• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah

Bagi hasil merupakan suatu lembaga Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hingga saat ini lembaga tersebut di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang masih ada dan sangat dibutuhkan, karena sektor pertanian masih mempunyai arti penting dalam menunjang perekonomian masyarakat tersebut. Karena penduduknya lebih banyak terkonsentrasi di bidang pertanian, tidaklah mengherankan bila banyak dilakukan transaksi-transaksi untuk mengolah lahan pertanian dengan cara bagi hasil. Perjanjian (transaksi) bagi hasil di Desa Sedah

commit to user

51

lebih dikenal dengan istilah “maro” ( separuh ) dan “mertelu” ( dibagi

tiga ).

Perjanjian paron dan mertelu di Desa Sedah dapat diketemukan beberapa unsur yaitu :

1. adanya kesepakatan para pihak;

2. izin menggarap dari pemilik tanah;

3. atas dasar kepercayaan;

4. perjanjian yang sebagian besar tidak tertulis atau lisan;

5. pembagian hasil menurut kebiasaan/ kesepakatan.

Bagi hasil kadang-kadang berfungsi sebagai lembaga pemeliharaan sanak keluarga. Dalam perjanjian bagi hasil tersebut hubungan sanak keluarga tetap diprioritaskan untuk menggarap tanah, jika tidak ada lagi sanak keluarga yang bersedia menggarap tanah tersebut, penawaran baru diberikan kepada orang lain yaitu tetangga dekat atau orang pendatang yang tidak ada hubungan kekerabatan.

Hasil penelitian penulis, dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah yang mengambil sample area di 4 ( empat ) Dusun yang ada di Desa Sedah, yaitu :

1. Dusun Sidorejo,

2. Dusun Gundi,

3. Dusun Krajan, dan

4. Dusun Jasem.

Dengan mengambil sampling random acak dari 80 (delapan puluh) responden dengan pembagian 40 (empat puluh) responden pemilik tanah dan 40 (empat puluh) responden penggarap tanah. Yang akan di uraikan lebih lanjut oleh penulis dalam bentuk table berikut.

a. Latar Belakang/ Alasan Perjanjian Bagi Hasil.

Tabel 3. Alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian (transaksi ) bagi hasil di Desa Sedah.

commit to user

52

NO. Alasan bagi hasil f (%)

1. 2. 3.

Ada pekerjaan lain Sudah tua

Rasa sosial/ balas jasa

8 25 7 20 62.5 17.5 JUMLAH 40 100,0

Sumber : Data Primer

Latar belakang/ alasan pemilik tanah melakukan transaksi bagi hasil di Desa Sedah dari Data Primer table 3 di atas yaitu dengan alasan sebagai berikut, dengan 8 ( delapan ) responden yang menyatakan ada pekerjaan lain yang seperti Pegawai Negeri Sipil, Pedagang, Swasta, dll. (20%), 25 ( dua puluh lima ) responden yang menyatakan karena faktor usia yang sudah tua sehingga tidak bisa menggarap sendiri tanah pertaniannya (62,5%), dan 7 ( tujuh ) responden yang menyatakan karena ada rasa sosial/ balas jasa (17,5%), berkaitan dengan hutang atau kurang mampu mengolah tanah tersebut.

Sedangkan alasan penggarap mengadakan perjanjian

( transaksi ) bagi hasiltanah pertanian adalah :

Tabel 4. Alasan penggarap tanah pertanian mengadakan perjanjian ( transaksi ) bagi hasil.

NO. Alasan bagi hasil f (%)

1. 2.

3.

Ada pekerjaan tambahan

Penggarap tidak memiliki tanah pertanian

Adanya tambahan pendapatan

15 5 20 37.5 12.5 50 JUMLAH 40 100,0

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian dari data primer tabel 4 di atas yang menyatakan alasan penggarap tanah pertanian mengedakan perjanjian

commit to user

53

(transaksi) bagi hasil tanah pertanian dapat diuraikan sebagai berikut, 15 ( lima belas ) responden yang menyatakan karena adanya pekerjaan tambahan untuk penggarap (37,5%), 5 ( lima ) responden yang menyatakan Penggarap tidak memiliki tanah pertanian sehingga penggarap bisa mengerjakan tanah dengan sistem bagi hasil yang menguntungkan (12,5%), dan 20 ( dua puluh ) responden yang menyatakan adanya tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (50%).

Walaupun pada tabel 3 dan tabel 4 telah ditemukan ketidak sesuaian antara realita pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah dengan apa yang ditentukan di Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dimana dalam penjelasan pasalnya menyatakan, maksud diadaknnya pembatasan ini ialah agar tanah-tanah garapan hanya digarap oleh orang-orang tani saja (termasuk buruh tani), yang akan mengusahakannya sendiri, juga agar sebanyak mungkin calon penggarap dapat memperoleh tanah garapan. Dengan adanya pembatasan ini maka dapatlah dicegah, bahwa seseorang atau badan hukum yang ekonominya kuat akan bertindak pula sebagai penggarap dan mengumpulkan tanah garapan yang luas dan dengan demikian akan mempersempit kemungkinan bagi para petani kecil calon penggarap untuk memperoleh tanah garapan. Namun, kenyataan/ realita yang ada di Desa Sedah ini mungkin disebabkan dengan berbagai faktor dan penyebab antara lain, faktor perkembangan teknologi dan globalisasi yang beakibat pada gaya hidup dan tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga pemilik tanah pertanian harus mencari pekerjaan lain dan tidak hanya mengadalkan pada hasil panen dari lahan pertanian.

commit to user

54

Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah pertanian. Tabel 5. Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah.

NO. Luas tanah (hektar) f %

1. 2. 3. 4. 0 –1 1,1 – 2 2,1 – 3 > 3 17 15 8 - 42.5 37.5 20 0 JUMLAH 40 100,0

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian dari Data Primer table 5 di atas, menerangkan mengenai luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah pertanian yang dibagi menjadi, 17 ( tujuh belas ) responden 0 - 1 ha (42,5%), 15 ( lima belas ) responden 1,1 – 2 ha (37,5%) dan, 8 ( delapan ) responden 2,1 – 3 ha (20%).

Menurut sumber data sekunder Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 2 tahun 1960 disebutkan mengenai Luas tanah Bagi Hasil, yaitu :

(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2

dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian bagi-hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya, baik kepunyaannya sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar.

(2) Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi-hasil

tanah garapannya akan melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya.

commit to user

55

(3) Badan-badan hukum dilarang menjadi penggarap dalam

perjanjian bagi-hasil, kecuali dengan izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya.

Menurut analisis data primer dan data sekunder di atas bahwa, sudah sesuainya pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Tabel 6. Menanggung Pembayaran Pajak Tanah.

No. Pihak yang Menanggung f %

1. 2. Pemilik Tanah Penggarap Tanah 40 - 100 0 JUMLAH 40 100,00

Sumber : Data Primer

Hasil dari data primer tabel 6 di atas, pihak yang menanggung pembayaran pajak tanah pada 40 ( empat puluh ) responden mencapai (100%) yang mengemukakan bahwa pembayaran pajak tanah pertanian semua di tanggung oleh pemilik tanah tersebut.

Menurut data sekunder Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi Hasil, disebutkan mengenai kewajiban pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut :

“Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adalah pemilik tanah yang sebenarnya”.

Sehingga, dapat ditelaah sudah ada kesesuaian antara realita mengenai perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Sedah ini dengan perturan perundang-undangan yang ada.

b. Subjek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah.

1) Pihak-pihak Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Subjek perjanjian bagi hasil secara umum adalah pemilik tanah dan penggarap, namun sesuai dengan hukum yang berlaku

commit to user

56

sekarang bahwa yang berwenang mengadakan perjanjian bagi hasil tidak saja terbatas pada pemilik dalam arti yang mempunyai tanah, tapi juga para pemegang gadai, penyewa dan lain-lain berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah yang bersangkutan. Sedangkan pihak penggarap dapat berbentuk perorangan atau badan hukum. Dengan demikian dapat saja terjadi bahwa pihak-pihak perorangan maupun berbentuk badan hukum dan pihak-pihak penggarap baik perorangan atau badan hukum, dan dapat saja terjadi dalam transaksi tersebut pihak pemilik sekaligus penggarap. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil pada Pasal 1 Huruf b, dimana berisi : “Sesuai dengan hukumnya yang berlaku sekarang, yang berwenang untuk mengadakan perjanjian bagi hasil itu tidak saja berbatas pada para pemilik dalam arti yang mempunyai tanah, tetapi juga para pemegang gadai penyewa dan lain-lain orang yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah yang bersangkutan. Untuk mempersingkat pemakaian kata-kata maka mereka itu semua dalam Undang-undang ini disebut pemilik. Pemilik itu bisa juga merupakan badan hukum, seperti lebih jauh dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 “.

Tabel 7. Pengetahuan Responden terhadap Undang-Undang bagi hasil.

NO. Pengetahuan UU Bagi

Hasil f % 1. 2. Tahu Tidak Tahu 25 55 31.25 68.75 JUMLAH 80 100

commit to user

57

Pengetahuan responden terhadap Undang-Undang Bagi Hasil Nomor 2 Tahun 1960 dapat dilihat pada Data Primer tabel 7 di atas. Perjanjian bagi hasil pada masyarakat Desa Sedah, umumnya berdasarkan adat setempat, tidak berdasarkan undang-undang bagi hasil. Walaupun ada juga responden yang mengetahui Undang-Undang tersebut ada 25 ( dua puluh lima ) responden (31,25%), dan 55 responden yang menyatakan ketidaktahuan dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tersebut (68,75%). Jadi, kenyataannya yang ada di Desa Sedah perjanjian bagi hasil ini dibuat berdasarkan hukum adat/ kebiasaan setempat. Karena, masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini juga sangat mempengaruhi hal tersebut tumbuh dan berkembang dengan kebiasaan yang dirasa lebih fleksibel oleh masyarakat dalam menentukan bagaimana mekanisme mengenai perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini.

2) Kata Sepakat.

Bagi masyarakat adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian bukan unsur subjektif atau unsur objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (mufakat) yang biasa dikenal dengan istilah

konsensualisme.

Tabel 8. Kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil.

NO. Kesepakatan f % 1. 2. Ada Tidak Ada 80 - 100 - JUMLAH 80 100

Sumber : Data Primer

Dari Data Primer tabel 8 di atas, dari 80 ( delapan puluh ) responden (100%) menyatakan bahwa, pihak-pihak yang

commit to user

58

mengadakan transaksi bagi hasil berdasarkan kata sepakat. Dengan tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok-pokok perjanjian berarti perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Jadi, kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini yang menjadi landasan lahirnya dan diadakannya perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

3) Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia.

Sedangkan untuk mengetahui usia responden sehubungan dengan kedewasaan seseorang dalam perjanjian bagi hasil dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 9. Golongan Umur Responden dalam Perjanjian bagi hasil.

NO. Umur f % 1. 2. 3. 21 – 30 31 – 40 > 40 20 25 35 25 31.25 37.50 JUMLAH 80 100

Sumber : Data Primer

Dilihat pada Data Primer tabel 9 di atas, responden yang berumur sampai dengan 21 - 30 tahun ada 20 ( dua puluh ) responden (25%), umur 31 – 40 tahun ada 25 ( dua puluh luma ) responden (31, 25%), dan umur diatas 40 tahun ada 35 ( tiga puluh lima ) responden (37,50%), dan secara hukum dilihat dari usia responden ini dapat dikatakan bahwa para responden telah cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Jadi, jika terjadi wanprestasi maka kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian sudah bisa mempertanggungjawabkan atau dimintai pertanggungjawaban hukum terhadap pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini.

commit to user

59

4) Syarat Sahnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian

Untuk sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi beberapa syarat-syarat perjanjian bagi hasil menurut hukum Adat di Desa Sedah seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu bahwa dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan antara pihak-pihak yaitu pihak yang menguasai tanah (pemilik) dan pihak penggarap, kecakapan para pihak, harus ada izin untuk mengolah atau menggarap tanah tersebut dari penguasa atau pemilik tanah tersebut tidak dalam sengketa dan pemberian hasil panen oleh penggarap kepada pemilik tanah yang besar imbangan menurut kebiasaan setempat misalnya bagi dua atau tiga atau berdasarkan kesepakatan sebelumnya.

c. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil

Bentuk perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Sedah dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 10. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah.

NO. Bentuk Perjanjian f %

1.

2.

Tidak tertulis/ lisan antara kedua belah pihak

Tertulis 40 - 100 0 JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis dari Data Primer table 10 di atas menyatakan bahwa, perjanjian yang tidak tertulis atau lisan antara kedua belah pihak mencapai (100%) dari 40 ( empat puluh ) responden antara pemilik tanah dan penggarap tanah, dengan alasan-alasan yang mendasarinya sebagai berikut :

commit to user

60

o adanya rasa saling percaya

o mudah pelaksanaannya atau tidak berbelit-belit

o tidak mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960

tentang Perjanjian Bagi Hasil.

Menurut data sekunder dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 3 disebutkan

mengenai Bentuk Perjanjian Bagi Hasil, yaitu :

(1) Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan

penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan-selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Kepala Desa” dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.

(2) Perjanjian bagi-hasil termaksud dalam ayat (1) di atas

memerlukan pengesahan dari Camat/ Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau penjabat lain yang setingkat dengan itu selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Camat”.

(3) Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua

perjanjian bagi-hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir.

(4) Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang

diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas.

Sedangkan, berdasarkn data primer dan data sekunder di atas dapat diketahui bahwa ditemukan ketidak sesuaian antara realita perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Sedah dan ketentuan yang ada di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Dimana, menurut realita atau hasil analisis data primer yang ada ditemukan bahwa 100% hasil responden menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil di Desa Sedah adalah perjanjian yang tidak tertulis atau lisan antara kedua

commit to user

61

belah pihak yang berdasar pada kepercayaan, sedangkan berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1960 semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan-selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut “Kepala Desa” dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.

d. Lamanya Waktu Perjanjian

Tabel 11. Lama Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah.

NO. Lama Perjanjian f %

1. 2. Ditentukan Tidak ditentukan 30 10 75 25 JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan Data Primer tabel 11 di atas, dalam perjanjian bagi hasil ada 30 ( tiga puluh ) responden (75%) perjanjian tersebut ditentukan dan perjanjian yang tidak ditentukan ada 10 ( sepuluh ) responden (25%). Perjanjian yang tidak ditentukan ini terjadi berdasarkan musim panen, selama ada izin dari pemilik tanah dan selama penggarap mau menggarap tanah tersebut.

Mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil di Desa Sedah baik yang ditentukan maupun yang tidak ditentukan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

commit to user

62

Tabel 12. Jangka Waktu Perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah.

NO. Jangka waktu f %

1. 2. Ditentukan a. 1 – 2 tahun b. 2,1 – 3 tahun c. 3,1 – 4 tahun d. 4,1 – 5 tahun e. > 5 tahun

Tidak ditentukan telah

berlangsung ; a. 1 – 2 tahun b. 2,1 – 3 tahun c. 3,1 – 4 tahun d. 4,1 – 5 tahun e. > 5 tahun 10 15 - 5 3 - 5 - - 2 25 37.5 - 12.5 7.5 - 12.5 - - 5 JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Dari Data Primer tabel 12 di atas, diambil suatu pengertian bahwa dalam rentang waktu yang ditentukan antara 1 – 2 tahun pada perjanjian bagi hasil ini ada 10 (sepuluh ) responden (25%), dalam rentang waktu yang ditentukan antara 2,1 – 3 tahun pada perjanjian bagi hasil ini ada 15 ( lima belas ) responden ( 37,5% ), untuk rentan waktu yang ditentukan lebih dari 4,1 - 5 tahun ada 5 ( lima ) responden ( 12,5% ). Sedangkan waktu yang ditentukan lebih dari 5 tahun ada 3 ( tiga ) responden ( 7,5% ).

Sedangkan, rentang waktu yang tidak ditentukan dan telah berlangsung antara waktu 2,1 – 3 tahun ada 5 ( lima ) responden (12,5%), dan lebih dari 5 tahun ada 2 ( dua ) responden (5%). Tidak

commit to user

63

ditentukan dan sudah berlangsung di sini maksudnya adalah perjanjian ini berlangsung begitu saja tanpa ada ketentuan berapa lama penggarap akan mengerjakan tanah pertanian milik pemilik tanah tersebut dan perjanjian tersebutpun sudah berjalan begitu saja sampai saat ini.

Menurut data sekunder dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat

(2), disebutkan mengenai jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil, yaitu :

(1)Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan

didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurangkurangnya 5 (lima) tahun.

(2)Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh

Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.

Berdasarkan analisis data primer dan data sekunder di atas ditemukan ketidak sesuaian antara realita perjanjian bagi hasil di Desa Sedah dengan ketentuan yang ada di Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 dimana dalam hasil penelitian di lapangan lama/ jangka waktu perjanjian bagi hasil di Desa Sedah terdapat dua pilihan yaitu, perjanjian yang ditentukan jangka waktunya secara lisan dan perjanjian yang tidak ditentukan jangka waktunya dan berjalan begitu saja saat perjanjian antara penggarap dan pemilik tanah itu berlangsung sampai saat ini. Sedangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini sudah ditentukan jangka waktu perjanjian bagi hasil ini.

e. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil.

Berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah anatara pemilik tanah dan penggarap tanah dapat terjadi karena telah

commit to user

64

berakhirnya jangka waktu dan dapat juga terjadi sebelum berakhirnya jangka waktu, seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 13. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil di Desa Sedah.

NO. Berakhirnya Perjanjian f %

1.

2.

Karena telah berakhir jangka waktu

Sebelum waktunya

a. atas persetujuan kedua

belah pihak;

b. dari pemilik tanah;

c. dari penggarap. 25 10 3 2 62.5 25 7.5 5 JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Sumber data primer dari tabel 13 di atas, ada 25 ( dua puluh lima ) responden menyatakan alasan berakhirnya perjanjian bagi hasil karena telah berakhir jangka waktu (62,5%), sebelum waktunya dibagi menjadi 3 alasan, pada 10 ( sepuluh ) responden menyatakan alasannya atas persetujuan kedua belah pihak (25%), 3 ( tiga ) responden menyatakan alasannya karena berasal dari pemilik tanah (7,5%), dan 2 ( dua ) responden menyatakan alasannya karena berasal dari penggarap (5%).

Menurut sumber data primer Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tahun 1960, disebutkan tentang berakhirnya perjanjian bagi hasil, yaitu : “Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab tersebut pada Pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada pemilik dalam keadaan baik “.

Sehingga, berakhirnya perjanjian di Desa Sedah ini dapat ditentukan dalam 2 (dua) hal, yaitu karena sudah berakhirnya perjanjian bagi hasil ini antara penggarap dan pemilik tanah dan

commit to user

65

sebelum berakhir atas permintaan pemilik dan penggarap karena sebab atau alasan tertentu. Dan berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah sebelum berakhirnya perjanjian yang disepakati sebelumnya tetap berdasarkan pada musyawarah yang menguntungkan kedua belah pihak dan diikuti pengembalian tanah kembali kepada pemilik sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960.

Apabila terjadi perpindahan hak milik tanah dalam perjanjian bagi hasil ini dapat terjadi jika perjanjian bagi hasil dengan pihak sebelumnya sudah dinyatakan berakhir, untuk melindungi hak-hak penggarap tanah.

Menurut data sekunder Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, disebutkan tentang pemindahan hak milik tanah dalam perjanjian bagi hasil, yaitu :

1. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 6,

maka perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain.

2. Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan

kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik baru.

3. Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu

dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.

Apa yang dijelaskan pada Pasal 5 di atas sudah merupakan hal yang tepat, karena tidak mungkin ada orang yang dirugikan baik karena hak tanahnya dijual kepada orang lain, ataupun pemiliknya meninggal dunia ataupun penggarapnya meninggal dunia, maka dalam hal ini, perjanjian ini tetap diteruskan oleh ahli warisnya ataupun yang memperolehkan secara sah hak atas tanah tersebut.

Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo yang terdiri dari 4 (empat) Dukuh/ Dusun sebagai sampel untuk penelitian ini dimana

commit to user

66

lahan pertaniannya lebih banyak menggunakan irigasi tehnis, memungkinkan penduduknya untuk mengembangkan budi daya tanaman pangan maupun substansi tanaman pertanian yang lebih bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena tanah lebih mudah untuk dikelola. Selain itu di Desa Sedah dengan ketersediaan sumber daya manusia yang mayoritas memiliki pendidikan yang cukup banyak, memungkinkan orang untuk melakukan inovasi lebih banyak daripada wilayah yang lahan pertaniannya tidak beririgasi tehnis. Artinya, pengelolaan sumber daya pertaniannya sepenuhnya tergantung oleh keadaan iklim yang ada di daerah tersebut.

Sarana prasarana untuk menunjang terciptanya peluang usaha dan kesempatan kerja pun sangat memungkinkan kondisi yang menimbulkan adanya perjanjian bagi hasil bagi pemilik tanah lahan pertanian yang lebih memilih pekerjaan atau profesi lain. Atau paling tidak meraka memilih menyerahkan penggarapan lahannya dengan membagihasilkan dengan orang-orang yang dipercaya.

Hasil penelitian di 4 (empat) Dukuh di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo, pada umumnya masyarakat lebih memilih sistem perjanjian Bagi Hasil mendasarkan pada Hukum Adat setempat (kebiasaan setempat secara turun temurun). Kendala – kendala yang muncul mengapa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo tidak dapat terlaksana/ tidak dapat di pergunakan dalam pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil adalah karena :

1. Hampir seluruh masyarakat di Desa Sedah Kecamatan Jenangan

Dokumen terkait