• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

B. HASIL PENELITIAN

3. Pasangan PT dan TN

a. Profil dan Observasi Informan PT

Inisial : PT

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat tanggal lahir : Samosir, 6 Oktober 1975 Pendidikan terakhir : SMA

Jumlah anak : 8

Usia pernikahan : 19 tahun

Agama : Kristen

PT merupakan suami dari informan TN dan berusia 40 tahun. PT merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara. Saudara laki-laki PT berjumlah enam orang sedangkan saudara perempuan berjumlah empat orang. Setelah lulus SMA, PT pergi merantau dari tempat kelahirannya hingga akhirnya menetap di Pulau Bangka. PT bekerja sebagai seorang wiraswasta yaitu membuka sebuah bengkel motor kecil. Sebelumnya PT bekerja sebagai supir mobil pengangkut solar. Biasanya PT bekerja dari pagi hingga sore menjelang malam hari dengan dibantu salah seorang karyawannya.

PT memiliki delapan orang anak dan diantaranya merupakan kembar tiga. Anak perempuan PT yang kembar tiga yaitu anak kelima. Anak mereka yang keenam atau bungsu diadopsi oleh saudara sepupu PT karena tidak memiliki anak. Pada awalnya PT dan pasangannya yaitu TN tidak berniat untuk memberikan anak bungsu mereka karena tetap ingin merawatnya walaupun perempuan. Namun, saudara sepupu PT memaksa dan hanya ingin mengadopsi anak yang berasal dari keluarga PT saja. Akhirnya, PT dan istrinya merelakan anak bungsu diadopsi oleh saudara sepupu PT. Anak bungsu PT diadopsi sejak lahir yaitu pada tahun 2013.

Anak-anak perempuan PT semuanya masih bersekolah. Anak tertuanya saat ini kelas XII di salah satu SMKN. Anak-anaknya yang lain masih ada yang SMK, SMP, SD dan TK. Anak-anak PT yang lebih besar sering membantu pekerjaan rumah dan merawat anak-anak PT yang lebih kecil setelah pulang sekolah.

Saat peneliti datang ke rumah, PT sedang menonton bersama dengan anak-anaknya. PT mengenakan baju kaos dan celana panjang berbahan kain berwarna cokelat. Selama wawancara, PT duduk santai sambil merokok dengan menyilangkan kedua kakinya. Saat wawancara berlangsung, PT tampak bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait adat budaya suku Batak Toba. Namun, saat pertanyaan terkait anak tampak ada perubahan menjadi sedikit lebih serius. PT sesekali juga bercanda dengan peneliti.

b. Profil dan Observasi Informan TN

Inisial : TN

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat tanggal lahir : Lawekinga, 24 Mei 1974 Pendidikan terakhir : SD

Pekerjaan : Pedagang

Jumlah anak : 8

Usia pernikahan : 19 tahun

TN merupakan istri dari informan PT berusia 42 tahun. TN merupakan anak ketujuh dari sembilan orang bersaudara. TN memiliki dua orang saudara laki-laki dan enam orang saudara perempuan. Sebelumnya, dalam keseharian TN hanya bekerja sebagai seorang ibu rumah tangga saja. Namun, semenjak beberapa bulan terakhir, TN mulai berjualan di pasar saat pagi hari. Sedangkan, siang hingga sore hari ia berjualan dari rumah ke rumah. Hal ini dilakukan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya terutama karena anak-anak mereka membutuhkan biaya seperti biaya sekolah.

TN sebenarnya memiliki delapan orang anak perempuan. Namun, anaknya yang bungsu diadopsi oleh saudara suaminya PT. Pada awalnya, TN tidak menyetujuinya karena tetap ingin merawat anaknya walaupun perempuan. Namun, saudara sepupu PT memaksa dan hanya ingin mengadopsi anak yang berasal dari keluarganya saja. Sehingga saat ini TN hanya merawat dan mengurus tujuh orang anak-anaknya. TN memiliki anak kembar tiga yaitu anaknya yang kelima.

Saat wawancara berlangsung, TN tampak sedikit terbata-bata dalam menjawab pertanyaan yang diajukan karena keterbatasan bahasa yang dimiliki. Saat peneliti mengajukan pertanyaan terkait keadaannya yang tidak memiliki anak laki-laki, TN juga menjadi emosional sehingga menangis. Keadaan ini berlangsung cukup lama yaitu sekitar 30 menit hingga akhirnya TN berhenti menangis dan menjadi lebih tenang. Awalnya, TN sedikit menolak membicarakan hal ini, tampak

dari ungkapannya yang enggan diwawancarai tentang anak laki-laki. Namun, setelah peneliti memberikan penjelasan dan memberi waktu kepada informan untuk berpikir, akhirnya TN mau menceritakan pengalamannya selama ini.

Saat menjawab pertanyaan, tampak TN meneteskan air matanya. Namun, saat menceritakan anaknya yang kembar tiga, TN tampak lebih tenang.

c. Struktur Dasar Pengalaman Pasangan PT dan TN

Pada struktur dasar pengalaman terdapat temuan mengenai adat budaya suku Batak Toba, proses penerimaan diri masing-masing informan, proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing informan terhadap pasangannya dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri.

i. Adat Budaya Suku Batak Toba

i.1. Pemahaman Mengenai Nilai 3H (Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon)

Pemahaman nilai 3H (hagabeon, hamoraon dan hasangapon) pasangan PT dan TN terbagi dalam dua bagian yaitu pemahaman nilai dari 3H dan cara mencapai 3H. Menurut PT, seseorang yang memiliki ketiga nilai 3H ini yaitu hamoraon, hagabeon dan hasangapon dianggap sudah mencapai kesempurnaan. Nilai hamoraon berkaitan dengan perekonomian

atau kekayaan harta benda yang dimiliki oleh seseorang. Nilai hasangapon yaitu nilai yang berkaitan dengan harga diri atau kehormatan yang dimiliki seseorang. Nilai hagabeon yaitu terkait dengan mempunyai keturunan secara lengkap yakni laki-laki dan perempuan. Namun, PT menambahkan bahwa seseorang dapat dikatakan gabe (lengkap berketurunan) selain memiliki anak laki-laki dan perempuan tetapi anak-anaknya tersebut juga harus memiliki keturunan secara lengkap. Berikut pernyataan pasangan PT dan TN terkait pemahaman nilai 3H:

“Maksudnya hagabeon, hamoraon dan hasangapon dipandang dari e udah sempurna, sempurna. Hagabeon itu berarti punya keturunan, anak dari ee cucu dari anak perempuan, cucu dari anak laki-laki, anak laki-laki dan perempuan. Nah hagabeon itu namanya. Hamoraon ya dari segi materinya, termasuk kekayaan lah. Nah itu lah intinya. Hagabeon hamoraon nah itulah kan hasangapon, semua itu yang dua itu tadi dilengkapi dengan hasangapon termasuk. Maksudnya ee apa ya termasuk ee apa ya kalo bahasa Indonesianya hasangapon itu e dihormati” (23-27, PT).

“Hagabeon itu e sedapat mungkin ada yang dua tadi itu, anak laki-laki dan anak perempuan. Kalo nomor satunya ya hagabeon itu tadi lalu yang kedua ya hasangapon itu. Kalo hasangapon itu e kalo ada sama kita walaupun sedikit rejeki kita, kita memberi sama orang tua dan tingkah laku kita menghormati orang tua. Nah, itulah e menurut saya yang saya tau, dari tingkah laku dan ee kemampuan kita atau menghormati orang tua supaya orang tua bangga mempunyai anak sehingga dia jadi terpandang-hasangapon. Itulah tadi hamoraon itu harta” (2-6, 9, TN).

Menurut pasangan PT dan TN nilai-nilai tersebut dapat tercapai dengan bekerja keras (hamoraon) dan hagabeon sendiri

didapat atas pemberian Tuhan. Menurut PT nilai hasangapon tercapai dengan memiliki keturunan yang lengkap disertai dengan perilaku dan perekonomian yang baik. Sedangkan, bagi TN nilai hasangapon dapat tercapai dengan mendidik anak menjadi anak yang beriman dan berpendidikan. Selain itu, anak menghormati orang tua dan berkelakuan baik sehingga orang tua menjadi bangga. Berikut kutipan wawancara pasangan PT dan TN:

“Hamoraon ya termasuk lah tadi kalo kita dalam pekerjaan udah sukses udah mapan ekonomi pun. Kalo hamoraon itu nanti tergantung rejeki kita nantinya. hasangapon gimana kita mau dihargai orang kita enggak punya keturunan. Kalo hamoraon, hamoraon itu kan kekayaan kalo kekayaan itu kan pada umumnya kalo orang kaya kan udah otomatis dipandang orang tapi biarpun dia kaya kalo dia enggak punya keturunan, kekayaan itu hartanya itu mau ditaruh kemana kan nantinya. Tapi kalo itu tadi dilengkapi dengan itu semua, itu sudah pasti terpandang” (7-8, 14-15, 20-22, 40-41, PT).

“Kalo saya ya harus bekerja keras lah supaya anak-anak ini bisa bersekolah. Ee kalo hasangapon, supaya kita tuh e sangab hasangapon tadi itu, ya kita mendidik anak menjadi anak Tuhan yang beriman supaya anak-anak ini menjadi anak-anak yang baik di depan kita sesama manusia dan lebih di hadapan Tuhan. Jadi mengajarkan anak ini supaya jadi anak yang beriman, pengikut Tuhan Yesus Kristus” (11-14, TN).

i.2. Arti Dan Peranan Anak Dalam Adat Budaya Suku Batak Toba

Berdasarkan hasil wawancara dengan pasangan PT dan TN terkait arti dan peranan anak dalam suku Batak Toba

dinyatakan dalam dua bagian yaitu makna anakhon hi do hamoraon di au dan arti serta peranan anak itu sendiri. Pasangan PT dan TN memiliki pemikiran yang berbeda terkait makna dari anakhon hi do hamoraon di au. Menurut PT maknanya adalah anak merupakan hal yang terpenting dalam hidup dan orang tua akan berusaha melakukan apapun agar kehidupan anaknya menjadi lebih baik. Namun, anak tersebut juga harus menyayangi, menghormati dan menghargai orang tua. Sedangkan, menurut TN yakni anak yang berhasil dan sukses akan membuat orang tua menjadi bangga dan senang. Berikut pernyataan PT dan TN:

“Kalo anakhon hi do hamoraon di au sebenarnya pengertiannya itu ya kalo kita bisa membuat anak kita sukses, bisa kita buat anak kita itu bisa tercapai cita-cita si anak tadi itulah yang artinya hamoraon tadi anakhon hi do hamoraon di au. Kalo si anak itu contohnya aku punya anak tapi si anak ini endak bisa saya bina sekolah, kebutuhannya endak bisa saya turuti, pendidikannya, sekolahnya endak bisa saya turuti saya buat sekolah berarti bukan bukan lagi anakhon hi do hamoraon di au berarti itu sebenarnya asal punya anak punya keturunan, yang artinya hamoraon itu istilahnya jadi harta. harus bisa si anak nanti bertanggungjawab sama orang tuanya, bisa memenuhi apa istilahnya e memperingan orang tua. Yang pertama dari segi e perhatianlah, kedua e dari segi bantuan atau bentuk materi apa ee pokoknya intinya itulah si anak harus bisa memperhatikan orang tuanya ya itulah yang artinya hamoraon.” (50-54, 62-64, PT).

“Ya kesenangan makna dari anakhon hi do hamoraon di au. Kalo anak-anak ini berhasil, tercapai cita-cita jadi bangga dan senang lah saya” (16-17, TN).

Pasangan PT dan TN memahami arti dan peranan anak laki-laki sebagai penerus keturunan (marga), bertanggung jawab dalam adat dan bertanggung jawab terhadap keluarga orang tuanya karena bermarga sama. PT menambahkan bahwa dalam adat budaya suku Batak Toba secara umum anak berperan dalam menciptakan hubungan sosial dengan pihak keluarga lain (Dalihan Na Tolu). Anak juga bertugas menjaga nama baik orang tua atau keluarganya dan membanggakan kedua orang tuanya. Sedangkan, anak perempuan akan ikut pihak suami bukan keluarganya lagi dan akan menciptakan hubungan keluarga dengan pihak suami yang berbeda marga setelah menikah.

“Intinya disitu, dia harus bisa menjadi anak yang bergunalah taruhlah di lingkungan di skop orang Batak dulu, dia itu harus bisa jadi panutan, si anak itu harus bisa dihargai dan juga harus menghargai orang tua dan si anak ini harus menjunjung tinggi e nama orang tuanya. Kalo dari hubungan sosialnya manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula (Dalihan Na Tolu). Nah makanya si anak itu mau sekaya apapun itu sehebat apapun itu anak perempuan itu tadi itu adalah hak orang ya memang sih kita punya hak tapi enggak sepenuhnya tapi kalo anak laki-laki sepenuhnya hak kita. Nah itu tadi perbedaannya. Kalo anak perempuan tadi ya paling-paling yang namanya ibarat keluargalah, hubungan keluarga dengan orang lain bisa kita minta tolong. Ya cuma sebatas itulah. Tapi kalo untuk bertanggung jawab dengan orang tua intinya anak laki-laki yang bertanggung jawab memang. Si perempuan itu bisa bertanggung jawab bukannya enggak bisa tapi yang punya e intinya yang punya hak untuk si orang tua itu si anak laki-laki cuma itu. Tanggung jawab itu ya tanggung jawab anak laki-laki” (80-82, 102-103, 114-119, PT).

“Kalo anak laki-laki itu sebagai penerus marga sedangkan anak perempuan itu nanti kawin jadi milik marga lain. Jadi ee anak laki itulah yang membanggakan keluarga. fungsi anak laki-laki itu sebagai teman berdiskusi kalo sudah menikah. Kalo anak perempuan itu, itu kan ee ngikut sama marga lain. Jadi teman dalam suka dukanya ya anak laki itu lah kalo sudah berkeluarga nantinya. Itu lah teman curhat, teman tukar pikiran, teman kita “duduk” di adat. Kalo boru (sebutan untuk anak perempuan) itu untuk orang lain. Anak laki-laki tadi sebagai penerus marga. Istilahnya tetap itu tetap marga Tamba kalo yang anak perempuan dia ngikut marganya marga suaminya” (18-23, TN).

ii. Proses Penerimaan Diri Pasangan PT dan TN

Proses menuju penerimaan diri pada pasangan PT dan TN tidak seperti yang diungkapkan oleh Kubler-Ross. Dalam proses penerimaan Kubler-Ross seseorang akan melalui lima tahapan proses yaitu tahap denial and isolation, tahap anger, tahap bargaining, tahap depression dan tahap acceptance.. Dari hasil analisis diketahui bahwa pasangan PT dan TN tidak melalui tahap denial and isolation. Pasangan ini juga belum berada pada tahap acceptance. Selain itu, tahapan yang dilalui tidak terjadi secara berurutan sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Kubler-Ross.

Penyajian hasil data penelitian akan terbagi menjadi tiga bagian peristiwa yaitu sebelum kelahiran anak bungsu, saat kelahiran anak bungsu dan setelah kelahiran anak bungsu. Pada informan TN, proses yang terjadi sebelum kelahiran anak bungsu belum terlihat. Namun, akan disajikan proses yang dialami oleh TN saat peristiwa kelahiran dan setelah kelahiran anak bungsu.

ii.1. Sebelum Kelahiran Anak Bungsu

Dalam prosesnya timbul kemarahan (anger) dalam diri PT menanti kehadiran anak laki-laki dalam keluarganya. Muncul keluhan berupa pertanyaan-pertanyaan dalam diri PT. Keluhan ini muncul karena keinginan PT memiliki anak laki-laki belum tercapai. Keluhan berupa pertanyaan membuat PT menyalahkan diri sendiri. PT berpikir bahwa hal ini terjadi karena kesalahannya di masa lalu. Ciri-ciri yang ada dalam diri PT ini mulai muncul saat anak ketiga. Berikut kutipan wawancara dengan PT:

“Nah itulah yang aku bilang tadi, banyak pertanyaan tadi itu keinginan ato rencana kita tidak tercapai. Jadi mulai dari situ ada terpikir karena yang satu ee mungkin kita masih terima situasinya nah termasuk mulai muncul itu di anak ketiga. Mulai ada bertanya, kenapa? Biarpun dari segi apapun itu pokoknya saya tetap karena ada kekurangan saya sama Tuhan saya sendiri makanya itu saya menerima kayak gini. Saya enggak tahu dari segi mana kesalahan saya tapi saya tetap mengaku ada kesalahan saya tidak boleh tidak, mungkin dari segi keseharian mungkin dari segi bertetangga sosial mungkin” (273-275, 270-272).

Saat anak ketiga ini pula, dalam diri PT muncul perasaan bersalah. Perasaan bersalah yang ada dalam diri PT ini juga ditujukan kepada Tuhan. Di saat bersamaan, dalam diri PT tampak ada penyesalan merasa merupakan suatu hukuman atas kesalahannya. Hal ini menunjukkan PT berada pada tahap bargaining. “Kalo merasa bersalah sama Tuhan saya tetap ada rasa bersalah. Saya akui itu, kenapa? Kalo bukan karena dosa

saya, saya mungkin enggak kayak gini. Kalo mungkin saya orang baik-baik dari dulu, mungkin enggak saya terima kayak gini” (265-266, 268-269).

Harapan PT untuk memiliki anak laki-laki belum pudar pada anak ketiga. PT dan pasangannya TN terus berusaha untuk mendapat anak laki-laki. Pasangan ini pun melakukan berbagai upaya seperti berkonsultasi dengan dokter dan mengikuti saran dari orang sekitarnya.

“Ada. Ada dari dokter memberikan buku, cara-cara untuk mendapatkan anak laki-laki. Ya itu lah kami lihat, dicoba, berusaha dari buku itu” (32-33, TN).

“Kalo usaha itu ada tapi memang kayak yang ku sebut tadi kita punya usaha ke dokter, dikasih tau orang, kita punya rencana, program” (158-159, PT).

Selama berupaya dengan mengikuti saran yang ada, PT juga menyiapkan dirinya untuk menerima apapun jenis kelamin anaknya nanti setelah lahir. Bagi PT yang terpenting ialah ia sudah berusaha. Pernyataan PT ini ada dalam kutipan wawancara berikut:

“Tapi yang menentukan kan Yang Kuasa Tuhan yang menentukan bukan kita yang penting usaha kita buat ya kalo memang itulah hasilnya ya kita mau ngomong apa lagi tetapi intinya tadi kita harus siap apapun yang terjadi. Kalo dalam hidup ini kita enggak menerima apapun yang terjadi, enggak siap menerima sesuatu menerima apa yang terjadi ya udah mundur dulu jangan melangkah. Setiap kita melangkah, setiap kita berbuat kita udah siap apapun yang terjadi intinya disitu” (159-162).

Pada kehamilan anak yang keenam atau bungsu, pasangan PT dan TN tidak memeriksa jenis kelamin anak yang dikandung oleh TN. Hal ini dilakukan oleh PT dan TN dengan sengaja. Pasangan PT dan TN takut dan berusaha menghindari kenyataan jika jenis kelamin anak yang dalam kandungan tidak sesuai dengan yang diharapkan. PT dan TN takut jika tidak sesuai dengan harapan akan berdampak negatif bagi mereka seperti timbul stress.

“Iya, iya karena yang kita jaga kan kalo ke rumah sakit nanti ya misalnya jadi stress ato apa gitu kan. Jadi ya dijaga dulu. Kalo ketahuan nanti gimana. Nah jangan sampai hasilnya nanti jadi enggak enak, jadi negatif istilahnya kan” (166-168).

Meskipun tidak memeriksa kandungan ke dokter, PT telah menduga bahwa anak yang ada dalam kandungan istrinya TN akan sama berjenis kelamin perempuan seperti anak-anak sebelumnya. Dugaan PT ini berasal dari perilaku sehari-hari TN yang menunjukkan ciri-ciri anak perempuan. Berikut pernyataan PT:

“Kalo dari tingkah laku mamaknya sudah. Maksudnya nebak-nebak gitu? Nebak sih enggak, itu udah pasti dari segi kebiasaannya, biasa-biasanya udah tahu tingkah laku anak perempuankan kita udah tahu. Waktu masih dalam kandungannya kan tingkah lakunya kan termasuk ee mamaknya yang melakukan jadi pelakonnya, yang masih dalam kandungan” (163-166).

ii.2. Saat Kelahiran Anak Bungsu

Saat mengetahui jenis kelamin anak mereka perempuan, TN merasa bahwa PT menjadi kurang bersemangat. Hal tersebut dinyatakan TN saat melihat reaksi dari PT, “enggak ada ngomong entah apa gitu tapi ya kalo ku lihat agak lesunya dia” (62, TN).

“Saya kalo berprinsip dari segi adat Bataknya, saya sebenarnya sudah pusing tapi saya enggak mikir karena itu memang tadinya penting memang itulah adat Bataknya tapi kalo kita tergantung dari situ kita bergantung ke adat yang tadi mungkin mungkin enggak bisa lagi kayak sekarang ini lagi ya bisa jadi udah jalan-jalan di sana gerek kaleng (menunjuk ke arah jalan) hahaha. Tapi karena itu makanya disebut tadi harus istilahnya punya iman, harus berguna termasuk menjunjung tinggi nama orang tua tadi kalo dari segi adat Bataknya. Kalo dia enggak punya agama semuanya itu bohong semuanya itu nol tapi karena saya tadi intinya yang saya pegang cuma satu itu mengucap syukurlah dalam segala hal cuma itu aja tidak lebih dari situ. Kalo kita udah siap mengucap syukur dan di dalam pada saat kesakitan ya mudah-mudahan bisa selamat” (142-148).

Saat itu, PT menyadari bahwa dari segi adat budaya suku Batak Toba, keadaannya ini memberi dampak negatif. Dari pernyataan TN dan PT terlihat bahwa saat kelahiran anak bungsu PT mengalami tahap depression. Namun, PT berusaha menyiasatinya dengan berpegang teguh pada keyakinan yang dimilikinya. Hal ini merupakan koping yang dilakukan oleh PT yaitu dengan selalu mengucap syukur kepada Tuhan dalam segala situasi yang dihadapi. “Mengucap syukur dalam segala hal apapun yang yang terjadi ya sudah kita syukuri” (217).

Berbeda dengan PT, dalam diri TN muncul anger berupa rasa marah, rasa benci dan ada keluhan khususnya terhadap Tuhan karena kenyataan tidak sesuai dengan harapannya yaitu memiliki anak laki-laki. Selain itu, ada kekecewaan dalam diri TN terlihat dari pernyataannya. “Ya sedihlah, kesal, marah tapi enggak bisa marah. Marah lah ke Tuhan kenapa saya enggak dikasih anak laki? Adalah perasaan marah ke diri itu, kenapa begini saya? Kenapa saya tidak melahirkan anak laki-laki? Ada marah, ada kecewa pada diri sendiri, kenapa?” (28-30). Namun, TN tetap mau bersyukur walaupun tetap anak perempuan yang lahir. Tindakan TN ini merupakan suatu upaya untuk menghibur dirinya, “tapi ya bersyukur diberikan anak perempuan.” (29).

ii.3. Setelah Kelahiran Anak Bungsu

Ada dampak negatif yang terjadi dalam diri TN karena keinginannya memiliki anak laki-laki tidak tercapai. TN menjadi tidak bersemangat dalam menjalani kesehariannya setelah kelahiran anak bungsu. Keadaan TN ini menunjukkan bahwa ada keputusasaan dalam diri TN. Apa yang terjadi pada TN juga disadari oleh suaminya PT. PT sadar bahwa istrinya TN tidak

Dokumen terkait