• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-

a. Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960.

Seperti telah dikemukakan diatas, bahwa hak usaha bagi hasil disebut daIam Pasal 53 UUPA. Dimana pasal mengatur tentang hak-hak atas tanah yang bersifat sementara sebagai yang dimaksud oleh Pasal 16 ayat (1) huruf (h) UUPA. Karena hak usaha hasil bagi ini termasuk sebagai hak yang sifatnya sementara, maka dalam waktu singkat hal tersebut harus dihapuskan. Hal ini disebabkan hak jiwa UUPA dan ketentuan yang ada dalam pasal 10 ayat (1) yang tidak menghendaki adanya pemerasan manusia atas manusia. Selama hak usaha bagi hasil ini belum dihapus, harus ada tindakan-tindakan yang bersifat membatasi sifat-sifat hak usaha bagi hasil ini yang pada dasarnya bertentangan dengan UUPA. Sehingga meskipun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini undang-undang yang sudah ada sebelum berlakunya UUPA namun demikian undang-undang tersebut dapat dianggap sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 53 UUPA. Oleh karena itu Pasa1 53 UUPA bisa dianggap sebagai dasar hukum dari Undang-Undang Nomor 2 1960.

commit to user

17

Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, rnaka telah dikeluarkan beberapa peraturan pelaksanaannya yaitu :

1) Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK. 322 Ka/1960, tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960. Peraturan ini diadakan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang membutuhkan petunjuk pelaksanaan.

2) Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1964,

tentang Penetapan Perimbangan Khusus dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil. Peraturan ini menetapkan perimbangan khusus mengenai besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik tanah dalam hal melanggar ketentuan-ketentuan tentang perimbangan bagi hasil yang telah ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II.

3) Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964, tentang pedoman

Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil. Tujuan diadakannya peraturan ini adalah untuk menyederhanakan dan menyempurnakan peraturan-peraturan pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang telah ada, guna mengintensifkan pelaksanaan bagi hasil.

4) Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980, tentang Pedoman

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Instruksi Presiden ini dikeluarkan dalam rangka usaha menertibkan dan meningkatkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, sesuai dengan perkembangan masyarakat tani dan kemajuan tehnologi serta sarana pengusahaan tanah untuk produksi pangan.

5) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian

Nomor 211 Tahun 1980, Nomor 714/Kpts/Um/p/1980, tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980.

commit to user

18

Ketentuan ini merupakan petunjuk pelaksanaan dari Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980.

Menurut M. Islam Akanda Aminul, Hiroshi Isoda dan Ito

Shoichi, dalam Jurnalnya tentang Problem of Sharecrop Tenancy

System in Rice Farming inBangladesh, menyatakan bahwa :

The 1984 Land Reform Act in Bangladesh fixed land rent

for sharecropping tenants at 33% of harvest yield without input sharing and at 50% with 50% of input sharing. This positively influenced expansion of HYV rice farming. However, the returns for tenants fell over time because of a gradual increase in input prices and wages. This research analysed the present distribution of returns in the dominant rice farming area in Bangladesh. A field survey was conducted in an advanced rice farming village where sharecropping was practiced. There was semi feudalism in the tenancy market with landowners earning more from sharecropping than they could from cash renting. Land-rich farmers often cultivated only a small part of their cultivable land and rented out most of it. The existing economic structure did not fairly balance the returns between tenants and landowners. This study suggested the need to reset the land rent at 20% of harvest yield without input sharing and at 40% with input sharing, to protect land-poor tenants”.

“Tahun 1984 Reformasi Tanah Undang-Undang di Bangladesh sewa lahan tetap untuk penyewa bagi hasil sebesar 33% dari hasil panen tanpa berbagi pendapatan dan sebesar 50% dengan 50% dari berbagi pendapatan. Hal positif ini dipengaruhi perluasan usaha tani padi VU (Varietas Unggul). Namun, kembali untuk penyewa turun dari waktu ke waktu karena bertahap kenaikan harga input dan upah. Penelitian ini dilakukan analisis distribusi, kini kembali dalam lokasi budidaya padi dominan di Bangladesh. Sebuah survei lapangan dilakukan dalam pertanian padi maju desa di mana bagi hasil dipraktekkan. Ada feodalisme semi di pasar persewaan dengan pemilik tanah penghasilan lebih dari bagi hasil dari yang mereka dapat dari menyewakan tunai. Tanah petani kaya sering dibudidayakan hanya sebagian kecil dari tanah yang bisa diolah mereka dan disewakan sebagian besar. Yang ada struktur ekonomi tidak cukup menyeimbangkan kembali antara penyewa dan pemilik tanah. Studi ini menyarankan harus me-reset sewa tanah sebesar 20% dari hasil panen tanpa berbagi masukan dan

commit to user

19

di 40% dengan berbagi masukan, untuk melindungi-miskin penyewa tanah (M. Islam Akanda Aminul, 2008:1)”.

b. Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 1, yang dimaksud dengan tanah adalah tanah yang biasanya digunakan untuk menanam bahan makanan, sedangkan yang dimaksud dengan hasil tanah adalah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap, setelah dikurangi biaya-biaya untuk bibit, pupuk, ternak, biaya untuk menanam dan panen.

Pengertian perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah suatu perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik tanah disatu pihak dan seseorang atau badan hukum di lain pihak, yang dalam undang-undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tanah untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

Pihak penggarap dan pemilik tanah dalam perjanjian bagi hasil ini berkedudukan sebagai subyek perjanjian, yaitu sebagai pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bagi hasil tersebut. Subyek perjanjian bagi hasil ini dapat diperinci lagi menjadi dua unsur pokok yaitu :

1) Seseorang (petani) yang secara individual melakukan perjanjian bagi

hasil. Bila sebagai pemilik, maka ia adalah seseorang yang berdasarkan suatu hak, menguasai sebidang tanah. Pihak pemilik tanah saja, melainkan dapat juga sebagai pemegang gadai dan penyewa. Bila sebagai penggarap, maka ia adalah seseorang baik yang mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah, yang mata pencarian pokoknya adalah mengusahakan atau mengerjakan tanah untuk pertanian. Untuk petani penggarap ini, menurut pasal 2 Undang-Undang Tahun 1960 ada ketentuan-ketentuan khusus, yaitu ia boleh melakukan perjanjian bagi hasil bila tanah garapannya lebih dari tiga

commit to user

20

hektar, maka yang bersangkutan harus mendapat ijin dari Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditujukan olehnya. Menurut Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK 322/Ka/1960, pejabat tersebut adalah Camat.

2) Badan hukum yaitu suatu bentuk organisasi, atau kumpulan yang

didirikan berdasarkan hukum yang berlaku, terdiri dari sekelompok orang, yang secara bersama melakukan perjanjian bagi hasil. Jika sebagai pemilik, ia adalah badan hukum yang berdasarkan suatu, menguasai sebidang tanah. Apabila sebagai penggarap, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ditentukan bahwa pada asasnya badan hukum dilarang menjadi penggarap. Akan tetapi ada pengecualian terhadap ketentuan tersebut dimungkinkan, yaitu dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Menurut Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK 322/Ka/1960, pejabat tersebut adalah Bupati/Kepala Daerah Tingkat II.

c. Obyek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Obyek perjanjian bagi hasil tanah pertanian adalah tenaga kerja dan tanaman. Yang dimaksud tenaga kerja adalah tenaga seseorang yang dipakai untuk mengolah tanah pertanian yang diperjanjikan itu, sehingga saat panen. Sedangkan yang dimaksud tanaman disini adalah tanaman yang berumur pendek, seperti padi, tebu, jagung, dan sebagainya, dimana dapat dinikmati segera hasilnya, baik oleh pemilik tanah maupun penggarap.

d. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Bentuk perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 harus dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa. Perjanjian tersebut sendiri oleh pemilik tanah dan penggarap dengan disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing dari pihak pemilik tanah dan penggarap. Setelah semua surat perjanjian bagi hasil itu dibuat

commit to user

21

dihadapan kepala desa yang wilayahnya meliputi tanah yang dibagihasilkan, surat tersebut selanjutnya disahkan oleh Camat, kemudian diumumkan dalam rapat desa oleh kepala desa. Selanjutnya dimasukkan ke dalam buku register untuk dilaporkan kepada Bupati/Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Agar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ditaati dan dijalankan oleh semua pihak, maka bagi mereka yang melanggar ketentuan yang ada dalam surat perjanjian bagi hasil, kepala desa atas pengaduan salah satu pihak, berwenang memerintahkan ditaatinya ketentuan yang telah mereka sepakati bersama. Jika pemilik dan atau penggarap tidak mengindahkannya, maka masalah tersebut diajukan kepada Camat untuk mendapatkan keputusan yang mengikat kedua belah pihak (hal inl sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Surat perjanjian bagi hasil tanah pertanian tersebut dibuat rangkap dua, satu untuk pemilik tanah dan satu untuk penggarap, surat asli disimpan di Kelurahan (diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964). Demikian masing-masing pihak baik pemilik maupun penggarap mempunyai alat bukti bahwa antara mereka telah ada kesepakatan untuk mengadakan perjanjian bagi hasil berikut syarat-syaratnya. Dari uraian ini, jelaslah bahwa maksud adanya ketentuan yang menentukan perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan kepala desa setempat adalah untuk menghindari keragu-raguan yang mungkin dapat menimbulkan perselisihan mengenai hak dan kewajiban para pihak, mengenai jangka waktu perjanjian, imbangan pembagian hasil dan sebagainya. Sebab didalam surat perjanjian, imbangan pembagian hasil serta hal-hal lain yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Disamping itu pembuatan perjanjian secara tertulis ini juga akan memudahkan pengawasan secara preventif terhadap adanya perjanjian bagi hasil itu.

commit to user

22

e. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Jangka waktu atau lamanya perjanjian diatur dalaml Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa :

1) Perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu yang dinyatakan

didalam surat perjanjian bagi hasil. Dengan ketentuan bahwa untuk tanah sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya lima tahun.

2) Dalam hal-hal khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda

Agraria, Camat dapat mengijinkan diadakannya perjanjian bagi hasil dengan jangka waktu kurang dari ketetapan umum yaitu untuk tanah yang biasanya dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.

3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil, diatas tanah yang

bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampat tanaman itu dapat dipanen. Tetapi perpanjangan itu tidak boleh lebih dari satu tahun. Perpanjangan ini cukup diberitahukan kepada kepala desa setempat, tidak perlu harus mengadakan perjanjian baru.

Yang dimaksud “tahun” disini adalah tahun tanaman, bukan tahun kalender. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu ini maka penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak, sehingga penggarap upayanya guna mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Hal ini jelas akan membawa keuntungan pula bagi pemilik tanah, karena bagian hasil yang diterimanya juga akan bertambah banyak.

Untuk sawah ditentukan jangka waktu tiga tahun dengan pertimbangan bila tanah tersebut berupa sawah dan pengelolaannya dengan menggunakan pupuk, terutama pupuk hijau yang ditanam pada tahun pertama, maka daya pupuk ini baru bekerja dan baru dapat dirasakan oleh tanaman pada tahun kedua, atau bahkan pada tahun ketigapun pengaruh pupuk pada tanaman dimungkinkan masih ada. Sedang untuk

commit to user

23

tanah kering diberi batas minimum lima tahun, karena pada tanah kering sebelum ditanami harus diperbaiki dahulu keadaan tanahnya. Sehingga waktu lima tahun untuk tanah kering dipandang cukup layak sebagai batas minimum untuk mengadakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

f. Imbangan Pembagian Hasil.

Maksud daripada pembagian hasil tanah adalah pembagian hasil panen dari tanaman yang menjadi obyek perjanjian bagi hasil. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tidak menyebutkan secara tegas angka imbangan pembagian hasil. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain proses perkembangan masyarakat desa masih berjalan terus. Sehingga kadang peraturan yang ada dalam undang-undang sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan dalam kejadian yang ada dalam masyarakat yang berkembang. Faktor penyebab yang lain adalah karena kesuburan tanah dan kepadatan penduduk yang dalam perjanjian bagi hasil dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan besar kecilnya bagian pemilik dan penggarap. Sehubungan dengan hal itu tidak mungkin diterapkan secara umum angka pembagian yang cocok bagi seluruh daerah di Indonesia, yang dirasakan adil oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian bagi hasil. Oleh karena itu, penetapan angka imbangan itu diserahkan kepada Bupati/Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan, karena para Bupati/Kepala Daerah Tingkat II ini telah mengetahui tentang faktor-faktor ekonomis dan keadaan setempat, keadaan daerahnya beserta perkembangannya, daripada pembentuk undang-undang. Penerapan angka imbangan ini setiap kali dapat diubah, yaitu setiap tiga tahun.

Meskipun tidak menyebutkan secara tegas berapa besar bagiannya, tetapi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 7 dikatakan bahwa besamya hasil tanah yang diperoleh dan yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah tingkat II yang bersangkutan ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan,

commit to user

24

dengan memperlihatkan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 berikut penjelasannya inilah yang menjadi pedoman bagi para Bupati/Kepala Daerah Tingkat II daiam melaksanakan wewenangnya untuk menetapkan angka imbangan pembagian hasil tanah. Dengan perumusan yang fleksibel, yang akan menampung keadaan-keadaan khusus daerah demi daerah, sebagaimana halnya Pasal 7 ini, maka undang-undang ini memberikan pedoman imbangan antara pemilik dan penggarap 1 : 1, yaitu untuk padi yang ditanam di sawah.

Untuk tanaman palawijo di sawah dan untuk tanaman di tanah kering bagian penggarap adalah 2 : 3 dan pemilik 1 : 3. Untuk daerah-daerah dimana imbangan tersebut telah lebih menguntungkan pihak penggarap, akan tetap digunakan.

Hasil akan dibagi antara pemilik dan penggarap adalah hasil bersih, yaitu bruto (hasil kotor) setelah dikurangi biaya-biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen.

Biaya-biaya tersebut dipikul bersama oleh kedua belah pihak. Sedang biaya-biaya berupa tenaga, baik dari penggarap sendiri maupun tenaga buruh tidak termasuk golongan biaya yang dikurangkan dari hasil kotor, karena biaya itu merupakan andil dari pihak penggarap itu sendiri dalam mengadakan perjanjian bagi hasil. Mengenai zakat harus disisihkan dari bruto yang mencapai nisab (untuk padi besarnya 14 kwintal). Hal ini berarti bahwa hasil padi yang kurang dari 14 kwintal tidak terkena zakat. Hal ini berlaku untuk orang-orang yang memeluk agama Islam.

Menurut Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri Nomor 211 Tahun 1980 bagian kedua, besarnya imbangan bagian hasil tanah yang dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam di sawah. Yang ditetapkan dengan pedoman sebagai berikut:

commit to user

25

1) Ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan usul

dan pertimbangan Camat/Kepala Wilayah Kecamatan serta instansi-instansi yang bidangnya berkaitan dengan kegiatan usaha produksi pangan dan pengurus organisasi tani yang ada di daerahnya, dengan terlebih dahulu mendengar usul dan pertimbangan kepala desa dengan Lembaga Musyawarah Desa atau Kepala Kelurahan dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desanya.

2) Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga

tanam, dan panen, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf d natura padi gabah, sebesar maksimum 25% dari hasil kotor yang besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam daerah tingkat II atau Kecamatan yang bersangkutan, atau dalam bentuk rumus sebagai berikut :

Z = 1/4 X

Z= biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga panen, dan tanam.

X= Hasil kotor (Boedi Harsono, 1986 : 833 – 834).

3) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap tidak melebihi hasil produksi

rata-rata Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka hasil kotor setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus butir b diatas, dibagi dua sama besar antara pemilik dan penggarap atau dalam bentuk rumus :

Rumus I

Hak penggarap = hak pemilik X – Z X – 1 / 4 X

--- = --- 2 2

commit to user

26

4) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi rata-rata

Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka besarnya bagian yang menjadi hak pemilik dan penggarap adalah sebagai berikut :

d. 1. Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut rumus :

X – Z X – 1/4 X

--- = --- (rumus I) (Budi Harsono, 1986 : 834 ) 2 2

d. 2. Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian untuk penggarap dan 1 bagian untuk pemilik atau dengan bentuk rumus sebagai berikut: Rumus II Y – Z 4(X – Y) Hak penggarap = --- + --- 2 5 Y – 1 / 4 X 4 (X – Y) = --- + --- 2 5 Y – 1 / 4 X (X – Y) = --- + --- 2 5

Dimana Y = Hasil produksi rata-rata Daerah Tingkat II atau Kecamatan yang bersangkutan (Budi Harsono, 1986 : 834)

5) Jika suatu daerah, bagian yang menjadi hak penggarap pada

kenyataannya lebih besar dari pada yang ditentukan dalam rumus I dan II diatas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih menguntungkan penggarap.

commit to user

27

g. Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap.

Perjanjian bagi hasil bersifat mengikat kedua belah pihak dan menimbuIkan hak dan kewajiban bagi para pihak, baik itu penggarap maupun pemilik.

Kewajiban pemilik tanah antara lain :

1) Menyerahkan tanah yang bersangkutan untuk diusahakan oleh

penggarap (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

2) Membayar pajak tanah tersebut.

Kewajiban ini bisa beralih kepada penggarap, bila tanah yang dikerjakan adalah tanah milik penggarap sendiri, atau dengan kata lain penggarap ini adalah pemiiik tanah yang sebenarnya (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

3) Memenuhi segala hal yang menjadi tanggungannya sesuai dengan isi

perjanjiian (Penjelasan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Sedangkan hak pemilik adalah :

1) Mendapatkan sebagian dari hasil tanah yang dibagihasilkan menurut

imbangan yang telah ditentukan sebelumnya (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

2) Berhak menuntut diputuskannya perjanjian bagi hasil sebelumnya

berakhir jangka waktu perjanjian dalam hal penggarap tidak memenuhi hal-hal yang telah disetujui dalam perjanjian (Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Adapun Kewajiban penggarap adalah :

1) Mengusahakan tanah garapan sebaik-baiknya (Pasal 1 huruf c

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

2) Menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang menjadi hak dari pemilik

commit to user

28

3) Memenuhi segala hal yang menjadi tanggungannya sesuai dengan isi

perjanjian (Penjelasan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

4) Jika jangka waktu perjanjian habis, ia wajib menyerahkan kembali

tanah yang dikerjakan kepada pemilik tanah dalam keadaan baik, dalam arti keadaan yang tidak merugikan pemilik sesuai dengan keadaan dan ukuran setempat.

5) Tidak boleh mengalihkan tanah garapan tersebut dalam bentuk apapun

kepada pihak lain tanpa seijin pemilik tanah. Hal ini karena perjanjian bagi hasil, hubungan antara pemilik dengan penggarap tanah merupakan hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Namun lain halnya bila penggarap meninggal dunia, kewajiban penggarap tanah bisa beralih kepada ahli warisnya, Karena hal ini merupakan jaminan khusus bagi penggarap (Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Hak-hak dari penggarap tanah antara lain:

1) Berhak mengusahakan tanah yang bersangkutan (Pasal 1 huruf c

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

2) Berhak menerima sebagian hasil tanah, sesuai dengan imbangan

pembagian hasil yang ditetapkan bagi daerah (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Hak dan kewajiban para pihak ini haruslah dijalankan dengan seimbang, sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa dirugikan.

h. Peralihan dan Hapusnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Hak usaha bagi hasil tidak akan hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. Dalam hal ini, hak-hak dan kewajiban pemilik lama beralih kepada pemilik yang baru. Dan apabila penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu

commit to user

29

dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama. Dalam hal pemilik yang meninggal, diperlukan pembaruan perjanjian dengan pemilik yang baru, hal mana akan tergantung pada kesediaan pemilik baru. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 beserta penjelasanya. Ketentuan ini kurang memberi jaminan bagi penggarap, karena sewaktu-waktu hak penggarap untuk menggarap tanah hilang, akibat meninggalnya pemilik tanah, bila pemilik tanah yang baru tidak bersedia melanjutkan perjanjian bagi hasil.

Meskipun begitu ketentuan dalam pasal ini memberi jaminan bagi penggarap, bahwa perjanjian bagi hasil itu akan tetap berlangsung

Dokumen terkait