• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendidikan Kesehatan

2.3. Hipertensi selama Kehamilan 1.Hipertensi 1.Hipertensi

2.3.3. Hipertensi Kehamilan

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan sistolik sampai mencapai atau melebihi 140/90 mmHg. Jika tekanan darah ibu pada trimester pertama diketahui, maka angka tersebut dipakai sebagai patokan dasar tekanan darah dasar ibu. Dengan menggunakan informasi ini, definisi alternatif hipertensi merupakan kenaikan nilai sistolik sebesar 30% mmHg atau lebih atau kenaikan tekanan diastolik sebesar 15% mmHgdi atas nilai tekanan dasar ibu. Peningkatan tekanan darah harus terjadi sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dengan jarak empat sampai enam jam (Bobak, 2004).

Hipertensi adalah kondisi medis yang paling sering mempengaruhi wanita usia subur (Bothamley & Maureen, 2011). Hipertensi didiagnosis apa bila tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih dengan menggunakan fase V Korotkoff untuk menentukan tekana diastolik. Berkembangnya hipertensi selama kehamilan atau dalam 24 jam pertama postpartum pada seorang wanita yang sebelumnya normotensi. Gangguan hipertensi dalam kehamilan, meliputi; hipertensi Kronik, hipertensi transier selama kehamilan, preeklamsia (Cunnigham, 2005). Hipertensi selama kehamilan merupakan suatu komplikasi serius yang membutuhkan evaluasi saksama (Ben-zion, 1994).

Tekanan darah menurun selama separuh waktu pertama kehamilan, turun sampai 10 mmHg. Titik terendah pada pertengahan trimester kedua, normalnya < 75 mmHg diastolik pada akhir trimester kedua. Pada masa akhir

kehamilan, hampir sama dengan tekanan prepartum, normalnya < 85 mmHg diastolik pada trimester ketiga (Sobel, 1998).

2.3.4.Etiologi

Plasenta biasanya dianggap sebagai penyebab utama gangguan hipertensi pada kehamilan karena setelah kelahiran, penyakit ini berkurang. Pada plasenta normal, plasenta melibatkan invasi desidua oleh sinsitiotrofoblas. Selama awal kehamilan, dinding otot dan endoteliumarterial terkikis dan digantikan oleh trofoblas untuk memberikan lingkungan yang optimal bagi perkembangan blastosis. Fase kedua proses invasi ini terjadi antara gestasi minggu ke-16 dan ke-20 saat trofoblas mengikis myometrium arteri spiral. Pada pre-eklamsia, invasi trofoblastik arteri spiral mengalami hambatan sehingga mengakibatkan penurunan perfusi plasenta, yang akhirnya dapat menyebabkan hipoksia plasenta (Fraser & cooper, 2009).

Plasenta abnormal dan penurunan perfusi plasenta juga dapat terjadi pada kondisi yang berhubungan dengan penyakit mikrovaskuler, misalnya diabetes, hipertensi, dan trombofilia. Hal ini dapat terjadi jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada kehamilan kembar atau penyakit trofoblastik gestasional. Ibu yang menderita penyakit ini berisiko tinggi mengalami pre-eklamsia (Fraser & cooper, 2009).

2.3.5.Patofisiologi

Kegagalan invasi sel trofoblas untuk memaksimalkan modifikasi arteri spiralis uterus

Penurunan darah uterus Penurunan ekspansi plasma

Iskemia plasenta relatif

Reaksi inflamasi intravaskular umum Disfungsi endothelial

Ginjal

Aliran darah ginjal Kerusakan membran glomerulus

Kehilangan protein

Gg. Ekskresi asam urat & kreatinin Sensitivitas terhadap angiotensin

Komplikasi janin: hambatan pertumbuhan, penurunan cairan amnion, penurunan aliran darah

arteri umbilikalis

Vasokonstriksi arteriola pada organ tubuh mayor

Kardiovaskular

Tekanan darah untuk mengkompensasi Perfusi

Ekspansi volume plasama

Tekanan osmotik koloid rendah_edema

Hematologi Hematokrit dan Hb Konsumsi trombosit Aktivasi sistem Pembekuan Pembentukan mikrotrombi Hati

Perdarahan, kerusakan iskemia, dan trombosis

Nyeri epigastrik dan muntah Sindrom HELLP

Sistem saraf

2.3.6.Klasifikasi

Gangguan hipertensi pada kehamilan mengacu pada berbagai keadaan, dimana terjadi peningkatan tekanan darah maternal disertai risiko yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan janin. Awalnya, gangguan hipertensi kehamilan disebut toksemia, tetapi istilah ini kurang tepat karena tidak ada agens tosik atau toksin yang bisa ditemukan (Bobak, 2004). Penelitian terbaru yang dilakukan oleh National High Blood Pressure Edication Program Working Group onHigh Blood Pressure Pregnancy (2000) menjelaskan tentang lima kategori utama hipertensi selama kehamilan; hipertensi kronik, hipertensi gestasional, preeklamsia, eklamsia, dan preeklamsia yang terjadi pada hipertensi kronis (Fraser & Cooper, 2009).

2.3.6.1. Hipertensi Kronis

Hipertensi kronis didefinisikan sebagai hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu. Hipertensi yang menetap lebih dari enam minggu pascapartum juga diklasifikasikan sebagai hipertensi kronis (Bobak, 2004).

Hipertensi yang diketahui terjadi sebelum kehamilan atau peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg sebelum usia gestasi 20 minggu, dan berlanjut hingga 6 minggu setelah melahirkan (Rraser & Cooper, 2009). Penyakit hipertensi kronik ialah adanya hipertensi yang persisten, oleh berbagai sebab, sebelum kehamilan atau sebelum umur kehamilan 20 minggu, atau melebihi 42 hari postpartum (Ben-zion, 1994).

Hipertensi kronik diperkirakan memiliki dua kemungkinan penyebab; yang pertama, merupakan masalah jangka panjang, terjadi sebelum kahamilan dimulai, contohnya hipertensi esensisal yang terjadi pada 5% kasus hipertensi pada kehamilan. Yang kedua, dapat terjadi akibat masalah medis yang sudah ada sebelumnya, misalnya: penyakit ginjal, SLE, stenosis aorta, sindrom Cushing, fekromositoma, yang jarang terjadi, tetepi marupakan tumor medulla adrenal yang berbahaya (Fraser & Cooper, 2009).

Hasil perinatal pada hipertensi kronik ringan cukup baik. Namun demikian, morbiditas dan ortalitas perinatal meningkat pada mereka yang menderita hipertensi kronik berat atau yang dipersulit preeklamsi. Komplikasi lain tidak berkaitan dengan kehamilan dan meliputi gagal ginjal dan perdarahan serebral. Pada 1-2% kasus, ensefalopati hipertensif dapat terjadi jika tekanan darah tiba-tiba meningkat hingga lebih dari 250/150 mmHg. Mortilitas maternal akan tinggi jika feokromositoma tidak terobati (Fraser & Cooper, 2009).

Penatalaksanaan hipertensi kronis dapat dibedakan berdasarkan tingkatan hipertensi. Hipertensi kronik ringan, keadaan ini didefinisiskan sebagai tekanan darah sistolik <160 mmHg dan tekanan diastolik<110 mmHg. Ibu yang menderita hipertensi kronik ringan cenderung tidak memerlukan hospitalisasi antenatal dan dapat dirawat di komunitas oleh bidan dan dokter umum. Kondisi ibu harus dipantau dengan cermat untuk mengidentifikasi jika terjadi preeklamsi. Hipertensi kronik berat, tekanan darah sistolik >160 mmHg dan takan darah diastolik >110 mmHg. Idealnya, ibu harus dirawat oleh tim

obstetrik dan dokter. Ibu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan antenatal dengan sering untuk memantau kondisinya (Fraser & Cooper, 2009).

2.3.6.2. Hipertensi Gestasional

Hipertensi akibat kehamilan/hipertensi gestasional yang didefinisikan sebagai peningkatan takanan darah (TD) pada paruh kedua atau trimester ketiga kehamilan tanpa gambaran lain preeklamsia (Billington, 2009).

Diagnosa hipertensi gestasional ditegakkan pada wanita yang tekanan darahnya mencapai 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi gestasional disebut hipertensi transien apa bila tidak terjadi preeklamsi dan tekanan darah telah kembali normal dalam 12 minggu postpartum (Cunnigham, 2005).

wanita dengan hipertensi gestasional dapat memperlihatkan tanda-tanda yang berkaitan dengan preeklamsi, misalnya; nyeri kepala, nyeri epigastrium, atau trombisitopenia yang mempengaruhi penatalaksanaan (Cunnigham, 2005). 2.3.6.3. Preeklamsia

Preeklamsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Preeklamsia merupakan penyakit vasospastik, yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuruia (Bobak, 2004).

Pre-eklamsia adalah sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Merupakan gangguan multisistem dengan etiologi kompleks yang khusus terjadi selama kehamilan.

Milne (2005) menyatakan bahwa preeklamsia biasanya didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan proteinuria yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu (Bothamley & Maureen, 2011).

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum bisa diketahui secara pasti. Namun banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap benar-benar mutlak.

Preeklamsia adalah suatu penyakit yang hanya terjadi pada kehamilan manusia. Tanda dan gejala timbul hanya selama masa hamil dan menghilang dengan cepat setelah janin dan plasenta lahir. Tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita yang akan mengalami preeklamsia. Akan tetapi, ada beberapa faktor risiko tertentu yang berkaitan dengan perkembangan penyakit; primigravida, grand multigravida, janin besar, kehamilan dengan janin lebih dari satu, morbid obesitas (Bobak, 2004).

Pada preeklamsia, resistansi vaskular perifer meningkat, menyebabkan tekanan darah meningkat. Curah jantung agak menurun dari input parasimpatik. Preeklamsi menyebabkan peningkatan reaktivitas vaskular terhadap presor, termasuk angiotensin II, dan vasospasme merusak pembuluh darah, yang menyebabkan hipoksia lokal dan subendotelial menyimpan fibrinogen dan trombosit. Hemoragi, nekrosis, dan kerusakan organ-akhir terjadi. Vasokontriksi kerusakan endotelial, pembengkakan dan cadangan fibrin dapat mengurangi kecepatan glomerofiltrasi sebesar 25% dan meningkatkan permeabilitas terhadap protein. Hepar dapat membentuk

bercak-bercak nekrotik, meningkatkan kadar aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotrasferase (ALT). Perlemakan hati akut pada kehamilan dapat merupakan manifestasi preeklamsia. Trombositipenia muncul bersama anemia hemolitik, dan koagulasi konsumtif terdapat apda preeklamsia fulminan. Hemoragi serebral, petekie juga hematoma besar terlihat, tetapi oedema serebral jarang terjadi. Gejala SSP eklamsia kemungkinan disebabkan oleh kerusakan sel endotelial bersama agregrasi trombosit dan cadangan fibrin (Constance, 2009).

Volume plasma menurun sekita 9% sebelum hipertensi terdeteksi. Derajat penurunan volume memprediksi keparahan PJT dan hipertensi. Tekanan vena sentral dan tekanan bajikapiler pulmonal tetap tinggi, dan penggantian volume dapat menyebabkan oedema paru. Elektrolit tidak banyak berbeda dari elektrolit pada kehamilan normal(Constance, 2009).

Varian preeklamsia berat yang terjadi pada 20-30% wanita dengan preeklamsia atau eklamsia. Sindrom HELLP (hemolisis. Peningkatan enzim hati, trombosit rendah) ditandai dengan peningkatan enzim hati dan trombositemia. Indikator hipertensi dan ginjal dari preekalmsia dapat tidak ada apda varian ini (Constance, 2009).

Proteinuria merupakan tanda penting preeklamsia, dimana terdapat 300 mg atau lebih protein dalam urine per 24 jam atau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) secara pada sampel acak urine. Kombinasi proteinuria dan hipertensi selama kehamilan secara nyata meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas perinatal (Cunnigham, 1995). Kemungkinan tanda dan gejala lain pada

preeklamsia adalah sakit kepala, nyeri epigastrik, gangguan penglihatan, muntah, penurunan gerakan janin, ukuran janin kecil tidak sesuai dengan usia kehamilan (Bothamley & Maureen, 2011).

Ada beberapa faktor risiko terjadinya preeklamsia, yaitu primigravida atau > 10 tahun sejak kelahiran terakhir, kehamilan pertama dengan pasangan baru, riwayat keluarga dengan preeklamsia, khususnya pada ibu atau saudara perempuan (baik wanita hamil maupun pasangannya), kehamilan kembar, kondisi medis tertentu seperti hipertensi esensial, penyakit ginjal, diabetes, adanya proteinuria saat mendaftar untuk pemeriksaan (> 1+ pada lebih dari satu pemeriksaan atau > 0,3 g/24 jam), umur ≥ 40 tahun, obesitas (IMT > 35), IVF (fertilisasi in vivo) (Bothamley & Maureen, 2011).

Komplikasi yang terjadi pada preeklamsia, meliputi eklamsia, solusio plasenta, gagal ginjal, nekrosis hepar, ruptur hepar, anemia hemolitik mikroangiopatik, perdarahan otak, edema paru, dan pelepasan retina. Komplikasi janin meliputi: prematuritas, insufisiensi utero-plasental, retardasai pertumbuhan intrauteri dan kematian janin intrauteri (Prawirohardjo, 2008).

Pencegahan preeklamsia ini dilakukan dalam upaya untuk mencegah terjadinya preeklamsia pada perempuan hamil yang memiliki risiko preeklamsia. Menurut Prawirohadjo (2008), pencegahan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

Pencegahan non medikal, yaitu pencegahan dengan tidak memberikan obat, cara yang paling sederhana adalah dengan tirah baring. Kemudian diet, ditambah suplemen yang mengandung; minyak ikan yang kaya akan asam

lemak tidak jenuh, missal: omega-3 PUFA, antioksidan: vitamin C, vitamin E, dll, elemen logam besi: zinc, magnesium, kalium (Prawirohardjo, 2008).

Pencegahan dengan medikal, yaitu pemberian deuretik tidak terbukti mencegah terjadinya hipertensi bahkan memperberat terjadinya hipovolemia. Pemberian kalsium: 1500-2000 mg/hari, selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari, magnesium 365 mg/hari. Obat trombotik yang dianggap dapat mencegah preeklamsi adalah aspirin dosis rendah rata-rata <100 mg/hari atau dipiridamole dan dapat juga diberikan obat antioksidan misalnya vitamin C dan vitamin E (Prawirohardjo, 2008).

2.3.6.4. Eklamsia

Eklamsia ialah terjadinya konvulsi atau koma pada pasien disertai tanda dan gejala preeklamsia. Konvulsi atau koma dapat muncul tanpa didahului gangguan neurologis (Bobak, 2004).

Eklamsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklamsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang bersifat grandmal dan mungkin timbul sebelum, selama, atau setelah persalinan. Namun, kejang yang timbul lebih dari 48 jam postpartum, terutama pada nulipara, dapat dijumpai pada 10 hari postpartum (Cunnigham, 2005).

Eklamsia didefinisikan sebagai kejang yang disertai tanda dan gejala preeklamsia. Peningkatan tekanan darah yang drastis, berkurangnya haluaran urine akibat vasospasme akut, peningkatan proteinuria, sakit kepala, yang biasanya berat, persisten, dan biasanya terletak dibagian frontal, mengantuk atau konfusi akibat edema serebral, gangguan penglihatan, seperti penglihatan

kabur atau flashing light akibat edema retina, nyeri epigastrik, yang menunjukan edema hati atau kerusakan fungsi hati, mual dan muntah (Fraser & Cooper, 2009).

Komplikasi yang terjadi pada eklamsia, meliputi solusio plasenta (abrupsio), trobosis atau perdarahan otak, kematian perinatal (10-30%), koagulasi intravascular diseminata, anemia hemolitik mikroangiopatik, nekrosis korteks ginjal, nekrosis tubular ginjal, gagal hepar dengan nekrosis periportal, ruptur hepatik, gagal jantung, edema paru, dan kematian ibu.

2.3.6.5. Preeklamsia yang Terjadi pada Hipertensi Kronis

Semua gangguan hipertensi kronik, apapun penyebabnya, merupakan predisposisi timbulnya preeklamsia atau eklamsia. Gangguan-gangguan ini dapat menimbulkan kesulitan dalam diagnosis dan penatalaksanaan wanita yang belum pernah diperiksa sampai pertengahan kehamilannya (Chunnigham, 2005).

Dokumen terkait