• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENINGKATAN

A. Pelaksanaan Upaya Paksa Penahanan

Sebenarnya pemikiran mengenai perlunya pembinaan terhadap tahanan bukan hal baru. Penyusun naskah akademik Undang-Undang Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM telah merumuskan masalah ini dengan menyatakan bahwa “Mengingat telah lama pembinaan terhadap orang tahanan ini dikehendaki dan melihat kenyataannya banyak para tahanan yang ada dalam lembaga pemasyarakatan telah dilaksanakan pembinaannya, maka penyusun naskah akademik Pemasyarakatan

ini mengharapkan agar kepada orang tahanan diberikan pembinaan. Sedangkan

konsepsi pembinaan pemasyarakatan yang diusulkan mencakup bidang yang luas dibawah spektrum pencegahan kejahatan.

Secara umum persyaratan pokok dalam pelaksanaan penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat (1 – 4) KUHAP.

Pasal 21 (1)

(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindakan pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau tindak pidana atau

penahanan lanjutan oleh atau penuntut umum terhadap tersangka atau mengulangi tindak pidana.

(2) Penahanan penyidik terdakwa dengan memberikan surat perintah

penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa yang menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta ia ditahan.

(3) Tembusan surat perintah penahanan atau lanjutan atau penetapan hakim

sebagaimana dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.

(4) Penahanan tersebut dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa

yang melakukan tindakan pidana atau pencobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara atau lebih.

b. Tindak pidana itu diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud

dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 480, dan pasak 506 KUHP, pasal 25 dan pasal 26 Rechtenordonantie (pelanggaran terhadap Ordinasi Bea dan Cukao, terakhir dirubah dengan Staatsblad tahun 1931 No. 471), pasal 1, pasal 2 dan pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (UU No. 8 Drt tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 No. 8), pasal 8Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 No. 37, tambahan Lembaran Negara No. 3086).

Kandungan pasal 21 KUHAP itu sebenarnya sendiri tidak dibedakan antara sahnya penahanan dan perlunya penahanan. Adanya dasar keperluan melakukan penahanan berdasarkan bukti yang kuat itu juga merupakan ketentuan KUHAP yang harus dipenuhi dan melaksanakan penahanan, bukan hanya barang etalase untuk melengkapi klausul surat perintah penahanan.

Demikian pula apabila diperhatikan sistematika pasal 21 KUHAP, jelas bahwa syarat/dasar keperluan melakukan penahanan ini disebutkan terlebih dahulu dalam ayat (1) sedangkan ketentuan mengenai delik-delik yang dapat ditahan ditempatkan dalam pasal ayat (4). Sistematika demikian merupakan urutan langkah yang harus diikuti oleh aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan. Aparat penegak hukum harus menentukan terlebih dahulu apakah penahanan itu perlu yang didukung adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup. Setelah itu baru diperhatikan ketentuan pasal 21 ayat (4) tentang delik-delik atau pasal tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan. Semua ketentuan dalam KUHAP semestinya harus dipatuhi oleh aparat penegak hukum karena sifatnya normative sebagaimana ditulis oleh Sudarto :

Aturan-aturan dalam hukum acara pidana member petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya, apabila ada atau aada prasangkaan terjadinya perbuatan yang melawan hukum atau apa yang disebut kejahatan dalam arti luas. Hukum acara seperti hakikat pada umumnya bersifat normative, jadi mengandung sesuatu yang seharusnya.115

115

Prakteknya responden aparat penegak hukum yang ada di RUTAN Klas 1 Medan pada umumnya tidak menganggap dasar keperluan penahanan ini sebagai persyaratan penting yang harus dipenuhi atau sebagai salah satu syarat keabsahan penahanan.

Berbagai kasus penahanan yang menjadi berita utama di berbagai media massa menunjukkan kasus bahwa aparat hukum di lapangan pada umumnya berkeyakinan bahwa syarat yang perlu diperhatikan dalam penahanan ketentuan pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Pengertian bukti yang cukup tersebut ditemukan dalam Petunjuk Teknis Kapolri No. Pol. JUKNIS/04/II/1982 tentang Penahanan yang menyatakan bahwa: Bukti yang cukup adalah bukti permulaan ditambah dengan data dan keterangan yang terkandung di dalam suatu di antara :

1) Laporan polisi

2) Berita Acara Pemeriksaan TKP

3) Laporan Hasil Penyelidikan

4) Keterangan Saksi/saksi-saksi

5) Keterangan tersangka

6) Barang bukti

Setelah disimpulkan menunjukkan bahwa tersangka adalah pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat 4 (a) dan (b) KUHAP.

Mengetahui apakah yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, harus dilihat pula Petunjuk teknis Kapolri No. Pol. 03/11/199882 tentang Penangkapan, yang menyatakan bahwa:

Bukti permulaan yang cukup adalah bukti yang merupakan keterangan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara:

1. Laporan polisi;

2. BAP di TKP

3. Keterangan saksi/saksi termasuk saksi ahli (visum et repertum) 4. Laporan hasil penyelidikan

5. Barang bukti

Setelah disimpulkan diyakini telah terjadi tindak pidana kejahatan dan bahwa orang yang akan ditangkap adalah pelakunya.

Seorang yang dikenakan penahanan berarti ia diasingkan dari pengawas masyarakat umum, sepenuhnya ia berada dibawah kekuasaan aparat yang melaksanakan penahanan. Dalam kondisi seperti ini kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia lebih mudah terjadi.

Bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana yang umumnya sering menjadi sorotan adalah berupa tindak kekerasan fisik terhadap tersangka yang masih ditempatkan di ruang tahanan kepolisian. Hal ini mungkin terjadi karena sebagian besar tersangka yang dikenakan penahanan oleh aparat penyidik di kepolisian terlebih dahulu ditempatkan di rumah tahanan kepolisian sebelum diserahkan ke RUTAN.

Berdasarkan hasil kuisioner terhadap responden tahanan RUTAN Klas I Medan ditemukan bahwa hampir 13 orang tahanan (44,82%) mengaku pernah mendapat siksaan fisik selama dalam tahanan di kepolisian, dan sekitar 16 orang tahanan (55,17%) menjawab tidak pernah mendapat kekerasan selama masa tahanan. Hasil dari kuesioner tersebut dapat kita lihat seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 5

Pengakuan Tahanan Tentang Kekerasan Selama Dalam Masa Penahanan

No Pengakuan terdakwa F %

1 Ya 13 44,82

2 Tidak 16 55,17

3 Tidak Menjawab - -

Jumlah 29 100

Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Tahanan di RUTAN Klas 1 Medan, Maret 2011

Menurut keterangan para responden, kekerasan yang bukan hanya dilakukan petugas terutama pada saat pemeriksaan tetapi yang cukup meresahkan adalah dari sesama di ruang tahanan. Kondisi ini dapat dikatakan mengalami perubahan yang cukup berarti dibandingkan pada masa sebelum KUHAP berlaku bila ditinjau dari kondisi ruang tahanan polres. Sahetapy menulis bahwa bila ungkapan “mengamankan” dipakai sebagai ungkapan “ditahan” orang masih mungkin dapat mentoleransi itu. Tetapi bilamana selesai proses “diamankan” ternyata yang “diamankan” itu babak belur baik secara fisik maupun secara psikis, hal ini mencerminkan bahwa keadilan (hukum) sudah tidak dihormati lagi.116

116

J.E. Sahetapy, Penyimpangan Prosedur adalah Kolusi, Artikel, Harian Fajar, Ujung Pandang, 27 Juni 1996, hlm. 6.

Hal yang cukup menggembirakan bahwa di RUTAN Klass I Medan kekerasan fisik (bukan psikis atau pemerasan ekonomi) seperti diatas relatif tidak terlalu sering ditemui, sehingga ketika dinyatakan lebih senang ditahan di RUTAN atau di kantor polisi sebagaian besar menjawab lebih senang ditahan di RUTAN.

Tabel 6

Sikap Tahanan Terhadap Tempat Penahanan

No Jawaban F %

1 Memilih ditahan di RUTAN 22 75,86

2 Memilih ditahan di RTP 7 24,13

Jumlah 29 100

Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Tahanan di RUTAN Klas 1 Medan, Maret 2011 Dari hasil kuesioner berikut, diperoleh bahwa sebanyak 22 orang tahanan (75,86%) lebih memilih ditahan di RUTAN, dan sebanyak 7 orang tahanan (24,13%) lebih memilih ditahan di RTP. Alasan memilih di tahan di RUTAN, pada umumnya sesuai dengan pengalaman subjektif masing-masing tergantung di mana mereka merasakan lebih aman dan tenang, yang dapat diklasifikasikan atas:

1. Tidak tahan ditempatkan di kantor polisi karena sering “dipinjam” oleh

petugas;

2. Sarana di RUTAN mencukupi seperti sarana mandi cuci kakus, olah raga,

ibadah;

3. Keadaan di RUTAN lebih sehat dan bersih, dapat menghirup udara bebas,

sinar matahari masuk;

4. Lebih aman karena tidak ada gangguan dari sesame tahanan seperti terjadi

5. Pergaulan dengan sesama tahanan yang cukup baik;

6. Makanan yang diberikan lebih baik dibandingkan di tahanan polisi.

Tidak dikirimnya tersangka yang ditahan ke RUTAN salah satu bentuk pelanggaran dan perampasan hak-hak tahanan sekaligus hambatan dalam upaya meningkatkan penghormatan dan perlindungan HAM. Apabila terdakwa tidak segera ditempatkan di RUTAN sebagaimana tercantum dalam surat perintah penahanan, maka penahanan itu sebenarnya tidak sah sesuai dengan ketentuan KUHAP maupun Peraturan Pemerintah No. 27 1983 tentang pelaksanaan KUHAP. Dikatakan demikian karena di Medan telah ada RUTAN. Dengan demikian bila dibandingkan dengan RUTAN, ruang tahanan di kantor polisi lebih potensial untuk terjadinya pelanggaran terhadap HAM. Apabila dicoba hendak dipahami, maka dapat dicari beberapa faktor yang sering dijadikan alasan. Pertama-tama; karena polisi harus mengumpulkan dan melengkapi bukti-bukti yang diperlukan. Peningkatan kasus kriminalitas, keterbatasan kemampuan aparat kepolisian baik secara personil, dana dan sarana menyebabkan beban kerja seorang polisi sering “dikejar waktu”, disorot masyarakat atau pers serta di desak keluarga korban agar suatu kasus secepatnya di selesaikan.117

George Kelling dari North Eastern University menilai terjadinya kekerasan oleh polisi bisa terjadi karena adanya slogan-slogan yang ditanamkan kepada mereka misalnya, “waron crime” dan sebagainya. Polisi seakan didorong untuk bertindak

117

Sedang menurut Sumarso tindakan kekerasan dalam pemeriksaan di kepolisian masih terjadi karena dianggap sebagai salah satu cara mendapatkan keterangan/pengakuan dari tersangka. Sumarso, Upaya Peningaktan Metode Pemeriksaan Yang Efektif dalam Penyidikan, (Jakarta: PTIK, 1995), hlm. 35.

keras lagi apalagi tingkat kriminalitas yang tinggi membuat polisi menjadi stress yang berakibat tindakan mereka tidak terkontrol.118

Tabel 7

Berdasarkan kuisioner terhadap para tahanan RUTAN klas I Medan ternyata penggunaan kekerasan dalam pemeriksaan masih ditemui sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Pengakuan Responden Tentang Penggunaan Kekerasan Dalam Pemeriksan Di Kepolisian

No Klasifikasi F % 1 Sangat Sering 21 72,41 2 Sering - - 3 Kadang-kadang 1 3,44 4 Tidak Pernah 7 24,13 Jumlah 29 100

Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Tahanan di RUTAN Klas 1 Medan, Maret 2011

Pengakuan responden tahanan tentang penggunaan kekerasan dalam pemeriksaan di Kepolisian memberikan pandangan bahwa sebanyak 21 orang tahanan (72,41%) mengatakan sangat sering mengalami tindak kekerasan sewaktu pemeriksaan di Kepolisian. Dan ada sebanyak 7 orang tahanan (24,13%) mengatakan tidak pernah mengalami tindakan kekerasan dalam pemeriksaan di Kepolisian.

Terdapat berbagai faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap tersangka dalam pemeriksaan. Berdasarkan kuisioner dan wawancara dengan beberapa orang aparat keamanan, diketahui bahwa selain faktor yang dikemukakan diatas yakni keterbatasan waktu, dana dan juga kondisi diri pribadi aparat penegak

118

hukum, delik yang digunakan telah dilakukan tersangka maupun faktor keadaan diri pribadi tersangka itu sendiri.

Kendala lain adalah masalah dana dimana biaya penyidikan yang tersedia persatu perkara saat ini kurang realistis. Misalnya untuk biaya penyidikan per satu perkara pidana hanya disediakan Rp. 50.000. Padahal untuk sekedar biaya trasnportasi dana itu sudah habis demikian pula biaya untuk keperluan visum et perum, misalnya untuk bedah mayat butuh dana sekitar Rp. 150.000. Oleh karena itu tidak mengherankan bila polisi harus mencari biaya “taktis” untuk menutupi kebutuhan seperti itu yang berasal dari maysarakat dalm hal ini pihak tersangka pelaku tindak pidana maupun pihak korban.

Tabel berikut ini dapat dilihat kecenderungan aparat kepolisian melakukan kekerasan berdasarkan delik yang dituduh terhadap tersangka.

Tabel 8

Kecenderungan Melakukan Kekerasan Oleh Aparat Kepolisian Berdasarkan Delik Yang Dituduhkan Terhadap Terdakwa

No Jenis Delik F %

1 Pembunuhan - -

2 Penganiyaan Berat 1 3,44

3 Perkosaan 21 72,41

4 Pencurian dengan kekerasan 2 6,89

5 Pencurian kendaraan bermotor

6 Kejahatan sexual lainnya

7 Delik-delik yang berkaitan dengan ketertiban umum 5 17,24

Jumlah 29 100

Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Tahanan di RUTAN Klas 1 Medan, Maret 2011 Dari tabel di atas terlihat bahwa kecenderungan yang mana polisi terdorong melakukan kekerasan adalah dalam delik-delik perkosaan sebanyak 21 orang yang

menjawab hal tersebut atau sebesar 72,41% dan pencurian dengan kekerasan sebanyak 2 orang atau sekitar 6,89%. Dari jawaban dalam kuisioner seluruh responden mengaku terdorong melakukan kekerasan fisik terhadap tersaangka.

Tentu saja tidak mutlak dalam setiap delik tersebut petugas langsung melakukan kekerasan sebab masih ada faktor lain yang mendorong polisi melakukan kekerasan fisik, yakni sikap dan keadaan diri tersangka seperti yang digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 9

Kecenderungan Melakukan Kekerasan Oleh Aparat Kepolisian Dalam Pemeriksaan Berdasarkan Sikap Dan Keberadaan Terdakwa

No Sikap Tersangka F %

1 Berbelit-belit dalam memberikan keterangan 2 6,89

2 Sulit mengerti pertanyaan petugas sehingga pertanyaan

harus diulang berkali-kali

21 72,41

3 Tidak mau mengakui perbuatannya sedangkan petugas

telah yakin akan fakta tentang kesalahannya berdasarkan bukti yang ada

4 13,79

4 Residivis 2 6,89

Jumlah 29 100

Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Tahanan di RUTAN Klas 1 Medan, Maret 2011 Kecenderungan melakukan kekerasan kepada terdakwa itu juga diakui oleh para responden. Sebanyak 21 orang responden (72,41%) menjawab bahwa sulit mengerti pertanyaan petugas sehingga pertanyaan harus diulang berkali-kali. Hal tersebutlah yang mengakibatkan aparat kepolisian melakukan kekerasan terhadap terdakwa. Sedangkan 4 orang responden (13,79) lain menjawab bahwa hal yang mengakibatkan kekerasan oleh aparat kepolisian dalam pemeriksaan adalah pada saat

terdakwa tidak mau mengakui perbuatannya sedangkan petugas telah yakin akan fakta tentang kesalahannya berdasarkan semua bukti yang sudah ada dan lengkap.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa kecenderungan melakukan kekerasan dalam pemeriksaan terutama untuk mencari keterangan dan pengakuan dari tersangka. Dalam pandangan aparat kepolisian faktor pengakuan tersangka masih merupakan hal yang sangat penting walaupun dengan lahirnya KUHAP faktor pengakuan tersangka tersebut hanyalah salah satu saja dari alat bukti. Hal itu adanya pengakuan tersangka maka penyidik dalam mengumpulkan dan melengkapi barang bukti akan berkurang. Hal itu bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menggariskan bahwa hakim tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa, jika terdakwa mengakui kesalahannya dan hanya ada seorang saksi yang memberatkan terdakwa, sedangkan alat bukti lain ada.

Selain adanya kekerasan yang berasal dari aparat dalam rangka pemeriksaan perkara, tindak kekerasan juga dapat berasal dari sesama tersangka yang ditahan di ruang tahanan kepolisian. Sejauh mana tindakan kekerasan tersebut bermanfaat bagi tahanan dikaitkan dengan tujuan pemidanaan memerlukan penelitian tersendiri, tetapi dari sudut tanggapan para tahanan, tindak kekerasan yang dialami sering menimbulkan melarikan diri atau menumbuhkan dendam apabila itu oleh tersangka dinilai tidak sesuai dengan penderitaan yang ditimbulkan melalui fisik, terror mental ataupun perasaan ekonomi tidak membutuhkan kesadaran tetapi sebaliknya dapat menimbulkan perkawanan dalam bentuk ingin lari atau balas dendam. Setidaknya hal itu akan memperburuk citra penegak hukum dalam pandangan tersangka, keluarga

dan masyarakat. Dalam kenyataan tidak semua tersangka yang ditahan itu terbukti melakukan tindak pidana, tidak mustahil akan menimbulkan akibat yang lebih jauh yaitu tahanan akan menjadi lebih jahat lagi sebagaiman ditulis William H. Auden bahwa orang-orang yang menjadi korban perbuatan jahat akan membalas dengan melakukan hal-hal yang sama.119

Berbagai kondisi dan kendala diatas mengakibatkan penyidik cenderung untuk menempatkan pengakuan dari tersangka, palagi dalam hal yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan (3) KUHAP yakni bila dalam perkara hanya ada satu orang saksi saja, maka tidak untuk membuktikan kesalahannya dan karena itu diperlukan alat bukti lainnya yang sah, antara lain pengakuan tersangka (keterangan terdakwa).

Terlepas dari berbagai kombinasi dan kendala yang dihadapi diatas, aparat penegak hukum tetap dituntut untuk dapat melaksanakan prinsip hukum yang adil proses peradilan pidana; untuk itu aparat penegak hukum harus memahami peraturan perundang-undangan hukum acara pidana yang berlaku; menguasai ketrampilan teknis pelaksanaan tugas; yang paling penting adalah sikap mental yang mencakup penghayatan aparat penegak hukum akan prinsip-prinsip yang terkandung dalam KUHAP yang intinya penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

Terlepas dari permasalahan kekurangan dana untuk suatu perkara sebagaimana diuraikan di atas ditolerir adalah penyalahgunaan wewenang untuk

119

William H. auden, A Moral Mystery, Artikel, Harian Media Indonesia, (Jakarta: 1993), hlm. 13.

materi meskipun dengan alasan untuk keperluan tugas apalagi untuk kepentingan pribadi. Dari jawaban responden tahanan, terlihat bahwa sebagian besar tahanan mengaku pernah mengeluarkan biaya-biaya tertentu selama ditahan sebagaimana tergambar di halaman berikut:

Tabel 10

Pengakuan Tahanan Tentang Adanya Biaya Yang Dikeluarkan Selama Dalam Tahanan

No Jawaban F %

1 Ada 25 86,20

2 Tidak ada 3 10,39

3 Tidak Menjawab 1 3,44

Jumlah 29 100

Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Tahanan di RUTAN Klas 1 Medan, Maret 2011

Dari tabel diatas terlihat sebanyak 25 orang responden (86,20%) menjawab mengakui pernah menyerahkan biaya-biaya tertentu selama dalam tahanan. Terdapat 3 orang responden (10,39%) memberikan jawaban bahwa tidak ada biaya-biaya tertentu selama dalam tahanan. Adapun alasan dimintanya biaya itu ketika tersangka berada dalam ruang tahanan kepolisian adalah untuk kepentingan tersangka itu sendiri, keperluan biaya makan, perawatan ruangan dan biaya agar suatu perkara lebih cepat diselesaikan.

RUTAN Klas I Medan tidak dikenal biaya diatas, dimana pada umumnya biaya yang dikeluarkan tersangka di RUTAN berkenaan dengan kemudahan fasilitas misalnya dalam hal izin berkunjung dimana keluarga pengunjung lainnya tidak perlu minta izin dari aparat yang bertanggung jawab secara yuridis terhadap tahanan dan juga untuk perawatan ke rumah sakit di luar RUTAN. Ada keringanan yang

dirasakan masyarakat karena secara ekonomis lebih menguntungkan dibanding harus meminta izin dari pihak polisi dan jaksa walaupun hal ini bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Untuk mengantisipasi ini perlu adanya koordinasi antara aparat yang bertanggung jawab secara yuridis terhadap tahanan dengan pihak RUTAN yang bertanggung jawab secara fisik.

Adanya berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia terlihat bahwa aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan masih belum mengedepankan faktor penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat dalam tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu tidak bila para responden aparat penegak hukum di Medan masih memandang isu perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia yang berkembang saat ini secara “minor” sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut

Tabel 11

Tanggapan Aparat Penegak Hukum Tentang Hak Asasi Manusia Dalam Proses Peradilan Pidana

No Jenis Jawaban F %

1 Berlebih-lebihan dan terlalu di dramatisasi 2 14,28

2 Pengamat dan ahli hukum tidak mengerti

kesulitan di lapangan

10 71,42

3 Belum dapat dilaksanakan sepenuhnya 2 14,28

Jumlah 14 100

Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Aparat Petugas di RUTAN Klas 1 Medan, Maret 2011

Fakta yang ditunjukkan dalam tabel diatas dapat diperinci sebagai berikut bahwa sebanyak 2 orang (14,28%) beranggapan bahwa HAM dalam rposes peradilan berlebih-lebihan dan terlalu di dramatisasi, sedangkan sebanyak 10 orang (71,42%)

mengatakan bahwa para pengamat dan ahli hukum tidak mengerti kesulitan di lapangan bagaimana HAM berjalan dalam proses peradilan pidana.

Dewasa ini para pakar hukum (pengacara dan penulis di media massa) selalu mendramatisasi masalah hak asasi manusia. Terkadang mereka mempertanyakan mengapa kita terlalu melindungi hak-hak pelaku tindak pidana sementara hak-hak korban tidak diperhatikan. Secara umum pertanyaan responden tersebut dapat dimengerti, tetapi sebenarnya tidak relevan untuk saling diperbandingkan. Hak tersangka dan hak korban tindak pidana bukan hal yang berlawanan, tetapi sama- sama dilindungi dan dihormati. Apalagi dalam prakteknya sudah menjadi rahasia umum bahwa hak-hak para pencari keadilan, baik korban tindak pidana maupun tersangka masih sering diabaikan.

Salah satu langkah antisipasi, berbagai mengusulkan agar pemerintah merevisi KUHAP dengan melengkapi berbagai hal yang selama ini dirasakan salah satu yang segera dilakukan adalah penetapan sanksi penyalahgunaan kurang lengkap menurut Sahetapy salah satu yang dianggap perlu bagi penegak hukum sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.120

120

Hal ini antara lain dikemukakan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR-RI. Berita TVRI, 4 Maret 1995. Jam 17.00 WIB. ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) juga mengusulkan KUHAP direvisi dengan mencantumkan sanksi yang setimpal terhadap para pejabat hukum yang melakukan penyiksaan dalam proses interogasi. Media Indonesia, 24 Agustus 1995, hlm. 19.

Meskipun di dalam KUHAP telah diatur praperadilan untuk menguji keabsahan tindakan penangkapan penahanan tetapi tidak dapat dikatakan sebagai sanksi terhadap aparat secara langsung sebab putusannya hanya menentukan keabsahan penahanan, pembayaran ganti rugi terhadap pemohon menjadi

kewajiban pemerintah (Departemen Keuangan) bukan aparat penegak hukum yang bersangkutan.

Bantuan hukum adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam penerapan prinsip proses hukum yang adil. Berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana dewasa ini mungkin terjadi karena tersangka tidak didampingi penasihat hukum dalam pemeriksaan pendahuluan. Berdasarkan kuisioner terhadap tahanan jawaban bahwa hanya sebagian kecil tahanan yang menggunakan jasa penasehat hukum sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini

Tabel 12

Pemanfaatan Penasihat Hukum Dalam Pemeriksaan Pendahuluan

No Jawaban F %

1 Menggunakan jasa penasihat hukum 24 82,75

2 Tidak menggunakan jasa penasihat hukum 5 17,24

Jumlah 29 100

Sumber: Hasil Kuesioner Terhadap Tahanan di RUTAN Klas 1 Medan, Maret 2011

Dari hasil kuesioner yang diperoleh bahwa sebanyak 24 orang responden (82,75%) menjawab lebih memilih untuk menggunakan jasa penasihat hukum, sedangkan sisanya sebanyak 5 orang responden (17,24%) menjawab tidak memerlukan jasa penasihat hukum. Ada beberapa alasan mengapa para responden

Dokumen terkait