• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEHIDUPAN BURUH DI PERKEBUNAN

4.3 Pelacuran dan Budaya Mestizo

Kalau diperhatikan tentang masyarakat perkebunan, pesta mabuk-mabukan yang liar, kakasaran, dan ketidaksopanan tetap menandai gaya hidup orang Eropa di Deli selama beberapa dasawarsa pertama abad ke-20. Sangat kurangnya unsur perempuan di Deli sesuai benar dengan gambaran Deli sebagai tempat transit yang masyarakatnya dikenal masih agak liar. Lelaki mendominasi staf perkebunan dari atas sampai bawah. Juga di kalangan kuli, kaum kuli, kaum perempuan merupakan minoritas. Dari seluruh kuli seanyak 62.000 orang yang bekerja di Deli Maatschappij pada awal abad ke-20, hanya 5.000 yang perempuan, semuanya orang Jawa. Kaum lelaki hampir seluruhnya termasuk kategori usia muda, yang biasa disebut sedang kuat-kuatnya. Di perkebunan itu, mereka dapat menikmati seks, tetapi kata orang, kuli Cina tak begitu menghiraukan perempuan. Beberapa sumber yang sempat membicarakan masalah yang rawan ini menyatakan mereka lebih suka pada “kecabulan yang tidak alami”, mereka menyenangi anak-anak muda, atau lebih tepat anak-anak. Anak-anak itu mereka namakan anak Jawi, dan para pengawas punya hal pertama atas diri mereka. Hal itupun tidak begitu mengherankan, sebab hubungan tersebut berlangsung di depan mata orang banyak. Di dalam barak, pelacur lelaki punya tempat tidur sendiri, lengkap dengan gorden yang dihiasi dengan aksesorisnya.

Bagi lelaki jawa berlaku hal sebaliknya. Tanpa perempuan, menurut sumber itu juga, tidak mungkin ia bertahan hidup di perkebunan. Tetapi kata sumber itu juga, lelaki Jawa lekas merasa puas, sedang perempuannya gampang merasa terikat pada

perkebunan tempat mereka tinggal, seperti isteri serdadu merasa terikat pada tangsinya.35

“buat apa aku malu, tak ada yang memalukan pada diriku, mereka yang memberikan aku kepada seorang laki-laki itulah yang tak tahu malu, bukankah begitu? Aku telah dibuang kepada seorang mirip Anda

Bagi seorang kuli perempuan Jawa, melayani kebutuhan-kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga umum dari para pekerja lelaki dan pihak manajemen lebih merupakan keharusan ketimbang pilihan. Sumber lain sependapat bahwa tiap tahun ratusan perempuan muda yang telah direkrut sebagai kuli kontrak menghidupi diri mereka sendiri dengan melayani para penghuni bujangan yang berjumlah besar dua barak-barak kuli Cina.

Diusahakan agar perempuan tetap bersedia dan bersedia memberikan pelayanan tersebut berdasarkan rencana yang hati-hati karena dengan adanya pelacuran demikian maka pelacur tersebut dapat menghabiskan uang yang mereka dapatkan dengan dibelanjakan untuk barang-barang dan perhiasan-perhiasan yang murahan. Kuli-kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang digunakan untuk memikat pekerja lelaki ke Deli dan sebagai bagian dari pelipur lara yang diharapkan untuk menahan mereka di sana. Prostitusi atau pelacuran dianggap pula sebagai kejahatan yang lebih kecil daripada tindakan sodomi yang dilakukan oleh kuli-kuli Cina tadi. Dari sebuah novel yang ditulis oleh Szekely-Lulofs secara khusus merinci sebuah keadaan dimana seorang pelacur bagaimana dengan mudahnya menyerahkan dirinya kepada kuli-kuli Cina :

35

membuang seekor anjing. Parman bukan suamiku. Aku hanya tinggal bersamanya karena diharuskan, karena namaku adalah “orang kontrak” (kuli kontrak). Jadi dia malu-malu tak peduli! Jadi aku akan dicap pelacur Cina! Jika aku kepingin, aku akan pergi ke barak-barak Cina. Darimana lagi aku mendapat uang? Yang benar saja?

Dalam membentuk suatu masyarakat dimana prostitusi merupakan hal yang biasa dan umum, maka perusahaan Deli Maatschappij tidak memperhitungkan konsekuensinya. Perkara wanita, percekcokan mengenai perempuan, sering kali berubah menjadi keributan yang membawa maut antara pekerja-pekerja Cina dan Jawa. Dan banyak serangan terhadap personil kulit putih disebabkan oleh para ayah dan para suami yang cemburu karena anak gadis dan isteri mereka telah dipanggil ke rumah manajer dan tidak kembali.

Dalam kondisi yang demikian, maka perkawinan kuli kontrak, sebutan yang merendahkan itu, kecil kemungkinannya untuk bertahan. Kehidupan keluarga sebagai suatu keadaan sosial yang lestari, sesungguhnya nyaris tidak terdapat dalam situasi di mana para pekerja hidup di barak-barak dan terus menerus mengalami perpindahan dari bagian satu ke bagian lainnya tanpa mengindahkan ikatan pernikahan. Sebagai akibatnya, para perempuan yang sudah kawin maupun yang belum kawin kedua-duanya melacurkan diri, memasak untuk para pekerja yang masih bujangan, atau menjadi pelayan untuk urusan ranjang staf kolonial kulit putih.36

Lalu, bagaimana para lelaki Eropa memenuhi kebutuhan seksual mengingat langkanya perempuan di perkebunan? Perlu diingat tuan kebun sebagai lelaki muda,

36

Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra 1870-1979, Yogyakarta : Karsa, 2005, hlm. 49-53

agresif, dan agak kasar, harus tampil jantan. Martabat diri dan kontrol sosial yang kuat antara sesama orang Eropa tidak memungkinkan bagi mereka memperhatikan secara terbuka hubungan homoseksualitas antara anggota staf kulit putih dengan kuli Cina atau Jawa. Hal semacam ini memang tidak didapat di sumber manapun. Tetap tentu saja ini berarti tidak ada. Sebaliknya, dapat diterima bahkan dianggap tepat oleh masyarakat yang didominasi laki-laki itu untuk hidup bersama tanpa nikah dengan perempuan Asia. Dianggap wajar jika pegawai kulit putih mendapat hak pertama untuk memilih pada waktu kuli kontrak perempuan baru tiba di perkebunan. Tetapi tentu saja itu untuk ikatan sementara. Bahkan demi mencari wanita yang terlihat bersih dan berpenampilan lebih menarik ketimbang kuli perempuan yang berasal dari kuli Cina dan kuli Jawa, para pegawai kulit putih mendatangkan seorang Geisha yaitu dengan konotasi buruk yang diartikan sebagai pelacur yang berasal dari negeri Jepang, mereka adalah pelacur-pelacur profesional yang telah dibentuk berbuat demikian dengan keahlian-keahlian khusus untuk menyenangkan para lelaki seperti keahlian menyanyi, menari, dan menghidangkan teh secara sempurna.

Pengurus rumah tangga adalah istilah yang sangat netral untuk seorang gundik Jawa (Nyai) yang cantik dan patuh, tetapi juga sekaligus bertindak dan tak mudah dimengerti. Paduan antara hal yang memikat dan memuakkan ini tidak lepas dari masalah rasial yang menjadi ciri hubungan di antara bangsa-bangsa itu. Menurut anggapan yang berlaku di perkebunan, semua kuli perempuan adalah pelacur, atau terpaksa menjadi pelacur. Walapun demikian para tuan kebun memanfaatkan juga

pelacur kontrak itu untuk memuaskan nafsu seksual mereka, yang berarti bersaing dengan kuli laki-laki.37

37

Jan Breman, Op. Cit. hlm. 208

Sedangkan masalah budaya Mestizo adalah dampak dari praktek pelacuran yang terjadi di antara kuli-kuli perempuan dan para pegawai kulit putih yang menghasilkan anak-anak yang tidak berada di kalangan orang tuanya, yaitu antara bangsa kulit putih atau Eropa ataupun dari bangsa Asia. Hal ini dikuatkan dengan adanya rasialisme diantara para pekerja dan tuan kebun yang umumnya memiliki perbedaan ras dan bangsa. Yang biasanya pelaku kuli adalah seorang Cina, Jawa dan Tamil sedangkan para tuan kebun berkebangsaan Eropa dan berkulit putih yang menganggap diri mereka superioritas meskipun dari segi tingkat pekerjaan mereka berada di level teratas yaitu pemilik perkebunan atau pegawai-pegawai dan staf-staf yang dipekerjakan di perkebunan Deli Maatschappij.

Bagaimana hal ini bisa terjadi diakibatkan oleh adanya suatu keadaan dimana perkebunan Deli Maatschappij memiliki perkotakan tersendiri dari jenisnya sebagai sebuah perushaaan dan mengasingkan diri dari pemkiman warga yang berada di sekitar perusahaan Deli Maatschappij. Perkebunan adalah sebuah negara di dalam negara, begitulah istilah ini diberikan karena kebudayaan dan kehidupan berlainan dari sebuah komunitas pada umumnya. Karena di dalamnya terdapat kebiasaan yang tidak biasa dan melanggar banyak nilai dan norma-norma kemanusiaan.

Akibat adanya pelacuran dan pergundikan yang secara terbuka digelar di dalam perkebunan, maka dampak dari itu semua adalah anak-anak yang dianggap tidak memiliki jati diri, dikatakan pribumi mereka memiliki fisik yang berbeda dari ibunya yaitu berkulit putih, rambut pirang dan tubuh yang tingginya di atas dari rata-rata penduduk pribumi sedangkan si ibu memiliki anatomi yang biasa disebut orang pribumi yaitu orang Asia, berkulit sawo matang dan berambut hitam.

Perbedaan yang membawa kesulitan bagi keturunan semacam ini juga disebabkan karena sang ibu bisanya meninggalkan mereka karena tidak mau diangggap melanggar norma dan nilai-nilai yang selama ini tetap dijaga dalam budayanya sebagai seorang Asia. Ketika mereka (kuli perempuan) telah habis masa kontraknya, maka anak-anak ini yang berdarah campuran dianggap tidak boleh ada di kalangan mereka, sehingga tidak ada cara lain bagi sang ibu untuk tetap membesarkannya di komunitas lainnya, maka jadilah komunitas Mestizo yang menghasilkan anak-anak campuran di tengah-tengah perkebunan dan masyarakat di sekitarnya, walaupun mereka berkulit putih dan berambut pirang mereka tidak dianggap sebagai orang Eropa yaitu dari darah ayahnya yang seorang Eropa karena mereka hanya mewarisi keadaan genitalnya tanpa memiliki jati diri ayahnya yang superioritas di antara pribumi sehingga dijauhkan dan ditolak secara terang-terangan dari kalangan mereka bangsa kulit putih asli.

Sebuah perkampungan berdarah campuran inilah yang disebut kebudayaan Mestizo dimana mereka mengasingkan diri dari masyarakat pribumi dan juga dijauhkan dari masyarakat kulit putih yang menjadi pembawa garis keturunan tidak

asli ini. Di masa kini mereka yang memiliki fisik lebih indah mendapat keuntungan ketimbang mereka pada saat jaman dimana Deli Maatschappij memegang peranan penting perekonomian bangsa Indonesia, contoh nyatanya adalah mereka yang memiliki fisik seperti ini dinilai memiliki fisik lebih baik dan pemikiran yang lebih tajam ketimbang masyarakat pribumi biasanya.

Dokumen terkait