commit to user
ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN
BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA
SEDAH KECAMATAN JENANGAN
KABUPATEN PONOROGO
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar
Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta
Oleh :
RISKI OLIVIA CITRA DEWI
NIM. E 1107067
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN
PONOROGO
Oleh
RISKI OLIVIA CITRA DEWI NIM. E1107067
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 11 April 2011
Dosen Pembimbing
Purwono Sungkowo Raharjo, S.H
commit to user
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Riski Olivia Citra Dewi
NIM : E1107067
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, April 2011
yang membuat pernyataan
Riski Olivia Citra Dewi
commit to user
v
ABSTRAK
RISKI OLIVIA CITRA DEWI E1107067. ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO. Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 2011
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bentuk, lamanya jangka waktu, dan berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Sudah Sesuai Dengan Peraturan Perundang–Undangan, dan apakah imbangan pemilik tanah dan penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo sudah memenuhi unsur keadilan.
Penulisan hukum ini termasuk dalam penulisan hukum hukum normatif atau hukum doktrinal yang bersifat preskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan disertai konfirmasi pada pemilik tanah dan penggarap tanah. Teknik analisis yang digunakan adalah silogisme dan interprestasi dengan menggunakan pola penalaran deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian yang diketahui bahwa pelaksanaan bagi hasil di Desa Sedah belum sepuhnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil karena, dibuat berdasarkan kesepakatan atau hukum adat setempat, yaitu dalam bentuk lisan atau tidak tertulis yang berdasarkan kepercayaan dan kesepakatan antara kedua belah pihak, dalam pelaksanaan jangka waktu pelaksanaan bagi hasil ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jangka waktu yang ditentukan dan jangka waktu yang tidak ditentukan dimana perjanjian ini berjalan begitu saja sampai saat ini, dan berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini dilakukan karena jangka waktu yang ditentukan telah berakhir, dan dilakukan atas permintaan pemilik dan penggarap tanah. Mengenai aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah berdasarkan pembagian imbangan bagi hasil yang digunakan hanya ada 2 (dua) macam yang ada, yaitu pembagian imbangan berdasarkan pada perbandingan (1:1) dengan imbangan sama besarnya, dan untuk imbangan (1:2) dengan perbandingan 1/3 untuk penggarap dan 2/3 pemilik tanah, kedua imbangan tersebut dipergunakan untuk jenis tanah basah (sawah) yang ditanami padi dan palawija. Dimana jika dihitung berdasarkan perhitungan imbangan yang ada pada Pasal 7 ditemukan hasil pembagian yang lebih menguntungkan pihak pemilik saja. Sehingga dirasa aspek keadilan ini telah sesuai dengan keadaan yang ada di Desa Sedah menurut perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena pembagian imbangan bagi hasil untuk pemilik dan penggarap tanah di Desa Sedah ini sudah seimbang.
commit to user
vi
ABSTRACT
Riski Olivia Citra Dewi, E117067. Justice Aspect in Agricultural Profit Share Agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency. Law Writing (Thesis). Law Faculty of Sebelas Maret University. 2011.
This research aims to find out whether type, the length of the duration, and expiration of profit share agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency has been consistent with the legislation, and whether the balance of landowners and tenants in the agreement the profit share agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency has met the justice aspect.
This study belongs to a normative or doctrinal research that is prescriptive in nature. The data type employed was secondary data including primary, secondary and tertiary law material. Technique of collecting data used was library study and accompanied with the land owner’s and user’s confirmation. Technique of analyzing data used was syllogism and interpretation using deductive reasoning pattern.
Considering the result of research it can be obtained that the implementation of profit share in Sedah Village not all of them in accordance with Act No. 2 of the 1960 agreement on product division because, is made by consensus or local customary law, namaly orally or not in written form based on mutual trust among the parties; in the term of period, the profit share implementation is divided into 2 (two): predetermined period and non-predetermined period in which the agreement proceeds as they were up to now, and the end of profit share agreement in Sedah Village is because the determined period is expired, because of the land owner’s and user’s request. In the term of justice aspect, there are two types of profit share agreement in Village Sedah considering the profit share distribution used: the profit share based on ratio (1:1) with the equal share, and based on ratio (1:2) with 1/3 for the user and 2/3 for the owner, both of which is used for the wet farm (rice farm) planted with rice
and crop plant. Where if he is calculated on the basis of calculation balance in
article 7 that are a result of the most profitable Division of the sole owner. aspect as well that this has been considered of Justice, according to the situation in the village of Sedah counterpart by comparison of the results were considered more just because a part of the distribution of benefits distribution to owners and tenants of land in the village of Sedah is balanced.
commit to user
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Orang yang gemar menjauhi pekerjaan, yang datang selambat mungkin,
tapi pulang secepat mungkin,
tidak boleh mengeluhkan keberuntungannya.
...Orang yang bekerja keras – saja, belum tentu mudah dan melimpah rezekinya,
apalagi orang yang malas.
Memang kerja keras tidak menjamin kekayaan, tapi tidak ada bentuk kesejahteraan apa pun
yang bisa diharapkan tanpa bekerja.
Belajarlah mencintai pekerjaan.
by : Mario Teguh
Persembahan
Dengan segala kerendahan dan kebanggaan hati, kupersembahkan skripsi ini
kepada:
· ALLAH SWT, yang mengatur serta pemilik skenario hidupku, tempatku
mengadu dan meminta.
· Kedua orang tuaku yang sangat kusayangi.
· Kakakku, Kakak Ipar dan Ponakakku yang ku sayangi.
· Para pembimbing skripsiku yang telah membimbing dan memberi data.
· My fiancee yang kucintai dan selalu memberi dukungan.
· Sahabat serta Almamaterku.
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan berkat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “ASPEK KEADILAN DALAM
PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH
KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO”, yang merupakan
salah satu persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Maksud diadakannya Penulisan Hukum dengan topik Perjanjian Bagi
Hasil ini adalah untuk mengetahui aspek keadilan yang ada dalam perjanjian bagi
hasil tanah pertanian ini dan apakah perjanjian bagi hasil ini sudah sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak, khususnya atas bimbingan secara moril maupun materiil dalam
proses Penulisan Hukum ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin
dalam penyusunan penulisan hukum ini.
3. Bapak Sabar Slamet, S.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan saran dan nasehat selama ini.
4. Bapak Purwono Sungkowo Rahardjo, S. H., selaku Dosen Pembimbing.
5. Ibu Dr. I. Gusti Ayu Ketut R. H, S. H., M. M., selaku Ketua Bagian Hukum
commit to user
ix
6. Bapak Lego Karjoko, S. H., M. Hum., selaku Ketua PPH Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah meberikan bekal ilmu
kepada penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
8. Bapak dan Ibu di Bagian Akademik, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Tata
Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
9. Keluarga Besar Wisma Putri Kemuning Angkatan 2007 (Arina, Tata, Tarida,
Rini, Shela, Ari, Nikita, Rahma) adek2 angkatan 2008, 2009, 2010, dan bapak
dan ibu penjaga kost yang telah menjadi keluarga keduaku selama di Solo.
10.Kepada teman-temanku angkatan 2007 yang selama tiga setengah tahun
belakangan ini selalu ada dan menemaniku. Untuk Lia, Wiwik, Angga (ABP),
Ipin, Mahe SW, Pengky, dll.
11.Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan hukum
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan
bapak, ibu, rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan kebaikan dari
Allah SWT.
Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
Surakarta, April 2011
Penulis
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN...ii
HALAMAN PENGESAHAN... .iii
PERNYATAAN... .iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN...vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Kegiatan ... 5
D. Manfaat Kegiatan ... 5
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9
commit to user
xi
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Menurut Hukum Adat ... 10
a.Hakekat dan Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Bagi Hasil b.Tanah Pertanian ... 10
c.Istilah dan Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian...12
d.Sifat atau Ciri-ciri Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ... 14
e.Sistem Pembagian Hasil ... 14
f.Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ... 15
2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian..16
a.Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ... 16
b.Pengertian Bagi Hasil Tanah Pertanian ... 19
c.Obyek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ... 20
d.Bentuk Perjanjian Bagi Hasil ... 20
e.Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian... 22
f.Imbangan Pembagian Hasil ... 23
g.Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap ... 27
h.Peralihan dan Hapusnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. . 28
3. Tinjauan Umum tentang Keadilan a.Pengertian Keadilan ... 30
b.Ukuran-ukuran tentang Keadilan ... 34
c.Macam-macam Keadilan ... 36
d.Teori Keadilan tentang Hukum ... 37
B. Kerangka Pemikiran ... 38
commit to user
xii
A. Deskripsi Lokasi Penelitian Berdasarkan Letak Geografis dan
Pembagian Wilayah di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten
Ponorogo ... 41
1.Monografi Dukuh Sidorejo ... 43
2.Monografi Dukuh Gundi ... 45
3.Monografi Dukuh Krajan ... 47
4.Monografi Dukuh Jasem ... 49
B. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ... 50
a.Latar Belakang/ Alasan Perjanjian Bagi Hasil ... 51
b.Subjek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ... 55
c.Bentuk Perjanjian Bagi Hasil ... 59
d.Lamanya Waktu Perjanjian ... 61
e.Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil ... 63
C. Aspek Keadilan Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ... 68
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 77
B. Saran... 78
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Bagan Kerangka Pemikiran...40
Tabel 1. Luas wilayah Desa Sedah, Kecamatan Jenangan Kabupaten
Ponorogo...42
Tabel 2. Jumlah Penduduk di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan,
Kabupaten Ponorogo...42
Tabel 3. Alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian
(transaksi ) bagi hasil di Desa Sedah...52
Tabel 4. Alasan penggarap tanah pertanian mengadakan perjanjian
( transaksi ) bagi hasil...53
Tabel 5. Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah...54
Tabel 6. Menanggung Pembayaran Pajak Tanah...55
Tabel 7. Pengetahuan Responden terhadap Undang-Undang bagi
hasil...57
Tabel 8. Kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil...58
Tabel 9. Golongan Umur Responden dalam Perjanjian bagi hasil....58
Tabel 10. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan
penggarap tanah...60
Tabel 11. Lama Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan
penggarap tanah...61
Tabel 12. Jangka Waktu Perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah
dan penggarap tanah...58
Tabel 13. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil di Desa Sedah...64
Tabel 14. Perbandingan antara penggarap dan pemilik dalam
perjanjian bagi hasil di Desa Sedah...71
Tabel 15 Pihak yang menentukan besarnya bagian dalam perjanjian
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan hukum agraria setelah berlakunya Undang–Undang Pokok
Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 melahirkan banyak mekanisme atau
aturan–aturan baru mengenai sistem pengelolaan tanah yang ada di Indonesia.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi. Tanah yang
dimaksud disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya
mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut
hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,
yaitu ”Atas dasar hak menguasai hak dari negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya bermacam–macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama–sama dengan orang–orang lain serta badan–badan
hukum” (Urip Santoso, 2005:10).
Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
dan sekaligus merupakan kekayaan Nasional, hal mana tercermin dan hubungan
antara Bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan
kekal. Sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup dan kehidupannya pada
tanah, utamanya dalam bidang pertanian. Tanah dalam masyarakat agraris
mempunyai kedudukan yang sangat penting sehingga harus diperhatikan
peruntukkan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik
secara perseorangan maupun secara gotong royong. Dinyatakan dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”.
Indonesia adalah salah satu Negara agraris yang menggantungkan
kehidupan masyarakatnya pada tanah. Bagi masyarakat Indonesia tanah
merupakan sumber kehidupan dengan nilai yang sangat penting. Pentingnya arti
commit to user
2
bisa dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan
pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Tanah merupakan tempat tinggal,
tempat manusia melakukan aktivitas sehari-hari bahkan setelah meninggal pun
tanah masih diperlukan.
Tanah juga merupakan suatu obyek yang khas sifatnya, dibutuhkan oleh
banyak orang, tetapi jumlahnya tidak bertambah. Secara kultur ada hubungan
batin yang tak terpisahkan antara tanah dengan manusia. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, jelaslah bahwa pola penguasaan tanah tidak dapat dilepaskan dan
permasalahan petani dan taraf kehidupan mereka. Kekurangan tanah, untuk
dijadikan lahan garapan merupakan permasalahan pokok dalam suatu masyarakat
agraris. Kondisi pemilikan dan penguasaan tanah yang timpang seperti inilah yang
telah mendorong tekad para pendiri bangsa untuk menata struktur agrarian melalui
kebijakan perundang-undangan guna mengangkat rakyat dan kemiskinan akibat
ketidakadilan akses rakyat atas tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan sumber pokok segala kebijaksanaan
untuk menata masalah pertanahan dan meningkatkan produksi, taraf hidup dan
kesejahteraan sosial masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945.
Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan hukum di
mana pemilik tanah karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya,
tetapi ingin mendapatkan hasil atas tanahnya. Oleh karena itu, ia membuat suatu
perjanjian bagi hasil dengan pihak lain dengan imbalan yang telah disetujui oleh
kedua belah pihak. Dengan kata lain, perjanjian bagi hasil, adalah suatu bentuk
perjanjian antara penggarap, di mana penggarap diperkenankan mengusahakan
tanah itu dengan pembagian hasilnya antara penggarap dengan yang berhak atas
tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama. Perjanjian bagi
hasil tanah pertanian dapat terjadi pada pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak
Gadai, dan dalam praktek dapat juga diatas tanah lungguh atau tanah bengkok.
Akibat adanya gejolak ekonomi yang tak menentu seperti saat ini,
commit to user
3
kerja, tidak bisa melanjutkan usahanya lagi. Hal ini menimbulkan adanya
pengangguran disana sini banyak orang saling berburu pekerjaan. Tidak adanya
lahan pekerjaan dikota besar menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari
kota ke desa, mereka kembali menekuni pekerjaan bercocok tanam. Tetapi karena
tidak punya lahan pertanian sendiri maka hanya merupakan penggarap tanah
pertanian tersebut. Namun demikian tidak pula terlepas dari sejumlah kondisi
ekonomi seperti kekurangan modal, tersedianya buruh tani dalam jumlah yang
cukup banyak, artinya cadangan tenaga kerja di sektor pertanian yang cukup
(AMPA Scheltema, 1985:17).
Karena tanah yang tersedia untuk dibagikan hasilnya tidak seimbang
dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan, maka dikomersilkan dan
saling terdapat unsur–unsur pemerasan terhadap para penggarap. Maka untuk
melindungi pihak yang lemah dan untuk meningkatkan taraf hidup petani
penggarap, dikeluarkanlah Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam hal ini terdapat ketentuan–
ketentuan mengenai pengertian perjanjian bagi hasil, bentuk perjanjian, jangka
waktunya pembagian bagi hasil tanahnya serta hak–hak dan kewajiban pemilik
tanah dan petani panggarap. Ketentuan yang mana untuk menghindari keragu–
raguan dalam menyelesaikan masalah yang timbul karena perselisihan antara
pemilik tanah dengan petani penggarap. Adapun maksud diadakannya Undang–
Undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah :
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas
dasar yang adil.
b. Dengan menegaskan hak dan kewajiban pemilik dan penggarap, agar terjamin
kedudukan hukum penggarap.
c. Adanya pembagian yang adil dan terjaminnya kepastian hukum para pihak,
akan tercipta iklim yang kondusif yang memungkinkan peningkatan produksi
pertanian.
Negara Indonesia yang 80 % dari penduduknya masih memperoleh
penghasilan dari sektor pertanian adalah wajar apabila Indonesia mengatur
commit to user
4
Adapun tujuan utama dari Undang–Undang Perjanjian Bagi Hasil adalah untuk
memberikan kepastian hukum kepada Petani Penggarap, sungguhpun tidak ada
niat untuk memberikan perlindungan yang berlebihan terutama pada penggarap
tanah atau tuna kisma tersebut. Sehingga Undang–Undang itu sendiri bertujuan
untuk menegakkan hak–hak dan kewajiban baik dari penggarap maupun pemilik
(AP. Perlindungan, 1989:13).
Dari hal–hal tersebut di atas mendorong penulis untuk meneliti aspek
keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang ada di Desa Sedah
Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik
untuk menyusun skripsi dengan judul :
ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH
PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN
KABUPATEN PONOROGO .
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk memfokuskan
masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat memberikan
gambaran yang jelas dan pemahaman terhadap permasalahan serta tujuan yang
dikehendaki.
Dalam penelitian ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Bentuk, Lamanya Jangka Waktu, Dan Berakhirnya Perjanjian Bagi
Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten
Ponorogo Sudah Sesuai Dengan Peraturan Perundang–Undangan ?
2. Apakah Imbangan Pemilik Tanah Dan Penggarap Dalam Perjanjian Bagi Hasil
Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo
commit to user
5
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui mekanisme jalannya perjanjian bagi hasil tanah
pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo
apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang
berlaku.
b. Untuk mengetahui aspek keadilan pada perjanjian bagi hasil tanah
pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan
penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah wawasan tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian,
khususnya aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di
Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
c. Untuk meningkatkan serta mendalami materi kuliah yang diperoleh di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat
diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi pengembang ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum pada
khususnya terutama Hukum Administrasi Negara tentang aspek keadilan
commit to user
6
Jenangan Kabupaten Ponorogo yang bisa bermanfaat bagi penelitian–
penelitian ilmu hukum selanjutnya.
b. Mendapatkan suatu saran dan kritik yang diharapkan dapat digunakan oleh
almamater dalam mengembangkan bahan perkuliahan yang telah ada.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat membantu penulis dalam memahami tentang
aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah
Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
b. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi para Perangkat
Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo dalam konteks
penanganan, penanggulangan, dan peninjauna mengenai aspek keadilan
dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan
Jenangan Kabupaten Ponorogo.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau
konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi
(Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif atau hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannnya
commit to user
7
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilalukan oleh penulis bersifat perskriptif dan terapan.
Ilmu hukum yang bersifat perskriptif mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas suatu aturan, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.
Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menerapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan hukum (Peter Mahmud
Marzuki,2005:22)
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum mempunyai beberapa macam pendekatan,
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan-pendekatan
undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,2005:93).
Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan pendekatan
undang-undang (statue approach) dilakukan dengan melakukan studi mengenai keadilan
dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan,
Kabupaten Ponorogo.
4. Jenis dan Sumber Penelitian Hukum
Jenis data hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan
oleh penulis adalah data hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki pada
dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang digunakan
adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri atas
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud
Marzuki,2005:141)
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
commit to user
8
Tanah Pertanian dan undang-undang lain yang berkaitan dengan isu
hukum dalam penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder
Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan peradilan (Peter
Mahmud Marzuki,2005:141)
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini adalah
buku-buku, artikel, internet, jurnal hukum dan sumber lain yang
berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian merupakan hal yang sangat
penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan
dalam penulisan hukum ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka baik dari
media cetak maupun elektronik yang kemudian dikategorikan menurut jenisnya.
Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut diatas disebut studi pustaka dan
disertai konfirmasi pada pemilik tanah dan penggarap tanah.
6. Teknik Analisis
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif
dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan menggunakan
silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola penalaran deduktif, yaitu
cara berfikir yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti
menghadirkan objek yang akan diteliti yang digunakan untuk menarik kesimpulan
terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus. Cara pengelolaan bahan hukum
dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johny
commit to user
9
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memudahkan penulisan hukum ini, sistematika yang digunakan
penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, penulis akan menguraikan mengenai latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan menguraikan mengenai kajian pustaka dan teori
yang berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti serta kerangka
pemikirannya, antara lain membahas mengenai Perjanjian Bagi Hasil
Tanah Pertanian, hak dan kewajiban antara pemilik tanah dan
penggarap tanah sesuai yang diatur dalam Undang–undang Nomor 2
Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan menguraikan tentang hasil penelitian dan
pembahasan sebagai jawaban atas perumusan masalah yaitu, apakah
bentuk, lamanya jangka waktu, dan berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil
Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten
Ponorogo Sudah sesuai dengan Peraturan Perundang–Undangan. Dan
apakah imbangan pemilik tanah dan penggarap dalam Perjanjian Bagi
Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten
Ponorogo sudah memenuhi unsur keadilan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang ditujukan pada
pihak-pihak terkait dengan permasalahan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Menurut Hukum Adat.
a. Hakekat dan Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah
Pertanian.
Perjanjian bagi hasil pada pada mulanya tunduk pada ketentuan–
ketentuan hukum adat. Hak dan kewajiban masing–masing pihak, yaitu
pemilik tanah maupun penggarap ditetapkan atas dasar kesepakatan
berdua, dan tidak pernah diatur secara tertulis. Besarnya bagian yang
menjadi hak masing–masing pihakpun tidak akan keseragaman antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain (Urip Santoso, 2005:139).
Praktek pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di
Indonesia sudah berlangsung sejak dulu. Adapun yang menjadi latar
belakang terjadinya perjanjian bagi hasil tanah pertanian adalah adanya
ketimpangan di dalam pemilikan dan pengusahaan tanah pertanian. Di satu
pihak terjadi penumpukan pemilikan tanah pertanian bagi golongan
penduduk tertentu (yang biasa disebut dengan tuan tanah), sehingga
mereka tidak mampu atau tidak sanggup mengerjakan sendiri tanahnya.
Sedangkan di lain pihak banyaknya petani yang tidak mempunyai tanah
pertanian (kurang dari satu hektar). Untuk itulah para tuan tanah ini
menyuruh golongan petani tersebut untuk mengerjakan tanahnya yang
sangat luas, dengan perjanjian bila panen tiba, para penggarap harus
menyerahkan sebagian hasil panen kepada pemilik tanah yang
bersangkutan.
Sebab-sebab adanya penumpukan tanah ini antara lain merupakan
salah satu akibat dari politik penjajahan, dimana tanah-tanah pertikelir
yang semula milik negara dijual kepada pengusaha swasta guna
commit to user
11
suasana perang. Disamping itu penumpukan tanah juga terjadi karena
pemerintah Belanda pada waktu itu memungut pajak tanah (Landrente)
yang cukup tinggi kepada rakyat yang mempunyai tanah. Dengan
demikian bagi mereka yang tidak mampu membayarnya terpaksa harus
menjual tanah. Hal ini meyebabkan tanah pertanian menumpuk pada
beberapa orang kaya saja.
Akibat selanjutnya, petani-petani yang tidak memiliki tanah ini
dimana mereka hanya bekerja menggarap tanah pertanian milik orang lain
demi kelangsungan hidupnya, dengan cara bagi hasil (S. Gautama,
1973:16).
Selain sebab-sebab seperti tersebut di atas, perjanjian bagi hasil
ini bisa terjadi juga kerena semakin menipisnya hak pertuanan di
daerah-daerah tertentu. Hal ini disebabkan antara lain karena tanah-tanah
persekutuan tersebut tidak dikerjakan oleh anggota persekutuan, sehingga
memungkinkan orang lain di luar anggota persekutuan untuk mengerjakan
tanah persekutuan tersebut.
Kemudian di dalam bukunya Surojo Wignjodipuro, S.H.
dikemukakan mengenai :
“Hak menggunakan tanah atau hak memunggut hasil tanah hanya untuk satu tahun panen saja, berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang telah mendapatkan ijin untuk mengerjakan sebidang tanah serta telah mendapatkan ijin untuk mengerjakan sebidang tanah serta telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti membayar mesi (Jawa) atau uang pemasukan (Aceh)” (Surojo Wignjodipuro, 1973:245).”
Sebab lain yang dapat mengakibatkan menipisnya hak pertuanan
adalah karena raja-raja jaman dulu memberikan tanah bengkok kepada
pegawai rendahan tanpa mengingat adanya hak pertuanan. Dengan
menipisnya hak pertuanan, maka hak perseorangan dapat terjadi semakin
commit to user
12
b. Istilah dan Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
1) Istilah Perjanjian Bagi Hasil tanah Pertanian
Dikemukanakan dalam buku Imam Sudiyat adalah sebagai berikut :
“Istilah perjanjian bagi hasil tanah pertanian berbeda-beda di beberapa daerah di Indonesia, antara lain di Jawa Tengah disebut maro, mertelu, mrapat; di Sunda disebut nengah, jujuran; di Sulawesi Selatan disebut tesang; di Minangkabau disebut memperdui; di Minahasa disebut toyo. Penyebutan istilah didasarkan atas sistim pembagian hasilnya” (Imam Sudiyat, 1981:37).
2) Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Menurut Boedi Harsono dalam bukunya memukakan :
“Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut Penggarap, berdasarkan perjanjian mana
penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang
bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang bertindak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama (Boedi Harsono, 1999:118)”
Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk
dibagi dua, di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan,
mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut
thesang-tawadua untuk dibagi dua, di Bali nandu, telon,
ngemepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal dengan maro,
mertelu, mrapat, dan seterusnya. Secara umum, bagi hasil
didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik
tanah dan penggarap tanah yang besepakat untuk melakukan
pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang
disebut “deelbouw”, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan
tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300
SM (Scheltema, 1985). Bagi hasil terhadap dua unsur produksi, modal
dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto
commit to user
13
pemilik tanah masih tetap memegang kontrol usaha (Syahyuti, 2004 :
162).
Perjanjian bagi hasil ini semula diatur menurut Hukum
Adat, maka pelaksanaannya pun tidak terlepas dari pengaruh hukum
adat dan kebiasaan yang berlaku setempat. Menurut aturan hukum
adat imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
belah pihak, yang umumnya tidak menguntungkan bagi pihak
Penggarap.
Dalam tata hukum pertanahan jaman dulu masih diatur
oleh hukum adat, di mana pada waktu timbul berbagai hak atas tanah
pertanian. Antara lain hak menikmati hasil, hak pakai dan hak
menggarap tanah pertanian. Hak menggarap tanah pertanian
merupakan perpaduan antara hak pakai dan hak menikmati hasil. Hak
menggarap tanah pertanian adalah suatu hak yang dapat diperoleh
baik oIeh warga persekutuan hukum sendiri, maupun orang yang
bukan anggota persekutuan, untuk mengolah sebidang tanah selama
satu atau beberapa kali panen. Atas ijin dari pemimpin persekutuan
atau pemilik tanah yang bersangkutan.
Dari hak atas tanah ini timbul berbagai transaksi yang
bersangkutan dengan tanah, antara lain transaksi perjanjian bagi hasil.
Dalam transaksi ini obyeknya bukan tanah, tetapi hanya mempunyai
hubungan dengan tanah. Obyek transaksi bagi hasil adalah tenaga
kerja dan tanaman. Jadi meskipun perjanjian bagi hasil ini dapat
digolongkan kedalam perjanjian atau transaksi yang berhubungan
dengan tidak dapat disebut sebagai perjanjian yang berobyek tanah (B.
Ter Haar, 1994:105).
Dalam perjanjian bagi hasil tidak terjadi peralihan hak
milik atas tanah, yang terjadi adalah penggarapan tanah oleh
commit to user
14
nanti dibagi antara kedua belah pihak yaitu pihak pemilik dan pihak
penggarap.
Perjanjian bagi hasil melibatkan dua orang yang di satu
pihak pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya
tetapi ingin memproduktifkannya, sedang dilain pihak sesama warga
masyarakat bersedia menggarap tanah tersebut dengan perjanjian hasil
tanah dibagi dua dengan perbandingan yang sudah ditentukan
sebelumnya.
Perjanjian bagi hasil ini tidak hanya dibuat oleh pemilik
tanah saja, tetapi dapat juga dibuat oleh penyewa tanah, pembeli
gadai, pembeli tahunan, pemakai tanah kerabat, atau pemegang tanah
jabatan. Dalam perjanjian bagi hasil ini merupakan berkedudukan
sebagai pihak pemilik tanah.
c. Sifat atau Ciri-ciri Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Menurut B. Teer Haar sifat-sifat/ciri-ciri perjanjian bagi hasil, yaitu :
1) Untuk sahnya perjanjian bagi hasil tersebut tidak membutuhkan bantuan
dari kepala desa;
2) Untuk terbentuknya perjanjian bagi hasil ini, juga tidak memerlukan
adanya akta;
3) Perjanjian bagi hasil menurut hukum adat, dapat dibuat oleh:
a) Pemilik tanah.
b) Pembeli gadai.
c) Pembeli tahunan.
d) Pemakai tanah kerabat.
e) Pemegang tanah jabatan.
4) Tidak ada pembatasan mengenai siapa yang dapat menjadi pembagi
commit to user
15
d. Sistem pembagian hasil.
Mengenai sistem pembagian yang biasa digunakan di Daerah Jawa
Timur adalah dengan istilah :
commit to user
16
dapat pula terjadi perjanjian bagi hasil berlangsung secara turun temurun
dari penggarap pertama kepada ahli warisnya. Atau sebaliknya, dari
pemilik tanah yang pertama kepada pemilik tanah berikutnya.
Meskipun demikian kenyataan tersebut tidak menutup
kemungkinan bagi pemilik tanah untuk memutuskan perjanjian bagi hasil.
Hal ini bisa terjadi apabila pihak penggarap tidak melaksanakan
kewajibannya seperti yang telah disepakati semula pada waktu perjanjian.
Dengan kata lain perjanjiian bagi hasil itu tetap berlangsung selama tidak
ada konflik diantara para pihak, yaitu pemilik tanah dan penggarap.
2. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
a. Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960.
Seperti telah dikemukakan diatas, bahwa hak usaha bagi hasil
disebut daIam Pasal 53 UUPA. Dimana pasal mengatur tentang hak-hak
atas tanah yang bersifat sementara sebagai yang dimaksud oleh Pasal 16
ayat (1) huruf (h) UUPA. Karena hak usaha hasil bagi ini termasuk sebagai
hak yang sifatnya sementara, maka dalam waktu singkat hal tersebut harus
dihapuskan. Hal ini disebabkan hak jiwa UUPA dan ketentuan yang ada
dalam pasal 10 ayat (1) yang tidak menghendaki adanya pemerasan
manusia atas manusia. Selama hak usaha bagi hasil ini belum dihapus,
harus ada tindakan-tindakan yang bersifat membatasi sifat-sifat hak usaha
bagi hasil ini yang pada dasarnya bertentangan dengan UUPA. Sehingga
meskipun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini undang-undang yang
sudah ada sebelum berlakunya UUPA namun demikian undang-undang
tersebut dapat dianggap sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 53
UUPA. Oleh karena itu Pasa1 53 UUPA bisa dianggap sebagai dasar
commit to user
17
Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, rnaka telah dikeluarkan beberapa
peraturan pelaksanaannya yaitu :
1) Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK. 322 Ka/1960, tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960. Peraturan ini
diadakan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang membutuhkan petunjuk
pelaksanaan.
2) Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1964,
tentang Penetapan Perimbangan Khusus dalam Pelaksanaan Perjanjian
Bagi Hasil. Peraturan ini menetapkan perimbangan khusus mengenai
besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik
tanah dalam hal melanggar ketentuan-ketentuan tentang perimbangan
bagi hasil yang telah ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II.
3) Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964, tentang pedoman
Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil. Tujuan diadakannya peraturan
ini adalah untuk menyederhanakan dan menyempurnakan
peraturan-peraturan pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang telah ada, guna
mengintensifkan pelaksanaan bagi hasil.
4) Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980, tentang Pedoman
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Instruksi
Presiden ini dikeluarkan dalam rangka usaha menertibkan dan
meningkatkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960,
sesuai dengan perkembangan masyarakat tani dan kemajuan tehnologi
serta sarana pengusahaan tanah untuk produksi pangan.
5) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian
Nomor 211 Tahun 1980, Nomor 714/Kpts/Um/p/1980, tentang
commit to user
18
Ketentuan ini merupakan petunjuk pelaksanaan dari Instruksi Presiden
Nomor 13 Tahun 1980.
Menurut M. Islam Akanda Aminul, Hiroshi Isoda dan Ito
Shoichi, dalam Jurnalnya tentang Problem of Sharecrop Tenancy
System in Rice Farming inBangladesh, menyatakan bahwa :
“The 1984 Land Reform Act in Bangladesh fixed land rent
for sharecropping tenants at 33% of harvest yield without input sharing and at 50% with 50% of input sharing. This positively influenced expansion of HYV rice farming. However, the returns for tenants fell over time because of a gradual increase in input prices and wages. This research analysed the present distribution of returns in the dominant rice farming area in Bangladesh. A field survey was conducted in an advanced rice farming village where sharecropping was practiced. There was semi feudalism in the tenancy market with landowners earning more from sharecropping than they could from cash renting. Land-rich farmers often cultivated only a small part of their cultivable land and rented out most of it. The existing economic structure did not fairly balance the returns between tenants and landowners. This study suggested the need to reset the land rent at 20% of harvest yield without input sharing and at 40% with input sharing, to protect land-poor tenants”.
commit to user
19
di 40% dengan berbagi masukan, untuk melindungi-miskin penyewa tanah (M. Islam Akanda Aminul, 2008:1)”.
b. Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 1, yang
dimaksud dengan tanah adalah tanah yang biasanya digunakan untuk
menanam bahan makanan, sedangkan yang dimaksud dengan hasil tanah
adalah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap, setelah
dikurangi biaya-biaya untuk bibit, pupuk, ternak, biaya untuk menanam
dan panen.
Pengertian perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah suatu perjanjian dengan
nama apapun juga yang diadakan antara pemilik tanah disatu pihak dan
seseorang atau badan hukum di lain pihak, yang dalam undang-undang ini
disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan
oleh pemilik tanah untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah
pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
Pihak penggarap dan pemilik tanah dalam perjanjian bagi hasil
ini berkedudukan sebagai subyek perjanjian, yaitu sebagai pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian bagi hasil tersebut. Subyek perjanjian bagi
hasil ini dapat diperinci lagi menjadi dua unsur pokok yaitu :
1) Seseorang (petani) yang secara individual melakukan perjanjian bagi
hasil. Bila sebagai pemilik, maka ia adalah seseorang yang
berdasarkan suatu hak, menguasai sebidang tanah. Pihak pemilik
tanah saja, melainkan dapat juga sebagai pemegang gadai dan
penyewa. Bila sebagai penggarap, maka ia adalah seseorang baik yang
mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah, yang mata
pencarian pokoknya adalah mengusahakan atau mengerjakan tanah
untuk pertanian. Untuk petani penggarap ini, menurut pasal 2
Undang-Undang Tahun 1960 ada ketentuan-ketentuan khusus, yaitu ia boleh
commit to user
20
hektar, maka yang bersangkutan harus mendapat ijin dari Menteri
Muda Agraria atau pejabat yang ditujukan olehnya. Menurut
Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK 322/Ka/1960, pejabat
tersebut adalah Camat.
2) Badan hukum yaitu suatu bentuk organisasi, atau kumpulan yang
didirikan berdasarkan hukum yang berlaku, terdiri dari sekelompok
orang, yang secara bersama melakukan perjanjian bagi hasil. Jika
sebagai pemilik, ia adalah badan hukum yang berdasarkan suatu,
menguasai sebidang tanah. Apabila sebagai penggarap, dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ditentukan bahwa pada
asasnya badan hukum dilarang menjadi penggarap. Akan tetapi ada
pengecualian terhadap ketentuan tersebut dimungkinkan, yaitu
dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
Menurut Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK 322/Ka/1960,
pejabat tersebut adalah Bupati/Kepala Daerah Tingkat II.
c. Obyek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Obyek perjanjian bagi hasil tanah pertanian adalah tenaga kerja
dan tanaman. Yang dimaksud tenaga kerja adalah tenaga seseorang yang
dipakai untuk mengolah tanah pertanian yang diperjanjikan itu, sehingga
saat panen. Sedangkan yang dimaksud tanaman disini adalah tanaman
yang berumur pendek, seperti padi, tebu, jagung, dan sebagainya, dimana
dapat dinikmati segera hasilnya, baik oleh pemilik tanah maupun
penggarap.
d. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Bentuk perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 harus dibuat secara tertulis dihadapan
kepala desa. Perjanjian tersebut sendiri oleh pemilik tanah dan penggarap
dengan disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing dari pihak pemilik
commit to user
21
dihadapan kepala desa yang wilayahnya meliputi tanah yang
dibagihasilkan, surat tersebut selanjutnya disahkan oleh Camat, kemudian
diumumkan dalam rapat desa oleh kepala desa. Selanjutnya dimasukkan ke
dalam buku register untuk dilaporkan kepada Bupati/Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.
Agar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 ditaati dan dijalankan oleh semua pihak, maka bagi
mereka yang melanggar ketentuan yang ada dalam surat perjanjian bagi
hasil, kepala desa atas pengaduan salah satu pihak, berwenang
memerintahkan ditaatinya ketentuan yang telah mereka sepakati bersama.
Jika pemilik dan atau penggarap tidak mengindahkannya, maka masalah
tersebut diajukan kepada Camat untuk mendapatkan keputusan yang
mengikat kedua belah pihak (hal inl sesuai dengan yang tercantum dalam
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).
Surat perjanjian bagi hasil tanah pertanian tersebut dibuat
rangkap dua, satu untuk pemilik tanah dan satu untuk penggarap, surat asli
disimpan di Kelurahan (diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria
Nomor 4 Tahun 1964). Demikian masing-masing pihak baik pemilik
maupun penggarap mempunyai alat bukti bahwa antara mereka telah ada
kesepakatan untuk mengadakan perjanjian bagi hasil berikut
syarat-syaratnya. Dari uraian ini, jelaslah bahwa maksud adanya ketentuan yang
menentukan perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan
kepala desa setempat adalah untuk menghindari keragu-raguan yang
mungkin dapat menimbulkan perselisihan mengenai hak dan kewajiban
para pihak, mengenai jangka waktu perjanjian, imbangan pembagian hasil
dan sebagainya. Sebab didalam surat perjanjian, imbangan pembagian
hasil serta hal-hal lain yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Disamping itu pembuatan perjanjian secara tertulis ini juga akan
memudahkan pengawasan secara preventif terhadap adanya perjanjian
commit to user
22
e. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Jangka waktu atau lamanya perjanjian diatur dalaml Pasal 4
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa :
1) Perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu yang dinyatakan
didalam surat perjanjian bagi hasil. Dengan ketentuan bahwa untuk
tanah sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering
sekurang-kurangnya lima tahun.
2) Dalam hal-hal khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda
Agraria, Camat dapat mengijinkan diadakannya perjanjian bagi hasil
dengan jangka waktu kurang dari ketetapan umum yaitu untuk tanah
yang biasanya dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.
3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil, diatas tanah yang
bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen,
maka perjanjian tersebut berlaku terus sampat tanaman itu dapat
dipanen. Tetapi perpanjangan itu tidak boleh lebih dari satu tahun.
Perpanjangan ini cukup diberitahukan kepada kepala desa setempat,
tidak perlu harus mengadakan perjanjian baru.
Yang dimaksud “tahun” disini adalah tahun tanaman, bukan
tahun kalender. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu ini
maka penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak,
sehingga penggarap upayanya guna mendapatkan hasil yang semaksimal
mungkin. Hal ini jelas akan membawa keuntungan pula bagi pemilik
tanah, karena bagian hasil yang diterimanya juga akan bertambah banyak.
Untuk sawah ditentukan jangka waktu tiga tahun dengan
pertimbangan bila tanah tersebut berupa sawah dan pengelolaannya
dengan menggunakan pupuk, terutama pupuk hijau yang ditanam pada
tahun pertama, maka daya pupuk ini baru bekerja dan baru dapat dirasakan
oleh tanaman pada tahun kedua, atau bahkan pada tahun ketigapun
commit to user
23
tanah kering diberi batas minimum lima tahun, karena pada tanah kering
sebelum ditanami harus diperbaiki dahulu keadaan tanahnya. Sehingga
waktu lima tahun untuk tanah kering dipandang cukup layak sebagai batas
minimum untuk mengadakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
f. Imbangan Pembagian Hasil.
Maksud daripada pembagian hasil tanah adalah pembagian hasil
panen dari tanaman yang menjadi obyek perjanjian bagi hasil.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tidak menyebutkan secara tegas angka
imbangan pembagian hasil. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor,
antara lain proses perkembangan masyarakat desa masih berjalan terus.
Sehingga kadang peraturan yang ada dalam undang-undang sudah tidak
sesuai lagi untuk diterapkan dalam kejadian yang ada dalam masyarakat
yang berkembang. Faktor penyebab yang lain adalah karena kesuburan
tanah dan kepadatan penduduk yang dalam perjanjian bagi hasil dapat
dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan besar kecilnya
bagian pemilik dan penggarap. Sehubungan dengan hal itu tidak mungkin
diterapkan secara umum angka pembagian yang cocok bagi seluruh daerah
di Indonesia, yang dirasakan adil oleh masing-masing pihak yang
mengadakan perjanjian bagi hasil. Oleh karena itu, penetapan angka
imbangan itu diserahkan kepada Bupati/Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan, karena para Bupati/Kepala Daerah Tingkat II ini telah
mengetahui tentang faktor-faktor ekonomis dan keadaan setempat,
keadaan daerahnya beserta perkembangannya, daripada pembentuk
undang-undang. Penerapan angka imbangan ini setiap kali dapat diubah,
yaitu setiap tiga tahun.
Meskipun tidak menyebutkan secara tegas berapa besar
bagiannya, tetapi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 7 dikatakan
bahwa besamya hasil tanah yang diperoleh dan yang menjadi hak
penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah tingkat II yang bersangkutan
commit to user
24
dengan memperlihatkan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan
penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor
ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Pasal 7
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 berikut penjelasannya inilah yang menjadi
pedoman bagi para Bupati/Kepala Daerah Tingkat II daiam melaksanakan
wewenangnya untuk menetapkan angka imbangan pembagian hasil tanah.
Dengan perumusan yang fleksibel, yang akan menampung
keadaan-keadaan khusus daerah demi daerah, sebagaimana halnya Pasal 7 ini, maka
undang-undang ini memberikan pedoman imbangan antara pemilik dan
penggarap 1 : 1, yaitu untuk padi yang ditanam di sawah.
Untuk tanaman palawijo di sawah dan untuk tanaman di tanah
kering bagian penggarap adalah 2 : 3 dan pemilik 1 : 3. Untuk
daerah-daerah dimana imbangan tersebut telah lebih menguntungkan pihak
penggarap, akan tetap digunakan.
Hasil akan dibagi antara pemilik dan penggarap adalah hasil
bersih, yaitu bruto (hasil kotor) setelah dikurangi biaya-biaya untuk bibit,
pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen.
Biaya-biaya tersebut dipikul bersama oleh kedua belah pihak.
Sedang biaya-biaya berupa tenaga, baik dari penggarap sendiri maupun
tenaga buruh tidak termasuk golongan biaya yang dikurangkan dari hasil
kotor, karena biaya itu merupakan andil dari pihak penggarap itu sendiri
dalam mengadakan perjanjian bagi hasil. Mengenai zakat harus disisihkan
dari bruto yang mencapai nisab (untuk padi besarnya 14 kwintal). Hal ini
berarti bahwa hasil padi yang kurang dari 14 kwintal tidak terkena zakat.
Hal ini berlaku untuk orang-orang yang memeluk agama Islam.
Menurut Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 211 Tahun 1980 bagian kedua, besarnya imbangan
bagian hasil tanah yang dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam di sawah. Yang
commit to user
25
1) Ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan usul
dan pertimbangan Camat/Kepala Wilayah Kecamatan serta
instansi-instansi yang bidangnya berkaitan dengan kegiatan usaha produksi
pangan dan pengurus organisasi tani yang ada di daerahnya, dengan
terlebih dahulu mendengar usul dan pertimbangan kepala desa dengan
Lembaga Musyawarah Desa atau Kepala Kelurahan dengan Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desanya.
2) Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga
tanam, dan panen, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf d
natura padi gabah, sebesar maksimum 25% dari hasil kotor yang
besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam
daerah tingkat II atau Kecamatan yang bersangkutan, atau dalam
bentuk rumus sebagai berikut :
Z = 1/4 X
Z= biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga panen,
dan tanam.
X= Hasil kotor (Boedi Harsono, 1986 : 833 – 834).
3) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap tidak melebihi hasil produksi
rata-rata Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan
oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka
hasil kotor setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga
ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus butir b
diatas, dibagi dua sama besar antara pemilik dan penggarap atau
dalam bentuk rumus :
Rumus I
Hak penggarap = hak pemilik
X – Z X – 1 / 4 X
--- = ---
commit to user
26
4) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi rata-rata
Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka
besarnya bagian yang menjadi hak pemilik dan penggarap adalah
sebagai berikut :
d. 1. Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi
menurut rumus :
X – Z X – 1/4 X
--- = --- (rumus I) (Budi Harsono, 1986 : 834 )
2 2
d. 2. Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara
penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian untuk penggarap
dan 1 bagian untuk pemilik atau dengan bentuk rumus sebagai berikut:
Rumus II
Y – Z 4(X – Y)
Hak penggarap = --- + ---
2 5
Y – 1 / 4 X 4 (X – Y)
= --- + ---
2 5
Y – 1 / 4 X (X – Y)
= --- + ---
2 5
Dimana Y = Hasil produksi rata-rata Daerah Tingkat II atau
Kecamatan yang bersangkutan (Budi Harsono, 1986 : 834)
5) Jika suatu daerah, bagian yang menjadi hak penggarap pada
kenyataannya lebih besar dari pada yang ditentukan dalam rumus I
dan II diatas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih
commit to user
27
g. Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap.
Perjanjian bagi hasil bersifat mengikat kedua belah pihak dan
menimbuIkan hak dan kewajiban bagi para pihak, baik itu penggarap
maupun pemilik.
Kewajiban pemilik tanah antara lain :
1) Menyerahkan tanah yang bersangkutan untuk diusahakan oleh
penggarap (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).
2) Membayar pajak tanah tersebut.
Kewajiban ini bisa beralih kepada penggarap, bila tanah yang
dikerjakan adalah tanah milik penggarap sendiri, atau dengan kata lain
penggarap ini adalah pemiiik tanah yang sebenarnya (Pasal 9
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).
3) Memenuhi segala hal yang menjadi tanggungannya sesuai dengan isi
perjanjiian (Penjelasan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960).
Sedangkan hak pemilik adalah :
1) Mendapatkan sebagian dari hasil tanah yang dibagihasilkan menurut
imbangan yang telah ditentukan sebelumnya (Pasal 1 huruf c
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).
2) Berhak menuntut diputuskannya perjanjian bagi hasil sebelumnya
berakhir jangka waktu perjanjian dalam hal penggarap tidak
memenuhi hal-hal yang telah disetujui dalam perjanjian (Pasal 6 ayat
(1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).
Adapun Kewajiban penggarap adalah :
1) Mengusahakan tanah garapan sebaik-baiknya (Pasal 1 huruf c
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).
2) Menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang menjadi hak dari pemilik
commit to user
28
3) Memenuhi segala hal yang menjadi tanggungannya sesuai dengan isi
perjanjian (Penjelasan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960).
4) Jika jangka waktu perjanjian habis, ia wajib menyerahkan kembali
tanah yang dikerjakan kepada pemilik tanah dalam keadaan baik,
dalam arti keadaan yang tidak merugikan pemilik sesuai dengan
keadaan dan ukuran setempat.
5) Tidak boleh mengalihkan tanah garapan tersebut dalam bentuk apapun
kepada pihak lain tanpa seijin pemilik tanah. Hal ini karena perjanjian
bagi hasil, hubungan antara pemilik dengan penggarap tanah
merupakan hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Namun lain
halnya bila penggarap meninggal dunia, kewajiban penggarap tanah
bisa beralih kepada ahli warisnya, Karena hal ini merupakan jaminan
khusus bagi penggarap (Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960).
Hak-hak dari penggarap tanah antara lain:
1) Berhak mengusahakan tanah yang bersangkutan (Pasal 1 huruf c
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).
2) Berhak menerima sebagian hasil tanah, sesuai dengan imbangan
pembagian hasil yang ditetapkan bagi daerah (Pasal 1 huruf c
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).
Hak dan kewajiban para pihak ini haruslah dijalankan dengan
seimbang, sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa
dirugikan.
h. Peralihan dan Hapusnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Hak usaha bagi hasil tidak akan hapus dengan berpindahnya hak
milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. Dalam hal ini,
hak-hak dan kewajiban pemilik lama beralih kepada pemilik yang baru. Dan
commit to user
29
dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Dalam hal pemilik yang meninggal, diperlukan pembaruan perjanjian
dengan pemilik yang baru, hal mana akan tergantung pada kesediaan
pemilik baru. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 beserta penjelasanya. Ketentuan ini kurang memberi
jaminan bagi penggarap, karena sewaktu-waktu hak penggarap untuk
menggarap tanah hilang, akibat meninggalnya pemilik tanah, bila pemilik
tanah yang baru tidak bersedia melanjutkan perjanjian bagi hasil.
Meskipun begitu ketentuan dalam pasal ini memberi jaminan
bagi penggarap, bahwa perjanjian bagi hasil itu akan tetap berlangsung
selama waktu yang telah ditentukan, meskipun tanahnya oleh pemilik telah
dipindahkan ke tangan lain. Karena pemutusan perjanjian oleh pemilik
baru sebelum jangka waktu berakhir hanya dimungkinkan dalam hal-hal
seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960, yaitu :
1) Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan setelah mereka
laporkan kepada kepala desa.
2) Atas ijin kepala desa setempat atas tuntutan pihak pemilik tanah. Jadi
pemilik tanah menuntut pemutusan perjanjian bagi hasil, jika ternyata
kepentingannya merasa dirugikan oleh penggarap, yaitu dalam hal:
a) Penggarap tanah tidak mengusahakan tanah garapan dengan
sebagaimana mestinya.
b) Penggarap tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan
sebagian hasil dari tanah yang telah disepakati bersama kepada
pemilik.
c) Penggarap tidak memenuhi beban-beban yang menjadi
tanggungannya, yang telah disetujui dalam surat perjanjian.
d) Penggarap tanpa ijin pemilik tanah, mengalihkan pengusahaan