• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Pasar Induk 2 6.67 95.65 89.55 77.27 262.47 2 Pasar

Tradisional 28 93.33 83.25 84.48 56.06 223.79

Total 30 100.00 89.45 87.01 66.67 243.13

Umumnya pedagang telah memiliki langganan pemasok bahan baku yang dibutuhkan usaha warung tenda pecel lele pedagang. Beberapa pedagang dalam melakukan pembelian bahan baku setiap harinya, melakukan pemesanan terlebih dahulu dalam jumlah tertentu, khususnya pada kebutuhan bahan baku utama seperti ikan lele; ayam potong; dan sebagainya.

Setiap harinya pedagang membeli bahan baku utama seperti ikan lele dengan jumlah rata-rata sebanyak 5.89 kg (6 kg) dan ayam potong rata-rata sebanyak 10.36 ekor (11 ekor). Pembelian bahan baku tambahan antara lain tempe rata-rata sebanyak 8 papan besar dan tahu putih besar rata-rata sebanyak 10 buah. Sedangkan jumlah pembelian ati-ampela, kepala-ceker ayam, bebek, burung dara, daging sapi dan sebagainya tergantung pada permintaan konsumen. Sementara itu untuk bahan pelengkap seperti sayur-sayuran, jumlah pembelian tergantung pada kebutuhan pedagang.

Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung sangat tinggi terhadap pedagang yang memperoleh bahan baku dari pasar induk. Berdasarkan hasil wawancara, pedagang melakukan pembelian di pasar induk karena jumlah kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan lebih banyak dan juga atas dasar pertimbangan biaya lebih murah bila membeli dalam jumlah banyak. Hal itu menunjukkan bahwa pedagang mampu melakukan manajemen pengelolaan usahanya dengan baik, terutama manajemen keuangan. Adapun ciri-ciri seorang wirausaha/pedagang yang sukses yaitu pedagang harus mampu melakukan

pengendalian terhadap keuangan usahanya dimana hal itu harus disertai dengan dukungan manajemen yang baik dari diri pedagang sendiri (Nitisusastro 2009). Modal Usaha per bulan

Modal usaha per bulan yang diteliti merupakan biaya operasional usaha yang dikeluarkan pedagang dalam satu periode yaitu 1 bulan (30 hari). Biaya operasional menggambarkan pengeluaran untuk menghasilkan produksi yang digunakan pada setiap proses produksi, baik untuk pengadaan bahan baku; bahan pembantu; barang setengah jadi dan juga lainnya, dalam satu periode kegiatan produksi usaha (Karyadi et al. 2010). Biaya operasional tersebut dibedakan ke dalam dua komponen biaya, yaitu biaya tetap dan biaya variabel.

Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung atas besar kecilnya jumlah hidangan yang dihasilkan. Komponen-komponen biaya operasional tetap dalam kegiatan usaha pedagang sehari-hari terdiri dari gaji tenaga kerja, biaya listrik dan air, serta biaya keamanan dan kebersihan. Rata-rata jumlah biaya operasional tetap yang dikeluarkan sebesar Rp 208 703.28 per hari atau Rp 7 191 691.67 per bulan, dengan kata lain sebesar 16.09 persen dari total biaya operasional selama satu bulan.

Sedangkan biaya variabel, yaitu biaya yang jumlahnya akan bertambah apabila ingin menambah jumlah output yang dijual. Komponen-komponen biaya operasional variabel dalam kegiatan usaha pedagang sehari-hari terdiri dari biaya bahan baku dan biaya penunjang. Rata-rata jumlah biaya operasional variabel yang dikeluarkan sebesar Rp 1 250 416.67 per hari atau Rp 37 512 500 per bulan, dengan kata lain sebesar 83.91 persen dari total biaya operasional selama satu bulan.

Adapun rincian dari biaya operasional variabel yang dikeluarkan pedagang adalah sebagai berikut, biaya bahan baku terdiri dari biaya pembelian ikan lele, ayam, bebek, bahan baku hidangan laut (sea food), bahan baku sop/soto, tahu, tempe, ati-ampela, kepala dan ceker ayam. Rata-rata jumlah biaya pembelian bahan baku yang dikeluarkan dalam satu periode sebesar Rp 681 683.33 per hari atau Rp 20 450 500 per bulan, dengan kata lain sebesar 54.52 persen dari total biaya variabel selama satu bulan.

Sedangkan biaya penunjang terdiri dari pembelian beras, sayur-sayuran, bahan pelengkap (minyak goreng; tisu; kecap manis; garam; gula; micin; teh; dan sebagainya), bumbu-bumbu, kemangi, dan gas elpiji 3 kg. Rata-rata jumlah biaya pembelian bahan penunjang yang dikeluarkan dalam satu periode sebesar Rp 568 733,33 per hari atau Rp 17 062 000 per bulan, dengan kata lain sebesar 45.48 persen dari total biaya variabel selama satu bulan.

Perhitungan jumlah keseluruhan modal yang dikeluarkan pedagang dilakukan selama satu periode usaha per bulan (30 hari), yang mana cukup bervariasi dari Rp 22 708 775 hingga Rp 122 545 025, dengan rata-rata modal usaha sebesar Rp 44 704 191.67. Sebanyak 83.33 persen atau 25 pedagang mengeluarkan modal per bulan pada kisaran Rp 22 708 775 hingga Rp 53 717 525, kemudian sekitar 13.33 persen mengeluarkan modal per bulan pada kisaran Rp 64 246 025 hingga Rp 89 010 025, dan sisanya 3.33 persen sebesar Rp 122 545 025. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan modal usaha per bulan dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah modal per bulan pada Mei 2013

No. Modal usaha (Rp per bulan)

Frekuensi (Orang)

Persentase

(%) Pengetahuan Sikap Keterampilan Perilaku 1 Rp 22 708 775 - Rp 55 987 525 25 83.33 79.65 81.38 53.46 214.49 2 Rp 55 987 525.1 – Rp 89 266 275 4 13.33 64.13 61.59 44.32 234.64 3 Rp 89 266 275.1 – Rp 122 545 025 1 3.33 95.65 93.64 77.27 266.56 Total 30 100.00 79.81 78.87 58.35 238.56

Semakin besarnya modal yang dikeluarkan pedagang, maka skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang juga semakin tinggi, begitu pula terhadap unsur- unsurnya. Hal itu memberikan peluang yang besar bagi pedagang untuk selalu meningkatkan kinerja usahanya.

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata modal usaha yang dikeluarkan pedagang tergolong masih relatif rendah yaitu Rp 1 459 119.94 per hari, dimana hal itu akan berdampak pada besarnya penerimaan usaha yang diperoleh dan juga kinerja usaha pedagang. Oleh karena itu guna meningkatkan penerimaan usaha yang diperoleh, pedagang harus mampu mengalokasikan modal yang dimilikinya secara optimal. Terlebih jika pedagang juga berkeinginan untuk mengembangkan usahanya, maka tambahan modal usaha sangat diperlukan.

Hal itu mendorong pedagang semakin aktif mengatasi kendala keterbatasan modal, misalnya dengan mencari tahu peluang pinjaman modal dari luar. Namun, penambahan modal usaha tersebut baru dapat dikatakan berhasil, bila dilakukan pengelolaan yang efisien dan didukung oleh semangat kewirausahaan pedagang yang tinggi, terutama dalam membaca peluang-peluang pasar potensial.

Sedangkan yang terjadi di lapangan, sebagian besar pedagang cenderung tidak berani mengambil risiko untuk mengambil pinjaman modal usaha, atas dasar pertimbangan besarnya penerimaan yang pedagang peroleh masih relatif rendah dan juga berfluktuatif. Ditambah pula sebagian besar pedagang menilai, jika pedagang melakukan pinjaman modal usaha, berarti pedagang harus membayarnya secara rutin sesuai waktu yang telah disepakati.

Pembayaran pinjaman tersebut pastinya diambil dari penerimaan usaha yang pedagang peroleh dari usaha warung tenda pedagang sebagai satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Sedangkan di sisi lain, pedagang juga harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari anggota keluarganya dari sumber penghasilan yang sama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang lebih memilih untuk tidak melakukan pinjaman usaha dan mengutamakan memenuhi kebutuhan anggota keluarganya terlebih dahulu. Hal tersebut mengindikasikan adanya kekurang pahaman sebagian besar pedagang dalam memanajemen keuangan usahanya. Padahal jika pedagang melakukan pinjaman modal dari luar dan didukung dengan pengelolaan usaha yang efisien serta pencatatan keuangan yang baik, hal itu dapat meningkatkan penerimaan usaha yang pedagang peroleh sehingga pedagang pun dapat mengembangkan usaha yang sedang dijalankannya tersebut dan juga dapat memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya lebih baik lagi (Nitisusastro 2009).

Penerimaan Usaha per bulan

Besarnya penerimaan usaha dapat dijadikan ukuran mengenai tingkat kemajuan suatu usaha. Penerimaan usaha yang diteliti merupakan penerimaan usaha operasional atau nilai produksi total yang diperoleh pedagang dalam satu periode kegiatan produksi (1 bulan=30 hari). Nilai produksi total yang dihasilkan, merupakan nilai produksi dari produk utama dan juga produk sampingan, dikalikan dengan harga per satuan produk (Karyadi et al. 2010). Adapun penerimaan usaha yang diperoleh pedagang bervariasi dari Rp Rp 27 870 000 hingga Rp 208 530 000 per bulan.

Penerimaan usaha warung tenda pedagang diperoleh dari nilai produksi total menu hidangan yang terjual selama satu periode (1 bulan), terdiri dari penjualan hidangan pecel lele; ayam goring; bebek goring; sop/soto; hidangan laut (sea food); sate kambing; tahu; tempe; ati ampela; ceker dan kepala ayam; minuman serta kerupuk. Kontribusi terbesar terhadap penerimaan usaha tersebut sebesar 26.10 persen yang berasal dari penjualan menu hidangan utama sop/soto dengan nasi.

Tingkat penjualan menu hidangan utama sop/soto dengan nasi rata-rata sebesar Rp 698 260.87 per hari atau Rp 20 947 826.09 per bulan. Hal tersebut wajar mengingat rata-rata harga jual menu hidangan tersebut yang paling mahal yaitu Rp 13 565.22 per porsi jika dibandingkan dengan rata-rata harga jual hidangan utama lainnya, seperti ayam goreng dengan nasi sebesar Rp 13 285.71 maupun harga jual hidangan pecel lele dengan nasi sebesar Rp 12 035.71. Hidangan sop/soto dengan nasi juga merupakan hidangan yang lebih banyak dijual diantara pedagang yaitu sebanyak 21 pedagang jika dibandingkan dengan hidangan-hidangan lainnya dengan rata-rata harga yang jauh lebih mahal seperti hidangan bebek, seafood, maupun sate kambing.

Jumlah peneriman usaha yang diperoleh pedagang berasal dari total penjualan produk yang dihasilkan selama satu bulan (30 hari). Sebanyak 86.67 persen atau 26 pedagang memperoleh penerimaan usaha per bulan pada kisaran Rp 27 870 000 hingga Rp 86 880 000. Kemudian sekitar 10 persen pedagang memperoleh penerimaan usaha per bulan pada kisaran Rp 111 810 000 hingga Rp 128 415 000, dan sisanya 3.33 persen pedagang memperoleh penerimaan usaha per bulan sebesar Rp 208 530 000. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan penerimaan usaha dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan penerimaan usaha per bulan pada Mei 2013

No. Penerimaan usaha (per bulan)

Frekuensi (Orang)

Persentase

(%) Pengetahuan Sikap Keterampilan Perilaku 1 Rp 27 870 000 – Rp 88 090 000 26 86.67 79.93 81.47 53.67 215.07 2 Rp 88 090 000.1 – Rp 148 310 000 3 10 88.41 82.73 65.15 236.29 3 Rp 148 310 000.1 – Rp 208 530 000 1 3.33 95.65 93.64 77.27 266.56 Total 30 100.00 88.00 85.95 65.36 239.31

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata penerimaan usaha yang diperoleh pedagang tergolong masih relatif rendah yaitu Rp 2 051 050 per hari, hal tersebut disebabkan oleh: (1) cara pengelolaan yang masih tradisional dan tidak mau berubah ke yang lebih modern, seperti penggunaan teknologi tepat guna; (2)

keterbatasan permodalan; (3) tidak dilakukannya pembukuan keuangan; (4) nilai produk yang ditawarkan tidak besar, (5) mayoritas pedagang melakukan semua aktivitas usahanya bertumpu pada kemampuan pedagang sebagai pemilik warung tenda, (6) keterbatasan pangsa pasar, tidak mau mencari dan memperluas wilayah pemasaran; dan (7) kurangnya wawasan pergaulan dengan orang-orang yang lebih maju dan berhasil dalam berwirausaha; serta yang menjadi faktor utama saat ini adalah (8) adanya fluktuasi harga bahan baku. Faktor-faktor tersebut juga diindikasikan sebagai kelemahan manajemen usaha kecil yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam berwirausaha (Kasmir 2007, Nitisusastro 2009, dan Suparyanto 2012).

Meskipun pedagang memahami bahwa terdapat berbagai macam keterbatasan; tantangan; dan kesulitan yang dihadapi dalam menekuni usahanya. Pedagang tetap semangat berusaha mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan usahanya dan juga mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan pedagang selama proses pembelajaran berwirausahanya. Keterampilan pedagang dalam berwirausaha terus terasah guna memperoleh hasil/sasaran usaha yang diinginkannya, dimana orientasi utama pedagang dalam berwirausaha adalah memperoleh penerimaan usaha yang menguntungkan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hal itulah yang mendorong perilaku wirausaha pedagang semakin meningkat.

Pencatatan Keuangan

Pencatatan atas seluruh kekayaan yang dimiliki pelaku usaha kecil atau menengah sangat penting namun sering kali diabaikan (Nitisusastro 2009). Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar pedagang cukup menyadari pentingnya pencatatan keuangan guna melihat kinerja usahanya. Tetapi sebagian besar pedagang, yaitu sebanyak 96.67 persen atau 29 pedagang tetap tidak melakukan pencatatan keuangan terhadap usahanya.

Hal itu karena penerimaan usaha yang diperoleh dirasakan cukup oleh pedagang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pedagang dan keluarganya, serta pedagang mencoba untuk selalu bersyukur dan bersikap rendah hati karena menyadari adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki pedagang seperti misalnya pendidikan formal yang relatif rendah dan modal usaha yang terbatas. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pencatatan keuangan dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pencatatan keuangan pada Mei 2013

No. Pencatatan

Keuangan

Frekuensi (Orang)

Persentase

(%) Pengetahuan Sikap Keterampilan Perilaku

1 Tidak 29 96.67 86.80 87.64 58.92 233.36

2 Ya 1 3.33 95.65 93.64 77.27 266.56

Total 30 100.00 91.22 90.64 68.10 249.96

Hal lain yang menyebabkan diabaikannya pencatatan keuangan usaha adalah adanya kekurang pahaman pedagang dalam melakukan pencatatan keuangan. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa pembinaan terhadap pedagang sebagai pelaku usaha kecil masih sangat diperlukan (Nitisusastro 2009).

Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung sangat tinggi terhadap pedagang yang melakukan pencatatan keuangan usahanya. Adanya pencatatan keuangan, pedagang dapat mengetahui aliran arus uang dalam usahanya, serta menunjukkan mutasi mana yang lebih besar, apakah inflow atau outflow keuangan usahanya. Jika mutasi inflow lebih besar, berarti kinerja usaha dalam kondisi positif dan menguntungkan, begitu pula sebaliknya.

Kemudian dengan adanya dokumen pencatatan keuangan, juga dapat dimanfaatkan pedagang sebagai alat informasi potensi kekayaan yang dimiliki usaha pedagang, sehingga dapat dijadikan sebagai agunan untuk memperoleh dukungan permodalan dari lembaga pembiayaan. Oleh karena itu, pencatatan keuangan sangatlah penting untuk dilakukan oleh pedagang sebagai pelaku usaha kecil agar lalu lintas sumber daya keuangan dapat dikendalikan dengan baik, kinerja usaha menjadi optimal, dan pedagang dapat melakukan perencanaan pengembangan usaha berikutnya yang disertai dengan adaya penambahan modal (Nitisusastro 2009).

Pembagian Keuangan

Pada umumnya selain diabaikannya pencatatan keuangan, salah satu kelemahan lain para pelaku usaha kecil pada aspek keuangan adalah harta perusahaan tidak dipisahkan dari harta pribadi pemilik usaha tersebut (Suparyanto 2012). Hal itu terbukti berdasarkan hasil penelitian, jumlah pedagang yang tidak melakukan pembagian keuangan sebanyak 90 persen atau 27 pedagang.

Padahal pedagang selain perannya sebagai pelaku usaha kecil, pedagang juga merupakan sosok pribadi atau bagian dari keluarga yang pastinya memiliki kebutuhan/keinginan yang menuntut untuk dipenuhi, dan hal itu tidaklah masalah. Namun, masalah baru muncul jika untuk memenuhi kebutuhan/keinginan pribadinya, pedagang menggunakan harta atau modal usaha.

Dengan kata lain asset yang ada di perusahaan di samping digunakan untuk kepentingan usaha juga digunakan untuk urusan pribadi pedagang sebagai pemilik usaha. Jika hal tersebut terus terjadi berulang-ulang apalagi dalam jumlah besar, maka usaha yang sedang dijalankan akan mangalami masalah atau kegagalan, dan tidak dapat dipertahankan lagi atau bangkrut (Suparyanto 2012). Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pembagian keuangan dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pembagian keuangan pada Mei 2013

No. Pembagian

keuangan

Frekuensi (Orang)

Persentase

(%) Pengetahuan Sikap Keterampilan Perilaku

1 Tidak 27 90 81.16 81.62 54.88 217.66

2 Ya 3 10 82.61 85.46 62.12 230.19

Total 30 100.00 81.88 83.54 58.50 223.92

Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung sangat tinggi terhadap pedagang yang melakukan pembagian keuangan terhadap usahanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pedagang memahami akan pentingnya pembagian keuangan, yang mana modal usaha yang ada digunakan sepenuhnya untuk keperluan usaha bahkan dapat digunakan sebagai modal rencana pengembangan usaha berikutnya.

Pedagang sebagai pemilik usaha memang berhak menerima keuntungan usaha, namun di sisi lain pedagang juga berhak mendapatkan gaji sebagai penghargaan atas kinerja dirinya sebagai pengelola utama usahanya. Gaji yang diterima pedagang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi; keluarga; sosial; keagamaan, dan lain-lain yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan/keinginan pribadi pedagang. Bahkan tidak menutup kemungkinan uang dari gaji tersebut ditanamkan kembali ke usaha warung tenda pecel lele pedagang untuk menambah dan memperkuat modal usaha serta keuntungan yang diperolehnya (Suparyanto 2012). Namun yang seringkali terjadi di lapangan, pedagang cenderung mengabaikan haknya untuk memperoleh gaji dengan alasan usaha tersebut milik pedagang sendiri.

Jumlah Tenaga Kerja

Pada umumnya, pedagang dalam menjalankan usaha dibantu oleh beberapa orang tenaga kerja/karyawan untuk meringankan dan membantu menyelesaikan pekerjaan pedagang. Jumlah karyawan pedagang bervariasi antara 1 karyawan hingga 9 karyawan, terdiri dari karyawan bagian produksi di rumah (mengolah bahan baku hingga produk setengah jadi) pada pagi dan siang hari, dan karyawan yang mengoperasionalkan warung tenda (mulai dari mengolah produk setengah jadi menjadi produk jadi untuk dikonsumsi hingga pelayanan terhadap konsumen) pada malam hari.

Pedagang yang memiliki karyawan 1 orang hingga 4 orang sebanyak 90 persen atau 27 pedagang, dimana pedagang cenderung meluangkan waktunya lebih lama di warung tenda pecel lele dan berperan aktif bekerja bersama karyawannya. Sedangkan pedagang yang memiliki karyawan 5 orang hingga 7 orang sebanyak 6.67 persen dan yang memiliki karyawan 9 orang sebanyak 3.33 persen, pedagang tersebut cenderung tidak berperan aktif bekerja dan meluangkan waktunya hanya untuk mengontrol keadaan warung dan kinerja karyawannya saja. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah tenaga kerja pada Mei 2013

No. Jumlah Tenaga Kerja Frekuensi (Orang) Persentase

(%) Pengetahuan Sikap Keterampilan Perilaku

1 1 – 4 27 90 80.25 81.45 54.04 216.00

2 5 – 8 2 6.67 84.78 83.18 65.91 234.33

3 9 1 3.33 95.65 93.64 77.27 266.56

Total 30 100.00 86.98 86.09 65.74 238.96

Umumnya dalam perekrutan karyawan tidak diterapkan sistem kontrak, karyawan dapat bekerja selama karyawan inginkan dan selama terjalin kesesuaian kinerja dengan pedagang, serta tidak terdapat pembagian jaminan sosial maupun kesehatan secara formal, melainkan berdasarkan saling pengertian dan kesesuaian dengan kemampuan pedagang. Sedangkan untuk waktu libur kerja karyawan berlaku setiap minggunya selama satu hari dan dilakukan secara bergantian pada hari yang berbeda-beda tergantung masing-masing pedagang dan hari-hari libur nasional lainnya seperti hari raya Idul Fitri dan sebagainya.

Seiring banyaknya karyawan yang bekerja, menunjukkan bahwa skor rata- rata perilaku kewirausahaan pedagang mengalami peningkatan, begitu pula dengan unsur-unsur perilaku kewirausahaan pedagang. Bagi pedagang yang memiliki jumlah karyawan relatif banyak, menuntut pedagang untuk mengetahui kemampuan dari masing-masing karyawan agar dapat disesuaikan dengan pembagian tugas/pekerjaan yang nantinya diberikan kepada karyawan.

Adanya pengelolaan terhadap sumberdaya manusia (karyawan) yang baik berdampak positif pada kinerja usaha yang dijalankan pedagang, dimana sasaran usaha dapat dicapai dengan mudah dan beban pekerjaan yang ditanggung pedagang sebagai pemilik usaha lebih ringan. Di sisi lain, waktu luang yang dimiliki pedagang pun menjadi lebih banyak karena pedagang cenderung pasif dalam mengelola usahanya sehari-hari, sehingga hal itu dapat dimanfaatkan pedagang untuk mengevaluasi dan merencanakan pengembangan usaha berikutnya.

Sedangkan bagi pedagang yang memiliki jumlah karyawan relatif sedikit, pedagang akan cenderung sangat aktif berpartisipasi mengelola usahanya. Bahkan terkadang ada masa-masanya pedagang tidak memiliki karyawan sehingga pedagang menjalankan usahanya hanya dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri, yang umumnya terbatas. Terkadang anggota keluarga pedagang, seperti istri dan anak-anaknya, juga turut serta membantu sehingga banyak tenaga dan waktu pedagang beserta keluarganya tersita untuk mengelola usaha warung tendanya tersebut.

Hal itu memungkinkan menambah besar peluang risiko yang harus dihadapi pedagang sebagai wirausahawan antara lain risiko karir; risiko family and social risk; dan risiko psikis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seringkali pedagang tidak mempersiapkan diri dan usahanya untuk menghadapi kemungkinan risiko- risiko tersebut terjadi.

Gaji Tenaga Kerja per bulan

Gaji tenaga kerja/karyawan yang diberikan oleh pedagang bervariasi dari Rp 900 000 hingga Rp 2 200 000 per bulan. Sebanyak 70 persen atau 21 pedagang memberikan gaji karyawan pada kisaran Rp 900 000 hingga Rp 1 200 000 per bulan. Kemudian sekitar 23.33 persen memberikan gaji karyawan antara Rp 1 450 000 hingga Rp 1 750 000 per bulan, dan 6.67 persen di kisaran Rp 2 000 000 hingga Rp 2 200 000 per bulan. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan gaji karyawan dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan gaji karyawan pada Mei 2013

No. Gaji Karyawan (per bulan)

Frekuensi (Orang)

Persentase

(%) Pengetahuan Sikap Keterampilan Perilaku 1 Rp 900 000 – Rp 1 333 333.33 21 70 80.12 81.52 53.25 214.88 2 Rp 1 333 333.34 – Rp 1 766 666.66 7 23.33 80.75 81.30 56.49 218.54 3 Rp 1 766 666.67 – Rp 2 200 000 2 6.67 95.65 89.55 77.27 262.47 Total 30 100.00 85.51 84.12 62.34 231.96

Sistem pemberian gaji kepada karyawan dijelaskan terlebih dahulu oleh pedagang sebelum karyawan mulai bekerja di warung tenda pecel lele. Hal tersebut dilakukan agar terjalin keterbukaan (dengan sistem pembayaran yang transparan)

dan kepercayaan antar pedagang sebagai pemilik usaha dengan karyawan. Pedagang melakukan 2 cara dalam pemberian gaji yaitu pemberian gaji harian kepada masing-masing karyawannya yang rata-rata sebesar Rp 32 670 per orang/hari kemudian pemberian gaji bulanan untuk masing-masing karyawan yang rata-rata sebesar Rp 290 000 per orang/bulan. Jika dijumlahkan rata-rata gaji yang diterima masing-masing karyawan sebesar Rp 1 280 000 per orang/bulan.

Besarnya gaji karyawan per bulan tersebut dapat dikatakan masih di bawah UPM (Upah Minimum Provinsi) Tahun 2013 DKI Jakarta, dimana sesuai SK Gub No. 189 Tahun 2012 yang disahkan pada tanggal 20 November 2013 besarnya UPM adalah Rp 2 200 000 per orang/bulan. Namun berdasarkan hasil penelitian, gaji bersih tersebut belum dijumlahkan dengan biaya tempat tinggal dan kebutuhan hidup sehari-hari tiap karyawan yang telah ditanggung sepenuhnya oleh masing- masing pedagang.

Hal itu karena selama karyawan bekerja di warung tenda, karyawan tinggal satu rumah dengan pedagang. Kebutuhan makan-minum serta penggunaan air- listrik juga dimanfaatkan bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga pedagang.

Adapun tujuan para karyawan ditempatkan dalam satu rumah yang sama dengan pedagang selain untuk mempermudah pekerjaan karyawan tersebut pada siang hari juga mempermudah untuk mengawasi karyawan dan menghemat biaya hidup karyawan itu sendiri. Umumnya karyawan yang dipekerjakan tersebut terkadang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pedagang ataupun jika tidak, karyawan adalah orang-orang yang berasal dari desa, khususnya desa Siman, yang datang ke DKI Jakarta untuk mencari rezeki.

Rata-rata kebutuhan biaya tempat tinggal di DKI Jakarta, seperti

Dokumen terkait