• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia"

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG CORPORATE SOCIAL

RESPONSIBILITY ANTARA INDONESIA DENGAN CINA

DALAM UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

DI INDONESIA

T E S I S

Oleh :

NILAWATY 087005114 / HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG CORPORATE SOCIAL

RESPONSIBILITY ANTARA INDONESIA DENGAN CINA

DALAM UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

DI INDONESIA

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NILAWATY 087005114 / HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

(MEJA HIJAU)

Judul Tesis : PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY ANTARA INDONESIA DENGAN CINA DALAM UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : NILAWATY

Nomor Pokok : 087005114

Program Studi : ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr, Bismar Nasution, SH, MH)

Ketua

(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) (Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

(4)

Telah diuji pada

Tanggal,

PANITIA PENGUJI

Ketua :

(5)

ABSTRAK

Umumnya pengaturan prinsip Corporate Social Responsibility ditingkatan internasional masih bersifat sukarela, tidak ada hukum yang mengatur secara mengikat. Namun banyak negara-negara barat yang patuh dan mengadopsi prinsip-prinsip tersebut karena melihat kondisi-kondisi perusahaan yang berdiri di negara-negara barat harus bertanggung jawab terhadap sosial dan lingkungannya. Judul dalam penelitian ini adalah, “Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan

Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia”. Pola pengaturan mengenai

Corporate Social Responsibility dari setiap negara memang berbeda kuhusnya di negara Cina dan negara Indonesia.

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimanakah perbandingan pengaturan Corporate Social Responsibility antara negara Cina dan Indonesia dalam mewujudkan Good Corporate Governance? Kedua, apa saja faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia dalam upaya pemenuhan Good Corporate Governance untuk mewujudkan

sustainable development?

Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini menggambarkan bahwa

(6)

Pemerintah yang janjikan dalam UUPT 2007 untuk mengatur lebih lanjut tentang

Corporate Social Responsibility belum juga dikeluarkan, dan tidak ada award bagi perusahaan yang menjalankan Corporate Social Responsibility dengan baik. Jika habatan-hambatan masih bersifat demikian, maka dalam upaya pemenuhan Good Corporate Governance dalam mewujudkan sustainable development tidak akan tercapai sehingga pelaksanaan Corporate Social Responsibility di Indonesia tidak akan dapat dirasakan sepenuhnya oleh stakeholders perusahaan. Padahal pelaksanaan program-program tersebut merupakan bentuk perwujudan dari prinsip-prinsip Good CorporateGovernance.

Saran dalam penelitian ini diharapkan perlu dipercapat oleh pemerintah terhadap pengaturan yang masih mengambang terkait Corporate Social Responsibility demi untuk kesatuan dan memperjelas hukum Corporate Social Responsibility di Indonesia agar kewajiban dan hak dari pelaku usaha terhadap

stakeholdrs dapat terperinci dengan jelas. Selain itu juga diharapkan faktor-faktor yang menjadi hambatan pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia harus mampu pula diselesaikan oleh pemerintah Indonesia karena hal tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam menjalankan prinsip-prinsip Good CorporateGovernance.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... KATA PENGANTAR... DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... DAFTAR ISI... ii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Keaslian Penelitian... 19

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 20

1. Kerangka Teori... 20

2. Landasan Konsepsional... 38

G. Metode Penelitian ... 42

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 42

2. Sumber Data... 43

3. Teknik Pengumpulan Data... 45

(8)

BAB II : TINJAUAN TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE 47

A. Corporate Social Responsibility (CSR) ... 47

B. Good Corporate Governance (GCG) ... 57

C. Etika Bisnis Perusahaan ... 62

D. Hubungan CSR dan GCG Dengan Etika Bisnis Perusahaan ... 69

1. Corporate Social Responsibility Dalam Etika Bisnis Perusahaan ... 69

2. Good Corporate Governance Dalam Etika Bisnis Perusahaan 75 BAB III : PERBANDINGAN PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY ANTARA NEGARA CINA DAN INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE ... 78

A. Pengaturan Corporate Social Responsibility di Negara Indonesia 78 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 78

2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ... 83

3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usahan Milik Negara ... 87

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan hidup ... 92

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan ... 95

B. Pengaturan Corporate Social Responsibility di Negara Cina ... 104

1. Peraturan Perundang-Undangan Corporate Social Responsibility... 109

(9)

C. Analisis Perbandingan Pengaturan Corporate Social Responsibility Antara Negara Cina dan Indonesia Berdasarkan

Teori Stakeholders dan Teori Legitimasi... 133

1. Indonesia ... 137

2. Cina ... 141

BAB IV : FAKTOR-FAKTOR HAMBATAN DALAM PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DI INDONESIA DALAM UPAYA PEMENUHAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE UNTUK MEWUJUDKAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT... 146

A. Faktor-Faktor Hambatan Dalam Pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia ... 146

1. Peranan Hukum Responsif Sebagai Pelaksanaan Pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia... 146

2. Hambatan-Hambatan Dalam Pengaturan Corporate Social Responsibility Dalam Upaya Mewujudkan Good Corporate Governance Oleh Perusahaan ... 156

B. Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Bermanfaat Terhadap Stakeholders... 163

1. Manfaat Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Terhadap Perusahaan ... 165

2. Manfaat Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Terhadap Masyarakat ... 168

C. Pelaksanaan CSR di Indonesia Sebagai Pemenuhan GCG Untuk Mewujudkan Sustainable Development... 173

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 186

A. Kesimpulan ... 186

B. Saran... 188

(10)

ABSTRAK

Umumnya pengaturan prinsip Corporate Social Responsibility ditingkatan internasional masih bersifat sukarela, tidak ada hukum yang mengatur secara mengikat. Namun banyak negara-negara barat yang patuh dan mengadopsi prinsip-prinsip tersebut karena melihat kondisi-kondisi perusahaan yang berdiri di negara-negara barat harus bertanggung jawab terhadap sosial dan lingkungannya. Judul dalam penelitian ini adalah, “Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan

Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia”. Pola pengaturan mengenai

Corporate Social Responsibility dari setiap negara memang berbeda kuhusnya di negara Cina dan negara Indonesia.

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimanakah perbandingan pengaturan Corporate Social Responsibility antara negara Cina dan Indonesia dalam mewujudkan Good Corporate Governance? Kedua, apa saja faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia dalam upaya pemenuhan Good Corporate Governance untuk mewujudkan

sustainable development?

Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini menggambarkan bahwa

(11)

Pemerintah yang janjikan dalam UUPT 2007 untuk mengatur lebih lanjut tentang

Corporate Social Responsibility belum juga dikeluarkan, dan tidak ada award bagi perusahaan yang menjalankan Corporate Social Responsibility dengan baik. Jika habatan-hambatan masih bersifat demikian, maka dalam upaya pemenuhan Good Corporate Governance dalam mewujudkan sustainable development tidak akan tercapai sehingga pelaksanaan Corporate Social Responsibility di Indonesia tidak akan dapat dirasakan sepenuhnya oleh stakeholders perusahaan. Padahal pelaksanaan program-program tersebut merupakan bentuk perwujudan dari prinsip-prinsip Good CorporateGovernance.

Saran dalam penelitian ini diharapkan perlu dipercapat oleh pemerintah terhadap pengaturan yang masih mengambang terkait Corporate Social Responsibility demi untuk kesatuan dan memperjelas hukum Corporate Social Responsibility di Indonesia agar kewajiban dan hak dari pelaku usaha terhadap

stakeholdrs dapat terperinci dengan jelas. Selain itu juga diharapkan faktor-faktor yang menjadi hambatan pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia harus mampu pula diselesaikan oleh pemerintah Indonesia karena hal tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam menjalankan prinsip-prinsip Good CorporateGovernance.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi,

untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu pilar pembangunan

perekonomian di Indonesia yang dapat diharapkan untuk membantu terwujudnya

kesejahteraan masyarakat tersebut adalah perusahaan.1

Untuk mewujudkan dunia bisnis perusahaan yang lebih baik,

perusahaan-perusahaan di Indonesia maupun di negara lain, baik perusahaan-perusahaan milik pemerintah

maupun swasta saat ini telah mulai mengembangkan Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan (TJSL). Secara global konsep TJSL dikenal dengan istilah Corporate

Social Responsibility (CSR). Pengembangan CSR dalam mengelola perseroan

menurut Philip Kotler adalah untuk menciptakan dunia usaha yang lebih baik.2

Keberadaan perusahaan sangat berperan dalam memajukan kehidupan

masyarakat suatu bangsa. Dalam menjalankan usahanya suatu perusahaan tidak hanya

mempunyai kewajiban secara ekonomis saja tetapi mempunyai kewajiban yang

      

1

Maulana Maliq., “Dampak Era Globalisasi di Indonesia”, Harian Suara Pembaruan, Edisi

15 Maret 2008, hal. 3. 2

(13)

bersifat etis atau disebut sebagai etika bisnis.3 Etika bisnis merupakan tuntunan

perilaku bagi dunia usaha untuk bisa membedakan mana yang boleh dilakukan dan

mana yang tidak boleh dilakukan. Oleh sebab itu, maka dalam pemenuhan etika

bisnis tidak hanya keuntungan (profit) yang menjadi tujuan utama, akan tetapi

pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, juga harus menjadi prioritas

perusahaan. Hal tersebut dilakukan karena etika bisnis merupakan salah satu

perwujudan dari Good Corporate Governance oleh perusahaan terhadap para

pemangku kepentingan (stakeholder).

Merujuk kepada ketentuan dalam dokumen Global Compact PBB tahun 1999,

pada poin kedelapan dinyatakan, ”Dalam mengambil inisiatif harus mempromosikan

tanggung jawab lingkungan yang lebih besar.” Agar perusahaan memiliki tanggung

jawab dan kewajiban untuk memajukan, menghormati dan melindungi hak azasi

manusia sebagaimana diakui dalam hukum internasional maupun hukum nasional

termasuk hak dan kepentingan dari indigenous people dan kelompok rentan lain telah

diserukan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum, Ny.E/CN.4/Sub.2/2003/12/

Rev.2 tahun 2003.4 Untuk menjawab ketentuan tersebut perusahaan-perusahaan di

berbagai negara harus menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR).

Pada tahun 1990-an, CSR menjadi suatu gagasan yang menyita banyak

kalangan terutama dari masyarakat akademik, lembaga swadaya masyarakat (LSM),

      

3

Erni R. Ernawan., Business Ethics: Etika Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), hal. 12. 4

Nirwansyah Putra., “Penegakan Hukum Lingkungan Berbasis HAM”, Surat Kabar Suara

(14)

sampai para pelaku bisnis. Tidak mengherankan jika laporan tahunan beberapa

perusahaan multinasional tidak lagi menempatkan keuntungan sebagai satu-satunya

alat ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan.5

Perbincangan mengenai CSR ini sebenarnya bukan merupakan hal baru.

Istilah CSR mulai berkembang pada era 1970-an. Pada era tersebut dicetuskan agar

pemerintah melakukan intervensi yang bertujuan memperluas ruang lingkup CSR.

Ruang lingkup CSR tidak hanya mencakup tanggung jawab perusahaan kepada

pemegang saham (shareholder), tetapi juga kepada stakeholder yaitu pekerja,

konsumen, pemasok. masyarakat, terciptanya udara bersih, air bersih, dan konstituen

lain di mana perusahaan itu berada.6

Pelaksanaan CSR sebenarnya bertujuan untuk memperkuat perusahaan itu

sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antara stakeholders

yang difasilitasi oleh perusahaan yang bersangkutan dengan jalan menyusun

program-program pengembangan mayarakat sekitarnya, untuk dapat beradaptasi

dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholders terkait dengan perusahaan, baik

lokal, nasional maupun global, karena pengembangan CSR ke depan mengacu pada

konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).7

Pada tahun 1980-an semakin banyak perusahaan yang menggeser konsep

filantropisnya ke arah Community Development (CD) yang semakin berkembang ke

      

5

Bambang Sulistiyo., “Wangi Sebelum Ada Peraturan”, Gatra, No. 44, Tahun XII, 20

September 2006, hal. 81. 6

Ibid. 7

Abdul Rasyid Idris., “Corporate Social Responsibility Sebagai Sebuah Gagasan”, Harian

(15)

arah pemberdayaan masyarakat misalnya pengembangan kerjasama dalam

memberikan keterampilan dan sebagainya. Dasawarsa 1990-an diwarnai dengan

beragam pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholders maupun

pendekatan civil society yang mempengaruhi praktek Community Development (CD).

Sehingga Community Development (CD) menjadi suatu aktivitas lintas sektoral

karena mencakup berbagai aktivitas produktif maupun sosial dan juga lintas pelaku

sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak.8 Sehubungan

dengan itu, telah terjadi tahapan pengembangan CSR tersebut digambarkan dalam 3

(tiga) tahapan dengan paradigma yang berbeda, yaitu:9

1. Tahap pertama adalah corporate charity, yakni motivasi amal berdasarkan motivasi keagamaan;

2. Tahap kedua adalah corporate philantrophy, yakni motivasi kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial; dan

3. Tahap ketiga adalah corporate citizenship, yaitu motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial.

Setiap Negara mempunyai sejarah pengaturan CSR yang berbeda-beda.

Sampai sekarang negara-negara di dunia belum dibuat peraturan yang mewajibkan

adanya pelaksanaan CSR bagi perusahaan-perusahaan yang berada di negaranya

masing-masing. Memang salah satu perkembangan topik CSR adalah perdebatan

mengenai perlu atau tidaknya regulasi CSR dibuat. Saat ini, secara umum regulasi

CSR masih dilakukan bersifat sukarela (voluntary). Negara-negara di Eropa,

      

8

Yusuf Wibisono., Membedah Konsep & Aplikasi CSR, (Gresik: Fascho Publishing, 2007),

hal. 5-6. 9

(16)

dijadikan sebagai tempat acuan penerapan CSR, dimana bahwa dalam penerapannya

masih bersifat sukarela. Namun perkembangan inisiatif praktek CSR di

masing-masing negara berbeda-beda.

Menilik situasi baik di Eropa dan Amerika yang merupakan negara maju,

tanpa adanya regulasi CSR pun, praktek CSR sudah mendarah daging bagi sebagian

besar perusahaan di sana. Berbagai literatur membuktikan bahwa kesadaran

masyarakat yang merupakan society telah menjadikan CSR suatu corporate action

sebagai perwujudan dari corporate mission. Namun demikian, keberadaan regulasi

nampaknya masih terus dijajaki. Terbukti secara individual di beberapa negara Eropa

seperti Italia, Jerman, Swedia dan United Kingdom telah secara proaktif

mempersiapkan pembuatan standar tersendiri. Bahkan Prancis menjadi negara

pertama di dunia yang mewajibkan semua perusahaan publiknya mengeluarkan CSR

report sejak bulan Mei 2001.10

Keberadaan regulasi CSR di Eropa dan Amerika, tidak membuat regulasi

CSR tertinggal di kawasan Asia Pasific. Keberadaan regulasi CSR di Asia Pasific

berkembang berlainan di tiap negara. Bahkan tahapan regulasi pun berbeda untuk

masing-masing negara. Sebuah laporan dari CPA (Certified Public Accounting),

bulan September 2005, Australia mengungkapkan beberapa hal yang menarik tentang

perkembangan CSR reporting yang dimasukkan dalam bentuk sustainability

reporting. Laporan ini berdasarkan survei pada 12 negara yakni Australia, China,

      

10

(17)

Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Philipina, Singapura,

Korea, dan Thailand.11

Berdasarkan survei terhadap keduabelas negara tersebut, terbukti bahwa

Australia, Malaysia dan Korea sudah dalam tahap tertinggi untuk segera menetapkan

regulasi dan penerapan CSR. Mereka kini dalam proses introduction to mandatory

requirements. Sedangkan Indonesia dan Thailand adalah dua negara yang belum

terbukti mempunyai arah yang jelas untuk mempraktekkan CSR. Untuk pengaturan

CSR di Cina sama halnya dengan Negara-negara barat lain bahwa masih bersifat

sukarela. Bahkan di Negara yang menggunakan sistem ekonomi sosialis tersebut

mengadopsi dan mengikuti kursus-kursus CSR di negara-negara Eropa dimana bahwa

negara-negara di Eropa pada umumnya menganut sistem ekonomi kapitalis. Dari sisi

sistem ekonomi yang dianut suatu negara, keberadaan CSR di Indonesia dan Cina

perlu dicermati.12

Pengaturan CSR di negara Cina terlihat dari standar CSR Cina yaitu China

Social Compliance 9000T (CSC9000T), standar tersebut berdasarkan undang-undang

tenaga kerja Cina dengan rujukan ke hukum internasional, yang mana mendesak

perusahaan untuk mematuhi standar yang relevan.

Munculnya CSR di Cina karena adanya lembur berlebihan, kematian di

tambang batu bara, kerusakan lingkungan dan masalah-masalah hak asasi manusia

harus cukup untuk semua perusahaan sadar akan CSR. Sejak akhir tahun 1970-an

      

11

http://www.csrreview-online.com, diakses tanggal 10 Mei 2010. 12

(18)

pasar di Cina telah berubah dari rencana ekonomi yang berbasis sistem pasar,

membuat potensi luas untuk produksi dan penjualan asing. Pertumbuhan tahunan

PDB di Cina sekarang berdiri di sekitar 9%. Dengan 400 juta orang diangkat dari

kemiskinan dalam 30 tahun dan jumlah penduduk 1,3 miliar, dengan daya beli yang

cukup besar dan terus berkembang. Banyak perusahaan asing berusaha untuk hadir di

pasar ini. Negara lain kerja kontrak produksi ke Cina untuk mendapatkan keuntungan

dari upah lebih rendah daripada di negara asal mereka. Pada saat yang sama, Cina

yang miskin reputasi dalam kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak pekerja lainnya

dan hak asasi manusia menciptakan resiko bagi perusahaan merek dan penjualan

untuk pasar ethically bersangkutan. Hal ini tidak hanya berlaku untuk perusahaan di

Cina tetapi juga untuk mereka yang bekerja dengan Cina.13

Cina niscaya memiliki masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan,

hak asasi manusia dan hak-hak pekerja. Namun, tidak ada keraguan bahwa

pertumbuhan industri dan perdagangan dengan dunia luar merupakan hal yang

signifikan bagi ekonomi Cina yang terus mengalami pembangunan dan kemampuan

untuk mengangkat lebih banyak orang dari kemiskinan. Pemerintah Cina telah

menarik minat perusahaan dalam kegiatan sosial dan lingkungan untuk berkontribusi

terhadap pembangunan berkelanjutan. Pemerintah memiliki kepentingan dalam

      

13

Li-Wen Lin., “Corporate Social Accountability Standards in the Global Supply Chain:

Resistance, Reconsideration, and Resolution in China”, Cardozo Journal of International and

(19)

membangun kerangka kerja yang dapat membantu perusahaan asing memastikan

bahwa mereka menerapkan CSR di Cina.

Berkaitan dengan masalah kelestarian lingkungan, pemerintah Cina telah

mengadopsi berbagai kursus CSR dari Uni Eropa. Sebagian besar negara Uni Eropa

menerapkan CSR secara sukarela dan berada di luar peraturan pemerintah.

Pemerintah Cina telah mengeluarkan standar CSR di Cina yaitu CSC9000T

diluncurkan pada tahun 2005. Bursa Saham di industri Timur Cina Selatan banyak

perusahaan asing memiliki sarana produksi atau pemasok telah mengembangkan

seperangkat pedoman untuk CSR perusahaan-perusahaan lokal. Seperti bursa saham

Shenzhen telah memiliki pedoman CSR sendiri.

Inisiatif Cina untuk mengeluarkan dan mengembangkan standar CSR tidak

hanya hadir untuk memberikan kontribusi bagi perusahaan tetapi juga untuk

memperbaiki kondisi pekerja. Standar CSC9000 memudahkan perusahaan di Cina

dan perusahaan asing diberlakukan sama. Beberapa negara dalam pelaksanaan dan

penegakan hukum diakui menjadi masalah, hanya mengamati kadang-kadang harus

diakui CSR. Hal ini mendorong pemahaman tentang CSR dalam konteks Eropa,

tetapi dalam konteks Cina belum memadai pada tingkat pengetahuan, ketaatan dan

penegakan hukum di antara perusahaan dan pihak berwenang.14

Pengakuan CSR di Cina merupakan hasil dari peradaban sosial dan ekonomi.

Pada tahap awal dari akumulasi modal, perusahaan-perusahaan multinasional untuk

      

14

(20)

pembangunan diupayakan dalam mengutamakan lingkungan dan kesejahteraan

tenaga kerja. Akibatnya, isu-isu yang terkait secara bertahap dibawa ke dalam lingkup

pemerintah dan perundang-undangan. Untuk menebus reputasi dan meningkatkan

keyakinan investor, perusahaan-perusahaan multinasional di Cina memimpin dalam

membangun sendiri kode etik (code of conduct) yang berkaitan dengan CSR.

Kontek CSR di Cina mencakup larangan menggunakan tenaga kerja anak dan

tenaga kerja paksa atau wajib, larangan pada diskriminasi, pelecehan dan

penyalahgunaan, peraturan terkait jam kerja, jaminan pada kesehatan dan

keselamatan kerja, perlindungan lingkungan, melihat etika bisnis serta membantu

perkembangan masyarakat atau negara dimana perusahaan beroperasi.63

Jika dilihat pengaturan CSR di negara Indonesia dalam Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), bahwa CSR merupakan

suatu kewajiban untuk dilaksanakan dan dipertimbangkan dengan kondisi

perusahaan. Pengaturan CSR selain dinyatakan dalam UUPT, juga tersebar di

berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti UUBUMN, UUPLH,

Undang-Undang Penanaman Modal, dan khususnya dalam pengelolaan sumber daya

alam.

Pelaksanaan CSR di Indonesia, merupakan suatu kewajiban bagi suatu

perusahaan mengingat perkembangan dan laju perekonomian bangsa Indonesia

semakin pesat. Hal ini dapat dilihat karena banyaknya perusahaan yang didirikan,

      

63

(21)

baik perusahaan pemerintah, perusahaan swasta, perusahaan gabungan antara pihak

swasta dan pemerintah dari negara manapun, perusahaan patungan antara pihak asing

dengan perusahaan domestik di Indonesia dalam melaksanakan CSR tersebut masih

banyak perusahaan yang masih pikir-pikir karena mereka takut akan merugikan

perusahaan dalam jangka waktu yang singkat.

Sebetulnya selama perusahaan itu beroperasi di Indonesia, berbagai jenis

perusahaan tersebut telah membantu dalam menunjang perekonomian Indonesia

dalam bentuk keuntungan yang diberikan kepada negara maupun dalam bentuk

pajak-pajak yang harus dibayarkan kepada negara. Kemudian dalam menjalankan

kegiatannya, perusahaan berinteraksi dengan berbagai pemangku kepentingan yang

terkait dengannya yaitu dengan shareholders dan stakeholders perusahaan.

Shareholders adalah komponen yang terkait dengan internal perusahaan seperti para

pemegang saham sedangkan yang dimaksud dengan, stakeholder adalah semua pihak

di luar perusahaan yang terkait dengan kegiatan perusahaan.15

World Business Council on Sustainable Development (WBCSD)

menyebutkan bahwa dalam CSR mengenal suatu komitmen perusahaan untuk

berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan

ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development). Komitmen lainnya

adalah meningkatkan kualitas hidup stakeholders. Harmonisasi antara perusahaan

      

15

Charolinda., “Pengembangan Konsep Community Development Dalam Rangka

Pelaksanaan Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke 36 No. 1,

(22)

dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari

top management perusahaan terhadap penerapan CSR sebagai akuntabilitas publik.

Salah satu prinsip yang dikenal dalam konsep CSR adalah Good Corporate

Governance (GCG). Dalam GCG mengisyaratkan masalah pertanggungjawaban

(responsibility), dalam konteks ini yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan

terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi

yang sehat.16

Saat ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam

masyarakat mulai ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepedulian terhadap

lingkungan dan masalah etika seperti masalah perusakan lingkungan, perlakuan tidak

layak terhadap karyawan dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidaknyamanan

ataupun bahaya bagi konsumen selalu menjadi topik utama diberbagai media.

Kompleksitas permasalahan sosial (social problem) yang semakin rumit

dalam dekade terakhir dan implementasi desentralisasi akibat munculnya program

otonomi daerah di Indonesia telah menempatkan CSR sebagai suatu konsep inovasi

baru yang diarahkan memberikan alternatif terobosan baru dalam memperdayakan

ekonomi masyarakat miskin. Oleh sebab itu, pelaksanaan CSR sudah menjadi

komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang

berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan

      

16

Muh. Arief Effendi., “Implementasi GCG melali CSR” Artikel, Harian SuaraKarya, Edisi

(23)

menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis,

sosial, dan lingkungan”.17

CSR di Cina seperti yang telah dijelaskan tadi, dilaksanakan bersifat sukarela

(charity).18 Namun, dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas yang lama yaitu

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 sebagai payung hukum perseroan belum

mengatur CSR. Namun setelah tanggal 16 Agustus 2007, CSR di Indonesia telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(UUPT) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas. CSR yang dikenal dalam UUPT sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1

Ayat 3 yang berbunyi; “Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan adalah komitmen

Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna

meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi

perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”

Selain itu, kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial juga sudah

disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

yaitu terdapat pada Pasal 15 huruf b, yang berbunyi, ”setiap penanaman modal

berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Tetapi

undang-undang tersebut tidak mengatur bagaimana kewajiban tersebut dilaksanakan.

      

17

Suhandari M. Putri, ”Schema CSR”, Kompas 4 Agustus 2007, lihat juga Hendrik Budi

Untung, Corporate Social Responsibilty, (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1. 18

Ibid., hal. 2, Belum mampu memberdayakan masyarakat miskin, belum bisa memberikan

(24)

Bertolak pada UUPT yang baru, maka pengaturan mengenai CSR ini

merupakan suatu kewajiban bagi setiap perusahaan atau pelaku bisnis.19 Alasannya

adalah bahwa bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR akan dikenakan sanksi

(walaupun sanksi tersebut tidak secara tegas dalam UUPT).20 Ini artinya bahwa

sanksi yang dikenakan bukan saja sanksi yang dikenakan karena perusahaan tidak

melaksanakan CSR melainkan sanksi karena perusahaan mengabaikan CSR sehingga

perusahaan tersebut melanggar aturan-aturan di bidang sosial yang berlaku.21

Sebelum adanya ketentuan pengaturan CSR dalam UUPT, pelaksanaan CSR

merupakan bagian dari GCG bahwa inti dari GCG merupakan suatu sistem, dan

seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang

berkepentingan. Dalam rangka pelaksanaan CSR bagi perusahaan-perusahaan

sebenarnya yang tergambar di dalamnya adalah mewujdukan 5 (lima) prinsip GCG

yang disingkat dengan TARIF, yaitu sebagai berikut:22

1. Transparency (keterbukaan informasi). 2. Accuntability (akuntabilitas).

3. Responsibility (pertanggungjawaban). 4. Indepandency (kemandirian).

5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran).

GCG atau tata kelola perusahaan yang baik sangat diperlukan agar perilaku

bisnis mempunyai arahan yang baik. Prinsip responsibility sebagai salah satu dari

      

19

Gunawan Widjaja., dan Yeremia Ardi Pratama., Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa

CSR, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2008), hal. 6.

lihat juga Pasal 74 Ayat (1), (2), UUPT. 20

Ibid, Pasal 71 Ayat (3) UUPT. 21

Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op. cit, hal. 98. 22

(25)

prinsip GCG merupakan prinsip yang mempunyai hubungan yang sangat dekat

dengan CSR. Penerapan CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep

GCG sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan

lingkungannya.23

Istilah GCGdapat juga mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk

memungkinkan suatu perusahaan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan

pemegang saham dan publik. Istilah GCGjuga dapat mengacu pada praktik audit dan

prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu pada keaktifan pemegang

saham. Secara lebih sempit, istilah GCG itu dapat digunakan untuk menggambarkan

peran dan praktik dewan direksi. Termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan

hubungan antara dewan direksi (pengelola) perusahaan dan pemegang saham, yang

didasarkan pada pandangan bahwa dewan direksi merupakan perantara para

pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan dikelola demi kepentingan

pemegang saham. Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa para direksi bertanggung

jawab kepada dewan komisaris dan dewan komisaris bertanggung jawab kepada

pemegang saham.24 Pengelolaan perusahaan telah dibicarakan di depan Forum

Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, dimana dikatakan

bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut

      

23

Ibid., hal. 12 24

Bismar Nasution (I)., ”Penerapan Good Corporate Governance Dalam Pencegahan

(26)

dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk,

jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas.25

GCG dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari dewan

direksi. GCG berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang

saham, didasarkan pada suatu pandangan bahwa dewan direksi merupakan agen para

pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk dikelola guna

kepentingan perusahaan tersebut. Secara singkat, GCG mencakup hubungan antara

manajer, direktur dan pemegang saham perusahaan. Mencakup juga hubungan antara

perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. GCG juga dapat

meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang

memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, bekerja secara efesien,

menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan

sekaligus kewajiban hukum.

Prinsip GCG dari pandangan sektor swasta menitikberatkan pada apa yang

diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.26 Dalam Laporan Millstein

itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah

cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut

      

25

Ibid., hal. 3-4. 26

Bismar Nasution (II)., “Aspek Hukum Dalam Transparansi Pengelolaan Perusahaan BUMN/BUMD Sebagai Upaya Pemberantasan KKN”, Makalah Disampaikan pada Semiloka Peran

Masyarakat (Stakeholders) melalui lembaga pengawasan pengelolaan perusahaan dalam mendukung

(27)

difokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang di antara tiga bidang lainnya adalah

bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ialah:27

1. Pemastian adanya perlindungan atas hak-hak pemilik saham minoritas dan asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya;

2. Pengklarifikasi peran dan tanggung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan direksi.

3. Pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat adalah bidang transparansi, yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan.

Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik

oleh OECD tersebut, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia dibuat Bapepam, juga

menetapkan strategi pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan,

bahwa agar GCG dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati

kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama GCG, termasuk

prinsip keterbukaan. Upaya mencapai GCG tersebut, juga sesuai dengan pernyataan

Bapepam, bahwa ”salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di

Indonesia terhadap gejolak perekonomian adalah lemahnya penerapan GCG dalam

pengelolaan perusahaan.28

Berbagai hal mengenai CSR dan hubungannya dengan prinsip GCG

sebagaimana diuraikan di atas pada gilirannya saat ini sudah bertumpu pada kekuatan

      

27

Ibid, hal. 14-15. 28

Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, (Jakarta: Bapepem, 1999),

(28)

tanggung jawab moral dan praktik pengelolaan bisnis yang bersifat normatif.29 Oleh

karena itu, manajemen perusahaan harus bisa mengoperasikannya di lapangan,

sebagaimana telah ditentukan oleh undang-undang. Perusahaan-perusahaan di

Indonesia dalam menggunakan CSR tidak hanya terbatas mengimplementasikan

kewajiban belaka, tetapi dapat memanfaatkannya sebagai metode untuk mencapai

sasaran bisnis perusahaan.30

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian, “Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social

Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan Prinsip

Good Corporate Governance Di Indonesia” sebagai judul dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perbandingan pengaturan Corporate Social Responsibility antara

negara Cina dan Indonesia dalam mewujudkan Good Corporate Governance?

      

29

Sonny Sukada dkk, Membumikan Bisnis Berkelanjutan Memahami Konsep dan Praktik

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Buku I CSR for Better Life Indonesian Context, Cetakan I, Maret, (Jakarta: Indonesia Bisnis Links, 2007), hal. 7.

30

(29)

2. Apa saja faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pengaturan Corporate

Social Responsibility di Indonesia dalam upaya pemenuhan Good Corporate

Governance untuk mewujudkan sustainable development?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas, maka

tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perbandingan pengaturan Corporate Social Responsibility

antara negara Cina dan Indonesia dalam mewujudkan Good Corporate

Governance; dan

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pengaturan

Corporate Social Responsibility di Indonesia dalam upaya pemenuhan Good

Corporate Governance untuk mewujudkan sustainable development.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini, dapat memberikan sejumlah manfaat bagi semua

pihak. Manfaat tersebut, penulis kelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yakni sisi

teoritis dan sisi praktis sebagai berikut:

1. Secara teoritis memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan aspek ilmu

hukum pada umumnya dimana di dalamnya terdapat perbandingan hukum, teori

(30)

Pengaturan Corporate Social Responsibility Oleh Perusahaan Sebagai Upaya

Perwujudan Good Corporate Governance.

2. Secara praktis:

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah/badan legislatif dalam

menentukan kebijakan maupun regulasi dalam upaya pengembangan hukum

nasional ke arah pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan dalam bentuk

undang-undang khusus.

b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi pelaku bisnis (direktur, pemegang

saham, dan komisaris) bahkan investor mampu memahami ruang lingkup

pengaturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan serta dapat

melaksanakannya sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip GCG.

c. Sebagai bahan referensi untuk dikaji kembali bagi para peneliti dengan

mengambil poin-poin tertentu.

d. Sebagai informasi dan rujukan bagi aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat

termasuk stakeholders lainnya sehingga mampu bersikap sebagai informan,

promotor sekaligus pengontrol perkembangan dalam implementasi tanggung

jawab sosial perusahaan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di Perpustakaan

Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Perbandingan

(31)

Perwujudan Prinsip Good Coorporate Governance di Indonesia” belum pernah

dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun sudah ada

beberapa judul penelitian tentang CSR, tetapi jika dilihat dari rumusan masalah yang

dibahas jelas nampak perbedaannya. Misalnya Tesis Hariyanto (087005007) dengan

judul Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Stakeholder”, Tesis Masitah

Pohan (027005018) dengan judul “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Untuk

Perlindungan Buruh”, Tesis Faisal (057005006) dengan judul “Analisis Yuridis

Penerapan Manajemen Risiko di Dembaga Perbankan Dalam Mewujudkan Good

Coorporate Governance. Jadi, penelitian ini adalah asli dan menjunjung tinggi

asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan

serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan

masalah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Paradigma lama yang dikenal pada sistem liberal kapitalis klassik,

perusahaan-perusahaan pada umumnya bertujuan untuk mencari keuntungan

sebesar-besarnya, Direksi melakukan pengurusan perusahaan untuk kepentingan perusahaan,

dan fungsi sosial perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan. Namun, setelah

bergesernya paradigma lama kepada paradigma baru, menimbulkan

(32)

disebutkan dalam World Business Council on Sustainable Development (WBCSD)

bahwa dalam CSR mengenal suatu komitmen perusahaan untuk berperilaku etis

(behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang

berkelanjutan (sustainable economic development) bersifat sukarela. Komitmen ini

tentunya sangat terasa akibatnya terhadap peningkatkan kualitas hidup

stakeholders.31 Komitmen perusahaan pada dunia bisnis untuk berkontribusi dalam

pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab

sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap

aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan”.32

       

Keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan

lingkungan, yang dimaksud adalah adanya keselarasan dalam pencapaian tujuan

bersama antara perusahaan dengan stakeholders tersebut sebagai dasar dalam

penerapan CSR.

Perubahan paradigma tersebut, muncul sebagai akibat pembangunan

berkelanjutan yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan akan pentingnya

perusahaan itu dapat hidup bertahan lama. Dengan demikian, pihak-pihak yang

mempunyai kepentingan dalam suatu kegiatan bisnis terlibat di dalamnya karena

ingin memperoleh keuntungan, maka hak dan kepentingan mereka harus diperhatikan

dan dijamin. Pendekatan ini disebut dengan prinsip no harm, pendekatan ini

 

31

Muh. Arief Effendi., “Implementasi GCG melali CSR” Artikel, Harian Suara Karya, Edisi

Rabu, Tanggal 15 Maret 2006, Kolom Opini, hal. 6. 32

(33)

memperlihatkan secara gamblang bahwa ditempuh demi kepentingan bisnis yang

bersangkutan. Artinya supaya bisnis dari perusahaan dapat berhasil dan bertahan

lama, perusahaan manapun dalam kegiatan bisnisnya dituntut atau menuntut dirinya

untuk menjamin dan menghargai hak dan kepentingan semua yang terkait dengan

bisnisnya karena kalau salah satu saja dari pihak-pihak yang berkepentingan

dirugikan, maka pihak tersebut tidak akan mau lagi menjalin kerja sama bisnis

dengannya juga akan menganggap bawa perusahaan tersebut sebagai perusahaan

yang harus diwaspadai dalam relasi bisnis selanjutnya. Maka konsep tanggung jawab

sosial perusahaan melalui pendekatan stakeholders merupakan jawaban untuk

menjawab dengan sebisa mungkin untuk menghindari relasi yang buruk antara pelaku

bisnis (perusahaan) dengan stakeholders.33

Sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap stakeholders, terlihat dari

munculnya Pekerjaan Sosial Industri (PSI) yaitu sebagai lapangan praktik pekerjaan

sosial yang secara khusus menangani kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan dan sosial

pada dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metode pertolongan yang

bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara individu dengan lingkungannya

terutama lingkungan kerja.34

Kontribusi yang dapat diberikan oleh stakeholders terhadap perusahaan

misalnya dapat berbentuk keahlian, pengetahuan, peraturan yang dibutuhkan

perusahaan selama menjalankan kegiatan usahanya, modal, bahan baku produksi,

      

33

Ibid.

34

(34)

pasokan Sumber Daya Manusia yang memiliki persyaratan jabatan (job requirement)

sesuai dengan kebutuhan perusahaan.35 Imbalan yang diharapkan akan diterima oleh

pemangku kepentingan dari perusahaan dapat bermacam-macam dan sangat

bergantung kepada kepentingan dan tuntutan pemangku kepentingan tersebut.

Imbalan yang diharapkan stakeholders dapat berupa dividen (bagi pemegang saham),

gaji dan bonus yang memadai atas pasokan bahan baku yang berkelanjutan (bagi

pemasok), pembayaran pajak (bagi pemerintah), serta keberadaan perusahaan yang

dapat membantu menyelesaikan masalah masyarakat (bagi masyarakat sekitar).

Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan

mensistematiskan masalah yang dibicarakannya.36 Maka tepatnya dalam kerangka

teori digunakan teori yang berkenaan dengan keadilan dan teori stakeholders.

Hubungannya adalah bahwa penerapan CSR oleh perusahaan sangat bersinggungan

dengan stakeholders dimana bahwa tanpa tanpa adanya CSR keadilan akan langka

ditemukan oleh para stakeholders begitu pula sebaliknya, tanpa stakeholders niscaya

perusahaan akan banyak menuai masalah baik masalah profit maupun masalah

eksistensinya di mata stakeholders tersebut.

Berikut ini teori keadilan dikemukakan Plato adalah, ”Nilai kebijakan yang

paling tertinggi”, dalam bahasa Inggris, ”Justice is the supreme virtue which

      

35

T. Donaldson, dan L.E Preston, “The Stakeholders Theory of Corporation: Concepts,

Evidence and Implications”, Academy of Manahgement Review, Januari, 1995.

36

(35)

harmonize all other virtues”.37 H.L.A. Hart mengemukakan keadilan mengarah

kepada aspek hukumnya yaitu, ”Nilai kebajikan yang paling legal”, dalam bahasa

Inggrisnya, ”The most legal of vitues”, atau dengan meminjam istilah Cicera,

menyebutkan tentang keadilan adalah habitus animi yakni merupakan atribut pribadi

(personal atribute).38

Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan

individual (individual virtue).39 Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair

prejudice) di dalam kehidupan manusia, maka sektor hukumlah yang sangat berperan

untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the lost justice), Aristoteles

menyebutnya sebagai keadilan korektif.40

Keadilan menurut Aristoteles terbagi tiga yakni keadilan komutatif, keadilan

distributif, dan keadilan hukum (legal justice) yaitu:41

1. Keadilan komutatif adalah suatu kebijakan untuk memberikan kepada setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each one his due). Mengusahakan keadilan komutatif ini adalah pekerjaanya para Hakim. Misalnya menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya, sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain;

2. Keadilan distributif adalah sebagai suatu tindakan memberikan setiap orang apa yang patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik (merits) dan kecurangan/ketercelaan (demerits), yang merupakan pekerjaan yang lebih banyak dilakukan oleh badan legislatif. Misalnya, hak-hak politik masyarakat atau kedudukan di dalam parlemen, dapat didistribusikan kepada yang berhak sesuai dengan keadilan distributif itu; dan

      

37

(36)

3. sementara itu, keadilan Hukum (legal justice) adalah; Keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditagakkan melalui poses hukum, umumnya di pengadilan.

John Rawls tidak tinggal pula mengemukakan mengenai keadilan ini.

Keadilan menurutnya merupakan campuran dari unsur-unsur keadilan yang

disebutkan oleh Aristoteles dan mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti

dikembalikan oleh hukum. Menurutnya John Rawls, “Keadilan akan diperoleh jika

dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan

kepribadian masing-masing (justice fairnes)”. Prinsip keadilan menurut John Rawls

dapat dirinci sebagai berikut:42

1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties);

2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu;

a. Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah (maximum minimorium); dan

b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang.

Teori tentang keadilan menurut paham utilitarian banyak mengemukakan

teori-teori manfaat adalah jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi

sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya itu. Karena itu,

unsur ”manfaat” (utility) merupakan kriteria bagi manusia dalam mematuhi hukum

seperti terlihat dalam kalimat berikut ini, ”...and the test of what laws there ought to

      

42

(37)

be, and what laws ougnt to be obeyed, was utility”. Mengenai hal ini dikenal dengan

ungkapan the greatest happiness of the greatest number.43

Teori manfaat (utilitarisme) yang relevan untuk mempertajam pembahasan

dalam penelitian ini diambil dari teroi yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham

dalam karya tulisannya “An Introduction to the Principles of Morals and

Legislation” disebutkannya bahwa;44

“Alam telah menempatkan umat manusia di bawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam sumua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada dibawah kekuasaan mereka. Asas manfaat

(utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang”.

Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala

kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi

      

43

Ibid., hal. 95. 44

Ian Saphiro., Asas Moral dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Bekerjasama

Dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, 2006), hal. 13, Jeremy

Bentham (1748 -1832 ), Karyanya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation, pertama

kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus classicus) tradisi

(38)

kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan

kebahagiaan itu.45

Utilitarisme disebut juga teori teleologis (dari kata Yunani telos = tujuan ),

sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya

tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan

apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.46

Teori utilitas lebih menekankan bahwa pengambilan keputusan etika dengan

pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya (the greatest

good for the greatest number).Artinya, bahwa hal yang benar didefinisikan sebagai

hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya

bagi kebanyakan orang. Semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, perbuatan

itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan

relative paling banyak digunakan. Aliran atau paham Utilitarium sering disebut pula

dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.47

Perlu dipahami bahwa utilitarisme menekankan pentingnya konsekuensi

perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik

      

45

Ibid., hal. 14, lihat juga Johannes Ibrahim, Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis Vol.27 No.2, hal. 14 yang menyebutkan teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith “Keadaan batin yang waspada, jeli, dan sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan, untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar.” Keutamaan ini menyangkut kebijakan yang ditempuh hendaknya tidak saja memperhatikan kepentingan untuk masa kini, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang ditempuh.

46

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67. 47

(39)

buruknya-tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika

suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan

kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah

baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat,

perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini memang

menentukan seluruh kualitas moralnya.48 Prinsip utilitarisme menyatakan bahwa,

“Suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah

total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas

total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan.49

Sehubungan dengan itu pengaturan CSR menuju GCG baik di negara Cina

maupun di negara Indonesia perlu memperhatikan teori-teori yang disebutkan di atas.

Khususnya perusahaan-perusahaan yang sangat besar peranannya terhadap

lingkungan sekitar untuk memperhatikan kalangsungan hidup masyarakat setempat.

Perusahaan merupakan pihak yang kaya dibandingkan dengan masyarakat

(stakeholders) yang masih banyak miskin dan perli diperhatikan.

Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan,

ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya utilitarianisme yang

selalu ada, tetapi tidak merupakan daftar utama kekhawatiran Bentham ketika ia

memikirkan tentang redistribusi yang dapat memaksimalkan hasil bersih manfaat

sosial. Pertanyaan yang jelas mendesak bagi Bentham, mengingat besarnya kekayaan

      

48

K. Bertens, Op. cit.

49

(40)

yang dimiliki oleh segelintir orang dan begitu banyaknya kaum miskin pedesaan, juga

kaum miskin kota yang makin meningkat, adalah apakah redistribusi dari kaum kaya

ke kaum miskin akan menghasilkan hasil bersih perbaikan sosial?. Bentham

menjawab bahwa retribusi dari kaum kaya ke kaum miskin akan menghasilkan hasil

bersih perbaikan sosial, mengingat keyakinannya tentang apa yang kemudian dikenal

sebagai asas manfaat marjinal yang semakin menurun. Meskipun kekayaan

meningkatkan kebahagiaan, namun Bentham menekankan bahwa “sepuluh ribu kali

jumlah kekayaan tidak akan membawa sepuluh ribu kali jumlah kebahagiaan”.

Bahkan Bentham meragukan apakah itu akan membawa kebahagiaan dua kali lipat?.

Alasannya adalah bahwa dampak kekayaan dalam menghasilkan kebahagiaan terus

menurun ketika jumlah kekayaan yang diperoleh seseorang meningkat dengan kata

lain, jumlah kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu partikel kekayaan (setiap partikel

mempunyai besaran yang sama) akan semakin berkurang pada setiap partikel-partikel

kedua akan menghasilkan kebahagiaan yang lebih sedikit dibandingkan yang

pertama, yang ketiga lebih sedikit dari yang kedua, dan seterusnya.50

Asas manfaat marjinal yang semakin menurun sejak itu menjadi standar

dalam ilmu ekonomi dan ekonomi politik. Jika segala sesuatu lainnya dianggap

setara, dengan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang sebagai tujuan,

akan cukup alas an untuk mengambil kekayaan dari yang paling kaya dan

      

50

Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24, pernyataan ini merupakan pernyataan Jeremy Bentham dalam

tulisannya The Psychology of Economic Man, dicetak ulang dalam W. Stark, ed ., Jeremy Bentham’s

(41)

mengalihkannya ke orang yang kurang kaya sampai akhirnya keberuntungan semua

orang menjadi setara atau ketidaksetaraan yang ada begitu kecil perbedaannya dari

kesetaraan yang ada begitu kecil perbedaannya dari kesetaraan yang sempurna

sehingga perbedaan itu tidak ada artinya. Selanjutnya, Bentham menyatakan

“Semakin besar kekayaan seseorang individu, semakin besar pula kemungkinan

bahwa, pengurangan sejumlah tertentu dari kekayaannya, sama sekali tidak berarti

ada yang dikurangkan dari jumlah kebahagiaannya.”51

Menurut teori ini suatu adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu

harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai

keseluruhan. Jadi, utilitarisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Dalam

rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik

buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.

Perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah

perbuatan yang terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup, misalnya,

merupakan tanggung jawab moral induvidu atau korporasi? Utilitarisme menjawab:

karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai

keseluruhan. Korporasi atau perusahaan tentu bias meraih banyak manfaat dengan

menguras kekayaan alam melalui teknologi dan industri, hingga sumber daya alam

rusak atau habis sama sekali. Karena itu, menurut utilitarisme upaya pembangunan

      

51

(42)

berkelanjutan (sustainable development) menjadi tanggung jawab moral individu atau

perusahaan.52

Ada suatu pola pikir masyarakat yang membuatnya mudah untuk dipahami

adalah bahwa konsep yang paling masuk akal dan adil bagi masyarakat adalah konsep

utilitas (manfaat). Suatu masyarakat dapat diatur dengan baik bila perusahaan mampu

memaksimalkan saldo bersih dari kepuasan. Prisnsip ini merupakan pilihan yang

diperuntukkan bagi banyak orang. Prinsip keadilan adalah prinsip dari kebijaksanaan

yang masuk akal dan diberlakukan bagi suatu konsepsi kesejahteraan bersama.53

Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan

pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan cost benefit analysis

(analisis biaya manfaat) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang

dimaksudkan utilitarisme bias dihitung juga sama seperti menghitung untung dan rugi

atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Keputusan diambil pada manfaat terbesar

dibanding biayanya.54 Prinsip utilitarisme dianggap mengasumsikan bahwa kita bias

mengukur dan menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu

tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan tersebut, dan

selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar

atau biaya yang paling kecil.55

      

52

K. Bertens., Op. cit., hal. 66. 53

John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24. 54

K. Bertens, Op. cit., hal 66-67. 55

(43)

Mengenai teori manfaat utilitarisme, John Stuart Mill melakukan revisi dan

mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya berjudul, “Utilitarianism”,

diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran

utilitas masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill

mempostulatkan bahwa, “Suatu nilai tertinggi, kebahagiaan, yang mengijinkan

kesenangan heterogen dalam berbagai bidang kehidupan”. Juga disebutkannya

bahwa, “Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang

dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang

tahan lama”. Teori ini dikenal dengan teori utilitarianisme eudaemonistik. Kriteria

utilitas menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang

lebih awet sebagai hasil yang diinginkan, yaitu kebahagiaan.56

Berdasarkan teori keadilan dan teori manfaat yang telah dipaparkan di atas,

jelas sekali hubungan dari penagturan dan pelaksanaan CSR untuk kepentingan

stakeholders dan kepentingan perusahaan yang terjadi secara sustainable

development sehingga perusahaan dimungkinkan dapat bertahan lama.

Mengenai apa sebenarnya stakeholders itu, berikut ini dipaparkan pula

stkakeholders tersebut karena stakeholders inilah yang perlu diperhatikan oleh

      

56

(44)

perusahaan-perusahaan yang menerapkan CSR. Tanpa stakeholders perusahaan tidak

akan bisa menerapkan CSR dan tentunya tidak mampu untuk beroperasi. Untuk lebih

jelasnya, maka berikut ini dipaparkan teori-teori yang berkenaan dengan stakeholders

tersebut.

Kata stake dapat diartikan sebagai kepentingan. Selanjutnya, stakeholders

diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang memiliki satu atau lebih

kepentingan (stake) yang berbeda dalam sebuah perusahaan. Stakeholders dapat

diartikan juga sebagai setiap orang atau sekelompok orang yang dapat mempengaruhi

atau dipengaruhi oleh tindakan, keputusan, kebijakan, praktik atau tujuan dari sebuah

perusahaan.57

Stakeholders yang jamaknya diterjemahkan dengan para pihak, Yusuf

Wibisono meminjam istilah yang dipergunakan oleh Wheelen dan Hunger adalah,

“pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun

tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya

kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perusahaan”.

Defenisi lain dilontarkan Rhenald Kasali yang menyatakan bahwa yang dimaksud

para pihak adalah setiap kelompok yang berada di dalam maupun di luar perusahaan

yang mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Stakeholders       

57

Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op, cit, hal. 47. Gunawan Widjaja dkk.

(45)

bisa diartikan pula setiap orang yang mempertaruhkan hidupnya pada perusahaan,

ibarat sebuah jagad yang dikelilingi planet-planet, maka perusahaan juga dikelilingi

dengan stakeholders-nya.58

Jelas, antara stakeholders dengan perusahaan terjadi hubungan yang saling

mempengaruhi, sehingga perubahan pada salah satu pihak akan memicu dan

mendorong terjadinya perubahan pada pihak yang lainnya. Perusahaan selera publik,

misalnya akan mendorong kebijakan yang akan diambil oleh perusahaan. Jadi,

Stakeholders dapat terpengaruhi dan juga dapat mempengaruhi tindakan, keputusan,

kebijakan, atau praktik-praktik yang dilakukan oleh perusahaan.

Dalam dunia usaha yang global dan sangat kompetitif sekarang ini, banyak

pihak yang dapat menjadi stakeholders perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan

ada beberapa orang atau sekelompok orang yang secara pasti dapat digolongkan

sebagai stakeholders perusahaan, yaitu mereka yang memiliki legitimasi, kepentingan

langsung, atau hak dalam kegiatan perusahaan. Mereka dalam golongan ini di

antaranya adalah pemegang saham, karyawan dan pelanggan. Tetapi dalam sudut

pandang masyarakat yang lebih plural, para stakeholders tidak hanya mereka yang

disebutkan di atas, tetapi juga termasuk pesaing usaha, komunitas sekitar, LSM, pers,

dan masyarakat pada umumnya, yang sebenarnya tidak secara langsung terlibat dalam

kegiatan inti dalam perusahaan.

      

58

(46)

Kepentingan (stake) seseorang atau sekelompok orang atas suatu perusahaan

dapat timbul karena dua macam hak, yaitu hak hukum (legal right) dan hak moral

(moral right), seperti kutipan berikut ini:59

1) Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki hak hukum (legal right) adalah orang yang memiliki kepentingan berdasarkan aturan yang berlaku bahwa mereka harus diperlakukan sebagaimana aturan yang berlaku tersebut; 2) Sedangkan mereka yang memiliki hak moral (moral right) adalah seseorang

atau sekelompok orang yang kepentingannya timbul secara moral atau etika dimana perlakuan yang mereka terima adalah semata-mata berdasarkan moral dan etika dari perusahaan tersebut, yang sebenarnya tidak wajib.

David Wheeler dan Maria Sillanpaa dalam bukunya ”The Stakeholders

Corporation: A Blueprint for Maximizing Stakeholders Value”, menggolongkan

stakeholders berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholders

terhadap suatu issue yang dapat diketegorikan ke dalam beberapa kelompok

stakeholders yaitu stakeholders primer, sekunder dan stakeholders kunci. Sebagai

gambaran pengelompokan tersebut pada berbagai kebijakan, program, dan proyek

pemerintah (publik) dapat dikemukakan kelompok stakeholders tersebut sebagai

berikut:60

1) Stakeholders primer meliputi pemegang saham, investor, karyawan, pelanggan, komunitas lokal, pemasok dan rekanan bisnis. Stakeholders primer atau utama merupakan stakeholders yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan:

a. Masyarakat dan tokoh masyarakat; b. Pihak Manajer publik.

2) Stakeholders sekunder meliputi pemerintah, institusi sipil, LSM, pers, pesaing usaha, asosiasi pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Stakeholders       

59

Gunawan Widjaja., dan Yeremia Ardi Pratama., Op, cit, hal. 48. 60

Gambar

Tabel 1 : Perbandingan Pengaturan CSR Antara Indonesia dan Cina

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara abnormal return sebelum dan setelah event Januari Effect hanya pada perusahaan

Consensus building stakeholders untuk menyepakati program kolaborasi untuk penguatan budaya mutu. Program peer-mentoring dengan melibatkan community of practices

Bersama ini dengan hormat kami sampaikan bahwa, Direktorat Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan memberi kesempatan kepada mahasiswa dari

dan Beliau menjabat beberapa posisi manajerial sejak bergabung dengan Summarecon tahun 1999.. ADRIANTO   PITOYO  

Kerja sama dengan PT Kelian Equatorial Mining, dalam Mercury Awareness Program. Tujuan kegiatan ini adalah memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya penambang rakyat,

Bila RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik. Pada keadaan diare

This research aims at finding out the correlation between the mastery of present tense and the ability I writing descriptive text of the eighth grade students of SMP N

Kalo ada produk baru dari masjid, speaker buat masjid, jadi yang kita undang orang-orang masjid kayak pengurus-pengurus masjid gitu.. Terus kalo TOA mengadakan