• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : FAKTOR-FAKTOR HAMBATAN DALAM PENGATURAN

C. Pelaksanaan CSR di Indonesia Sebagai Pemenuhan GCG Untuk

Dalam hal pengaturan mengenai CSR yang termuat dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka pada saat pemerintah memberikan keterangan rancangan undang-undang tersebut kepada DPR, salah satu tujuan pembaharuan undang-undang Perseroan Terbatas adalah untuk mendukung implementasi Good Corporate Governance (GCG).206

Pada tahun 1999 negara Indonesia mebentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang berdasarkan Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance (GCG) yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali       

205

Ibid.

206

Isa W dan Busyra A., Op. cit, hal. 152-153. Dalam era kapitalisme global saat ini,

eksistensi perusahaan di tengah masyarakat adalah keniscayaan sehingga menampik keberadaan mereka dalam dinamika pembangunan di berbagai aspek adalah irrasional. Sementara itu, menyiasati kehadiran perusahaan dalam kerja sama kemitraan yang sejajar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukanlah ilusi. Oleh sebab itu, adalah suatu keharusan kemitraan antara kalangan dunia usaha, pemerintah dan masyarakat yang saling sinerji (kemitraan tripartite), mesti lebih ditingkatkan lagi. Dari sisi bisnis, perusahaan sedapat mungkin memaksimalkan potensinya untuk melakukan program CSR secara komprehensif dan kesinambungan. Dari sisi komunitas, dapat berperan proaktif

dengan member input yang baik pada perusahaan dan siap berpartisipasi aktif untuk mensukseskan

program CSR. Adapun dari sisi pemerintah, perlu menciptakan iklim yang kondusif untuk

berkembangnya program CSR yang digelar kalangan dunia usaha sehingga terwujud public, private,

and community partnership. Tujuan akhir jelas, apabila rasa kebersamaan sudah kuat, semuannya dapat tumbuh berkembang secara sustain.

disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang sama, maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal tahun 2006 dikeluarkan Pedoman GCG Perasuransian Indonesia.

Sejak Pedoman GCG dikeluarkan pada tahun 1999 dan selama proses pembahasan pedoman GCG sektor perbankan dan sektor perasuransian, telah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Walaupun peringkat penerapan GCG di dalam negeri masih sangat rendah, namun semangat menerapkan GCG di kalangan dunia usaha dirasakan ada peningkatan. Perkembangan lain yang penting dalam kaitan dengan perlunya penyempurnaan Pedoman GCG adalah adanya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997-1999 yang di Indonesia berkembang menjadi krisis multidimensi yang berkepanjangan. Krisis tersebut antara lain terjadi karena banyak perusahaan yang belum menerapkan GCG secara konsisten, khususnya belum diterapkannya etika bisnis. Oleh karena itu, etika bisnis dan pedoman perilaku menjadi hal penting yang dituangkan dalam bab tersendiri.

Secara global luar negeri terjadi pula perkembangan dalam penerapan GCG. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) telah merevisi Principles of Corporate Governance pada tahun 2004. Tambahan penting dalam pedoman baru OECD adalah adanya penegasan tentang perlunya penciptaan kondisi oleh Pemerintah dan masyarakat untuk dapat dilaksanakannya GCG secara efektif. Peristiwa WorldCom dan Enron di Amerika Serikat telah menambah keyakinan

tentang betapa pentingnya penerapan GCG. Di Amerika Serikat, peristiwa tersebut ditanggapi dengan perubahan fundamental peraturan perundang-undangan di bidang audit dan pasar modal.

Di negara-negara lain, hal tersebut ditanggapi secara berbeda, antara lain dalam bentuk penyempurnaan Pedoman GCG di negara yang bersangkutan. Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, Pemerintah juga makin menyadari perlunya penerapan good governance di sektor publik, mengingat pelaksanaan GCG oleh dunia usaha tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya good public governance dan partisipasi masyarakat. Dengan latar belakang perkembangan tersebut, maka pada bulan November 2004, Pemerintah dengan Keputusan Menko Bidang Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004 telah menyetujui pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub- Komite Korporasi. Dengan telah dibentuknya KNKG, maka Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG dinyatakan tidak berlaku lagi.

Secara akademis konsep GCG akan terus berevolusi sejalan dengan perkembangan dunia bisnis itu sendiri dan prinsip ini menjadi fenomenal pasca krisis tahun 1997. di Indonesia sendiri konsep GCG ini diperkenalkan oleh International Monetary Fund (IMF) pada saat melakukan economic recovery pasca krisis. Terutama dalam upaya melindungi pemegang saham (shareholders) dan kreditor untuk dapat memperoleh kembali investasinya.

GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:207

1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan/yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement). Peranan Negara dalam hal ini antara lain:

a. Melakukan koordinasi secara efektif antar penyelenggara negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan berdasarkan sistem hukum nasional dengan memprioritaskan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu regulator harus memahami perkembangan bisnis yang terjadi untuk dapat melakukan penyempurnaan atas peraturan perundang-undangan secara berkelanjutan.

b. Mengikutsertakan dunia usaha dan masyarakat secara bertanggungjawab dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (rule making rules).

c. Menciptakan sistem politik yang sehat dengan penyelenggara negara yang memiliki integritas dan profesionalitas yang tinggi.

d. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement).

e. Mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

f. Mengatur kewenangan dan koordinasi antar-instansi yang jelas untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dengan integritas yang tinggi dan mata rantai yang singkat serta akurat dalam rangka mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.

g. Memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor (iwhistleblower) yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada perusahaan. Pemberi informasi dapat berasal dari manajemen, karyawan perusahaan atau pihak lain.

       207

h. Mengeluarkan peraturan untuk menunjang pelaksanaan GCG dalam bentuk ketentuan yang dapat menciptakan iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.

i. Melaksanakan hak dan kewajiban yang sama dengan pemegang saham lainnya dalam hal Negara juga sebagai pemegang saham perusahaan. 2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar

pelaksanaan usaha. Peranan dunia usaha antara lain :

a. Menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.

b. Bersikap dan berperilaku yang memperlihatkan kepatuhan dunia usaha dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan.

c. Mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

d. Meningkatkan kualitas struktur pengelolaan dan pola kerja perusahaan yang didasarkan pada asas GCG secara berkesinambungan.

e. Melaksanakan fungsi ombudsman untuk dapat menampung informasi tentang penyimpangan yang terjadi pada perusahaan. Fungsi ombudsman dapat dilaksanakan bersama pada suatu kelompok usaha atau sektor ekonomi tertentu.

3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab

a. Melakukan kontrol sosial dengan memberikan perhatian dan kepedulian terhadap pelayanan masyarakat yang dilakukan penyelenggara negara serta terhadap kegiatan dan produk atau jasa yang dihasilkan oleh dunia usaha, melalui penyampaian pendapat secara obyektif dan bertanggung jawab.

b. Melakukan komunikasi dengan penyelenggara negara dan dunia usaha dalam mengekspresikan pendapat dan keberatan masyarakat.

c. Mematuhi peraturan perundang-undangan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Salah satu dari empat prinsip GCG adalah prinsip responsibility (pertanggung jawaban). Ada perbedaan yang cukup mendasar antara prinsip responsibility dan tiga prinsip GCG lainnya. Tiga prinsip GCG pertama lebih memberikan penekanan terhadap kepentingan pemegang saham perusahaan (shareholders) sehingga ketiga prinsip tersebut lebih mencerminkan shareholders-driven concept. Contohnya, perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas (fairness), penyajian

laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu (transparency), dan fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi (accountability).208

Dari penjelasan tersebut, terutama menciptakan nilai tambah pada produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, maka prinsip responsibility GCG menelurkan gagasan corporate social responsibility (CSR) atau peran serta perusahaan dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya. Dalam gagasan CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Contohnya kasus Newmont di Nusa Tenggara Timur, Free Fort di Papua, dan Lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Menghadapi tren global tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta       

208

Ibid., hal. 156-157. Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan

pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan

stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi

stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Karena itu, prinsip responsibility di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Perbedaan bisnis perusahaan akan menjadikan perusahaan memiliki prioritas stakeholders yang berbeda.

melaporkan kepada stakeholders-nya setiap tahun. Laporan bersifat nonfinansial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan, diantaranya Sustainability Reporting Guidelines yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) dan Value Reporting yang digagas perusahaan konsultan dunia Pricewaterhouse Coopers (PwC). Kita semua berharap bahwa perusahaan yang beroperasi di Indonesia tidak hanya memperhatikan sisi GCG dan melupakan aspek CSR. Karena kedua aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan.

Dalam mengimplementasikan prinsip responsibility dalam makna CSR sebagai salah satu dari prinsip GCG, maka pihak perusahaan harus memperhatikan beberapa kepentingan stakeholders sebagai pemegang saham publik, yakni:209

1. Prinsip keterbukaan harus benar-benar diimplementasikan, terutama pada saat perusahaan mau melakukan ”listing” atau menjual sahamnya kepada pihak umum;

2. Pemberian informasi material sesegera mungkin pada masyarakat;

3. Mendengarkan secara serius, setiap opini publik yang berkaitan dengan perusahaan.

Sebenarnya kajian yang menarik dalam melihat hubungan implementasi CSR dengan GCG terletak pada kemungkinan pengurangan laba perusahaan demi kepentingan stakeholders. Kajian ini telah dilakukan oleh Einer Elhauge dari Harvard Law School yang menunjukkan bahwa perusahaan tidak sekedar berdiri untuk mencari keuntungan maksimal belaka, dan bahwa secara normatif, perusahaan tetap       

209

bertanggung jawab kepada publik, dalam makna bahwa perusahaan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. Apabila manajemen perusahaan mengurangi keuntungan demi memenuhi kepentingan umum, misalnya dalam hal lingkungan hidup. Dalam hal ini pihak manajemen perusahaan tidak berarti melanggar tugasnya dalam upaya memberikan keuntungan maksimal pada shareholders. Sebaliknya jika pihak manajemen justru melakukan perbuatan merugikan kepentingan umum, maka yang terjadi adalah maksimalisasi keuntungan secara ilegal.210

Pelaksanaan GCG tersebut harus diwujudkan dalam bentuk program CSR yang bersifat berkelanjutan tidak hanya charity maupun philanthropi. Partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah dengan mengembangkan program kepedulian perusahaan kepada masyarakat disekitarnya dengan tanggjung jawab sosial perusahaan atau CSR. Dalam konteks ini dunia usaha menerapkan GCG menjelma dalam beberapa aktivitas kepedulian perusahaan.

Dalam pelaksanaan CSR sedikitnya ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu :211

       210

Ibid., hal. 174. Bila perusahaan tetap mengedepankan bagaimana mendapatkan keuntungan

yang maksimal tanpa batas, maka perusahaan telah menjadi obyek yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Melalui penerpan prinsip CSR dalam rangka melaksanakan GCG sudah seharusnya pendiri perusahaan menyadari bahwa aktivitas usaha perusahaan akan menimbulkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sehingga diharapkan shareholder menyadari dan sekaligus mengamanahkan kepada manajemen untuk mengelola perusahaan agar berdampak positif terhadap stakeholdernya.

211

Saidi., Zaim., dan Hamid Abidin., Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek

a. Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.

b. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund.

c. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah (NGO/LSM), instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).

d. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.

Selain itu konsep CSR menurut Philip Kotler bahwa CSR hendaknya bukan merupakan aktivitas yang hanya merupakan kewajiban perusahaan secara formalitas kepada lingkungan sosialnya, namun CSR seharusnya merupakan sentuhan moralitas

perusahaan terhadap lingkungan sosialnya sehingga CSR merupakan denyut nadi perusahaan.212

Dalam hal ini sebuah aktualisasi CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekedar aktivitas charity adalah Community Development (Comdev). Hal ini juga disebabkan karena dalam pelaksanaan Comdev terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan berkelanjutan. Dalam perwujudan GCG maka CSR merupakan komitmen dunia usaha untuk mewujudkannya. Comdev intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka.213

Dalam konsep Comdev memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, dengan mengidentifikasikan kebutuhan bersama dan kemudian melakukan aktivitas bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Comdev sering kali diimplementasikan dalam bentuk, antara lain:214

a. Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui;

b. Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.

       212

Jackie Ambadar., CSR Dalam Praktik Di Indonesia, (Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo, 2008), hal. 33. 213

Ibid., hal. 36. 214

Tabel berikut ini diperlihatkan kegiatan-kegiatan CSR sesuai dengan Triple Bottom Line, antara lain:215

No. Aspek Muatan

1. Sosial Pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan, penguatan kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan sosial, olahraga pemuda, wanita, agama, kebudayaan dan sebagainya.

2. Ekonomi Kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit mikro kecil dan menengah (KUB/UMKM), agrobisnis, pembukaa lapangan kerja, infrastruktur ekonomi dan usaha produktif lain

3. Likungan Penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan, pelestarian alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pengendalian polusi, serta penggunaan produksi dan energi secara efisien.

Selain konsep CSR di atas, terdapat konsep CSR yang dikembangkan oleh Archie B. Carrol yang disebut dengan piramida CSR. Hal ini CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triplebottom line, yaitu profit, people, dan plannet (3P):216

1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang;

2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat; dan

3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hayati. Beberpa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan hidup lingkungan hidup, penyediaan sarana pengembangan pariwisata (ekoturisme).

       215

Isa W dan Busyra A., Op. cit, hal. 45. 216

Triple Bottom lines dalam CSR (Archie B Carrol, 1979) Profit (Keuntungan Perusahaan) People (Kesejahteraan Manusia/Masyarakat) Plannet (Keberlanjutan Lingkungan Hidup)

Agar berkelanjutan, pemberdayaan jangan hanya berpusat pada komunitas lokal, melainkan pula pada sistem sosial yang lebih luas termasuk kebijakan sosial. Salah satu lambannya pelaksanaan CSR di Indonesia adalah tidak adanya instrumen hukum yang komprehensif yang mengatur CSR. Instrumen hukum sangat diperlukan sekali untuk mendorong pelaksanaan CSR di Indonesia.

Pada saat ini, memang sudah tedapat peraturan yang terkait dengan CSR seperti UUPLH. Namun undang-undang tersebut belum mampu mendorong pelaksanaan CSR di lapangan. Apalagi dalam undang-undang tersebut hal yang diatur masih terbatas. Hanya berkaitan dengan hal tertentu saja.

Padahal CSR tidak saja berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dalam arti sempit, namun juga dalam arti luas seperti tanggung jawab perusahaan terhadap pendidikan, perekonomian, dan kesejahteraan rakyat sekitar. Hal ini di atas tentunya menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk segera

dicari jalan keluarnya. Oleh karena itu membuat regulasi mengenai CSR merupakan jalan terbaik. Regulasi yang dimaksud adalah dengan membuat produk hukum yang akan mengatur secara tegas, jelas, dan komprehensif.