penerimaan Diri ...22

B. SUKU BATAK TOBA ...25

1. Suku Batak Toba ...25

2. Nilai-nilai Kehidupan Suku Batak Toba ...26

3. Garis Keturunan Suku Batak Toba ...28

4. Pewarisan Nilai-nilai Kebudayaan Suku Batak Toba ... 33

D. KERANGKA PENELITIAN ...39

E. PERTANYAAN PENELITIAN ...42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN ...43

B. FOKUS PENELITIAN ...43

C. INFORMAN PENELITIAN ...44

D. METODE PENGAMBILAN DATA ...45

E. PROSEDUR ANALISIS DATA ...48

F. REFLEKSIVITAS PENELITI ...49

(16)

xiv BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN PENELITIAN ...51

B. HASIL PENELITIAN ...52

1. Pasangan TS dan ST ...53

a. Profil dan Observasi Informan TS ...53

b. Profil dan Observasi Informan ST ...55

c. Struktur Dasar Pengalaman Pasangan TS dan ST ...57

d. Proses Penerimaan Diri Pasangan TS dan ST Yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki ...96

2. Pasangan MM dan SS ...102

a. Profil dan Observasi Informan MM ...102

b. Profil dan Observasi Informan SS ...104

c. Struktur Dasar Pengalaman Pasangan MM dan SS ...106

d. Proses Penerimaan Diri Pasangan MM dan SS Yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki ...133

3. Pasangan PT dan TN ...138

a. Profil dan Observasi Informan PT ...138

b. Profil dan Observasi Informan TN ...140

c. Struktur Dasar Pengalaman Pasangan PT dan TN ...142

d. Proses Penerimaan Diri Pasangan PT dan TN Yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki ...163

(17)

xv

a. Data Demografi Ketiga Pasangan ...169

b. Pemahaman 3H Ketiga Pasangan ...170

c. Arti dan Peranan Anak Menurut Ketiga Pasangan ...172

d. Proses Penerimaan Diri Ketiga Pasangan (TS dan ST, MM dan SS, PT dan TN) ...173

C. PEMBAHASAN ...179

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ...190

B. KETERBATASAN PENELITIAN ...191

C. SARAN ...191

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ...191

2. Bagi Keluarga dan Masyarakat Suku Batak Toba ...191

DAFTAR PUSTAKA ...193

(18)

xvi

DAFTAR TABEL

TABEL

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara A ... 46

Tabel 2. Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara B ... 46

Tabel 3. Pelaksanaan Wawancara ... 51

Tabel 4. Rangkuman Penerimaan Diri Pasangan TS dan ST ... 91

Tabel 5. Rangkuman Penerimaan Diri Pasangan MM dan SS ... 128

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masyarakat suku Batak, perkawinan adalah satu mata rantai kehidupan yang cara pelaksanaannya melalui hukum-hukum adat yang sudah menjadi darah daging dari dulu sampai sekarang. Tujuan perkawinan pada masyarakat Batak umumnya adalah pertanggung-jawaban dalam naluri biologis atas tanggung-jawab dalam melanjutkan keturunan.

Dalam kebudayaan Batak Toba dijumpai rumusan mengenai tujuan hidup atau nilai-nilai yang utama dalam hidup 3H, yaitu Hagabeon (keturunan dan panjang umur), Hamoraon (kekayaan), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan). Nilai pertama yaitu hagabeon. Harahap dan Siahaan (1987) menjelaskan bahwa hagabeon sama artinya dengan bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan dalam keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup karena keturunan adalah kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat atau dengan kata lain, kekayaan paling berharga bagi orang Batak adalah keturunan, anak-cucu.

(21)

hamoraon di ahu” yang berarti bahwa anak adalah harta yang tertinggi

baginya (Harahap & Siahaan, 1987). Berkaca dari filosofi tersebut, kehadiran anak mempunyai makna yang sangat penting dalam keluarga-keluarga suku Batak Toba. Kehadiran anaklah yang membuat orang tua dipandang hormat di tengah-tengah masyarakat. Meskipun dalam masyarakat Batak Toba tidak mengenal sistem kasta, namun anak secara tidak langsung ikut menopang posisi orang tuanya (“Anak, Harta Bagi Orang Batak,” 2011).

Nilai yang ketiga yaitu Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) berkaitan dengan luasnya hubungan dengan banyak orang (Irianto, 2005). Seseorang bisa mencapai hasangapon dengan terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora).

Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal – menurut garis keturunan ayah. Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan (Vergouwen, 2004). Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki. Dalam peraturan tersebut tidak ada pengecualian dalam suku Batak Toba. Hal ini ditegaskan oleh Siahaan (1964) bahwa seorang yang meninggal tanpa mempunyai putera (walaupun ada puteri) berarti putus mata rantai silsilahnya karena tidak ada yang meneruskan.

(22)

penelitian yang dilakukan oleh Nurelide (2007) mengungkapkan bahwa masyarakat Batak Toba masih menganggap bahwa anak laki-laki memiliki arti yang penting dalam keluarga karena nantinya ia yang akan meneruskan kelangsungan hidup keluarganya. Penelitian yang dilakukan oleh Simbolon dan Siregar (2014) turut mendukung yang menunjukkan bahwa pasangan suku Batak Toba melakukan berbagai upaya untuk memperoleh keturunan laki-laki. Hal tersebut karena berkaitan dengan penerus garis keturunan keluarga. Seperti yang telah diungkapkan bahwa dalam budaya Batak Toba anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan dalam keluarga (marga).

Pada suku Batak Toba, anak laki-laki disebut “tampukni pusu-pusu, ihotni ate-ate, tumtumni siubeon”, yang berarti anak laki-laki itu adalah segalanya

dan sangat berharga (Tambunan, 2007). Selain itu, terdapat ungkapan mengenai anak laki-laki yang mengatakan, “na mate tu anakdo rohan ijolma Batak, Alana anak do mangudut hak tarombo, hak ni arta pusaka dohot

barang dohot mangulahon ngolu di patik dohot uhum di bajolmaon di tano

on” yang berarti, kerinduan orang Batak semata-mata tertuju pada anak

(23)

Banyak pasangan Batak Toba terus berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki meskipun telah lanjut usia dan memiliki anak perempuan yang amat banyak tetapi tidak semua berhasil memperoleh anak laki-laki (Irianto, 2005). Seorang suami suku Batak Toba yang napunu (sebutan untuk tidak memiliki anak laki-laki) tidak jarang mendapat desakan untuk memiliki istri lagi (bigami) atau cara lainnya yaitu dengan menceraikan isteri pertama lalu menikah lagi. Namun, semenjak agama Kristiani masuk ke tanah Batak Toba, hal tersebut tidak dianjurkan untuk dilakukan. Jika hal tersebut dilakukan maka akan mendapatkan sanksi dari gereja.

Penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2007) menunjukkan bahwa budaya yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Kristen ke tanah Batak telah banyak menggeser nilai-nilai budaya tradisional. Namun, ada yang tidak bisa diintervensi oleh ajaran agama Kristen dan tidak tergeserkan sampai saat ini yaitu mengenai pentingnya kehadiran anak laki-laki dalam suatu keluarga karena masih merupakan keharusan dan mutlak dengan alasan sebagai penerus marga dari bapaknya. Hal ini juga sejalan dengan temuan Silalahi (2010) bahwa kehadiran anak laki-laki bagi orang Batak Toba masih sangat berarti, anak laki-laki masih menjadi pemimpin dalam setiap upacara adat Batak Toba dan tanpa kehadiran anak laki-laki acara adat tidak akan bisa berjalan sebagaimana mestinya.

(24)

tidak punya anak laki-laki, tujuan tersebut diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki. Hal yang menarik untuk dicermati adalah meskipun pengangkatan anak sudah disahkan secara adat, agama dan negara, tetapi kaum kerabat masih tidak mengakui anak tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan waris maka orang yang dianggap tidak memiliki anak itu sangat tidak diuntungkan. Ihromi (dalam Irianto, 2005) juga mengungkapkan bahwa meskipun pranata tentang keluarga di kalangan orang Batak Toba mengalami perubahan dalam hal-hal tertentu, tetapi mengenai hal-hal yang mendasar berkaitan dengan tujuan utama dalam hidup itu tidak mengalami perubahan. Dalam suatu kehidupan masyarakat, tidak semua unsur-unsur kebudayaan mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur kebudayaan yang cepat berubah, sebaliknya ada pula unsur kebudayaan yang lambat dan sukar berubah (Poerwanto, 2008).

(25)

persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan memberi pengaruh yang besar dalam bidang hukum adat.

Gultom (dalam Siahaan, 2009) menyebutkan bahwa keluarga suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki akan merasa hidupnya hampa. Keadaan ini disebut napunu. Napunu artinya generasi seseorang sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Siraja Batak, bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi. Pada suku Batak Toba yang napunu, akan merasa tidak berarti dalam hidup karena tidak ada lagi yang

meneruskan marganya. Selain itu, terdapat perasaan tidak lengkap dalam diri sebagai orang Batak karena suku Batak Toba memegang prinsip keturunan patrilineal, yaitu menarik garis keturunan dari anak laki-laki. Pada wawancara yang dilakukan oleh Siahaan (2009) kepada seorang Raja Adat Batak Toba mengungkapkan bahwa orang Batak Toba khususnya bapak yang napunu akan memiliki perasaan tidak berarti, tidak lengkap sebagai orang Batak, sedih dan perasaan kurang puas dalam diri sehingga akan membentuk penilaian terhadap dirinya sendiri.

(26)

napunu yang memiliki harga diri positif memiliki aspek-aspek seperti

perasaan berharga, mampu dan diterima yang menjadikan harga diri positif sedangkan yang memiliki harga diri negatif tidak merasakan ketiga hal tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa walaupun ada bapak yang tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuan saja namun tetap memiliki harga diri yang positif.

Dalam bukunya, Vergouwen (2004) menjelaskan seorang wanita Batak yang mengawini seorang laki-laki dan melahirkan anak-anak untuknya maka seorang perempuan telah menunaikan tugas alaminya. Dia telah memberikan kepada lelaki apa yang diinginkannya, dia telah membantu suaminya dalam membangun rumah tangga, dan karenanya ia tidak boleh diceraikan begitu saja oleh suaminya. Meski begitu, seorang suami suku Batak Toba yang napunu tidak jarang mendapat desakan untuk memiliki istri lagi (bigami).

(27)

hukum gereja disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama kedudukannya (Tambunan, 2007).

Pada penelitian sebelumnya terkait napunu difokuskan pada subjek bapak saja. Namun dalam penelitian ini peneliti ingin melihat dari sisi keduanya yaitu suami dan istri sebagai pasangan. Permasalahan tersebut bukan hanya menyangkut pria tetapi wanita sebagai istri yang juga melahirkan anak harus menerima kenyataan bahwa perkawinan mereka tidak dianugerahi keturunan laki-laki hanya keturunan perempuan saja. Berlatar belakang kondisi kehidupan perkawinan, psikologis dan agama tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai penerimaan diri pada masing-masing individu dan pengaruhnya pada pasangan. Oleh karena itu, penerimaan diri ini penting bagi pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki.

Penerimaan diri merupakan salah satu ciri dari kepribadian yang matang (Allport, dalam Hjelle & Ziegler, 1981). Menurut Supratiknya (1995) menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Maslow (dalam Schultz, 1991) mengemukakan bahwa pribadi yang sehat ialah seorang yang mampu menerima diri, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan.

(28)

berjalan seperti yang direncanakan atau ketika mereka mengalami “hari buruk”. Mereka juga senantiasa tidak merasa terluka karena sadar bahwa rasa frustasi dan tidak nyaman adalah bagian dari hidup itu sendiri. Seseorang yang memiliki penerimaan diri mempunyai keyakinan diri (self-confidence) dan harga diri (self-esteem). Hal tersebut menjadikan seseorang lebih mampu menerima kritik daripada seseorang yang kurang menerima diri (Hurlock, 1974).

Hurlock (1974) mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menyukai dan menerima keadaan dirinya, yaitu pemahaman diri, harapan yang realistis, tidak adanya hambatan-hambatan dari lingkungan, sikap sosial yang mendukung, tidak adanya stres tekanan emosional, kesuksesan yang pernah dicapai, identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri baik, pola pengasuhan di masa kecil yang baik dan konsep diri yang stabil.

(29)

diri yang tinggi dengan memiliki pengetahuan tentang fisik diri, pemahaman yang realistis tentang kemampuan diri dan kepuasan terhadap dirinya. Namun, pada penelitian ini terdapat kelemahan yaitu menggunakan skala yang hanya terbatas pada tingkat penerimaan diri. Selain itu, penelitian ini belum menggali faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri dan bagaimana proses penerimaan diri tersebut terjadi pada diri subjek.

Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2012) terkait dengan penerimaan diri individu yang mengalami prekognisi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kasus dengan metode wawancara, observasi dan unobstrusive berupa data tertulis subjek. Subjek pada penelitian ini yaitu seorang wanita berusia 23 tahun. Hasil dari penelitian ini adalah subjek memiliki penerimaan diri yang baik, merasa senang dan terbantu dengan kondisinya sehingga tindakannya terarah. Faktor yang berperan dominan dalam penerimaan diri individu yang mengalami prekognisi yaitu ibu yang juga mengalami kondisi serupa dengan subjek. Penelitian ini memiliki kelemahan yaitu jumlah subjek penelitian yang hanya satu dan kurang memaparkan proses penerimaan diri.

(30)

subjek lainnya tidak mampu menerima kondisi fisik yang berbeda dengan keinginan jiwanya.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya seperti tingkat penerimaan diri dan gambaran penerimaan diri memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah faktor-faktor dan proses penerimaan diri yang tidak dijelaskan hanya tingkat penerimaan diri saja, jumlah subjek penelitian prekognisi yang hanya satu dan kurang pemaparan mengenai proses penerimaan diri. Perbedaan permasalahan psikologis yang dialami oleh subjek yang mengalami prekognisi dan kaum waria tidak dapat digeneralisasikan pada subjek orang suku Batak Toba yang napunu yaitu perasaan tidak berarti, sedih dan perasaan kurang puas dalam diri. Sedangkan subjek prekognisi dan kaum waria menghadapi permasalahan psikologis seperti dipandang rendah dan dikucilkan oleh lingkungan serta adanya usaha menutup diri.

(31)

yang sama berharganya dengan anak laki-laki dari segi agama. Penelitian ini perlu dilakukan karena penelitian yang mengungkap penerimaan diri lebih banyak pada kaum transgender dan penderita penyakit tertentu. Penelitian mengenai napunu pada suku Batak Toba masih sangat jarang diteliti. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap rumusan masalah dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Mengacu dari paparan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah ialah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki.

2. Mengetahui bagaimana proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing individu terhadap pasangannya.

(32)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi kepribadian dan psikologi sosial mengenai penerimaan diri pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dalam proses menerima diri, pengaruh pasangan terhadap proses penerimaan diri masing-masing individu dan masukan bagi pasangan agar realistis dalam menghadapi kenyataan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bagi lingkungan terkhusus keluarga dapat memberikan interaksi yang positif kepada pasangan suku Batak

(33)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan salah satu ciri lain dari kepribadian yang matang (Allport, dalam Hjelle & Ziegler, 1981). Hurlock (1981) mengemukakan penerimaan diri adalah toleransi seseorang terhadap peristiwa frustasi maupun menjengkelkan serta pengakuan terhadap kekuatan yang dimiliki. Hal ini juga ditegaskan oleh Supratiknya (1995) yang mengungkapkan bahwa menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Hal tersebut berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain.

(34)

Hurlock (1973) mengungkapkan bahwa dengan sikap menerima diri, seseorang “menyukai” dirinya dan merasa bahwa orang lain juga menemukan hal menyenangkan yang berkualitas di dalam dirinya. Penerimaan diri akan meningkatkan penilaian diri, dapat mengkritik dirinya sendiri dan bertanggung jawab terhadap pilihannya, tidak menyalahkan ataupun mencela orang lain karena keadaan dirinya. Adanya penerimaan diri tersebut akan meningkatkan tolerasi terhadap orang lain dan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya (Wiley; dalam Josephine dan Srisuini, 1998). Selain itu, individu melihat manusia, dunia dan dirinya seperti apa adanya.

(35)

Menurut Ryff (dalam Wibowo, 2012), penerimaan diri merupakan keadaan dimana seseorang memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Ryff juga menjelaskan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang rendah, apabila ia merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa dengan kehidupan yang telah dijalaninya, mengalami kesulitan dengan sejumlah kualitas pribadinya dan ingin menjadi individu yang berbeda dari dirinya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah persepsi yang dimiliki oleh seseorang terkait kemampuannya dalam menerima dan memahami diri sendiri atas segala kelebihan dan keterbatasan yang dimilikinya serta kesediaan untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya tanpa merasa terganggu.

2. Aspek-aspek Penerimaan Diri

Penerimaan diri memiliki beberapa aspek. Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengemukakan beberapa aspek dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:

a. Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani hidup. b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sama atau

(36)

c. Menyadari dan tidak malu atau takut dicela oleh orang lain atas keadaannya.

d. Memiliki dan mengikuti prinsip/keyakinan hidupnya sendiri. e. Bertanggung jawab terhadap perbuatannya.

f. Menerima pujian atau celaan secara obyektif.

g. Tidak menyalahkan atau menghukum diri sendiri atas keterbatasan yang dimiliki ataupun mengingkari kelebihan yang dimiliki.

h. Tidak menyangkal impuls dan emosi atau merasa bersalah atas hal-hal tersebut yang ada dalam dirinya.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Hurlock (1974) menjelaskan bahwa ada beberapa kondisi yang menentukan seseorang dapat menyukai dan menerima dirinya sendiri. Faktor-faktor tersebut diantaranya, yaitu:

a. Pemahaman diri

(37)

dan gambaran yang diterima melalui kontak sosial, yang membentuk dasar konsep dirinya.

b. Harapan-harapan yang realistis

Harapan muncul jika seorang individu mampu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuan yang dimiliki, bukan harapan yang diarahkan oleh orang lain. Hal tersebut menjadi realistis bila individu memahami keterbatasan dan kekuatannya dalam mencapai tujuan. Individu yang semakin realistis terhadap harapan dan tujuannya akan semakin memiliki kesempatan untuk mencapai harapan dan tujuannya.

c. Tidak adanya hambatan dari lingkungan

Ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuan dan harapan yang realistis dapat berasal dari lingkungan yang tidak mendukung, misalnya ras, jenis kelamin, maupun agama. Ketika hal tersebut terjadi, individu yang mengetahui potensinya akan sulit untuk menerima diri. Namun, ketika lingkungan mendorong individu untuk mencapai kesuksesan, maka ia akan merasa puas dengan pencapaiannya yang membuktikan bahwa harapannya adalah sesuatu yang realistis.

d. Tingkah laku sosial yang mendukung

(38)

penerimaan yang baik dari orang-orang disekitarnya. Hal tersebutlah yang membantu seseorang juga akan menerima dirinya sendiri.

e. Tidak adanya tekanan emosi yang berat

Individu yang tidak mengalami tekanan emosi yang berat akan dapat bekerja atau melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. Tidak adanya tekanan emosi yang berat akan membuat individu mampu rileks, bahagia daripada marah, tidak kecewa dan merasa frustasi. Kondisi ini berkontribusi sebagai dasar sebuah evaluasi dan penerimaan diri yang baik.

f. Kesuksesan yang pernah dicapai

Kegagalan yang sering didapatkan oleh individu dapat mengakibatkan penolakan terhadap dirinya sendiri, sedangkan individu yang sering berhasil atau mencapai kesuksesan dapat menimbulkan penerimaan diri.

g. Identifikasi bagi orang yang mempunyai penyesuaian diri baik

Seseorang yang mengidentifikasikan diri dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik (well-adjusted) akan mengembangkan atau membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku baik. Hal ini dapat menimbulkan penilaian dan penerimaan diri yang baik.

h. Perspektif diri

(39)

dengan seseorang yang memiliki perspektif diri cenderung sempit dan terdistorsi. Perspektif diri yang baik dapat mendukung penerimaan diri.

i. Pola pengasuhan di masa kecil

Pengasuhan demokratis mengarahkan pada pola kepribadian yang sehat. Seseorang yang diasuh dengan pola ini cenderung berkembang menjadi orang yang dapat menghargai diri sendiri dan bertanggung jawab mengendalikan perilakunya yang dilandasi oleh peraturan dan regulasi yang telah dibuat.

j. Konsep diri yang stabil

(40)

4. Dampak Penerimaan Diri

Hurlock (1974) menjelaskan bahwa seseorang yang semakin baik dalam menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuaian diri dan sosialnya. Dampak dari penerimaan diri tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Dampak dalam penyesuaian diri

Orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu mengenali kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Biasanya ia memiliki keyakinan diri (self-confidence) dan harga diri (self-esteem). Selain itu, ia juga lebih dapat menerima kritikan dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima diri. Orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistis dengan penilaian diri yang kritis (critical self-appraisals). Selain itu, seseorang juga akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Hal penting lainnya adalah individu merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.

b. Dampak dalam penyesuaian sosial

(41)

merasa tidak adekuat sehingga mereka akan cenderung untuk bersikap inferior atas dirinya sendiri. Selain itu, seseorang yang menerima dirinya memiliki toleransi kepada orang lain terkait kekurangan dan kelemahan yang ada. Secara umum, semakin seseorang dapat menerima dirinya, maka ia akan lebih mudah diterima oleh orang lain di lingkungannya.

5. Proses/Tahap-tahap Penerimaan Diri

(42)

Alasan lainnya peneliti memutuskan untuk menggunakan tahapan penerimaan diri Kulber-Ross dalam proses penerimaan karena dapat menggambarkan penerimaan diri pasangan suku Batak Toba terkait dengan keadaan dan kondisi yang dialami dalam kehidupan perkawinannya. Pasangan suami istri ini harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak memiliki anak laki-laki yang memiliki arti penting dalam kehidupan sebuah keluarga suku Batak Toba. Peneliti menggunakan tahapan penerimaan diri ini, juga karena belum adanya tahap-tahap dalam proses penerimaan diri yang dibahas secara umum dan atau yang dikhususkan terkait kondisi napunu.

Lima tahapan dalam proses penerimaan diri menurut Kubler-Ross (1998), antara lain:

a. Tahap Penyangkalan dan Isolasi/Pengasingan Diri (denial and isolation)

(43)

b. Tahap Kemarahan (anger)

Pada tahap kedua ini muncul perasaan marah, gusar, cemburu, benci dan sering diproyeksikan kepada lingkungan sekitarnya terutama orang terdekat. Hal ini karena kurangnya perhatian atau perhatian yang berlebihan dari orang terdekat, harapan tidak sesuai dengan kenyataan, ada tuntutan-tuntutan dan keluhan-keluhan. Timbul perasaan bersalah yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena dianggap sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu hal buruk atau karena kelemahan yang dialami.

c. Tahap Tawar Menawar (bargaining)

Tahap ketiga ini, ada pengalaman religius dengan Tuhan. Hal itu membuat seseorang mulai melakukan proses tawar menawar terhadap orang lain terutama kepada Tuhan. Ada usaha untuk menghibur dirinya. Seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya dan akan didedikasikan hanya untuk Tuhan atau untuk melayani orang lain demi memperoleh apa yang diharapkannya. Namun, janji-janji tersebut tidak selalu terpenuhi dalam kenyataannya. Pada tahap ini memungkinkan muncul perasaan bersalah, ketakutan dan merasa merupakan suatu hukuman atas kesalahannya.

d. Tahap Depresi (depression)

(44)

mengarah pada depresi. Tahap ini terjadi saat seseorang tidak lagi dapat menyangkal, marah dan melakukan penawaran atas keadaannya.

e. Tahap Penerimaan (acceptance)

Tahap kelima seseorang mulai menerima takdir. Hal tersebut merupakan sikap penerimaan diri atas kondisi yang dialaminya. Orang tersebut akan merasakan kedamaian dan penerimaan, sudah dapat melalui tahapan sebelumnya dengan baik sehingga tidak lagi merasa depresi dan marah, tidak ada ketakutan dan keputusasaan.

B. Suku Batak Toba 1. Suku Batak Toba

Tanah Batak terletak di Sumatera sebelah utara, dahulu dinamai Pulau Morsa, yang artinya pulau tempat banyak ular sa (sawah), sebangsa ular yang besar (Harahap, 1960). Menurut keyakinan yang masih hidup sampai sekarang, perkampungan pertama orang Batak berada di tepi Danau Toba yang bernama Sianjur Mula-Mula. Dari tempat inilah tersebar keturunan suku Batak ke seluruh penjuru Tanah Batak (Siahaan, 1964). Suku Batak memiliki beberapa sub-suku, yaitu Batak Toba, Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Karo.

(45)

suku Batak Toba meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, secara geografis merupakan pusat Tanah Batak dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah suku Batak Toba. Hal yang mendasari peneliti memilih suku Batak Toba adalah jumlah orang suku Batak Toba yang lebih banyak dan mudah dijumpai dibanding suku Batak lainnya.

2.Nilai-nilai Kehidupan Suku Batak Toba

Harahap dan Siahaan (1987) menyatakan bahwa tujuan hidup yang ideal bagi masyarakat suku Batak Toba tercakup dalam nilai 3H yakni hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Konsep 3H ini merupakan wujud

dari kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus terwarisi dan mendarah daging bagi masyarakat suku Batak Toba. Ketiga konsep tujuan hidup itu, yaitu:

a. Hagabeon

(46)

Dalam hak ini, anak laki-laki memiliki arti penting di dalam kehidupan sebuah keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki diibaratkan sebatang pohon yang tidak memiliki akar. Anak laki-laki berkewajiban mengurus kelangsungan hidup keluarga juga berperan sebagai penerus marga (Nurelide, 2007). Gultom (dalam Siahaan, 2009) menyebutkan bahwa keluarga suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki akan merasa hidupnya hampa. Keadaan ini disebut napunu. Napunu artinya generasi seseorang sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Siraja Batak, bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi.

Seorang suami suku Batak Toba yang napunu tidak jarang mendapat desakan untuk memiliki istri lagi (bigami). Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan keturunan laki-laki dalam upaya meneruskan keturunan (Siahaan, 2009). Cara lainnya untuk mendapatkan anak ialah dengan menceraikan isteri pertama lalu menikah lagi.

b. Hamoraon

Hamoraon adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang

dimana kekayaan ini diidentikan dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak individu tidak akan merasa kaya meskipun banyak harta. Pada suku Batak Toba terdapat ungkapan “Anakhon hi do hamoraon di ahu” yang berarti bahwa anak adalah harta yang tertinggi baginya

(47)

anak mempunyai makna yang sangat penting dalam keluarga-keluarga suku Batak Toba. Kehadiran anaklah yang membuat orang tua dipandang hormat di tengah-tengah masyarakat. Meskipun dalam masyarakat Batak Toba tidak mengenal sistem kasta, namun anak secara tidak langsung ikut menopang posisi orang tuanya (“Anak, Harta Bagi Orang Batak,” 2011).

c. Hasangapon

Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) berkaitan dengan luasnya

hubungan dengan banyak orang (Irianto, 2005). Seseorang bisa mencapai hasangapon dengan terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Hasangapon sebagai salah satu dari 3H merupakan nilai budaya utama yang mencirikan orang Batak Toba yang sempurna sesuai ukuran nilai-nilai budaya Batak Toba. Orang Batak Toba yang telah mencapai taraf sangap adalah pemberi kebijakan, pemberi habisuhon, kearifan, sekaligus menjadi teladan masyarakatnya.

3.Garis Keturunan Suku Batak Toba

(48)

Keadaan ini disebut napunu. Napunu artinya generasi seseorang sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Siraja Batak, bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi (Gultom, dalam Siahaan, 2009). Hal tersebut terlihat pada peta genealogis dan sejarah orang Batak Toba yang hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki (Vergouwen, 2004).

Tiap orang suku Batak mempunyai marga (Siahaan, 1964). Marga adalah bagian nama yang merupakan tanda dari keluarga mana seseorang berasal. Marga adalah asal-mula nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama. Marga dalam sebuah keluarga Batak Toba akan diteruskan oleh anak laki-laki (siboan goar). Adapun posisi perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain (Vergouwen, 2004). Hal tersebut menjadikan nilai anak laki-laki menjadi lebih penting daripada anak perempuan sehingga dominasi pria nampak dalam berbagai cara, misalnya pemimpin marga harus seorang pria dan diambil berdasarkan garis ayah.

Pardosi (dalam Siahaan, 2009) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat suku Batak Toba menginginkan anak laki-laki, yaitu:

a. Anak laki-laki dianggap penerus keturunan (marga ayah)

(49)

seorang ayah sudah memiliki anak laki-laki, ia sudah dapat dikatakan martunas (bertunas) yang berarti sudah ada penggantinya bila ia nanti

meninggal. Saat seorang ayah meninggal, walaupun badannya sudah meninggal tetapi namanya tetap hidup. Hal ini seperti perumpamaan “martunas, pago tu tano do natorasna, jongjong di langit peak di

tano” yang berarti, si ayah hanya badannya yang meninggal karena

dia telah diganti anaknya. Namanya telah dijunjung setinggi langit dan selalu ada di atas dunia.

b. Anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat

Anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan ayahnya tampak saat ada suatu pesta. Anak laki-laki ini dapat menggantikan ayahnya yang tidak dapat hadir dan bertanggung jawab serta melaksanakan tugas sang ayah. Selain itu, jika dalam satu keluarga sang ayah telah meninggal, maka anak laki-laki tertua yang bertanggung jawab atas keluarganya.

c. Anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat suku Batak Toba

(50)

A (adalah seorang marga) E (adalah seorang ayah) B (anak laki-laki A) F (anak perempuan E)

C (anak B) G (Anak F)

Maka si A dapat menjadikan anak B sebagai nama kekerabatan (marga) sedangkan si E tidak dapat memakai anak F sebagai nama kekerabatannya.

Harahap dan Siahaan (1987) juga mengemukakan lima nilai peran anak dalam budaya suku Batak Toba, yaitu:

a. Pencapaian tujuan hidup yang ideal

Tujuan hidup yang ideal bagi masyarakat suku Batak Toba tercakup dalam nilai kehidupan 3H, yaitu hagabeon (keturunan dan panjang umur), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan dan kemuliaan).

b. Pelengkap Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu merupakan suatu ungkapan yang menyatakan

kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba. Ketiga hubungan itu yakni hula-hula (keluarga dari pihak pemberi istri atau wanita), dongan sabutuha (kawan semarga), dan boru (keluarga dari pihak penerima istri atau wanita). Anak laki-laki nantinya akan beristri dan keluarga pihak pemberi istri akan disebut dengan hula-hula sedangkan anak perempuan akan bersuami dan keluarga pihak

(51)

akan menggelar suatu pesta atau upacara adat harus merencanakan dan bertindak secara musyawarah dengan dongan sabutuha serta tidak dapat bertindak menurut kehendaknya sendiri.

c. Penambah sahala orang tua

Anak dipandang dapat menambah sahala (wibawa) orang tua. Ph. L. Tobing menjelaskan sahala sebagai salah satu aspek dari tondi (roh). Seseorang yang memiliki kewibawaan, kekayaan dan

keturunan adalah orang yang memiliki sahala. Sahala seseorang akan bertambah bila hal-hal tersebut juga bertambah.

d. Pewaris harta kekayaan

Dalam budaya suku Batak Toba, yang menjadi pewaris seutuhnya adalah anak laki-laki, sementara anak perempuan bisa memiliki sebagian harta warisan apabila saudara laki-lakinya mau berbagi sebagian dari harta yang dia warisi (Vergouwen, 2004). e. Penerus garis keturunan (marga)

(52)

4.Pewarisan Nilai-nilai Kebudayaan Suku Batak Toba

Dalam kebudayaan masyarakat suku Batak Toba ada dikenal Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu (tungku yang berkaki tiga) ini menjadi

sandaran seluruh tatanan sosio-kultural suku Batak. Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan kompleks aktivitas masyarakat dalam wujud karya budaya baik budaya spiritual maupun budaya material. Di dalam kehidupan orang Batak Toba, penerapan Dalihan Na Tolu dapat dilihat dengan jelas didalam kehidupan sehari-hari khususnya pada setiap acara adat Batak Toba seperti perkawinan, kematian, warisan dan lain-lain (Simanjuntak, 2009). Sistem kekerabatan ini menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yaitu hula-hula, dongan sabutuha dan boru. Ketiga unsur berdiri sendiri tidak akan ada artinya tetapi harus bekerja sama satu sama lain baru bermanfaat. Dari karakter kultural inilah lahir berbagai pola pikir dan pola laku bahkan akhirnya membentuk local wisdom di kalangan masyarakat Batak Toba termasuk karakter hula-hula, dongan sabutuha dan boru.

Dalihan Na Tolu di lingkungan suku Batak Toba juga dikenal

adanya sistem marga. Marga adalah bagian nama yang merupakan tanda dari keluarga mana seseorang berasal. Marga akan diarsipkan kedalam Tarombo (catatan pohon keluarga) pada masing-masing keluarga.

(53)

laki-laki keluarga Batak Toba. Dari Tarombo tersebut seseorang laki-laki-laki-laki Batak Toba akan mengetahui silsilah keluarga dan mengetahui tingkatan diri dalam lingkup sosial (Siahaan, 1964). Jika sebuah keluarga suku Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga keluarga tersebut akan punah. Hal ini karena struktur garis keturunan suku Batak Toba yang menganut sistem patrilineal – menurut garis keturunan ayah (Vergouwen, 2004).

Melalui marga maka orang Batak Toba dengan sendirinya mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan yang disebut martutur/martarombo. Partuturan adalah kunci pelaksanaan Dalihan Na Tolu. Konsep partuturan ini sudah ditanamkan kepada setiap

anak Batak Toba di dalam keluarga sejak kecil dalam pengasuhan anak. Sebagai sistem kekerabatan atau hubungan sosial, Dalihan Na Tolu juga menjadi pola atau mewarnai pola pengasuhan anak dalam keluarga suku Batak Toba (Harahap & Siahaan, 1987).

Dalam kebudayaan suku Batak Toba juga dijumpai rumusan mengenai tujuan hidup atau nilai-nilai utama dalam hidup 3H, yaitu hagabeon (keturunan dan panjang umur), hamoraon (kekayaan), dan

hasangapon (kehormatan dan kemuliaan). Tujuan hidup 3H ini terbentuk

(54)

1987). Khususnya mengenai tujuan hidup yang utama itu, dalam pandangan Batak memiliki banyak anak (hagabeon) adalah sangat penting.

Dalam banyak upacara perkawinan selalu diungkapkan permohonanan berkat agar pasangan diberi karunia banyak keturunan (Harahap & Siahaan, 1987, Irianto, 2005). Ungkapan permohonan tersebut diucapkan oleh pihak hula-hula: “maranak sapuluh pitu, marboru sapulu onom” (tujuh belas orang anak laki-laki, enam belas orang anak

(55)

Kerangka dasar hubungan kekerabatan atau sosial bagi masyarakat Batak Toba – hubungan darah, perkawinan dan marga – diatur dalam Dalihan Na Tolu. Nilai falsafah tentang tujuan hidup – hagabeon,

hamoraon dan hasangapon – akan terpenuhi dengan baik bila dilakukan

sesuai dengan kerangka dasar tersebut. Hal ini terungkap dalam umpasa (petuah) orang Batak Toba: “molo naeng gabe, somba marhula-hula; molo naeng sangap, manat mardongan tubu; molo naeng mora, elek marboru”

(jika ingin memiliki keturunan, hormat terhadap hula-hula; jika ingin terhormat, hati-hati terhadap dongan tubu; jika ingin berharta, sayang terhadap boru). Dalihan Na Tolu dan nilai 3H (hagabeon, hamoraon dan hasangapon) itu menjadi hakikat budaya Batak Toba berporos. Dan

diatasnya teletak seluruh eksistensi budaya Batak (Harahap & Siahaan, 1987). Marga dan Dalihan Na Tolu adalah sebuah kemelekatan dalam hidup setiap orang Batak Toba yang harus bertahan menjalani kehidupan dengan filosofi hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

(56)

masih ada dua bentuk lain lagi yang berbeda yaitu mendatar dan miring. Dalam pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai, keterampilan, keyakinan, motif budaya, dsb kepada anak-cucu. Dalam pewarisan mendatar, seseorang belajar dari sebayanya yang berasal dari kelompoknya. Sedangkan, dalam kasus pewarisan miring, seseorang belajar dari orang dewasa dan lembaga-lembaga (contoh pendidikan formal) tanpa memandang hal itu terjadi dalam budaya sendiri atau dari budaya lain. Jika proses terjadi dalam budaya sendiri, maka istilah yang digunakan adalah enkulturasi dan sosialisasi (Berry, dkk., 1999, Cavalli-Sforza, 2000).

(57)

dikembangkan dalam disiplin sosialisasi dan psikologi sosial untuk menunjukkan proses pembentukan individu dengan sengaja (deliberate) melalui cara-cara pengajaran. Sosialisasi yaitu proses seorang individu belajar berinteraksi dengan sesamanya dalam suatu masyarakat menurut sistem nilai, norma dan adat istiadat yang mengatur masyarakat yang bersangkutan (Soerjasih, dkk., 2016).

(58)

C. Kerangka Penelitian

Masalah anak bagi masyarakat suku Batak Toba sangatlah penting. Kelahiran seorang anak atau keturunan menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam siklus kehidupan. Ini adalah bagian dari tujuan hidup masyarakat suku Batak Toba yang ideal yaitu banyak anak (hagabeon), kaya materi atau harta (hamoraon), dan dihormati atau dihargai (hasangapon) (Harahap & Siahaan, 1987). Ada ungkapan yang sangat terkenal dalam budaya masyarakat suku Batak Toba yaitu “anakhonhi do hamoraon di ahu” yang berarti anak adalah harta yang paling berharga.

Meskipun sebuah keluarga sudah memiliki harta atau materi yang berkecukupan (hamoraon) dan terhormat atau dihargai (hasangapon) namun belum memiliki banyak keturunan baik itu laki-laki dan perempuan dianggap belum lengkap (gabe).

Anak dalam budaya masyarakat suku Batak Toba dianggap sangat mempengaruhi sahala (wibawa) orang tua. Hal lain yang sangat penting adalah anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan (marga). Jika sebuah keluarga suku Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga keluarga tersebut akan punah. Hal ini karena struktur garis keturunan suku Batak Toba yang menganut sistem patrilineal – menurut garis keturunan ayah.

(59)

tidak lengkap sebagai orang Batak, sedih dan adanya perasaan kurang puas dalam diri sehingga akan membentuk penilaian terhadap dirinya sendiri.

Dalam kondisi ini, pasangan atau keluarga suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki diharapkan mampu menerima diri dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Penerimaan diri ini diperlukan oleh pasangan suku Batak Toba agar tidak hanya terpaku pada keterbatasan yang dimiliki yaitu tidak memiliki anak laki-laki, tetapi juga mampu menghargai apa yang telah dimiliki yaitu anak perempuan yang sama berharganya dengan anak laki-laki dari segi agama. Penerimaan diri sendiri merupakan salah satu ciri dari kepribadian yang matang (Allport, dalam Hjelle & Ziegler, 1981). Hal ini juga ditegaskan oleh Maslow (dalam Schultz, 1991) yang mengemukakan bahwa pribadi yang sehat ialah seorang yang mampu menerima diri, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan. Adanya penerimaan diri tersebut menjadikan seseorang mempunyai keyakinan diri (self-confidence) dan harga diri (self-esteem). Sehingga lebih mampu menerima kritik daripada seseorang yang kurang menerima diri.

(60)
(61)

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan utama dalam penelitian kualitatif ini adalah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki? Selanjutnya pertanyaan diperinci menjadi tiga, yaitu:

1. Bagaimana penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki?

2. Bagaimana proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing individu terhadap pasangannya?

(62)

43 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi deskriptif. Penelitian kualitatif menyajikan penuturan dalam bentuk eksplorasi, deskripsi dan interpretasi atas pengalaman-pengalaman pribadi dan sosial para partisipan (Smith, 2013). Hal ini berarti bahwa suatu fenomena tertentu atau khusus yang hendak dikaji sebisa mungkin tetap selaras dengan fenomena atau konteks dimana fenomena itu muncul dengan suatu situasi di mana para individu mengalami sendiri pengalaman mereka sehingga mereka bisa menggambarkannya seperti yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan mereka.

B. Fokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini adalah memahami dan mendeskripsikan upaya pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dalam menerima diri yang ditinjau dari :

(63)

2. Proses saling mempengaruhi masing-masing individu terhadap pasangannya (bagaimana proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing individu terhadap pasangannya?)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri (faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses penerimaan diri?)

C. Informan Penelitian

Neuman (2006) mengatakan bahwa informan merupakan seorang anggota yang berhubungan dengan penelitian lapangan dan yang mengatakan, atau menginformasikan, mengenai lapangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan kata ganti “informan” terhadap narasumber penelitian. Informan penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposefully selected. Teknik purposefully selected yaitu pemilihan informan dilakukan

untuk situasi khusus dan dengan tujuan yang spesifik sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian (Creswell, 2014). Peneliti memiliki beberapa kriteria dalam memilih dan menentukan informan penelitian, seperti:

a) Pasangan suami-isteri suku Batak Toba b) Tidak memiliki anak laki-laki

c) Memiliki anak perempuan 3 atau lebih dari 3

(64)

yang telah menikah dalam usaha untuk mendapatkan anak laki-laki namun selalu mendapatkan anak perempuan. Selain itu, melalui jumlah anak perempuan 3 atau lebih dari 3 menurut peneliti dapat mengetahui sejauhmana penerimaan diri para informan. Jumlah anak perempuan yang kurang dari 3 belum bisa melihat apakah memang sudah ada penerimaan dalam diri para informan.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode wawancara terstruktur dan observasi. Wawancara semi-terstruktur ini memungkinkan peneliti dan informan untuk terlibat dalam suatu dialog sehingga pertanyaan-pertanyaan bisa dimodifikasi sesuai dengan jawaban informan dan menggali wilayah-wilayah yang menarik dan penting yang muncul selama proses wawancara (Smith, 2013).

Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti menyusun panduan wawancara berdasarkan fokus penelitian. Peneliti menggunakan digital recorder untuk merekam data selama proses wawancara dan dilanjutkan

(65)

Tabel 1

Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara A

Budaya Suku Batak Toba (Pertanyaan Pembuka)

No. Tujuan Pertanyaan Pertanyaan

1

Mengetahui

pemahaman mengenai 3H

a. Dalam budaya suku Batak Toba ada nilai-nilai yang menjadi tujuan hidup yang ideal yaitu “hagabeon, hamoraon, dan hasangapon”, bisa diceritakan tentang ketiga hal itu?

b. Bagaimana mencapai 3H tersebut? c. Mengapa 3H penting?

2 Arti dan peranan anak

a. Ada ungkapan “anakhon hi do hamoraon di ahu”, bisa dijelaskan maksud dari ungkapan tersebut? b. Bagaimana arti dan peranan anak bagi

[image:65.595.86.515.161.757.2]

orang suku Batak Toba? Jelaskan.

Tabel 2

Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara B

Penerimaan Diri

No. Tujuan Pertanyaan Pertanyaan

1

Keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani hidup

a. Bagaimana anda menyikapi keadaan bahwa anda tidak memiliki anak laki-laki?

b. Sejauhmana anda sudah berusaha untuk menerima keadaan? Ceritakan.

c. Sejauhmana anda melihat pasangan sudah berusaha untuk menerima keadaan? Ceritakan.

d. Sejauhmana pengaruh pasangan bagi anda dalam upaya menerima keadaan? Ceritakan.

2

Menganggap diri berharga sebagai seorang manusia yang sama atau sederajat dengan orang lain dan tidak memandang diri sebagai orang yang tidak normal

a. Bagaimana hubungan anda dengan orang lain (suku Batak Toba) apakah ada hambatan? Ceritakan.

(66)

3

Menyadari dan tidak malu atau takut dicela oleh orang lain atas keadaannya

a. Bagaimana anda dalam menyesuaikan diri atau bersikap dengan lingkungan sosial (suku Batak Toba)?

b. Bagaimana cara anda menerima setiap masukan yang baik atau yang buruk dari orang lain? Jelaskan.

c. Bagaimana cara anda mensiasati keadaan anda?

d. Bagaimana anda melihat cara pasangan mensiasati keadaan ini?

4 Prinsip/keyakinan hidup yang dimiliki

a. Hal-hal apa yang anda yakini/prinsip dalam hidup anda?

b. Hal-hal apa saja dari pasangan yang mempengaruhi keyakinan atau kepercayaan anda dalam hidup? 5 Bertanggungjawab

terhadap perbuatannya

a. Sejauhmana anda bertanggungjawab selama ini?

6 Penerimaan pujian atau celaan secara obyektif

a. Apakah anda pernah mendapatkan celaan atas keadaan keluarga anda yang tidak memiliki anak laki-laki?

Bagaimana anda menanggapinya?

7

Tidak menyalahkan atau menghukum diri atas keterbatasan yang dimiliki

a. Sejauhmana kondisi ini berpengaruh terhadap diri anda? Jelaskan.

b. Dengan kondisi saat ini, sejauhmana anda merasakan kepuasan dalam hidup anda? Jelaskan.

8

Tidak menyangkal impuls dan emosi atau merasa bersalah atas hal-hal tersebut yang ada dalam dirinya

a. Apakah anda merasa marah dengan kondisi keluarga anda ini? Jelaskan. b. Apakah anda merasa bersalah dengan

kondisi keluarga anda ini? Jelaskan. c. Apakah anda merasa bersalah

khususnya terhadap pasangan? Jelaskan.

(67)

Prosedur yang dilakukan peneliti untuk melakukan wawancara meliputi beberapa langkah berikut ini:

a) Menentukan informan penelitian sesuai dengan kriteria penelitian dan bersedia berpartisipasi menjadi informan penelitian.

b) Melakukan perkenalan, membangun rapport, penjelasan tujuan wawancara, memastikan kesediaan informan untuk terlibat dalam penelitian, dan wawancara awal kepada informan penelitian.

c) Meminta informan penelitian untuk menandatangani informed consent dan membuat jadwal wawancara berdasarkan kesepakatan peneliti dan informan penelitian.

d) Melakukan wawancara pada informan penelitian.

Selain menggunakan metode wawancara, peneliti juga menggunakan metode observasi. Observasi sebagai sebuah proses penggalian data yang dilakukan langsung oleh peneliti sendiri dengan cara melakukan pengamatan mendetail terhadap manusia sebagai objek observasi dan lingkungannya (Creswell, dalam Herdiansyah, 2015). Metode observasi ini digunakan untuk melengkapi data penelitian yang tidak bisa direkam oleh digital recorder.

E. Prosedur Analisis Data

(68)

sehari-hari yang dialami dan berdasarkan dari perspektif informan (Giorgi, 2009). Ada beberapa tahapan dalam analisis fenomenologi deskriptif, yaitu: 1. Peneliti membaca keseluruhan deskripsi yang disampaikan oleh informan

penelitian secara eksplisit. Hal ini agar peneliti memahami secara global dari deskripsi yang ada sebelum melangkah lebih lanjut.

2. Peneliti melakukan konstruksi atau penyusunan terhadap bagian-bagian deskripsi. Hal ini guna membantu mengklarifikasi masalah-masalah yang tersembunyi dengan menggunakan transisi makna terhadap bagian-bagian. Pembacaan ulang secara cermat terhadap deskripsi menghasilkan unit makna.

3. Pada tahap ini melakukan transformasi. Transformasi ini dilakukan untuk mengubah yang implisit menjadi eksplisit, khususnya dalam makna psikologis. Hal ini juga bermaksud mengungkapkan makna yang dialami serta sedikit melakukan generalisasi.

4. Pada tahap akhir ini melakukan pembentukan struktur general. Struktur diperoleh dengan menyelesaikan transformasi terakhir dari pemaknaan unit-unit yang ada.

F. Refleksivitas Peneliti

(69)

suku Batak Toba dan memiliki kerabat yang mengalami kondisi tidak memiliki anak laki-laki. Hal ini memudahkan peneliti untuk lebih mudah memahami konteks yang sedang diteliti. Selain itu, peneliti juga menjadi lebih mudah memahami isi pembicaraan, perasaan serta pikiran informan ketika menggali data.

G. Kredibilitas Penelitian

Creswell (2012) mengungkapkan bahwa ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan validasi atau keakuratan hasil penelitian kualitatif, yaitu:

1. Ulasan dan tanya jawab dengan rekan sejawat

Peneliti mencari rekan yang dapat mereview untuk berdiskusi mengenai hasil wawancara dalam hal interpretasi selain interpretasi dari peneliti sendiri.

(70)

51 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Pelaksanaan Penelitian

1. Tahapan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, yaitu:

a. Menentukan informan penelitian sesuai dengan kriteria penelitian dan bersedia berpartisipasi menjadi informan penelitian.

b. Mendatangi dan membangun raport, memberikan penjelasan mengenai tujuan wawancara dan memastikan kesediaan informan untuk terlibat dalam penelitian.

c. Menghubungi pihak informan untuk membuat jadwal wawancara berdasarkan kesepakatan peneliti dan informan.

d. Meminta informan penelitian untuk menandatangai informed consent. e. Melakukan wawancara kepada para informan penelitian sesuai dengan

waktu yang telah disepakati bersama.

f. Membuat verbatim dan melakukan analisis verbatim. g. Melakukan validasi data penelitian dan pembahasan.

[image:70.595.86.515.230.703.2]

h. Pengambilan kesimpulan, keterbatasan dan saran penelitian. 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara

Tabel 3

(71)

No. Informan Pelaksanaan Wawancara

Tanggal dan waktu Tempat

1 PT, pasangan 3 (suami) Selasa, 21 Juli 2015 20.05 - 21.17 WIB

Rumah informan Jumat, 4 Maret 2016

20.00 – 20.33 WIB 2 TN, pasangan 3 (istri) Rabu, 22 Juli 2015 20.15 - 21.46 WIB

Rumah informan 3 MM, pasangan 2 (suami) Sabtu, 25 Juli 2015

14.30 – 15.16 WIB

Rumah informan Rabu, 9 Maret 2016

19.25 – 20.09 WIB 4 SS, pasangan 2 (istri) Sabtu, 25 Juli 2015 13.35 - 14.21 WIB

Rumah informan Rabu, 9 Maret 2016

20.17 – 21.06 WIB 5 TS, pasangan 1 (suami) Minggu, 26 Juli 2015

14.10 - 16.33 WIB

Rumah informan Selasa, 15 Maret 2016

19.26- 20.59 WIB 6 ST, pasangan 1 (istri) Minggu, 26 Juli 2015

16.55 - 18.00 WIB

Rumah informan Selasa, 15 Maret 2016

21.04 – 21.49 WIB

B. Hasil Penelitian

(72)

1. Pasangan TS dan ST

a. Profil dan Observasi Informan TS

Inisial : TS

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat tanggal lahir : Sigumbang, 5 Juni 1959 Pendidikan terakhir : STM

Pekerjaan : Pensiunan Jumlah anak : 6 orang Usia pernikahan : 32 tahun

Agama : Katolik

TS merupakan suami dari ST berusia 57 tahun dan merupakan anak kedua dari sepuluh orang bersaudara. TS memiliki enam orang saudara laki-laki dan tiga orang saudara perempuan. Setelah lulus STM, informan pergi merantau hingga akhirnya tiba di Muntok, Pulau Bangka. Informan dulu bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta yang bergerak tambang timah. TS bertemu dengan pasangannya ST di tempat perantauan ini lalu mereka menikah.

(73)

ada satu yaitu putri bungsunya yang masih bersekolah kelas 12 SMA. TS tinggal bersama dengan istrinya ST, seorang putri dan seorang cucu laki-lakinya.

TS dan pasangannya ST memiliki relasi yang baik. Selama 32 tahun hidup berkeluarga dengan pasangannya, semua permasalahan yang ada dapat diatasi bersama-sama. Saat ini, informan sudah pension dan menikmati hari tuanya dengan berkebun dan mengurusi seorang cucu laki-lakinya yang diajak oleh informan untuk tinggal bersama. Sedangkan, pasangannya ST masih aktif bekerja yaitu mengajar di salah satu sekolah dasar negeri yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Bagi TS, ST merupakan sosok yang hebat. Kehadiran ST menguatkan TS saat mengalami patah semangat dan selalu mendukung dalam segala hal. Saat dalam keadaan terpuruk karena tidak memiliki keturunan laki-laki, TS pernah mendapat saran dari pasangannya ST untuk menikah lagi. Saran ini diberikan agar TS memiliki keturunan laki-laki. Namun, ditolak karena TS hanya ingin merawat anak kandungnya sendiri dan ingin hidup dengan ST sekarang ini hingga akhir hayat.

(74)

Saat peneliti melakukan wawancara, TS sedang tidak enak badan karena sakit flu. Sebelum memulai wawancara, peneliti memastikan apakah informan tetap ingin melakukan wawancara atau tidak dan TS mengatakan agar dilakukan saja.

Selama wawancara berlangsung, TS tampak bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaa dari peneliti namun mata TS sempat berkaca-kaca saat diajukan pertanyaan terkait reaksinya saat mengetahui jenis kelamin anak bungsu. TS juga terlihat tidak menutupi perasaannya. Saat pertanyaan terkait adat budaya suku Batak Toba, TS memperlihatkan ketidaksetujuannya terhadap prinsip yang selama ini ada tentang anak laki-laki. Hal ini tampak dari TS yang menjawab dengan semangat dan nada bicaranya lebih keras.

b. Profil dan Observasi Informan ST

Inisial : ST

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat tanggal lahir : Sisoma, 7 Oktober 1960 Pendidikan terakhir : S1

Pekerjaan

Gambar

TABEL Tabel 1. Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara A  .......................................
Tabel 2 Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara B
Tabel 3 PelaksanaanWawancara
Tabel 4 Rangkuman Penerimaan Diri Pasangan TS dan ST
+3

Referensi

Dokumen terkait

Para Stakeholders pendidikan mengetahui dengan baik pandangan- pandangan dalam masyarakat suku Batak Toba tentang anak penyandang disabilitas dan dampak-dampak yang

Subyek penelitian adalah orangtua dan anak suku bangsa Batak Toba dan Melayu, yang bertempat tinggal di desa asalnya, yaitu suku bangsa Melayu di desa Bogak, dan suku bangsa

Dalam hal ini interaksi yang terjadi adalah interaksi antar kelompok satu dengan kelompok lainnya, yaitu suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak dalam kegiatan sehari-hari yang

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor-faktor penyebab migrasi Suku Batak Toba Asal Tapanuli Utara (Sumatera Utara) Tahun 1965-1975 ke Kelurahan

Manfaat yang diperoleh dari website adat istiadat pernikahan suku Batak Toba ini.

menstimulasi perkembangan anak melalui permainan tradisional Suku Batak Toba adalah seperangkat kegiatan yang dirancang dalam suatu kegiatan bermain bagi kelompok usia 5-6

Dalam hal pewarisan, sesuai dengan adat batak yang diberikan harta warisan adalah anak laki-laki, perempuan tidak mendapat warisan meskipun ia kawin dengan pria suku

141 ETNOGRAFI KOMUNIKASI TRADISI PARIBAN DALAM PERNIKAHAN ADAT SUKU BATAK TOBA Friska Widawaty Hutagaol1, Erfina Nurussa’adah2 Abstrak Perkawinan adat Batak merupakan syarat