PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY ANTARA INDONESIA DENGAN CINA
DALAM UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
DI INDONESIA
T E S I S
Oleh :
NILAWATY 087005114 / HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY ANTARA INDONESIA DENGAN CINA
DALAM UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
DI INDONESIA
T E S I S
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NILAWATY 087005114 / HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
HALAMAN PENGESAHAN
(MEJA HIJAU)
Judul Tesis : PERBANDINGAN PENGATURAN TENTANG
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY ANTARA INDONESIA DENGAN CINA DALAM UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA
Nama Mahasiswa : NILAWATY
Nomor Pokok : 087005114
Program Studi : ILMU HUKUM
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr, Bismar Nasution, SH, MH)
Ketua
(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) (Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan
Telah diuji pada
Tanggal,
PANITIA PENGUJI
Ketua :
ABSTRAK
Umumnya pengaturan prinsip Corporate Social Responsibility ditingkatan internasional masih bersifat sukarela, tidak ada hukum yang mengatur secara mengikat. Namun banyak negara-negara barat yang patuh dan mengadopsi prinsip-prinsip tersebut karena melihat kondisi-kondisi perusahaan yang berdiri di negara-negara barat harus bertanggung jawab terhadap sosial dan lingkungannya. Judul dalam penelitian ini adalah, “Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan
Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia”. Pola pengaturan mengenai
Corporate Social Responsibility dari setiap negara memang berbeda kuhusnya di negara Cina dan negara Indonesia.
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Permasalahan di dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimanakah perbandingan pengaturan Corporate Social Responsibility antara negara Cina dan Indonesia dalam mewujudkan Good Corporate Governance? Kedua, apa saja faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia dalam upaya pemenuhan Good Corporate Governance untuk mewujudkan
sustainable development?
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini menggambarkan bahwa
Pemerintah yang janjikan dalam UUPT 2007 untuk mengatur lebih lanjut tentang
Corporate Social Responsibility belum juga dikeluarkan, dan tidak ada award bagi perusahaan yang menjalankan Corporate Social Responsibility dengan baik. Jika habatan-hambatan masih bersifat demikian, maka dalam upaya pemenuhan Good Corporate Governance dalam mewujudkan sustainable development tidak akan tercapai sehingga pelaksanaan Corporate Social Responsibility di Indonesia tidak akan dapat dirasakan sepenuhnya oleh stakeholders perusahaan. Padahal pelaksanaan program-program tersebut merupakan bentuk perwujudan dari prinsip-prinsip Good CorporateGovernance.
Saran dalam penelitian ini diharapkan perlu dipercapat oleh pemerintah terhadap pengaturan yang masih mengambang terkait Corporate Social Responsibility demi untuk kesatuan dan memperjelas hukum Corporate Social Responsibility di Indonesia agar kewajiban dan hak dari pelaku usaha terhadap
stakeholdrs dapat terperinci dengan jelas. Selain itu juga diharapkan faktor-faktor yang menjadi hambatan pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia harus mampu pula diselesaikan oleh pemerintah Indonesia karena hal tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam menjalankan prinsip-prinsip Good CorporateGovernance.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... KATA PENGANTAR... DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... DAFTAR ISI... ii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 18
E. Keaslian Penelitian... 19
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 20
1. Kerangka Teori... 20
2. Landasan Konsepsional... 38
G. Metode Penelitian ... 42
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 42
2. Sumber Data... 43
3. Teknik Pengumpulan Data... 45
BAB II : TINJAUAN TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE 47
A. Corporate Social Responsibility (CSR) ... 47
B. Good Corporate Governance (GCG) ... 57
C. Etika Bisnis Perusahaan ... 62
D. Hubungan CSR dan GCG Dengan Etika Bisnis Perusahaan ... 69
1. Corporate Social Responsibility Dalam Etika Bisnis Perusahaan ... 69
2. Good Corporate Governance Dalam Etika Bisnis Perusahaan 75 BAB III : PERBANDINGAN PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY ANTARA NEGARA CINA DAN INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE ... 78
A. Pengaturan Corporate Social Responsibility di Negara Indonesia 78 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 78
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ... 83
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usahan Milik Negara ... 87
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan hidup ... 92
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan ... 95
B. Pengaturan Corporate Social Responsibility di Negara Cina ... 104
1. Peraturan Perundang-Undangan Corporate Social Responsibility... 109
C. Analisis Perbandingan Pengaturan Corporate Social Responsibility Antara Negara Cina dan Indonesia Berdasarkan
Teori Stakeholders dan Teori Legitimasi... 133
1. Indonesia ... 137
2. Cina ... 141
BAB IV : FAKTOR-FAKTOR HAMBATAN DALAM PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DI INDONESIA DALAM UPAYA PEMENUHAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE UNTUK MEWUJUDKAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT... 146
A. Faktor-Faktor Hambatan Dalam Pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia ... 146
1. Peranan Hukum Responsif Sebagai Pelaksanaan Pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia... 146
2. Hambatan-Hambatan Dalam Pengaturan Corporate Social Responsibility Dalam Upaya Mewujudkan Good Corporate Governance Oleh Perusahaan ... 156
B. Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Bermanfaat Terhadap Stakeholders... 163
1. Manfaat Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Terhadap Perusahaan ... 165
2. Manfaat Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Terhadap Masyarakat ... 168
C. Pelaksanaan CSR di Indonesia Sebagai Pemenuhan GCG Untuk Mewujudkan Sustainable Development... 173
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 186
A. Kesimpulan ... 186
B. Saran... 188
ABSTRAK
Umumnya pengaturan prinsip Corporate Social Responsibility ditingkatan internasional masih bersifat sukarela, tidak ada hukum yang mengatur secara mengikat. Namun banyak negara-negara barat yang patuh dan mengadopsi prinsip-prinsip tersebut karena melihat kondisi-kondisi perusahaan yang berdiri di negara-negara barat harus bertanggung jawab terhadap sosial dan lingkungannya. Judul dalam penelitian ini adalah, “Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan
Prinsip Good Corporate Governance Di Indonesia”. Pola pengaturan mengenai
Corporate Social Responsibility dari setiap negara memang berbeda kuhusnya di negara Cina dan negara Indonesia.
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Permasalahan di dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimanakah perbandingan pengaturan Corporate Social Responsibility antara negara Cina dan Indonesia dalam mewujudkan Good Corporate Governance? Kedua, apa saja faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia dalam upaya pemenuhan Good Corporate Governance untuk mewujudkan
sustainable development?
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini menggambarkan bahwa
Pemerintah yang janjikan dalam UUPT 2007 untuk mengatur lebih lanjut tentang
Corporate Social Responsibility belum juga dikeluarkan, dan tidak ada award bagi perusahaan yang menjalankan Corporate Social Responsibility dengan baik. Jika habatan-hambatan masih bersifat demikian, maka dalam upaya pemenuhan Good Corporate Governance dalam mewujudkan sustainable development tidak akan tercapai sehingga pelaksanaan Corporate Social Responsibility di Indonesia tidak akan dapat dirasakan sepenuhnya oleh stakeholders perusahaan. Padahal pelaksanaan program-program tersebut merupakan bentuk perwujudan dari prinsip-prinsip Good CorporateGovernance.
Saran dalam penelitian ini diharapkan perlu dipercapat oleh pemerintah terhadap pengaturan yang masih mengambang terkait Corporate Social Responsibility demi untuk kesatuan dan memperjelas hukum Corporate Social Responsibility di Indonesia agar kewajiban dan hak dari pelaku usaha terhadap
stakeholdrs dapat terperinci dengan jelas. Selain itu juga diharapkan faktor-faktor yang menjadi hambatan pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia harus mampu pula diselesaikan oleh pemerintah Indonesia karena hal tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam menjalankan prinsip-prinsip Good CorporateGovernance.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perekonomian yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi,
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu pilar pembangunan
perekonomian di Indonesia yang dapat diharapkan untuk membantu terwujudnya
kesejahteraan masyarakat tersebut adalah perusahaan.1
Untuk mewujudkan dunia bisnis perusahaan yang lebih baik,
perusahaan-perusahaan di Indonesia maupun di negara lain, baik perusahaan-perusahaan milik pemerintah
maupun swasta saat ini telah mulai mengembangkan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL). Secara global konsep TJSL dikenal dengan istilah Corporate
Social Responsibility (CSR). Pengembangan CSR dalam mengelola perseroan
menurut Philip Kotler adalah untuk menciptakan dunia usaha yang lebih baik.2
Keberadaan perusahaan sangat berperan dalam memajukan kehidupan
masyarakat suatu bangsa. Dalam menjalankan usahanya suatu perusahaan tidak hanya
mempunyai kewajiban secara ekonomis saja tetapi mempunyai kewajiban yang
1
Maulana Maliq., “Dampak Era Globalisasi di Indonesia”, Harian Suara Pembaruan, Edisi
15 Maret 2008, hal. 3. 2
bersifat etis atau disebut sebagai etika bisnis.3 Etika bisnis merupakan tuntunan
perilaku bagi dunia usaha untuk bisa membedakan mana yang boleh dilakukan dan
mana yang tidak boleh dilakukan. Oleh sebab itu, maka dalam pemenuhan etika
bisnis tidak hanya keuntungan (profit) yang menjadi tujuan utama, akan tetapi
pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, juga harus menjadi prioritas
perusahaan. Hal tersebut dilakukan karena etika bisnis merupakan salah satu
perwujudan dari Good Corporate Governance oleh perusahaan terhadap para
pemangku kepentingan (stakeholder).
Merujuk kepada ketentuan dalam dokumen Global Compact PBB tahun 1999,
pada poin kedelapan dinyatakan, ”Dalam mengambil inisiatif harus mempromosikan
tanggung jawab lingkungan yang lebih besar.” Agar perusahaan memiliki tanggung
jawab dan kewajiban untuk memajukan, menghormati dan melindungi hak azasi
manusia sebagaimana diakui dalam hukum internasional maupun hukum nasional
termasuk hak dan kepentingan dari indigenous people dan kelompok rentan lain telah
diserukan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum, Ny.E/CN.4/Sub.2/2003/12/
Rev.2 tahun 2003.4 Untuk menjawab ketentuan tersebut perusahaan-perusahaan di
berbagai negara harus menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR).
Pada tahun 1990-an, CSR menjadi suatu gagasan yang menyita banyak
kalangan terutama dari masyarakat akademik, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
3
Erni R. Ernawan., Business Ethics: Etika Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), hal. 12. 4
Nirwansyah Putra., “Penegakan Hukum Lingkungan Berbasis HAM”, Surat Kabar Suara
sampai para pelaku bisnis. Tidak mengherankan jika laporan tahunan beberapa
perusahaan multinasional tidak lagi menempatkan keuntungan sebagai satu-satunya
alat ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan.5
Perbincangan mengenai CSR ini sebenarnya bukan merupakan hal baru.
Istilah CSR mulai berkembang pada era 1970-an. Pada era tersebut dicetuskan agar
pemerintah melakukan intervensi yang bertujuan memperluas ruang lingkup CSR.
Ruang lingkup CSR tidak hanya mencakup tanggung jawab perusahaan kepada
pemegang saham (shareholder), tetapi juga kepada stakeholder yaitu pekerja,
konsumen, pemasok. masyarakat, terciptanya udara bersih, air bersih, dan konstituen
lain di mana perusahaan itu berada.6
Pelaksanaan CSR sebenarnya bertujuan untuk memperkuat perusahaan itu
sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antara stakeholders
yang difasilitasi oleh perusahaan yang bersangkutan dengan jalan menyusun
program-program pengembangan mayarakat sekitarnya, untuk dapat beradaptasi
dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholders terkait dengan perusahaan, baik
lokal, nasional maupun global, karena pengembangan CSR ke depan mengacu pada
konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).7
Pada tahun 1980-an semakin banyak perusahaan yang menggeser konsep
filantropisnya ke arah Community Development (CD) yang semakin berkembang ke
5
Bambang Sulistiyo., “Wangi Sebelum Ada Peraturan”, Gatra, No. 44, Tahun XII, 20
September 2006, hal. 81. 6
Ibid. 7
Abdul Rasyid Idris., “Corporate Social Responsibility Sebagai Sebuah Gagasan”, Harian
arah pemberdayaan masyarakat misalnya pengembangan kerjasama dalam
memberikan keterampilan dan sebagainya. Dasawarsa 1990-an diwarnai dengan
beragam pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholders maupun
pendekatan civil society yang mempengaruhi praktek Community Development (CD).
Sehingga Community Development (CD) menjadi suatu aktivitas lintas sektoral
karena mencakup berbagai aktivitas produktif maupun sosial dan juga lintas pelaku
sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak.8 Sehubungan
dengan itu, telah terjadi tahapan pengembangan CSR tersebut digambarkan dalam 3
(tiga) tahapan dengan paradigma yang berbeda, yaitu:9
1. Tahap pertama adalah corporate charity, yakni motivasi amal berdasarkan motivasi keagamaan;
2. Tahap kedua adalah corporate philantrophy, yakni motivasi kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial; dan
3. Tahap ketiga adalah corporate citizenship, yaitu motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial.
Setiap Negara mempunyai sejarah pengaturan CSR yang berbeda-beda.
Sampai sekarang negara-negara di dunia belum dibuat peraturan yang mewajibkan
adanya pelaksanaan CSR bagi perusahaan-perusahaan yang berada di negaranya
masing-masing. Memang salah satu perkembangan topik CSR adalah perdebatan
mengenai perlu atau tidaknya regulasi CSR dibuat. Saat ini, secara umum regulasi
CSR masih dilakukan bersifat sukarela (voluntary). Negara-negara di Eropa,
8
Yusuf Wibisono., Membedah Konsep & Aplikasi CSR, (Gresik: Fascho Publishing, 2007),
hal. 5-6. 9
dijadikan sebagai tempat acuan penerapan CSR, dimana bahwa dalam penerapannya
masih bersifat sukarela. Namun perkembangan inisiatif praktek CSR di
masing-masing negara berbeda-beda.
Menilik situasi baik di Eropa dan Amerika yang merupakan negara maju,
tanpa adanya regulasi CSR pun, praktek CSR sudah mendarah daging bagi sebagian
besar perusahaan di sana. Berbagai literatur membuktikan bahwa kesadaran
masyarakat yang merupakan society telah menjadikan CSR suatu corporate action
sebagai perwujudan dari corporate mission. Namun demikian, keberadaan regulasi
nampaknya masih terus dijajaki. Terbukti secara individual di beberapa negara Eropa
seperti Italia, Jerman, Swedia dan United Kingdom telah secara proaktif
mempersiapkan pembuatan standar tersendiri. Bahkan Prancis menjadi negara
pertama di dunia yang mewajibkan semua perusahaan publiknya mengeluarkan CSR
report sejak bulan Mei 2001.10
Keberadaan regulasi CSR di Eropa dan Amerika, tidak membuat regulasi
CSR tertinggal di kawasan Asia Pasific. Keberadaan regulasi CSR di Asia Pasific
berkembang berlainan di tiap negara. Bahkan tahapan regulasi pun berbeda untuk
masing-masing negara. Sebuah laporan dari CPA (Certified Public Accounting),
bulan September 2005, Australia mengungkapkan beberapa hal yang menarik tentang
perkembangan CSR reporting yang dimasukkan dalam bentuk sustainability
reporting. Laporan ini berdasarkan survei pada 12 negara yakni Australia, China,
10
Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Philipina, Singapura,
Korea, dan Thailand.11
Berdasarkan survei terhadap keduabelas negara tersebut, terbukti bahwa
Australia, Malaysia dan Korea sudah dalam tahap tertinggi untuk segera menetapkan
regulasi dan penerapan CSR. Mereka kini dalam proses introduction to mandatory
requirements. Sedangkan Indonesia dan Thailand adalah dua negara yang belum
terbukti mempunyai arah yang jelas untuk mempraktekkan CSR. Untuk pengaturan
CSR di Cina sama halnya dengan Negara-negara barat lain bahwa masih bersifat
sukarela. Bahkan di Negara yang menggunakan sistem ekonomi sosialis tersebut
mengadopsi dan mengikuti kursus-kursus CSR di negara-negara Eropa dimana bahwa
negara-negara di Eropa pada umumnya menganut sistem ekonomi kapitalis. Dari sisi
sistem ekonomi yang dianut suatu negara, keberadaan CSR di Indonesia dan Cina
perlu dicermati.12
Pengaturan CSR di negara Cina terlihat dari standar CSR Cina yaitu China
Social Compliance 9000T (CSC9000T), standar tersebut berdasarkan undang-undang
tenaga kerja Cina dengan rujukan ke hukum internasional, yang mana mendesak
perusahaan untuk mematuhi standar yang relevan.
Munculnya CSR di Cina karena adanya lembur berlebihan, kematian di
tambang batu bara, kerusakan lingkungan dan masalah-masalah hak asasi manusia
harus cukup untuk semua perusahaan sadar akan CSR. Sejak akhir tahun 1970-an
11
http://www.csrreview-online.com, diakses tanggal 10 Mei 2010. 12
pasar di Cina telah berubah dari rencana ekonomi yang berbasis sistem pasar,
membuat potensi luas untuk produksi dan penjualan asing. Pertumbuhan tahunan
PDB di Cina sekarang berdiri di sekitar 9%. Dengan 400 juta orang diangkat dari
kemiskinan dalam 30 tahun dan jumlah penduduk 1,3 miliar, dengan daya beli yang
cukup besar dan terus berkembang. Banyak perusahaan asing berusaha untuk hadir di
pasar ini. Negara lain kerja kontrak produksi ke Cina untuk mendapatkan keuntungan
dari upah lebih rendah daripada di negara asal mereka. Pada saat yang sama, Cina
yang miskin reputasi dalam kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak pekerja lainnya
dan hak asasi manusia menciptakan resiko bagi perusahaan merek dan penjualan
untuk pasar ethically bersangkutan. Hal ini tidak hanya berlaku untuk perusahaan di
Cina tetapi juga untuk mereka yang bekerja dengan Cina.13
Cina niscaya memiliki masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan,
hak asasi manusia dan hak-hak pekerja. Namun, tidak ada keraguan bahwa
pertumbuhan industri dan perdagangan dengan dunia luar merupakan hal yang
signifikan bagi ekonomi Cina yang terus mengalami pembangunan dan kemampuan
untuk mengangkat lebih banyak orang dari kemiskinan. Pemerintah Cina telah
menarik minat perusahaan dalam kegiatan sosial dan lingkungan untuk berkontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan. Pemerintah memiliki kepentingan dalam
13
Li-Wen Lin., “Corporate Social Accountability Standards in the Global Supply Chain:
Resistance, Reconsideration, and Resolution in China”, Cardozo Journal of International and
membangun kerangka kerja yang dapat membantu perusahaan asing memastikan
bahwa mereka menerapkan CSR di Cina.
Berkaitan dengan masalah kelestarian lingkungan, pemerintah Cina telah
mengadopsi berbagai kursus CSR dari Uni Eropa. Sebagian besar negara Uni Eropa
menerapkan CSR secara sukarela dan berada di luar peraturan pemerintah.
Pemerintah Cina telah mengeluarkan standar CSR di Cina yaitu CSC9000T
diluncurkan pada tahun 2005. Bursa Saham di industri Timur Cina Selatan banyak
perusahaan asing memiliki sarana produksi atau pemasok telah mengembangkan
seperangkat pedoman untuk CSR perusahaan-perusahaan lokal. Seperti bursa saham
Shenzhen telah memiliki pedoman CSR sendiri.
Inisiatif Cina untuk mengeluarkan dan mengembangkan standar CSR tidak
hanya hadir untuk memberikan kontribusi bagi perusahaan tetapi juga untuk
memperbaiki kondisi pekerja. Standar CSC9000 memudahkan perusahaan di Cina
dan perusahaan asing diberlakukan sama. Beberapa negara dalam pelaksanaan dan
penegakan hukum diakui menjadi masalah, hanya mengamati kadang-kadang harus
diakui CSR. Hal ini mendorong pemahaman tentang CSR dalam konteks Eropa,
tetapi dalam konteks Cina belum memadai pada tingkat pengetahuan, ketaatan dan
penegakan hukum di antara perusahaan dan pihak berwenang.14
Pengakuan CSR di Cina merupakan hasil dari peradaban sosial dan ekonomi.
Pada tahap awal dari akumulasi modal, perusahaan-perusahaan multinasional untuk
14
pembangunan diupayakan dalam mengutamakan lingkungan dan kesejahteraan
tenaga kerja. Akibatnya, isu-isu yang terkait secara bertahap dibawa ke dalam lingkup
pemerintah dan perundang-undangan. Untuk menebus reputasi dan meningkatkan
keyakinan investor, perusahaan-perusahaan multinasional di Cina memimpin dalam
membangun sendiri kode etik (code of conduct) yang berkaitan dengan CSR.
Kontek CSR di Cina mencakup larangan menggunakan tenaga kerja anak dan
tenaga kerja paksa atau wajib, larangan pada diskriminasi, pelecehan dan
penyalahgunaan, peraturan terkait jam kerja, jaminan pada kesehatan dan
keselamatan kerja, perlindungan lingkungan, melihat etika bisnis serta membantu
perkembangan masyarakat atau negara dimana perusahaan beroperasi.63
Jika dilihat pengaturan CSR di negara Indonesia dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), bahwa CSR merupakan
suatu kewajiban untuk dilaksanakan dan dipertimbangkan dengan kondisi
perusahaan. Pengaturan CSR selain dinyatakan dalam UUPT, juga tersebar di
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti UUBUMN, UUPLH,
Undang-Undang Penanaman Modal, dan khususnya dalam pengelolaan sumber daya
alam.
Pelaksanaan CSR di Indonesia, merupakan suatu kewajiban bagi suatu
perusahaan mengingat perkembangan dan laju perekonomian bangsa Indonesia
semakin pesat. Hal ini dapat dilihat karena banyaknya perusahaan yang didirikan,
63
baik perusahaan pemerintah, perusahaan swasta, perusahaan gabungan antara pihak
swasta dan pemerintah dari negara manapun, perusahaan patungan antara pihak asing
dengan perusahaan domestik di Indonesia dalam melaksanakan CSR tersebut masih
banyak perusahaan yang masih pikir-pikir karena mereka takut akan merugikan
perusahaan dalam jangka waktu yang singkat.
Sebetulnya selama perusahaan itu beroperasi di Indonesia, berbagai jenis
perusahaan tersebut telah membantu dalam menunjang perekonomian Indonesia
dalam bentuk keuntungan yang diberikan kepada negara maupun dalam bentuk
pajak-pajak yang harus dibayarkan kepada negara. Kemudian dalam menjalankan
kegiatannya, perusahaan berinteraksi dengan berbagai pemangku kepentingan yang
terkait dengannya yaitu dengan shareholders dan stakeholders perusahaan.
Shareholders adalah komponen yang terkait dengan internal perusahaan seperti para
pemegang saham sedangkan yang dimaksud dengan, stakeholder adalah semua pihak
di luar perusahaan yang terkait dengan kegiatan perusahaan.15
World Business Council on Sustainable Development (WBCSD)
menyebutkan bahwa dalam CSR mengenal suatu komitmen perusahaan untuk
berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development). Komitmen lainnya
adalah meningkatkan kualitas hidup stakeholders. Harmonisasi antara perusahaan
15
Charolinda., “Pengembangan Konsep Community Development Dalam Rangka
Pelaksanaan Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke 36 No. 1,
dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari
top management perusahaan terhadap penerapan CSR sebagai akuntabilitas publik.
Salah satu prinsip yang dikenal dalam konsep CSR adalah Good Corporate
Governance (GCG). Dalam GCG mengisyaratkan masalah pertanggungjawaban
(responsibility), dalam konteks ini yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat.16
Saat ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam
masyarakat mulai ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepedulian terhadap
lingkungan dan masalah etika seperti masalah perusakan lingkungan, perlakuan tidak
layak terhadap karyawan dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidaknyamanan
ataupun bahaya bagi konsumen selalu menjadi topik utama diberbagai media.
Kompleksitas permasalahan sosial (social problem) yang semakin rumit
dalam dekade terakhir dan implementasi desentralisasi akibat munculnya program
otonomi daerah di Indonesia telah menempatkan CSR sebagai suatu konsep inovasi
baru yang diarahkan memberikan alternatif terobosan baru dalam memperdayakan
ekonomi masyarakat miskin. Oleh sebab itu, pelaksanaan CSR sudah menjadi
komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang
berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan
16
Muh. Arief Effendi., “Implementasi GCG melali CSR” Artikel, Harian SuaraKarya, Edisi
menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis,
sosial, dan lingkungan”.17
CSR di Cina seperti yang telah dijelaskan tadi, dilaksanakan bersifat sukarela
(charity).18 Namun, dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas yang lama yaitu
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 sebagai payung hukum perseroan belum
mengatur CSR. Namun setelah tanggal 16 Agustus 2007, CSR di Indonesia telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas. CSR yang dikenal dalam UUPT sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1
Ayat 3 yang berbunyi; “Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan adalah komitmen
Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
Selain itu, kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial juga sudah
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
yaitu terdapat pada Pasal 15 huruf b, yang berbunyi, ”setiap penanaman modal
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Tetapi
undang-undang tersebut tidak mengatur bagaimana kewajiban tersebut dilaksanakan.
17
Suhandari M. Putri, ”Schema CSR”, Kompas 4 Agustus 2007, lihat juga Hendrik Budi
Untung, Corporate Social Responsibilty, (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1. 18
Ibid., hal. 2, Belum mampu memberdayakan masyarakat miskin, belum bisa memberikan
Bertolak pada UUPT yang baru, maka pengaturan mengenai CSR ini
merupakan suatu kewajiban bagi setiap perusahaan atau pelaku bisnis.19 Alasannya
adalah bahwa bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR akan dikenakan sanksi
(walaupun sanksi tersebut tidak secara tegas dalam UUPT).20 Ini artinya bahwa
sanksi yang dikenakan bukan saja sanksi yang dikenakan karena perusahaan tidak
melaksanakan CSR melainkan sanksi karena perusahaan mengabaikan CSR sehingga
perusahaan tersebut melanggar aturan-aturan di bidang sosial yang berlaku.21
Sebelum adanya ketentuan pengaturan CSR dalam UUPT, pelaksanaan CSR
merupakan bagian dari GCG bahwa inti dari GCG merupakan suatu sistem, dan
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang
berkepentingan. Dalam rangka pelaksanaan CSR bagi perusahaan-perusahaan
sebenarnya yang tergambar di dalamnya adalah mewujdukan 5 (lima) prinsip GCG
yang disingkat dengan TARIF, yaitu sebagai berikut:22
1. Transparency (keterbukaan informasi). 2. Accuntability (akuntabilitas).
3. Responsibility (pertanggungjawaban). 4. Indepandency (kemandirian).
5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran).
GCG atau tata kelola perusahaan yang baik sangat diperlukan agar perilaku
bisnis mempunyai arahan yang baik. Prinsip responsibility sebagai salah satu dari
19
Gunawan Widjaja., dan Yeremia Ardi Pratama., Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa
CSR, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2008), hal. 6.
lihat juga Pasal 74 Ayat (1), (2), UUPT. 20
Ibid, Pasal 71 Ayat (3) UUPT. 21
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op. cit, hal. 98. 22
prinsip GCG merupakan prinsip yang mempunyai hubungan yang sangat dekat
dengan CSR. Penerapan CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep
GCG sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungannya.23
Istilah GCGdapat juga mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk
memungkinkan suatu perusahaan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan
pemegang saham dan publik. Istilah GCGjuga dapat mengacu pada praktik audit dan
prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu pada keaktifan pemegang
saham. Secara lebih sempit, istilah GCG itu dapat digunakan untuk menggambarkan
peran dan praktik dewan direksi. Termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan
hubungan antara dewan direksi (pengelola) perusahaan dan pemegang saham, yang
didasarkan pada pandangan bahwa dewan direksi merupakan perantara para
pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan dikelola demi kepentingan
pemegang saham. Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa para direksi bertanggung
jawab kepada dewan komisaris dan dewan komisaris bertanggung jawab kepada
pemegang saham.24 Pengelolaan perusahaan telah dibicarakan di depan Forum
Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, dimana dikatakan
bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut
23
Ibid., hal. 12 24
Bismar Nasution (I)., ”Penerapan Good Corporate Governance Dalam Pencegahan
dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk,
jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas.25
GCG dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari dewan
direksi. GCG berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang
saham, didasarkan pada suatu pandangan bahwa dewan direksi merupakan agen para
pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk dikelola guna
kepentingan perusahaan tersebut. Secara singkat, GCG mencakup hubungan antara
manajer, direktur dan pemegang saham perusahaan. Mencakup juga hubungan antara
perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. GCG juga dapat
meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang
memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, bekerja secara efesien,
menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan
sekaligus kewajiban hukum.
Prinsip GCG dari pandangan sektor swasta menitikberatkan pada apa yang
diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.26 Dalam Laporan Millstein
itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah
cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut
25
Ibid., hal. 3-4. 26
Bismar Nasution (II)., “Aspek Hukum Dalam Transparansi Pengelolaan Perusahaan BUMN/BUMD Sebagai Upaya Pemberantasan KKN”, Makalah Disampaikan pada Semiloka Peran
Masyarakat (Stakeholders) melalui lembaga pengawasan pengelolaan perusahaan dalam mendukung
difokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang di antara tiga bidang lainnya adalah
bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ialah:27
1. Pemastian adanya perlindungan atas hak-hak pemilik saham minoritas dan asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya;
2. Pengklarifikasi peran dan tanggung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan direksi.
3. Pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat adalah bidang transparansi, yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan.
Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik
oleh OECD tersebut, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia dibuat Bapepam, juga
menetapkan strategi pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan,
bahwa agar GCG dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati
kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama GCG, termasuk
prinsip keterbukaan. Upaya mencapai GCG tersebut, juga sesuai dengan pernyataan
Bapepam, bahwa ”salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di
Indonesia terhadap gejolak perekonomian adalah lemahnya penerapan GCG dalam
pengelolaan perusahaan.28
Berbagai hal mengenai CSR dan hubungannya dengan prinsip GCG
sebagaimana diuraikan di atas pada gilirannya saat ini sudah bertumpu pada kekuatan
27
Ibid, hal. 14-15. 28
Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, (Jakarta: Bapepem, 1999),
tanggung jawab moral dan praktik pengelolaan bisnis yang bersifat normatif.29 Oleh
karena itu, manajemen perusahaan harus bisa mengoperasikannya di lapangan,
sebagaimana telah ditentukan oleh undang-undang. Perusahaan-perusahaan di
Indonesia dalam menggunakan CSR tidak hanya terbatas mengimplementasikan
kewajiban belaka, tetapi dapat memanfaatkannya sebagai metode untuk mencapai
sasaran bisnis perusahaan.30
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian, “Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social
Responsibility Antara Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan Prinsip
Good Corporate Governance Di Indonesia” sebagai judul dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah perbandingan pengaturan Corporate Social Responsibility antara
negara Cina dan Indonesia dalam mewujudkan Good Corporate Governance?
29
Sonny Sukada dkk, Membumikan Bisnis Berkelanjutan Memahami Konsep dan Praktik
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Buku I CSR for Better Life Indonesian Context, Cetakan I, Maret, (Jakarta: Indonesia Bisnis Links, 2007), hal. 7.
30
2. Apa saja faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pengaturan Corporate
Social Responsibility di Indonesia dalam upaya pemenuhan Good Corporate
Governance untuk mewujudkan sustainable development?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas, maka
tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbandingan pengaturan Corporate Social Responsibility
antara negara Cina dan Indonesia dalam mewujudkan Good Corporate
Governance; dan
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pengaturan
Corporate Social Responsibility di Indonesia dalam upaya pemenuhan Good
Corporate Governance untuk mewujudkan sustainable development.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini, dapat memberikan sejumlah manfaat bagi semua
pihak. Manfaat tersebut, penulis kelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yakni sisi
teoritis dan sisi praktis sebagai berikut:
1. Secara teoritis memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan aspek ilmu
hukum pada umumnya dimana di dalamnya terdapat perbandingan hukum, teori
Pengaturan Corporate Social Responsibility Oleh Perusahaan Sebagai Upaya
Perwujudan Good Corporate Governance.
2. Secara praktis:
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah/badan legislatif dalam
menentukan kebijakan maupun regulasi dalam upaya pengembangan hukum
nasional ke arah pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan dalam bentuk
undang-undang khusus.
b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi pelaku bisnis (direktur, pemegang
saham, dan komisaris) bahkan investor mampu memahami ruang lingkup
pengaturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan serta dapat
melaksanakannya sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip GCG.
c. Sebagai bahan referensi untuk dikaji kembali bagi para peneliti dengan
mengambil poin-poin tertentu.
d. Sebagai informasi dan rujukan bagi aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat
termasuk stakeholders lainnya sehingga mampu bersikap sebagai informan,
promotor sekaligus pengontrol perkembangan dalam implementasi tanggung
jawab sosial perusahaan di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Perbandingan
Perwujudan Prinsip Good Coorporate Governance di Indonesia” belum pernah
dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun sudah ada
beberapa judul penelitian tentang CSR, tetapi jika dilihat dari rumusan masalah yang
dibahas jelas nampak perbedaannya. Misalnya Tesis Hariyanto (087005007) dengan
judul Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Stakeholder”, Tesis Masitah
Pohan (027005018) dengan judul “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Untuk
Perlindungan Buruh”, Tesis Faisal (057005006) dengan judul “Analisis Yuridis
Penerapan Manajemen Risiko di Dembaga Perbankan Dalam Mewujudkan Good
Coorporate Governance. Jadi, penelitian ini adalah asli dan menjunjung tinggi
asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan
serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan
masalah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Paradigma lama yang dikenal pada sistem liberal kapitalis klassik,
perusahaan-perusahaan pada umumnya bertujuan untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya, Direksi melakukan pengurusan perusahaan untuk kepentingan perusahaan,
dan fungsi sosial perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan. Namun, setelah
bergesernya paradigma lama kepada paradigma baru, menimbulkan
disebutkan dalam World Business Council on Sustainable Development (WBCSD)
bahwa dalam CSR mengenal suatu komitmen perusahaan untuk berperilaku etis
(behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (sustainable economic development) bersifat sukarela. Komitmen ini
tentunya sangat terasa akibatnya terhadap peningkatkan kualitas hidup
stakeholders.31 Komitmen perusahaan pada dunia bisnis untuk berkontribusi dalam
pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab
sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap
aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan”.32
Keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan
lingkungan, yang dimaksud adalah adanya keselarasan dalam pencapaian tujuan
bersama antara perusahaan dengan stakeholders tersebut sebagai dasar dalam
penerapan CSR.
Perubahan paradigma tersebut, muncul sebagai akibat pembangunan
berkelanjutan yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan akan pentingnya
perusahaan itu dapat hidup bertahan lama. Dengan demikian, pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan dalam suatu kegiatan bisnis terlibat di dalamnya karena
ingin memperoleh keuntungan, maka hak dan kepentingan mereka harus diperhatikan
dan dijamin. Pendekatan ini disebut dengan prinsip no harm, pendekatan ini
31
Muh. Arief Effendi., “Implementasi GCG melali CSR” Artikel, Harian Suara Karya, Edisi
Rabu, Tanggal 15 Maret 2006, Kolom Opini, hal. 6. 32
memperlihatkan secara gamblang bahwa ditempuh demi kepentingan bisnis yang
bersangkutan. Artinya supaya bisnis dari perusahaan dapat berhasil dan bertahan
lama, perusahaan manapun dalam kegiatan bisnisnya dituntut atau menuntut dirinya
untuk menjamin dan menghargai hak dan kepentingan semua yang terkait dengan
bisnisnya karena kalau salah satu saja dari pihak-pihak yang berkepentingan
dirugikan, maka pihak tersebut tidak akan mau lagi menjalin kerja sama bisnis
dengannya juga akan menganggap bawa perusahaan tersebut sebagai perusahaan
yang harus diwaspadai dalam relasi bisnis selanjutnya. Maka konsep tanggung jawab
sosial perusahaan melalui pendekatan stakeholders merupakan jawaban untuk
menjawab dengan sebisa mungkin untuk menghindari relasi yang buruk antara pelaku
bisnis (perusahaan) dengan stakeholders.33
Sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap stakeholders, terlihat dari
munculnya Pekerjaan Sosial Industri (PSI) yaitu sebagai lapangan praktik pekerjaan
sosial yang secara khusus menangani kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan dan sosial
pada dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metode pertolongan yang
bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara individu dengan lingkungannya
terutama lingkungan kerja.34
Kontribusi yang dapat diberikan oleh stakeholders terhadap perusahaan
misalnya dapat berbentuk keahlian, pengetahuan, peraturan yang dibutuhkan
perusahaan selama menjalankan kegiatan usahanya, modal, bahan baku produksi,
33
Ibid.
34
pasokan Sumber Daya Manusia yang memiliki persyaratan jabatan (job requirement)
sesuai dengan kebutuhan perusahaan.35 Imbalan yang diharapkan akan diterima oleh
pemangku kepentingan dari perusahaan dapat bermacam-macam dan sangat
bergantung kepada kepentingan dan tuntutan pemangku kepentingan tersebut.
Imbalan yang diharapkan stakeholders dapat berupa dividen (bagi pemegang saham),
gaji dan bonus yang memadai atas pasokan bahan baku yang berkelanjutan (bagi
pemasok), pembayaran pajak (bagi pemerintah), serta keberadaan perusahaan yang
dapat membantu menyelesaikan masalah masyarakat (bagi masyarakat sekitar).
Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan
mensistematiskan masalah yang dibicarakannya.36 Maka tepatnya dalam kerangka
teori digunakan teori yang berkenaan dengan keadilan dan teori stakeholders.
Hubungannya adalah bahwa penerapan CSR oleh perusahaan sangat bersinggungan
dengan stakeholders dimana bahwa tanpa tanpa adanya CSR keadilan akan langka
ditemukan oleh para stakeholders begitu pula sebaliknya, tanpa stakeholders niscaya
perusahaan akan banyak menuai masalah baik masalah profit maupun masalah
eksistensinya di mata stakeholders tersebut.
Berikut ini teori keadilan dikemukakan Plato adalah, ”Nilai kebijakan yang
paling tertinggi”, dalam bahasa Inggris, ”Justice is the supreme virtue which
35
T. Donaldson, dan L.E Preston, “The Stakeholders Theory of Corporation: Concepts,
Evidence and Implications”, Academy of Manahgement Review, Januari, 1995.
36
harmonize all other virtues”.37 H.L.A. Hart mengemukakan keadilan mengarah
kepada aspek hukumnya yaitu, ”Nilai kebajikan yang paling legal”, dalam bahasa
Inggrisnya, ”The most legal of vitues”, atau dengan meminjam istilah Cicera,
menyebutkan tentang keadilan adalah habitus animi yakni merupakan atribut pribadi
(personal atribute).38
Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan
individual (individual virtue).39 Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair
prejudice) di dalam kehidupan manusia, maka sektor hukumlah yang sangat berperan
untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the lost justice), Aristoteles
menyebutnya sebagai keadilan korektif.40
Keadilan menurut Aristoteles terbagi tiga yakni keadilan komutatif, keadilan
distributif, dan keadilan hukum (legal justice) yaitu:41
1. Keadilan komutatif adalah suatu kebijakan untuk memberikan kepada setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each one his due). Mengusahakan keadilan komutatif ini adalah pekerjaanya para Hakim. Misalnya menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya, sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain;
2. Keadilan distributif adalah sebagai suatu tindakan memberikan setiap orang apa yang patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik (merits) dan kecurangan/ketercelaan (demerits), yang merupakan pekerjaan yang lebih banyak dilakukan oleh badan legislatif. Misalnya, hak-hak politik masyarakat atau kedudukan di dalam parlemen, dapat didistribusikan kepada yang berhak sesuai dengan keadilan distributif itu; dan
37
3. sementara itu, keadilan Hukum (legal justice) adalah; Keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditagakkan melalui poses hukum, umumnya di pengadilan.
John Rawls tidak tinggal pula mengemukakan mengenai keadilan ini.
Keadilan menurutnya merupakan campuran dari unsur-unsur keadilan yang
disebutkan oleh Aristoteles dan mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti
dikembalikan oleh hukum. Menurutnya John Rawls, “Keadilan akan diperoleh jika
dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan
kepribadian masing-masing (justice fairnes)”. Prinsip keadilan menurut John Rawls
dapat dirinci sebagai berikut:42
1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties);
2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu;
a. Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah (maximum minimorium); dan
b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang.
Teori tentang keadilan menurut paham utilitarian banyak mengemukakan
teori-teori manfaat adalah jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi
sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya itu. Karena itu,
unsur ”manfaat” (utility) merupakan kriteria bagi manusia dalam mematuhi hukum
seperti terlihat dalam kalimat berikut ini, ”...and the test of what laws there ought to
42
be, and what laws ougnt to be obeyed, was utility”. Mengenai hal ini dikenal dengan
ungkapan the greatest happiness of the greatest number.43
Teori manfaat (utilitarisme) yang relevan untuk mempertajam pembahasan
dalam penelitian ini diambil dari teroi yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham
dalam karya tulisannya “An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation” disebutkannya bahwa;44
“Alam telah menempatkan umat manusia di bawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam sumua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada dibawah kekuasaan mereka. Asas manfaat
(utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang”.
Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala
kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi
43
Ibid., hal. 95. 44
Ian Saphiro., Asas Moral dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Bekerjasama
Dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, 2006), hal. 13, Jeremy
Bentham (1748 -1832 ), Karyanya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation, pertama
kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus classicus) tradisi
kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan
kebahagiaan itu.45
Utilitarisme disebut juga teori teleologis (dari kata Yunani telos = tujuan ),
sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya
tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan
apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.46
Teori utilitas lebih menekankan bahwa pengambilan keputusan etika dengan
pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya (the greatest
good for the greatest number).Artinya, bahwa hal yang benar didefinisikan sebagai
hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya
bagi kebanyakan orang. Semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, perbuatan
itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan
relative paling banyak digunakan. Aliran atau paham Utilitarium sering disebut pula
dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.47
Perlu dipahami bahwa utilitarisme menekankan pentingnya konsekuensi
perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik
45
Ibid., hal. 14, lihat juga Johannes Ibrahim, Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis Vol.27 No.2, hal. 14 yang menyebutkan teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith “Keadaan batin yang waspada, jeli, dan sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan, untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar.” Keutamaan ini menyangkut kebijakan yang ditempuh hendaknya tidak saja memperhatikan kepentingan untuk masa kini, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang ditempuh.
46
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67. 47
buruknya-tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika
suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan
kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah
baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat,
perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini memang
menentukan seluruh kualitas moralnya.48 Prinsip utilitarisme menyatakan bahwa,
“Suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah
total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas
total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan.49
Sehubungan dengan itu pengaturan CSR menuju GCG baik di negara Cina
maupun di negara Indonesia perlu memperhatikan teori-teori yang disebutkan di atas.
Khususnya perusahaan-perusahaan yang sangat besar peranannya terhadap
lingkungan sekitar untuk memperhatikan kalangsungan hidup masyarakat setempat.
Perusahaan merupakan pihak yang kaya dibandingkan dengan masyarakat
(stakeholders) yang masih banyak miskin dan perli diperhatikan.
Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan,
ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya utilitarianisme yang
selalu ada, tetapi tidak merupakan daftar utama kekhawatiran Bentham ketika ia
memikirkan tentang redistribusi yang dapat memaksimalkan hasil bersih manfaat
sosial. Pertanyaan yang jelas mendesak bagi Bentham, mengingat besarnya kekayaan
48
K. Bertens, Op. cit.
49
yang dimiliki oleh segelintir orang dan begitu banyaknya kaum miskin pedesaan, juga
kaum miskin kota yang makin meningkat, adalah apakah redistribusi dari kaum kaya
ke kaum miskin akan menghasilkan hasil bersih perbaikan sosial?. Bentham
menjawab bahwa retribusi dari kaum kaya ke kaum miskin akan menghasilkan hasil
bersih perbaikan sosial, mengingat keyakinannya tentang apa yang kemudian dikenal
sebagai asas manfaat marjinal yang semakin menurun. Meskipun kekayaan
meningkatkan kebahagiaan, namun Bentham menekankan bahwa “sepuluh ribu kali
jumlah kekayaan tidak akan membawa sepuluh ribu kali jumlah kebahagiaan”.
Bahkan Bentham meragukan apakah itu akan membawa kebahagiaan dua kali lipat?.
Alasannya adalah bahwa dampak kekayaan dalam menghasilkan kebahagiaan terus
menurun ketika jumlah kekayaan yang diperoleh seseorang meningkat dengan kata
lain, jumlah kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu partikel kekayaan (setiap partikel
mempunyai besaran yang sama) akan semakin berkurang pada setiap partikel-partikel
kedua akan menghasilkan kebahagiaan yang lebih sedikit dibandingkan yang
pertama, yang ketiga lebih sedikit dari yang kedua, dan seterusnya.50
Asas manfaat marjinal yang semakin menurun sejak itu menjadi standar
dalam ilmu ekonomi dan ekonomi politik. Jika segala sesuatu lainnya dianggap
setara, dengan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang sebagai tujuan,
akan cukup alas an untuk mengambil kekayaan dari yang paling kaya dan
50
Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24, pernyataan ini merupakan pernyataan Jeremy Bentham dalam
tulisannya The Psychology of Economic Man, dicetak ulang dalam W. Stark, ed ., Jeremy Bentham’s
mengalihkannya ke orang yang kurang kaya sampai akhirnya keberuntungan semua
orang menjadi setara atau ketidaksetaraan yang ada begitu kecil perbedaannya dari
kesetaraan yang ada begitu kecil perbedaannya dari kesetaraan yang sempurna
sehingga perbedaan itu tidak ada artinya. Selanjutnya, Bentham menyatakan
“Semakin besar kekayaan seseorang individu, semakin besar pula kemungkinan
bahwa, pengurangan sejumlah tertentu dari kekayaannya, sama sekali tidak berarti
ada yang dikurangkan dari jumlah kebahagiaannya.”51
Menurut teori ini suatu adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu
harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai
keseluruhan. Jadi, utilitarisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Dalam
rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik
buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah
perbuatan yang terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup, misalnya,
merupakan tanggung jawab moral induvidu atau korporasi? Utilitarisme menjawab:
karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai
keseluruhan. Korporasi atau perusahaan tentu bias meraih banyak manfaat dengan
menguras kekayaan alam melalui teknologi dan industri, hingga sumber daya alam
rusak atau habis sama sekali. Karena itu, menurut utilitarisme upaya pembangunan
51
berkelanjutan (sustainable development) menjadi tanggung jawab moral individu atau
perusahaan.52
Ada suatu pola pikir masyarakat yang membuatnya mudah untuk dipahami
adalah bahwa konsep yang paling masuk akal dan adil bagi masyarakat adalah konsep
utilitas (manfaat). Suatu masyarakat dapat diatur dengan baik bila perusahaan mampu
memaksimalkan saldo bersih dari kepuasan. Prisnsip ini merupakan pilihan yang
diperuntukkan bagi banyak orang. Prinsip keadilan adalah prinsip dari kebijaksanaan
yang masuk akal dan diberlakukan bagi suatu konsepsi kesejahteraan bersama.53
Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan
pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan cost benefit analysis
(analisis biaya manfaat) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang
dimaksudkan utilitarisme bias dihitung juga sama seperti menghitung untung dan rugi
atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Keputusan diambil pada manfaat terbesar
dibanding biayanya.54 Prinsip utilitarisme dianggap mengasumsikan bahwa kita bias
mengukur dan menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu
tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan tersebut, dan
selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar
atau biaya yang paling kecil.55
52
K. Bertens., Op. cit., hal. 66. 53
John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24. 54
K. Bertens, Op. cit., hal 66-67. 55
Mengenai teori manfaat utilitarisme, John Stuart Mill melakukan revisi dan
mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya berjudul, “Utilitarianism”,
diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran
utilitas masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill
mempostulatkan bahwa, “Suatu nilai tertinggi, kebahagiaan, yang mengijinkan
kesenangan heterogen dalam berbagai bidang kehidupan”. Juga disebutkannya
bahwa, “Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang
dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang
tahan lama”. Teori ini dikenal dengan teori utilitarianisme eudaemonistik. Kriteria
utilitas menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang
lebih awet sebagai hasil yang diinginkan, yaitu kebahagiaan.56
Berdasarkan teori keadilan dan teori manfaat yang telah dipaparkan di atas,
jelas sekali hubungan dari penagturan dan pelaksanaan CSR untuk kepentingan
stakeholders dan kepentingan perusahaan yang terjadi secara sustainable
development sehingga perusahaan dimungkinkan dapat bertahan lama.
Mengenai apa sebenarnya stakeholders itu, berikut ini dipaparkan pula
stkakeholders tersebut karena stakeholders inilah yang perlu diperhatikan oleh
56
perusahaan-perusahaan yang menerapkan CSR. Tanpa stakeholders perusahaan tidak
akan bisa menerapkan CSR dan tentunya tidak mampu untuk beroperasi. Untuk lebih
jelasnya, maka berikut ini dipaparkan teori-teori yang berkenaan dengan stakeholders
tersebut.
Kata stake dapat diartikan sebagai kepentingan. Selanjutnya, stakeholders
diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang memiliki satu atau lebih
kepentingan (stake) yang berbeda dalam sebuah perusahaan. Stakeholders dapat
diartikan juga sebagai setiap orang atau sekelompok orang yang dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh tindakan, keputusan, kebijakan, praktik atau tujuan dari sebuah
perusahaan.57
Stakeholders yang jamaknya diterjemahkan dengan para pihak, Yusuf
Wibisono meminjam istilah yang dipergunakan oleh Wheelen dan Hunger adalah,
“pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun
tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya
kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perusahaan”.
Defenisi lain dilontarkan Rhenald Kasali yang menyatakan bahwa yang dimaksud
para pihak adalah setiap kelompok yang berada di dalam maupun di luar perusahaan
yang mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Stakeholders
57
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op, cit, hal. 47. Gunawan Widjaja dkk.
bisa diartikan pula setiap orang yang mempertaruhkan hidupnya pada perusahaan,
ibarat sebuah jagad yang dikelilingi planet-planet, maka perusahaan juga dikelilingi
dengan stakeholders-nya.58
Jelas, antara stakeholders dengan perusahaan terjadi hubungan yang saling
mempengaruhi, sehingga perubahan pada salah satu pihak akan memicu dan
mendorong terjadinya perubahan pada pihak yang lainnya. Perusahaan selera publik,
misalnya akan mendorong kebijakan yang akan diambil oleh perusahaan. Jadi,
Stakeholders dapat terpengaruhi dan juga dapat mempengaruhi tindakan, keputusan,
kebijakan, atau praktik-praktik yang dilakukan oleh perusahaan.
Dalam dunia usaha yang global dan sangat kompetitif sekarang ini, banyak
pihak yang dapat menjadi stakeholders perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan
ada beberapa orang atau sekelompok orang yang secara pasti dapat digolongkan
sebagai stakeholders perusahaan, yaitu mereka yang memiliki legitimasi, kepentingan
langsung, atau hak dalam kegiatan perusahaan. Mereka dalam golongan ini di
antaranya adalah pemegang saham, karyawan dan pelanggan. Tetapi dalam sudut
pandang masyarakat yang lebih plural, para stakeholders tidak hanya mereka yang
disebutkan di atas, tetapi juga termasuk pesaing usaha, komunitas sekitar, LSM, pers,
dan masyarakat pada umumnya, yang sebenarnya tidak secara langsung terlibat dalam
kegiatan inti dalam perusahaan.
58
Kepentingan (stake) seseorang atau sekelompok orang atas suatu perusahaan
dapat timbul karena dua macam hak, yaitu hak hukum (legal right) dan hak moral
(moral right), seperti kutipan berikut ini:59
1) Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki hak hukum (legal right) adalah orang yang memiliki kepentingan berdasarkan aturan yang berlaku bahwa mereka harus diperlakukan sebagaimana aturan yang berlaku tersebut; 2) Sedangkan mereka yang memiliki hak moral (moral right) adalah seseorang
atau sekelompok orang yang kepentingannya timbul secara moral atau etika dimana perlakuan yang mereka terima adalah semata-mata berdasarkan moral dan etika dari perusahaan tersebut, yang sebenarnya tidak wajib.
David Wheeler dan Maria Sillanpaa dalam bukunya ”The Stakeholders
Corporation: A Blueprint for Maximizing Stakeholders Value”, menggolongkan
stakeholders berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholders
terhadap suatu issue yang dapat diketegorikan ke dalam beberapa kelompok
stakeholders yaitu stakeholders primer, sekunder dan stakeholders kunci. Sebagai
gambaran pengelompokan tersebut pada berbagai kebijakan, program, dan proyek
pemerintah (publik) dapat dikemukakan kelompok stakeholders tersebut sebagai
berikut:60
1) Stakeholders primer meliputi pemegang saham, investor, karyawan, pelanggan, komunitas lokal, pemasok dan rekanan bisnis. Stakeholders primer atau utama merupakan stakeholders yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan:
a. Masyarakat dan tokoh masyarakat; b. Pihak Manajer publik.
2) Stakeholders sekunder meliputi pemerintah, institusi sipil, LSM, pers, pesaing usaha, asosiasi pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Stakeholders
59
Gunawan Widjaja., dan Yeremia Ardi Pratama., Op, cit, hal. 48. 60