• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Landasan Teori

3. Pegadaian Syariah

Dalam istilah bahasa Arab gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai al-habsu. Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. (Mulazid, 2016: 1)

Pengertian ini didasarkan pada praktek bahwa apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya berupa barang bergerak ataupun barang tak bergerak berada di bawah penguasaan pemberi pinjaman sampai penerima pinjaman melunasi hutangnya.

Pegadaian menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau oleh seseorang lain atas namanya. Dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan. Selain berbeda dengan KUHPerdata, pengertian gadai menurut syariat Islam juga berbeda dengan pengertian gadai menurut hukum adat yang mana dalam ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. (Mulazid, 2016: 2-3)

Sementara usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh

sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa usaha gadai memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Terdapat barang-barang berharga yang digadaikan.

2) Nilai jumlah pinjaman tergantung niali barang yang digadaikan. 3) Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali. (Kasmir, 2010:

262)

Dalam beberapa pengertian gadai di atas, maka dapat dikemukakan bahwa gadai menurut ketentuan syariah Islam adalah kombinasi pengertian gadai yang terdapat dalam KUHPerdata dan Hukum Adat, terutama sekali menyangkut masalah objek perjanjian pada gadai menurut syariah Islam meliputi barang yang mempunyai nilai harta, dan tidak dipersoalkan apakah dia merupakan benda bergerak atau tidak bergerak. (Mardani, 2015: 173)

b. Tujuan Pegadaian Syariah

Sifat usaha Pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik. Oleh karena itu, Perum Pegadaian bertujuan sebagai berikut:

1) Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijakan dan program Pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/pinjaman atas dasar gadai.

2) Pencegahan praktik pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya.

3) Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah, memiliki efek jaring pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/pembiayaan berbasis bunga.

4) Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah. (Ali, 2008: 95)

c. Landasan Hukum Pegadaian Syariah

Dasar hukum yang mengatur Pegadaian di Indonesia sebagai lembaga keuangan resmi yaitu, di mana dinas Pegadaian mengalami bebepara kali perubahan bentuk badan hukum sehingga pada akhirnya pada tahun 1990 menjadi Peusahaan Umum. Pada tahun 1960 dinas Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian, pada tahun 1969 menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Jawaran (Perjan) Pegadaian, dan pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum). Pegadaian melalui peraturan pemerintah No.10 tahun 1990 tentang berdirinya lembaga gadai dalam bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian menjadi Perusahaan Umum Pegadaian Pasal 3 ayat (1a) menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian adalah terdapat pada Pasal 5 ayat (2b), yaitu pencegahan praktik produk

riba, pinjaman tidak wajar lainnya.

Dalam rangka lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan penyaluran pinjaman khususnya kepada masyarakat menengah kebawah, usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah, Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, perlu mengubah bentuk badan hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan. Adapun perubahan bentuk badan hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 15 Tahun 2011. (Sudarsono, 2003: 162)

Dalam pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa, maksud dan tujuan Perusahaan Perseroan (Persero) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) untuk melakukan usaha di bidang gadai dan fidusia, baik secara konvensional maupun syariah, dan jasa lainnya di bidang keuangan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan terutama untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya Perseroan dengan menerapkan prinsip Perseroan Terbatas, ayat (2) untuk mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Perseroan (Persero) melaksanakan kegiatan usaha utama berupa:

1) Penyaluran pinjaman berdasarkan hukum gadai termasuk gadai efek;

2) Penyaluran pinjaman berdasarkan jaminan fidusia; dan

3) Pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa taksiran, sertifikasi dan perdagangan Logam Mulia;

Sebagaimana halnya institusi yang berlabel Islam, maka landasan konsep Pegadaian Islam juga mengacu kepada Islam yang bersumber dari Al-Qur’an (Nurul Huda, 2010: 277). Gadai hukumnya mubah berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Hadis serta Ijma’ adapun landasan yang dipakai adalah:

1) Al-Qur’an

Dasar gadai dari al-Qur’an adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 283:

   Artinya:“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu

jaminan yang dipegang.Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya.Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena siapa yang menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (RI, 2013)

2) Hadist

Dasar Hadist di antaranya Hadist yang bersumber dari Aisyah r.a: ﻋ ن ﺋﺎﻋ ش ﺔ ر ﺿ ي ﻨﻋﷲ هﺎ لﺎنأ ﺒﻨ ي ﻠﻋﷲﻰﻠﺻ وهي ﻢﻠﺳ شا ﺮﺘ طى ﻣﺎﻣﺎﻌ هين و فيد ﺮ هﻨ رده ﻋ ه

Artinya: “Dari Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW,

membeli makanan kepada seorang Yahudi dengan memakai baju besi sebagai jaminannya”. (Abu Abdillah Muammad Ibn

Isma'il al-Bukhari: 78)

3) Ijma’ Ulama

Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal ini dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad SAW, yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seseorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad SAW tersebut ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad SAW, yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, kepada mereka.

Asy-Syafii mengatakan Allah tidak menjadikan hukum

kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya maka wajib tidak ada keputusan).

Mazhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan

untuk menyerahkan jaminan untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika jaminan sudah berada ditangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahn) mempunyai hak untuk memanfaatkan. Berbeda dengan pendapat Asy-Syafii yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan. (Ali, 2008: 8)

Para ulama telah sepakat bahwa telah disyariatkannya gadai ini karena telah dipraktikkannya sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, dan tidak ada seorangpun yang menentangnya. (Hidayat, 2016: 193)

4) Fatwa Dewan Syariah Nasional

Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan barang sampai semua utang rahin (yang menyerahkan) barang dilunasi.

b) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun, dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.

c) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh

murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan

d) Besar biaya administrasi dan penyimpanan` marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. (Mardani, 2015: 174)

5) Aturan Hukum Gadai Indonesia

Dalam konteks hukum, di Indonesia telah ditemukan produk hukum yang berkaitan dengan rahn ini, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Undang-undang pertama yang menyebutkan istilah ijarah adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dalam Undang-Undang ini,

rahn disebut dengan istilah agunan yang berarti jaminan

tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah (Pasal 1 ayat 23 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan). Ketentuan ini diperkuat lagi dalam Pasal 1 ayat 26 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyebutkan bahwa rahn (agunan) adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS), guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas (Janwardi, 2015: 104-105).

Produk hukum lain yang berbicara tentang rahn adalah fatwa DSN MUI. Ada tiga fatwa yang terkait dengan rahn ini, yakni Fatwa DSN-MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang

Rahn, Fatwa DSN-MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, dan Fatwa DSN-MUI Nomor 26/DSN-MUI/2008

tentang Rahn Tasjily. Di samping ketiga Fatwa DSN-MUI tersebut, juga terdapat Fatwa DSN-MUI Nomor 92/DSNMUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn, fatwa ini termasuk baru mengingat perkembangan kondisi masyarakat yang menghendaki untuk itu.

Dalam fatwa tersebut menurut penulis lebih dominan digunakan pada lembaga keuangan perbankan syariah, unit-unit syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya yang memang menyediakan pembiayaan bagi masyarakat untuk membuka usaha atau pembiayaan bagi masyarakat yang telah memiliki usaha.

Dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 telah disebutkan berbagai aturan yang berkaitan dengan rahn.

Rahn dalam fatwa tersebut diartikan dengan menahan barang

sebagai jaminan atas utang. Selain itu, dalam fatwa tersebut dikemukakan pula ketentuan umum yang berkaitan dengan

rahn. Pertama, murtahin (penerima barang) mempunyai hak

untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Kedua, marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Ketiga, pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya pemeliharaannya penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. Keempat, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Kelima, penjualan marhun: (a) apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/diekseskusi

melalui lelang sesuai syariah; (b) hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan; dan (c) kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin (Janwardi, 2015: 105).

Lebih lanjut, dalam fatwa DSN-MUI tersebut juga terdapat ketentuan penutup yang menjelaskan beberapa hal berikut, yaitu (Nurul Huda, 2010: 279): (a) jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapaikesepakatan melalui musyawarah, (b) fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Fatwa DSN lain yang berkaitan dengan rahn adalah Fatwa DSN-MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Dalam fatwa tersebut dikemukakan bahwa rahn emas itu diperbolehkan berdasarkan prinsip rahn sebagaimana tertuang dalam fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn. Selain itu, dalam fatwa DSN ini ditetapkan bahwa (1) ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin); (2) besarnya ongkos didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan; dan (3) biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad

Ijarah. (Janwardi, 2015: 106)

Kemudian Fatwa DSN terkait rahn ini adalah Fatwa DSN-MUI Nomor 26/DSN-DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily. Rahn

Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, tetapi

penguasaan (pemanfaatan) rahin dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada murtahin.

Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn tasjily dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut: (a) rahin menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada murtahin; (b) penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan kepada murtahin. Dan apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya, marhun dapat dijual paksa/dieksekusi langsung baik melalui lelang atau dijual ke pihak lain sesuai dengan prinsip syariah; (c) rahin memberikan wewenang kepada murtahin untuk mengekseskusi barang tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya; (d) pemanfaatan barangmarhun oleh rahin harus dalam batas kewajaran sesuai kesepakatan; (e) murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang

marhun berupa (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat)

yang ditanggung oleh rahin; (f) besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun tidak boleh dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan; (g) besaran biaya sebagaimana dimaksud huruf e tersebut didasarkan pada pengeluaran yang riil dan beban lainnya berdasarkan akad ijarah; dan (h) biaya asuransi pembiayaan rahn tasjily ditanggung oleh rahin. (Janwardi, 2015: 107)

d. Rukun dan Syarat Gadai

Pada dasarnya aspek hukum keperdataan Islam dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, gadai maupun yang semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi

pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Hal dimaksud diungkapkan sebagai berikut: (Ali, 2008: 20-21)

1) Rukun Gadai

Menurut jumhur ulama rukun gadai ada 4 (empat), yaitu: a) Sighat (lafal ijab dan qabul),

b) Orang yang berakad (rahin dan murtahin) c) Harta yang dijadikan jaminan (marhun) d) Utang (marhun bih)

2) Syarat Gadai

a) Syarat yang berhubungan dengan yang berakad (rahin dan

murtahun)

Sama halnya dengan orang yang melakukan akad jual beli, maka orang yang berakad harus berakal dan baligh.

b) Syarat yang berhubungan dengan marhun (barang gadai) Barang gadai adalah jaminan atas hutang, jika tidak mampu membayarnya maka barang gadai dapat dijual untuk menutupi hutang. Barang tersebut harus milik rahin, tidak terikat dengan hak orang lain, diketahui bentuk dan jenisnya. c) Syarat yang berhubungan dengan marhun bih (utang)

Hak yang wajib dikembalikan kepada murhain, dan marhun

bih boleh dilunasi dengan marhun.

d) Syarat yang berhubungan dengan Akad

Syarat sah, yaitu kontrak gadai seperti syarat pembayaran utang yang didahulukan sebelum mebayar kepada piutang yang lain atau syarat dalam akad harus ada saksi. Syarat yang tidak sah, yaitu yang tidak ada maslahat dan tujuan. Dan syarat yang merusak akad, yaitu yang dapat merugikan salah satu pihak, seperti memberi tambahan pembayaran. (Habiburrahim, 2012: 110)

e. Akad Transaksi di Pegadaian Syariah

Operasional Pegadaian Syariah berjalan diatas 2 akad transaksi syariah yaitu:

1) Akad Rahn

Akad Rahn yang di maksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian Syariah menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.

2) Akad Ijarah

Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian Syariah untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad. (Nurul Huda, 2010: 279-280)

f. Prinsip-prinsip Dasar Operasional Pegadaian Syariah

Operasional Pegadaian Syariah menggambarkan hubungan antara nasabah dan pengadaian. Adapun teksnis Pengadaian Syariah sebagai berikut: (Sudarsono, 2003: 178)

1) Nasabah menjaminkan barang kepada Pegadaian Syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian, pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam pemberian besaran pembiayaan yang dapat diberikan oleh pengadaian syariah kepada nasabah.

2) Pegadaian Syariah dan nasabah menyetujui akad gadai. Akad ini mengenai berbagai hal, seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan, pelunasan, dan sebagainya.

3) Pegadaian Syariah menerima biaya administrasi dibayar di awal, sedangkan untuk jasa simpan pada saat pelunasan utang.

4) Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh, ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian.

Implementasi operasi di Pegadaian Syariah hampir mirip dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana. Masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan dan uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn dengan waktu yang singkat. (Sholahuddin, 2014: 206)

Dokumen terkait