PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I MEDAN)
TESIS
Oleh :
DAULAT JHON FERY PURBA 077005139
*
*
S
E K O L A H
FAKULTAS PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN
DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI
MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA
(Studi di RUTAN Klas I Medan)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
DAULAT JHON FERY PURBA 077005139/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)
Nama Mahasiswa : Daulat Jhon Fery Purba Nomor Pokok : 077005139
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
K e t u a
(Prof. Chainur Arrasjid, SH)
A n g g o t a
(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)
A n g g o t a
(Syafruddin S. Hasibuan, SH,MH,DFM)
Dekan
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 18 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Chainur Arrasjid, SH
Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH,MH,DFM 3. Dr. Hamdan, SH, MH
PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)
Daulat Jhon Fery Purba A B S T R A K
Penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (termasuk tahanan) juga disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan standart minimum rules yang kesemuanya tercermin dalam 10 prinsip pemasyarakatan. Arah pelayanan perawatan tahanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Tujuan umum adalah agar mereka dapat menjadi manusia Indonesia yang baik dan berguna seutuhnya dan ikut serta dalam pembangunan nasional. Bimbingan kegiatan hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela dan bersifat jangka pendek.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara; mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan dan untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan.
Ternyata keberadaan Rumah Tahanan negara (RUTAN) dalam peningkatan perlakuan yang lebih adil dan manusiawi dalam proses peradilan pidana bukanlah hal yang berlebihan. Pelaksanaan penahanan, responden yang seluruhnya merupakan aparat petugas RUTAN Klas I Medan berpendapat bahwa masalah HAM terlalu dibesar-besarkan dan dianggap bahwa penghormatan dan perlindungan HAM belum menjadi pertimbangan utama bagi aparat petugas dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sewaktu tahanan ada di dalam RUTAN. Perlindungan HAM yang terjadi di RUTAN klas I Medan masih belum seperti yang diharapkan. Dikarenakan banyaknya hal yang tidak mendukung sehingga perlindungan HAM terjadi.
ARREST AND IMPRISONMENT OF SERVICES IN CONJUNCTION WITH THE ENFORCEMENT OF HUMAN RIGHTS AT HOME STATE
PRISONERS
(Case in RUTAN Klas I Medan)
Daulat Jhon Fery Purba
ABSTRACT
Detention is a deprivation of liberty or deprivation of others are uncomfortable one (passion) and will bring legal consequences as well as a broad sociological good for the person detained or his family because of its excessive ie people who are not legally guilty, but society has deemed guilty . Guidance to prisoners (including prisoners) are also adjusted to the principles contained in Pancasila, the Constitution 45 and the minimum standard rules which all reflected in the 10 correctional principles.
Directions prisoner care services, coaching and guidance you need to do is to fix the officer's behavior for the purpose of fostering citizen auxiliaries can be achieved. The common goal is to enable them to become Indonesia's human good and useful, and participate fully in national development. Guidance activities can only be followed by inmates is voluntary and short-term nature. This study aims to determine the implementation of the detention and custody services in the criminal justice process for the accused were detained in house state inmates; know the protection of Human Rights in the implementation of detention in prisons Class one field and to identify obstacles and constraints faced by RUTAN Class one field in an effort to improve human rights protection, especially in the implementation of detention.
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan atas segala Kasih yang telah diberikanNya serta juga kesehatan
yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian
menyangkut tentang “PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN
TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I MEDAN)”. Tesis ini dibuat dan diselesaikan sebagai suatu syarat untuk mendapatkan gelar magister ilmu hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini
tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada
penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai
penyususan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc(CTM),Sp.A(K),
selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Prof.Dr.Suhaidi,SH,MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
4. Bapak Prof. Chainur Arrasjid, SH, selaku Pembimbing Utama serta Bapak Dr.
Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,
DFM selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mendorong penulis
dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.
5. Bapak Dr. Hamdan, SH, MH dan Ibu Dr. Marlina, SH, MH selaku penguji, terima
kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini.
6. Bapak Kepala Rutan Klas I Medan Thurman S M Hutapea BcIP, SH, M Hum
yang telah memberikan penulis tempat penilitian.
7. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orangtua dan mertua yang telah
menanamkan nilai-nilai dasar keilmuan dan selalu mendoakan penulis. Salam bahagia
penulis haturkan kepada isteri tercinta dan anak-anak tersayang atas kerelaan waktu
yang tersita dan dorongan yang selalu mereka berikan agar penulis segera
menyelesaikan studi.
Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini,
teman-teman di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan banyak terima
kasih. Semoga Tuhan senantiasa menyertai kita dalam hidup damai dan tenteram.
Puji Tuhan
Hormat Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Daulat Jhon Fery Purba
Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 06 Juli 1969
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Pendidikan :
1. Sekolah Dasar RK. St. Thomas 1, Lulus Tahun 1982
2. Sekolah Menengah Pertama RK St. Thomas 1, Lulus Tahun 1985
3. Sekolah Menengah Atas Kristen 2, Lulus Tahun 1988
4. Fakultas Hukum Universitas Katholik St. Thomas, Lulus Tahun 1996
5. Fakultas Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
BAB II PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ... 24
A. Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana ... 24
1. Proses Penerimaan, Pendaftaran, dan Penempatan Tahanan di RUTAN ... 37
2. Orang-orang yang diterima di Rutan ... 44
BAB III PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI TAHANAN DAN
NARAPIDANA DI RUTAN KLAS I MEDAN ... 66
A. Konsep Hak Asasi Manusia ... 66
B. Perkembangan Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum ... 71
C. Manfaat RUTAN Dalam Peningkatan Pelrindungan HAM dalam Proses Peradilan Pidana ... 87
D. Perlindungan HAM bagi Tersangka dan/atau Terdakwa Selaku Warga Binaan di RUTAN Klas I Medan ... 97
BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENINGKATAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA ... 103
A. Pelaksanaan Upaya Paksa Penahanan ... 103
B. Kendala Yang Dihadapi Oleh Petugas RUTAN ... 122
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124
A. Kesimpulan ... 124
B. Saran ... 125
PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)
Daulat Jhon Fery Purba A B S T R A K
Penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (termasuk tahanan) juga disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan standart minimum rules yang kesemuanya tercermin dalam 10 prinsip pemasyarakatan. Arah pelayanan perawatan tahanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Tujuan umum adalah agar mereka dapat menjadi manusia Indonesia yang baik dan berguna seutuhnya dan ikut serta dalam pembangunan nasional. Bimbingan kegiatan hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela dan bersifat jangka pendek.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara; mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan dan untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan.
Ternyata keberadaan Rumah Tahanan negara (RUTAN) dalam peningkatan perlakuan yang lebih adil dan manusiawi dalam proses peradilan pidana bukanlah hal yang berlebihan. Pelaksanaan penahanan, responden yang seluruhnya merupakan aparat petugas RUTAN Klas I Medan berpendapat bahwa masalah HAM terlalu dibesar-besarkan dan dianggap bahwa penghormatan dan perlindungan HAM belum menjadi pertimbangan utama bagi aparat petugas dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sewaktu tahanan ada di dalam RUTAN. Perlindungan HAM yang terjadi di RUTAN klas I Medan masih belum seperti yang diharapkan. Dikarenakan banyaknya hal yang tidak mendukung sehingga perlindungan HAM terjadi.
ARREST AND IMPRISONMENT OF SERVICES IN CONJUNCTION WITH THE ENFORCEMENT OF HUMAN RIGHTS AT HOME STATE
PRISONERS
(Case in RUTAN Klas I Medan)
Daulat Jhon Fery Purba
ABSTRACT
Detention is a deprivation of liberty or deprivation of others are uncomfortable one (passion) and will bring legal consequences as well as a broad sociological good for the person detained or his family because of its excessive ie people who are not legally guilty, but society has deemed guilty . Guidance to prisoners (including prisoners) are also adjusted to the principles contained in Pancasila, the Constitution 45 and the minimum standard rules which all reflected in the 10 correctional principles.
Directions prisoner care services, coaching and guidance you need to do is to fix the officer's behavior for the purpose of fostering citizen auxiliaries can be achieved. The common goal is to enable them to become Indonesia's human good and useful, and participate fully in national development. Guidance activities can only be followed by inmates is voluntary and short-term nature. This study aims to determine the implementation of the detention and custody services in the criminal justice process for the accused were detained in house state inmates; know the protection of Human Rights in the implementation of detention in prisons Class one field and to identify obstacles and constraints faced by RUTAN Class one field in an effort to improve human rights protection, especially in the implementation of detention.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Pengganti HIR, perhatian
terhadap hak asasi manusia di Indonesia dijunjung tinggi, karena seseorang yang
dianggap telah melanggar hukum tidak lagi diperlakukan sebagai obyek semata
melainkan harkatnya sebagai manusia (subyek) sangat diperhatikan sehingga proses
beracara yang menangani pelanggar hukum dirasakan lebih manusiawi, sesuai dengan
asas didalam hukum semua manusia di mata hukum diperlakukan sama tanpa kecuali.
Rumusan KUHAP salah satu permasalahan mengenai penahanan tetap aktual dibicarakan, karena berhubungan erat dengan hak asasi manusia. Kitab Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mengandung tentang perlindungan hak asasi
tersangka/terdakwa dan hal ini merupakan batas-batas bagi aparat penegak hukum
dalam melaksanakan tugasnya. Sesuai dengan tujuan KUHAP yang lebih baik, yang
memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia dalam keseimbangannya
dengan kepentingan umum. Walaupun batas-batas wewenang telah digariskan
didalam KUHAP, namun penerapannya dalam praktek sering menyimpang, baik pada
tahap penyidikan hingga putusan pengadilan. Hal ini menimbulkan reaksi dan kritik
keras dari korban kejahatan maupun dari masyarakat terhadap prilaku negatif aparat
Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan
pencegahan kepada masyarakat dan pelaku sendiri untuk tidak berbuat kejahatan
kembali. Namun, tujuan ini terkadang mengalami kegagalan sehingga terkadang
pelaku justru menjadi residivis dan masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan
kejahatan. Hal ini juga karena penerapan sanksi pidana tidak melihat akar persoalan
kejahatan yang sebenarnya. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan sosial disamping
penerapan sanksi pidana.1
Dewasa ini perlakuan adil dan manusiawi di berbagai bidang kehidupan
khususnya dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu perhatian sekaligus
merupakan tuntutan dan dambaan masyarakat, maka segala daya dan upaya akan
dilakukan untuk mendapatkan keadilan adalah hal yang sangat hakiki.
Menurut negara hukum, keadilan itu dihadapkan dan diperoleh dari bentuk
penerapan hukum yang layak, oleh karena itu tidak mengherankan bila rakyat
Indonesia berpendapat bahwa tugas paling penting dan mendesak dilakukan
pemerintah dewasa ini adalah meningkatkan keadilan dalam masyarakat. Dengan
demikian membicarakan masalah prinsip proses hukum yang adil dalam proses
peradilan pidana menjadi salah satu topik yang sangat relevan saat ini.
Penekanan pada masalah penahanan, karena penahanan merupakan salah satu
upaya paksa yang dikenal dalam hukum cara pidana yang sangat erat bersinggungan
dengan masalah hak asasi manusia. Menurut Hulsman, penahanan itu merupakan
1
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy dalam Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008) Hlm. v
lembaga paling penting diantara beberapa lembaga penggunaan paksaan dalam
hukum acara pidana2. Dikatakan demikian karena setiap penahanan akan
mengakibatkan hilangnya kemerdekaan manusia dalam waktu yang cukup lama
sebelum ia dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum pasti dan tetap. Apalagi kebebasan itu dipandang merupakan salah
satu dari hak yang dipandang sangat asasi. Tanpa jaminan akan kemerdekaan
manusia tidak akan dapat mengembangan potensi dirinya secara wajar sebagai
manusia dalam kualitasnya yang utuh secara jasmani dan rohani, sebagai individu
maupun makhluk sosial.3
Yahya Harahap mengemukakan bahwa setiap yang namanya penahanan
berarti perampasan kemerdekaan dan kebebasan manusia, nilai-nilai kemanusiaan dan
harkat martabat kemanusiaan serta menyangkut nama baik dan pencemaran
kehormatan diri pribadi manusia.4
2
L. He. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Saduran oleh Soedjono D. (Jakarta : Rajawaqli, 1984) Hlm. 79
Di Indonesia UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Tahun 1981 No. 76
(selanjutnya disebut KUHAP) yang oleh bangsa Indonesia pada awalnya dianggap
sebagai karya agung. Banyak alasan yang dikemukakan oleh para ahli maupun
praktisi sebagai justifikasi keberadaan lembaga penahan ini , masing-masing bertolak
3
Sutandyo Wignyosoebroto, Hak-hak Manusia dan Konstituante, Artikel Kompas 19 Agustus 1996, hlm. 11. Menurut Agus Salim : Kebebasan itu berarti masing-masing dapat menurut kehendaknya dan menurut kehidupan tertentu yang dipilihnya dalam masyarakat. Bachtiar Agus Salim,
Hukum PIdana – Beberapa Catatan Penintetiaire Pecht di Negeri Belanda dan di Indonesia (Jakarta
Timur : Fakultas Hukum USU, 1976) Hlm. 51
4
dari asumsi ataupun dasar filosofis yang dianut. Ada yang menyatakan asumsi dasar
penahanan adalah bahwa kebebasan seseorang tidak disukai. Bangsa Indonesia
sebagaimana ditegaskan Mardjono Reksodiputro, apabila dilihat dari substansi
KUHAP dapat dikatakan merupakan pengakuan pembuat Undang-undang Indonesia
bahwa “due process of law” (proses hukum yang adil atau layak) merupakan sikap
batin dari KUHAP.5
Prinsip proses hukum yang adil yang mengejawantahkan dalam asas-asas
penegakan hukum di dalam KUHAP merupakan penjabaran dari asas pengayoman
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, Lembaran Negara tahun 1970 No. 74. Hal itu berarti bahwa latar
belakang pentingnya penahanan sebagai salah satu upaya paksa yang penting dalam
proses peradilan pidana, adalah dalam konteks pengayoman bagi masyarakat umum
(publik), korban tindak pidana dan juga bagi tersangka/terdakwa itu sendiri.
Bertolak dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa salah
satu asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban membina warganya
termasuk mereka yang masuk ke dalam proses peradilan pidana.
6
Disamping penahanan sebenarnya dikenal suatu upaya paksa lainya yang juga
merupakan perampasan kemerdekaan manusia, yakni penangkapan. Walaupun tidak
mesti, tetapi pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan
pengangkapan, dan sebaliknya tindakan penangkapan selalu diikuti dengan
5
Mardjono Reksodiputro, Hukum Pidana dan Batas-batas Toleransi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesai. (Jakarta : 1994) Hlm. 15
6
penahanan. Pada dasarnya baik penangkapan atau penahanan sama-sama merupakan
perampasan hak asasi kebebasan seseorang untuk waktu tertentu.
Fokus perhatian pada penahanan dalam kaitannya dengan penerapan prinsip
proses hukum yang adil adalah disamping untuk pembatasan ruang lingkup
pembahasan juga karena mengingat walaupun penangkapan juga pengekangan
terhadap kebebasan manusia tetapi jangka waktunya maksimum hanya satu hari,
sedangkan penahanan dalam jangka waktu mencapai 400 hari bahkan dapat mencapai
700 hari dalam Pasal 29 KUHAP, sehingga dapat dipandang sebagai kewajiban
warga negara untuk membantu pengamanan dalam negeri.7
KUHAP No. 8 Tahun 1981 telah menentukan berbagai persyaratan
pelaksanaan penahanan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan
maupun kesalahan dalam melaksanakan penahanan, baik kesalahan dalam prosedur
terlebih-lebih kesalahan yang sifatnya “human error” yang akan menimbulkan
kerugian moril dan materil baik bagi diri pribadi maupun keluarga tersangka apalagi
bila akhirnya tidak terbukti bersalah atau kesalahannya tidak sepadan dengan
penderitaan yang telah dialaminya.
Setelah KUHAP berusia lebih dari dua dasawarsa, banyak hal telah terjadi, terutama yang berkenaan dengan tindakan penahanan yang tidak sesuai dengan
prinsip proses hukum yang adil yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia
yang dilakukan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan.
7
Beberapa kasus aktual yang menjadi pembicaraan masyarakat sebagaimana
diundangkan dalam berbagai media massa, antara lain penahanan anak usia 9 tahun
selama 52 hari dalam kasus pencurian burung senilai Rp. 10.000,- di Yogyakarta
(Kompas, 26 Juli 1995). Kelebihan masa penahanan Hia selama 81 hari di Jakarta
Timur (Kompas, 15 Juli 1995), Polisi mengembalikan tersangka sudah menjadi mayat
(Harian Waspada, Jakarta Timur, tgl. 15 Februari 1995). Beratnya menangguhkan
penahanan dalam kasus pencurian lima buah silet (Kompas, 01 Juli 1995), Dilepas
setelah disiksa hingga cacat (Fajar, 26 Maret 1996), Penganiayaan hingga luka berat
terhadap tersangka di Polsek Pondok Bambu Jakarta Timur (Media Indonesia, 14
Agustus 1989). Sedangkan kasus yang berkaitan dengan fungsi Rumah Tahanan
Negara (RUTAN), antara lain terlihat dalam gugatan praperadilan terhadap RUTAN
Klas IIA Jakarta Timur Tahun 1989 karena tidak dilepaskan demi hukum walaupun
masa penahanannya telah habis (Putusan PN Jakarta Timur No. 05/Pid.Pra/1991/ PN
JKT). Kasus Subekti Ismaun yang telah menyalahgunakan ijin berobat untuk pergi
bersantai ke daerah Puncak Bogor, dan lain sebagainya.
Berbagai kasus di atas menggambarkan kepada kita betapa perlunya upaya
untuk lebih meningkatkan pemahaman dan penerapan prinsip proses hukum yang adil
sehingga tidak akan menimbulkan jatuhnya korban-korban baru tidak saja sekedar
korban dari kejahatan tetapi juga korban peradilan. Sahetapy menulis bahwa korban
yang dewasa ini begitu hangat dikasak kusukkan secara terselubung adalah korban
peradilan, yang dimaksudkan peradilan di sini yaitu mulai dari proses pemeriksaan
Pemasyarakatan.8 Oleh karena itu tidak berlebihan bila Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menaruh perhatian serius terhadap masalah penahanan ini khususnya
Prisoners under Arrest or A Waiting Trial atau tahanan yang sedang menunggu
pemeriksaan di depan pengadilan.9
Pelaksanaan penahanan ini terbuka kemungkinan yang lebih luas untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik karena kurangnya ketrampilan dan
pemahaman aparat maupun karena kelalaian. Disamping karena kurangnya
ketrampilan dan pemahaman akan hak asasi manusia sebagai inti dari prinsip proses
hukum yang adil, terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktek pelaksanaan
penahanan juga karena Undang-undang tidak tuntas mengaturnya sampai mendetail,
sehingga dalam banyak hal diserahkan kepada praktek dan kebiasaan. Yang
semestinya tidak boleh menyimpang dari rumusan Undang-undang dan prinsip
perlindungan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh KUHAP.10
Upaya jaksa sistem Hukum Pidana kerap diwujudkan dalam bentuk
pengekangan kemerdekaan/kebebasan atau penahanan. Penahanan adalah peristiwa
yang luar biasa, sebab tiap-tiap penangkapan dan atau penahanan harus tunduk
kepada perlindungan hak kemerdekaan individu. Prinsip keadilan dalam negara
hukum tidak boleh dipisahkan dari proses politik pemerintah yang berdasarkan
8
JE. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai .(Bandung : Alumni) Hlm. 24
9
“Standard Minimum for The Trearment of Prisoners and Prosedures for The Effective
Implementation of The Rules”. Disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada Tanggal 31 Juli
1957. (New York : Department of Public Information
10
Andi Hamzah, Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek Penahanan, Dakwaan –
kepada hak kemerdekaan individu, keadilan dan aturan perundang-undangan.11
Alasan tidak menghambat tugas penyidik dalam mengumpulkan
bukti-bukti yang akan digunakan untuk mendakwanya. Pada kondisi seperti ini, terdakwa
tidak mempunyai kemampuan untuk membela dirinya ketika polisi menyiksanya baik
secara fisik maupun mental. Pembicaraan mengenai masalah yang berkaitan dengan
fungsi dan peranan Rumah Tahanan Negara (RUTAN), yakni suatu lembaga baru
tempat pelaksanaan penelitian menurut hukum acara pidana Indonesia (KUHAP No.
8 Tahun 1991) yang baik dikenal dalam “HIR” Staatsblad Tahun 1941 No. 44.
Keberadaan RUTAN sebagai suatu subsistem peradilan pidana adalah hal yang
menggembirakan, karena menunjukkan adanya “political will” untuk memenuhi
tuntutan akan lebih terjaminnya penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia dalam proses peradilan pidana. Disamping itu dapat dikoordinasikan suatu
kegiatan yang diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pribadi tahanan itu sendiri.
Bagian kegiatan menurut Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-PK.04.10
Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan disebut sebagai pelayanan
tahanan sebagai bentuk pembinaan tahanan.
Polisi
sebagai bagian dari pemerintah/eksekutif berwenang untuk menangkap dan menahan
seorang tersangka.
Akhirnya permasalahan pelaksanaan penahanan dalam penelitian ini dititik
beratkan pada tahap pemeriksaan pendahuluan, mengingat walaupun tahap ini bukan
11
merupakan tahap yang dominan dalam sistem peradilan pidana,12 namun pelaksanaan
penahanan merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya mewujudkan tujuan
pemidanaan, bahkan polisi dan jaksa merupakan unsur yang kritis didalam
keadilan dan amat besar pengaruhnya terhadap siapa akan dilakukan penahanan dan
penuntutan.13 Berbuat salah dalam bertindak atau mereka malas dalam bertindak,
maka niscaya keadilan akan gagal ditegakkan.14 Dari uraian yang dikemukakan di
atas penulis tertarik mengambil judul : ”Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan
Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakkan Hak Asasi Manusia Di Rumah
Tahanan Negara (Studi Di Rutan Klas I Medan)”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dengan ini penulis mengidentifikasi
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses
peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara?
2. Bagaimana Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan
penahanan di RUTAN Klas I Medan?
3. Bagaimana Hambatan yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya
meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan?
12
Menurut Reksodiputro, Sesuai dengan KUHAP tahap ajudikasi harus diberi peran dominan dalam seluruh proses peradilan pidana.
13
Loebby Logman, Pra-Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) Hlm. 91
14
C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas pemahaman
tentang permasalahan yang telah ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan
dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah
tahanan negara
2. Untuk mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam
pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan
3. Untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN
Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM
khususnya dalam pelaksanaan penahanan
D. Manfaat Penelitian
Setelah penelitian ini dilaksanakan dan mendapat hasil maka penulis
mempunyai harapan akan dapat memberikan masukan terhadap dunia akademik
maupun dunia praktis sebagai berikut :
1. Secara Teoritis.
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka
penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional,
terutama hukum pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan penahanan dan
penegakan hak Asasi Manusia.
Memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan acuan untuk mahasiswa
dan praktisi serta instansi terkait yang diharapkan akan timbul rasa tanggung
jawab dan kehati-hatian dalam melakukan pelayanan terhadap tahanan
sehingga tidak sampai timbul pelanggaran Hak Asasi Manusia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada disekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara Khususnya Fakultas Hukum, ternyata belum ditemukan
judul mengenai Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya
Dengan Penegakan Hak Asasi Manusia Dirumah Tahanan Negara ( Studi di Rutan
Klas I Medan ). Dari beberapa judul tesis yang ada seperti “ Pelaksanaan
Perlindungan Hak-Hak Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan. Kemudian “
Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan
Terhadap Hak Asasi Tahanan dan Narapidana”. Penulis ketahui bahwa topik dan
permasalahannya sangat berbeda dengan judul tesis yang penulis angkat. Oleh karena
itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan
belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Pengertian yang sederhana penahanan merupakan tindakan
asasi manusia ; KUHAP merupakan undang-undang hukum acara pidana yang
sangat menjunjung tinggi martabat dan harkat manusia, karena itu KUHAP
memberikan pembatasan waktu lamanya penahanan dapat dilakukan, dan jika
batas waktu itu dilampaui maka pejabat yang melakukan penahanan harus sudah
mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari rumah tahanan negara demi hukum.15
Landasan penahanan meliputi dasar hukum, keadaan, serta
syarat-syarat yang memberi kemungkinan melakukan tindakan penahanan antara yang
satu dengan yang lain dari dasar tersebut, saling menopang kepada unsur yang
lain. Sehingga kalau salah satu unsur tidak ada, tindakan penahanan kurang
memenuhi asas legalitas meskipun tidak sampai di kualifikasi sebagai tindakan
yang tidak sah (Ilegal). Misalnya yang terpenuhi hanya unsur landasan hukum
atau yang sering juga dinamakan landasan unsur objektif, tetapi tidak didukung
unsur keperluan atau yang disebut unsur subjektif, serta tidak dikuatkan unsur
syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, penahanan yang seperti itu lebih
bernuansa “ Kejaliman “ dan kurang berdimensi relevansi dan urgensi.16
Perintah penahanan terhadap tersangka/terdakwa yang diduga keras
melakukan tindak pidana, selain didasarkan pada bukti (alat bukti yang sah) yang
15
Martiman Prodjohamidjojo, SH , Penangkapan dan Penahanan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984) hal. 18
16
cukup, harus didasarkan pula pada persyaratan lain sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam KUHAP, yaitu :17
− Dasar Hukum / Dasar Objektif
Tindakan penahanan yang dapat dikenakan terhadap tersangka /
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 tahun atau lebih, atau tindak pidana sebagaimana dimaksudkan
dalam pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut
maka tidak setiap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang
dilakukan tersebut diluar ketentuan pasal 21 ayat (4) KUHAP.
− Dasar Kepentingan / Dasar Subjektif
Berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sebagai dasar
objektif, maka tindakan penahanan terhadap tersangka/terdakwa juga
didasarkan pada kepentingan (keperluan) yaitu untuk kepentingan
penyidikan, untuk kepentingan penuntutan dan untuk kepentingan
pemeriksaan disidang pengadilan (pasal 20 KUHP), serta didasarkan pula
pada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa
akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau
mengulangi tindak pidana (pasal 21 ayat 1 KUHAP).
17
Penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan
suatu perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang.
Setiap penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang
secara tegas dinyatakan dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/cabang
Rutan atau Lapas/cabang lapas ditempat tertentu merupakan rangkaian proses
pemidanaan yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan
dengan proses penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang pengadilan serta
pelaksanaan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan. Proses pemidanaan
tersebut dilaksanakan secara terpadu dalam Integrated Criminal Justice System.
Perawatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas atau ditempat
tertentu bertujuan antara lain untuk :18
1. Memperlancar proses pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun
pada tahap peruntutan dan pemeriksaan dimuka pengadilan.
2. Melindungi kepentingan masyarakat dari pengulangan tindak kejahatan
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan, atau
3. Melindungi si pelaku tindak pidana dari ancaman yang mungkin akan
dilakukan oleh keluarga korban atau kelompok tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan.
Hak tahanan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini ditekankan
pada hak kodrati yang dimiliki oleh setiap orang dan pelaksanaannya dilakukan
dengan memperhatikan statusnya sebagai tahanan dan satu-satu hak yang hilang
adalah hak untuk hidup bebas. Oleh karena itu perawatan tahanan harus
18
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999, Tentang Syarat-syarat dan Tata Cara
dilakukan sesuai dengan program perawatan tahanan dengan memperhatikan
tingkat proses pemeriksaan perkara. Kewajiban tahanan untuk secara tertib
mengikuti program-program perawatan adalah bersifat fakultatif yang tidak
bersifat memaksa. Kewajiban tersebut semata-mata untuk memberikan manfaat
yang menguntungkan bagi dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan sehingga
perasaan stres, bosan dan putus asa dapat dilalui secara baik.
Darwan Prinst19
Berkenaan dengan hak asasi manusia, praduga tak bersalah
diprioritaskan sebagai langkah awal bagi semua standar dibidang penahanan
praajudikasi. Orang-orang yang belum dihukum atas kejahatan yang
dituduhkan dijamin hak nya atas perlakuan yang berbeda sesuai dengan status
mereka sebagai orang-orang yang belum dihukum oleh pasal 10 (2) (a) , mengemukakan hak-hak tersangka/terdakwa yang
diatur dalam KUHAP, sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia,
akan tetapi oleh karena perumusannya lemah seringkali hal ini menjadi nihil.
Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa KUHP harus direvisi untuk tidak
memberi peluang atas pelanggaran hak-hak tersangka/ terdakwa. Namun
demikian sebagaimana bagusnya suatu undang-undang pelaksanaanya tetap
ditentukan oleh kualitas, moral dan etika para pelaksananya. Sebagaimana
diungkapkan adanya peraturan yang baik dengan pelaksanaan yang tidak baik
maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal.
19
Kovenan tentang hak-hak sipil dan politik. Interprestasi komite hak asasi
manusia berkomentar bahwa berdasarkan praduga tak bersalah beban
pembuktian mengenai tuduhan ada pada penuntut umum dan tertuduh harus
diragukan kesalahannya, sampai dengan dapat dibuktikan tuduhan tanpa
keraguan yang mendasar. Salah satu artikel dari Suterland “Detention Before
Trial” tentang alternatif institusi penahanan masa kini ada menyebutkan
bahwa 20
“Persons a waiting from should be separated from convicted criminals, ordinanly authorities believe that this could be best accomplished by maintaining/convicted prisoners in one institution and detained person in another”.
“Bahwa orang-orang yang menunggu proses pemeriksaan pengadilan seharusnya ditempatkan terpisah dari pelaku kriminal yang sudah dihukum. Bahwa tiap pemerintah harusnya mempercayai hal ini dilakukan sebaik mungkin untuk menempatkan para napi dalam satu institusi dan orang tahanan pada institusi yang lain”.
Orang-orang terpenjara adalah sekalian orang-orang yang dimasukkan
dalam penjara atas dasar suatu surat perintah yang sah dari yang berwajib
(polisi, jaksa, hakim) dan untuk golongan ini sering disebut sebagai
“Penghuni” , sedangkan orang-orang tahanan adalah mereka yang ditahan
oleh karena tuduhan/disangka melanggar hukum dan ditempatkan dalam
“Penjara” sambil menunggu proses persidangan. Pembahasan teori labeling
menekankan pada dua hal yaitu :
20
1. Menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan pengaruh serta efek dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dengan adanya label
akan menimbulkan perhatian masyarakat disekitarnya memperhatikannya secara terus menerus yang akhirnya orang yang terlabel tersebut akan menjalani stigma pemberian masyarakat.
Citra punitif atau gambaran suatu penderitaan orang terpenjara ini
diuraikan oleh Gresham M. Sykes dalam artikelnya sebagai berikut : 21
1. Loss of Liberty (hilang kemerdekaan bergerak), kesakitan ini dirasakan sebagai tutupnya kemungkinan yang tidak hanya untuk bebas karena dikurung dalam penjara, akan tetapi secara moril dan spiritual juga tidak bebas.
2. Loss of Autonomi, kesakitan yang dirasakan sebagai kehilangan hak untuk mengatur diri sendiri, karena harus tunduk pada peraturan-peraturan yang berlaku. Akibatnya adalah orang akan menjadi kehilangan kepribadian.
3. Loss of Goods and Services, yaitu hilangnya hak untuk memiliki barang-barang pribadi dan kebiasaan untuk dilayani. 4. Loss of Heteroseksual, adalah kehilangan hubungan dengan
lawan jenis, karena tidak memungkinkan untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Sebagai akibat dari itu sering timbul perbuatan homo seksual atau lesbian.
5. Loss of Security, dimaksudkan sebagai hilangnya rasa aman.
Kesakitan ini dirasakan sebagai kekhawatiran dan kecemasan terhadap
sesama orang tahanan, karena keterasingan rasa curiga dengan orang yang
baru dikenal. Irwin dan Cressey mengemukakan adanya “Subcultures” yang
21
berbeda dalam kehidupan di balik tembok penjara, yang pertama, disebut
sebagai “Convict Subcultures”22
Asas equality before the law yang mengandung pengertian bahwa
setiap orang sama dan sejajar di mata hukum tanpa memperdulikan status
sosial, profesi atau segala hal lain yang melekat dalam diri orang ketika
orang itu melakukan suatu kejahatan pada praktik penegakan hukumnya
sungguh sulit diwujudkan. Asas equal treatment yakni perlakuan ketentuan
hukum yang sama terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan dan
tidak memberikan peluang kemudahan terhadap orang yang lain dengan
alasan-alasan yang tidak patut dan tidak logis, juga pada praktiknya tidak
semudah kita mengucapkan. Dan asas presumtion of innocent yang menjadi
prinsipnya dalam penegakan hukum acara pidana yang pada prinsipnya
adalah penghormatan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa/terpidana tanpa
mengenyampingkan proses penegakan hukum semestinya dan berbagai
aspek konsekuensi logisnya, pada praktiknya menjadi alat pertahanan buat
pejabat pelaku kejahatan untuk menghindari proses tindakan-tindakan
hukum seperti penahanan yang sah di mata hukum dan tindakan defensif
ketika rakyat menggugat posisi status sosialnya.
Kondisi dimana ketika penegakan hukum pidana berjalan terhadap
suatu kejahatan namun tidak menghasilkan efektivikasi hukum pidana atau
tidak menghadirkan efek keadilan didalam masyarakat maka hukum dan
22
penegakannya yang setengah hati itu justru merupakan pintu masuk (entry
point) bagi lahirnya delegitimasi negara. Pada akhirnya kita akan melihat
hancurnya kekuasaan negara atau kekuasaan yang memerintah berlangsung
akibat tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) yang tanpa sadar
diciptakan negara itu sendiri. Pada titik ini bukan saja pantas masyarakat
pada umumnya dan individu pada khususnya kembali menggunakan
cara-cara hukum rimba untuk menyelesaikan persoalan kejahatan
disekelilingnya. Bila ini meluas maka praktik seperti penyerangan suatu
kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya, aksi
premanisme oleh sekelompok orang, pola kriminalitas sadis dikota-kota
besar, konflik dan curiga yang berkepanjangan dibeberapa daerah sampai
aksi pemboman dilokasi tertentu adalah benih fasisme yang sadar tidak
sadar telah disemai oleh negara.
Banyak orang menggugat nilai keadilan yang dihasilkan dari
penegakan hukum dan penjatuhan sanksi secara individual yang kadang
melebihi suatu ukuran nilai kemanusiaan yang beradap karena hanya
bersandar pada prinsip pembalasan. Orang juga mempertanyakan nilai
keadilan yang diciptakan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya
yang bukan saja gagal memenuhi prinsip pembalasan yang mengandung
sifat nestapa terhadap pelaku kejahatan tapi juga gagal mencapai prinsip
prevensi umum yakni menakut-nakuti orang untuk tidak berbuat jahat dan
Keadilan sebagai orientasi substansial dari hukum pada akhirnya
berubah menjadi ketidakadilan justru oleh hukum itu sendiri ketika hukum
masuk pada bagian yang sifatnya prosedural. Bagian dimana hukum
diasumsikan suka hati bukan lagi dalam konteks diskresi yang bersifat
kepatutan oleh masing-masing penegak hukumnya.
2. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional adalah kumpulan dari berbagai teori yang dihubungan
satu sama lain untuk dapat memberikan suatu gambaran atas suatu fenomena.23
a. Pelayanan adalah suatu bentuk perbuatan yang membuat seseorang
merasa aman dan terlindungi dari segala pengaruh dari luar yang membuatnya tidak aman.
Kerangka konsep sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
b. Penegakan adalah membuat segala sesuatu menjadi adil
c. RUTAN adalah Rumah Tahanan Negara dimana ini merupakan
tempat warga binaan yang harus mendapatkan binaan atau dengan kata lain hukuman dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya.
G. Metode Penelitian
Permasalahan yang timbul dari latar belakang permasalahan, maka penentuan
metode penelitian sangatlah penting untuk menjawab permasalahan tersebut.
Pentingnya metode penelitian tidak hanya diperlukan disaat pemulaan penelitian
23
tetapi juga dipergunakan diakhir penelitian.24
1. Pendekatan Masalah
Oleh karena itu metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Metode penelitian yang penulis pergunakan melalui pendekatan Yuridis
Normatif, dimaksudkan untuk mengkaji, menguji dan menelaah masalah
penahanan dan pelayanan penahanan sebagai bentuk pembinaan tahanan dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk
melihat bagaimana penerapan upaya paksa penahanan dan pembinaan tahanan
tersebut dalam proses peradilan pidana sehari-hari sebagai upaya perlindungan
hak asasi manusia.
2. Sumber Data
Data Yuridis Normatif bersumber dari data sekunder yang meliputi :
a) Bahan Hukum Primer yaitu peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan sistem pemasyarakatan dan peraturan pelaksanaan
tugas pemasyarakatan yang meliputi, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, kitab
undang-undang hukum pidana, undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang pemasyarakatan, peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 1999
tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas dan
tanggung jawab perawatan tahanan, keputusan menteri kehakiman
24
Nomor : M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Cara-cara penempatan
perawatan tahanan dan tata tertib Rumah Tahanan Negara.
b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku yang berkaitan dengan
penahanan, jurnal, majalah, kertas kerja, dan makalah, berbagai arsip,
dokumen dan hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini serta
pendapat para ahli yang dilengkapi dengan data primer berupa hasil
wawancara dengan instansi terkait dan laporan berkala dari berbagai
instansi penegak hukum.
c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum penunjang yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer
dan data sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah,
jurnal ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan
dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam
penelitian ini.25 Data Yuridis Empiris bersumber dari data primer yang
diperoleh melalui studi lapangan.
25
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998) hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu
3. Pengumpulan Data
Data sekunder sebagai sumber data yuridis normatif dikumpulkan melalui
studi pustaka (library research) yaitu untuk memperoleh bahan data primer dan
data sekunder sehubungan dengan penahanan.
Data primer sebagai sumber data yuridis empiris dikumpulkan melalui studi
lapangan (field research) dengan cara wawancara mendalam (dept interview)
kepada informan :
a) Petugas RUTAN Klas I Medan sesuai dengan jabatan yang ada
dirumah tahanan tersebut yaitu Kepala Rutan, Kepala Seksi, Petugas
registrasi dan kepala blok. Dengan harapan akan dapat mencakup
permasalahan yang ada di Rutan.
b) Tahanan di rutan yang perkaranya belum diajukan ke pengadilan
negeri.
4. Analisa Data
Keseluruhan data dalam penelitian ini baik data primer atau data sekunder
dianalisa secara kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data
yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian
lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan
teori-teori, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi
BAB II
PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN PERAWATAN TAHANAN
A. Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana
Istilah penahanan, asosiasi orang pemikiran biasanya tertuju pada tindakan
aparat penegak hukum dalam mencabut kemerdekaan orang lain yang disangka /
dituduh melakukan suatu tindakan pidana. Walaupun dalam arti luas istilah
penahanan sebenarnya tidak hanya dikenal dalam hukum acara pidana tetapi
dipergunakan juga diluar konteks hukum acara pidana. Dalam dinas militer misalnya
dikenal “penahanan dalam dinas keprajuritan” (PDK) yang merupakan istilah resmi
dari “perpanjangan dari masa dinas aktif” bagi para prajurit ABRI pangkat kolonel ke
atas yang telah mencapai usia maksimum dinas ABRI, tetapi masih dibutuhkan dalam
tugas-tugas keprajuritan.26
Hukum acara pidana (KUHAP) penahanan merupakan salah satu upaya paksa
di antara lima upaya paksa, yakni penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, dan pemeriksaan surat. Dikatakan sebagai upaya paksa karena
biasanya dilaksanakan dengan cara menggunakan kekerasan atau kekuasaan paksa.
Cara-cara menggunakan paksaan dan atau kekerasan dalam proses pidana dapat
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) memasuki ruang; (2) langkah-langkah yang
26
dapat diterapkan pada benda; (3) langkah-langkah yang dapat diterapkan pada
manusia, dalam bentuk pembatasan kemerdekaan, yaitu penangkapan dan
penahanan.27
Disamping sebagai salah satu instrument penegak hukum pidana, perlu diingat
bahwa pada hakekatnya penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan
orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa
konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan
maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah
secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah.28
Kitab undang-undang hukum pidana suatu tindakan penahanan dapat pula
menjadi suatu tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana maksimum
delapan tahun penjara sebagaimana diancam dalam beberapa pasal KUHP yang
mengancam pidana bagi tindakan penahanan orang secara tidak sah atau bertentangan
dengan ketentuan undang-undang. Oleh karena itu dengan keluarnya KUHAP No. 8
Tahun 1981 aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana harus lebih
berhati-hati dan selektif dalam melaksanakan penahanan. Berbagai persyaratan
maupun prosedur yang telah ditentukan secara normative harus dipenuhi dan
dipatuhi. KUHAP adalah untuk mengatur perilaku dan tindakan para penegak
hukum. Ibarat suatu permainan, KUHAP diciptakan agar para penegak hukum yang
27
L. Hc. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Perbandingan Hukum, op.cit., hlm. 56
28
bermain itu tidak bermain kayu yang mengakibatkan timbulnya pelanggaran hak asasi
manusia.29
Pelaksanaan penahanan ini, KUHAP benar-benar diuji apakah bisa membina
sikap aparat penegak hukum sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing
kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat martabat manusia.30
Perlu pula dikemukakan, bahwa membicarakan penahanan erat kaitannya
dengan penangkapan, sebab pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih
dahulu dilakukan penangkapan dan sebaliknya tindakan penahanan selalu diikuti
dengan penahanan. Dalam kehidupan sehari-hari orang (awam) sering menganggap
bahwa penahanan sama dengan penangkapan karena pada dasarnya penangkapan dan
penahanan merupakan perampasan hak asasi seseorang untuk waktu tertentu. Pada
masa berlakunya HIR dikenal istilah penangkapan sementara yang jangka waktunya Dikatakan demikian karena dalam pelaksanaan penahanan terbuka kemungkinan
yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang karena tersangka ditempatkan
dibawah kekuasaan aparat yang melakukan penahanan terisolir dari masyarakat
umum. Tidak saja hak asasi kemerdekaan manusia yang dapat dilanggar tetapi
mungkin pula terjadinya peenyiksaan fisik, pemerasan ekonomi, teror mental, bahkan
kematian tersangka, dimana hal itu tidak terjadi bila tersangka tidak dikenakan
penahanan.
29
J. E. Sahetapy, Quovadis Hukum Pidana? Artikel, Media Indonesia, Jakarta: 12 Agustus 1995, hlm.3.
30
20 hari (Pasal 27 HIR). Bagi polisi penangkapan dan penahanan adalah bagian dari
wewenang yang sangat penting , sebagaiman ditulis A.C. Germann et al., “Both
arrest and detention can certainly form a necessary and proper of police
operations”.31
Pandangan yang mempersamakan penangkapan dan penahanan sebenarnya
kurang tepat, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan pengertian maupun
konsekuensi yang diakibatkannya,32
Selanjutnya dalam memahami konsep penahanan dalam peradilan pidana
perlu dipahami beberapa model yang bekerja dalam proses peradilan pidana. Menurut
L. Packer bekerjanya proses peradilan pidana dapat dijelaskan melalui dua buah
model, yaitu “crime control model” dan “due process model”.
walaupun sebenarnya pemahaman demikian
sebenarnya bukan tanpa dasar. Keduanya merupakan pranata hukum yang berbeda
baik dalam teknis pelaksanaan serta syarat-syaratnya maupun konsekuensi
hukumnya.
33
Sistem yang bekerja pada”crime control model” didasarkan pada prinsip
bahwa penekanan jumlah kejahatan merupakan fungsi utama peradilan pidana.
Kegagalan fungsi ini merupakan gangguan terhadap ketertiban umum dan kebebasan. Tetapi kedua model
itu hanyalah sekedar “normative models” yang membantu kita dalam menganalisis
bekerjanya proses peradilan pidana sehari-hari.
31
A. C. Germann, et al, “Introduction To Law Enforcement And Criminal Justice”, (Springfield-Illionis USA: Charles C. Thomas Publisher).
32
Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang Ada dalam KUHAP, (Bandung : Alumni, 1982), hlm.26.
33
Untuk mencapai tujuan demikian ini, proses criminal harus dilakukan secara efisien,
segala rintangan prosedur yang dapat menjadi hambatan bagi pelaksanaan proses
criminal harus disingkirkan. Proses peradilan pidana diibaratkan seperti ban berjalan,
dimana masing-masing petugas penegak hukum berdiri pada posisinya sendiri. Dalam
hal ini proses peradilan pidana merupakan suatu proses penyaringan dan dalam
tiap-tiap tahap dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat rutinitas. Keberhasilan
pertama-tama diukur sesuai dengan tindakan keberhasilan penyeleasaian kasus demi kasus
untuk mencapai tujuan yaitu mengurangi atau menanggulangi kejahatan.
Demikian “crime control model” didasarkan pada doktrin “Presumption of
guilt” dimana dengan doktrin tersebut diyakini bahwa sejumlah besar perkara pidana
dapat ditangani secara efisien. Penyidik telah berkeyakinan akan kesalahan
seseorang, maka tahap-tahap proses berikutnya harus dianggap sebagai formalitas
belaka. Hasil-hasil penyidikan telah dianggap cukup mengumpulkan semua fakta dan
bukti dan proses di muka persidsangan dianggap tidak mungkin memunculkan fakta
dan bukti-bukti yang baru yang penting. Packer menegaskan bahwa “preumption of
innocence”. Kedua konsep tersebut memang berbeda, tetapi tidak berlawanan.34
Perbedaan tersebut menurut penjelasan Reksodiputro dapat dicontohkan
dengan perbedaan antara atas dengan kiri dimana atas dan kiri adalah dua konsep
yang berbeda, tetapi bukan merupakan dua konsep yang berlawanan.35
34
Ibid, hlm.161.
Untuk
memahami perbedaan kedua konsep tersebut, orang harus dapat membedakan antara
35
dua macam kesalahan-kesalahan nyata (factual guilt) dan kesalahan menurut hukum
(legal guilt). Dengan suatu contoh Packer memberikan ilustrasi: seseorang dengan
sebuah senjata dengan disajikan banyak orang telah melakukan pembunuhan. Ketika
polisi datang ia langsung menyerahkan diri. Orang tersebut mengaku menembak
korban dengan disajikan oleh saksi-saksi, apakah terhadap orang terseebut masih
berlaku prinsip “presumption of innocence? Bukan begitu maksudnya, kata Packer,
itu bukan merupakan kesalahannya melakukan pembunuhan (legal guilt), ia harus
diperlakukan seolah-olah tidak bersalah.36
Prinsip “presumption of innocence” merupakan intruksi kepada aparat
penegak hukum untuk tidak menghiraukan prinsip “presumption of guilt” terhadap
tersangka. Artinya terlepas dari kesalahan-kesalahan nyata (factual guilt), maka
terhadapnya harus tetap diberlakukan seolah-olah tidak bersalah sampai pengadilan
menyatakan kesalahannya menurut hukum (legal guilt).
Berbeda dengan “crime control model” yang menekankan pada efisiensi dan
penghindaran terhadap segala prosedur yang dapat menghambat proses kriminal,
maka “due process model” lebih menekankan pada jaminan terhadap perlindungan
hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kewenangan penguasa. Kekuasaan
menurut “due process model” selalu dapat disalahgunakan untuk menindas seorang
individu maka kekuasaan ituharus dikontrol dan diawasi. Efisiensi maksimal berarti
36
tirani maksimal. Dalam rangka membatasi tindakan sewenang-wenang dari aparat,
maka “due process model” sangat menekankan asas “preumption of innocence”.37
Crime control model peradilan pidana bekerja seperti ban berjalan, maka pada
“due process model” proses peradilan pidana bekerja seperti melewati batas-batas
pada lari gawang. Masing-masing gawang dirancang untuk mengarahkan tersangka
pada proses lebih lanjut. Untuk memenuhi prosedur yang ditentukan sesuai dengan
undang-undang merupakan hal yang sangat penting. Kesalahan dalam prosedur
penangkapan atau penahan misalnya akan berakibat pada keabsahan proses
pemeriksaan.
Due process model proses kriminalitas kelihatan berjalan agak lamban,
walaupun demikian diharapkan dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang oleh
aparat negara terhadap tersangka, sehingga setiap tindakan penguasa itu harus dapat
dikontrol dan diawasi. Untuk itu sebagaimana dianut oleh “due process model”
dianjurkan adanya konsep “presumption of innocence”. Apapun juga kompetensi
untuk menetapkan adanya suatu fakta tentang suatu kesalahan, maka kesalahan
berdasarkan hukum (legal guilt) lewat suatu peradilan tetap merupakan bukti
terakhir.38
Perkembangannya sistem peradilan pidana yang mendasarkan pada
“adversary sistem” baik yang bercorak ”crime control model” maupun “due process
model” mendapatkan kritik. Salah seorang yang mengkritik dan mengajukan
37
Ibid., hlm. 166.
38
alternative adalah Jhon Griffithst.39
Adversary model proses criminal bekerja atas dasar anggapan bahwa pelaku
tindak pidana adalah musuh masyarakat dan dengan demikian ia harus disingkirkan,
maka menurut “family model” pelaku tindak pidana adalah bagian dari suatu
keluarga, jika ia melakukan kesalahan harus diingatkan terlebih dahulu. Tindakan
terhadap pelaku tindak pidana bukan berupa pengasingan dari pergaulan masyarakat
tetapi mengingatkan atas dasar cinta kasih sesama hidup atas dasar Saling
menguntungkan.
Menurutnya apapun bentuk dari ”adversary
model”, tetap merupakan sistem pertempuran antara dua kepentingan yang
berlawanan. Oleh karena itu Griffithst mengajukan model ketiga yang disebutnya
“family model” (model kekeluargaan). Menurut Griffithst, dalam suatu keluarga
mungkin terjadi seorang anggota keluarga melakukan kesalahan dimana terhadap
anggota keluarga yang bersangkutan tetap diberi sangsi tersebut tidak boleh
menjadikan ia sebagai orang jahat, melainkan agar anggota keluarga tersebut mampu
mengendalikan dirinya dan setelah diberi sangsi anggota keluarga yang melakukan
kesalahan tetap berada dalam lingkupan kasih saying keluarga.
40
Menurut “crime control model”, (penangkapan) dan penahanan
serta pembinaan harus dilakukan sebisa mungkin atau sebanyak mungkin. Packer
menulis bahwa “the model, in order to operate succesfull, must produce a high rate
of apprehension and conviction”41
39
Jhon Griffithst, Ideologi in Criminal Procedural or A Third Model of The Criminal
Processil, The Yale Law Journal, (Volume 79, Number 3, January 1970) hlm.367-368.
. Dengan demikian salah satu indikasi
40
Ibid, hlm. 171-172.
41
keberhasilan sistem peradilan pidana menurut ideology “crime control model” adalah
banyaknya jumlah penahanan yang dilakukan oleh aparat berwenang.
Penahanan harus dilakukan segera setelah penangkapan, tanpa harus
membuang-buang waktu dan biasanya penahanan itu dilakukan oleh polisi. Menurut
“crime control model” penahanan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah tersangka mempunyai kesempatan membuat cerita yang tidak benar dan
untuk mencegah campur tangan orang lain yang dapat mempengaruhi kerja sama
tersangka dengan polisi.42
Sistem nilai yang membuat pra anggapan tersangka atau terdakwa dianggap
penjahat dan penahanan perlu segera dilakukan sesudah penangkapan yang sah dalam
“crime control model” adalah untuk keperluan praktis agar peradilan pidana sebagai
suatu ban berjalan itu dapat bergerak maju dengan cepat. Bila diberi kebebasan
terdapat resiko terssangka/terdakwa tidak muncul di pengadilan tepat pada waktunya.
Bahkan untuk para pelanggar hukum, pemula dan orang yang kelihatannya tidak
mungkin mengulangi tindak pidana, menurut “crime control model” masih ada
alasan yang baik agar penahanan tetap dilakukan dalam arti tidak diberikan “pretrial
liberty”.
Selanjutnya nilai-nilai yang bekerja dalam “due process model” dalam hal
penahanan pertama-tama harus lebih dahulu ada “probable cause” (bukti-bukti yang
kuat) sebelum dilakukan tindakan penahanan. Tersangka dibawa ke pengadilan
sesegera mungkin tanpa melakukan penundaan yang tidak penting untuk segera
42
disidangkan oleh hakim. Tersangka berhak menguji keabsahan penangkapan dan
penahanannya termasuk ada tidaknya “probable cause”.
Menurut pandangan “due process mode” dikemukakan bahwa “it is never
proper for the police to hold a suspect for the purpose of integration or
investigation”. Oleh karena itu terhadap tersangka harus diberikan kesempatan untuk
mendapatkan kebebasan misalnya dengan penagguhan penahanan (bail).43
Pandangan Sahetapy KUHAP mendapat ide dan mengemban amanat dari
undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan Kehakiman agar
proses peradilan pidana dilaksanakan dengan landasan penganyoman. Sahetapy
mengemukakan lebih tepat untuk mempergunakan apa yang disebutnya dengan
“model penganyoman”.
Selanjutnya walaupun telah ada suatu “probable cause” penahanan ini harus dibatasi
sedapat mungkin. Dalam kasus Miranda V. Arizona, hakim berpendapat bahwa polisi
tidak boleh melakukan interogasi terhadap seseorang dalam tahanan sampai ia
diberitahu tentang hanknya untuk diam dan ia berkonsultasi dengan penasehat
hukumnya. Apabila dikaitkan dengan due model dalam proses peradilan pidana yang
dikemukakan Packer, maupun model kekeluargaan yang diajukan Griffithst, maka
proses peradilan pidana menurut KUHAP tidak dapat digolongkan dalam “crime
control model”, “due process model” ataupun “family model”.
44
43
Ibid, hlm 190-191
Dengan demikian dalam proses peradilan pidana
44
Model Penganyoman sebagai model yang dianut KUHAP dikemukakan oleh Sahetapy dalam beberapa tulisan antara lain ”Pendayagunaan Sistem Kamtibmas dalam Tertib Hukum dan Tertib
penganyoman diberikan baik terhadap masyarakat (public), korban tindak pidana
maupun terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Penulis setuju atas pendapat
tersebut sebab dengan adanya menghayati dan menempatkan diri sebagai penganyom
masyarakat, maka aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan tidak akan
keluar dari kerangka proses hukum yang adil.
Adapun pengertian penahanan itu sendiri pertama-tama dapat dilihat dalam
pasal 1 butir 21 KUHAP sebagai berikut :`
Pasal 1 butir 21:
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Substansi ketentuan pasal 1 butir 21 KUHAP dapat dilihat bahwa pelaksanaan
harus memenuhi tiga unsur elemen, bila tidak dipenuhi maka suatu tindakan bukan
penahanan atau paling tidak bukan penahanan yang menurut hukum acara pidana.
Ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan surat perintah oleh penyidik dan penuntut umum dan dengan
penetapan oleh hakim.
2. Menurut hal-hal dan tata cara yang diatur dalam KUHAP
3. Tersangka/terdakwa ditempatkan disuatu tempat tertentu.
Penahanan sebagai suatu upaya paksa yang pelaksanaannya dengan
menggunakan kekerasan itu perlu dan diatur dalam undang-undang dan mengapa
seseorang ditahan sedang yang lain tidak? Pembicaraan mengenai hal ini berkaitan
dengan dasar pemikiran atau rasional dari tindakan penahanan.
Sebagaimana telah disinggung dalam bab terdahulu, banyak pemikiran atau
pandangan mengenai hal ini. Banyak alasan yang dikemukakan dan dirumuskan baik
oleh para ahli maupun oleh para pembuat undang-undang sebagai justifikasi atas
keberadaan lembaga penahanan ini, masing-masing bertolak dari asumsi ataupun
dasar filosofis yang dianut. Misalnya ada yang menyatakan asumsi dasar penahanan
adalah bahwa kebebasan seseorang itu tidak disukai.45
Selamanya penahanan itu atas inisiatif aparat penegak hukum, adakalanya
tersangka meminta sendiri untuk kepentingan keamanan diri pribadi. Tetapi apakah ia
ditahan atau sekedar diamankan tentu tergantung surat perintah yang dikeluarkan.
Permadi melakukan hal yang sama ketika menjadi tersangka dalam kasus penghinaan
agama beberapa waaktu yang lalu. Andi Hamzah mengemukakan bahwa dalam
beberapa kondisi dapat terjadi penahanan dengan alasan demi kepentingan tersangka
sendiri. Pasal 20 KUHAP dapat dilihat bahwa dasar pemikiran atau alasan perlunya
penahanan yaitu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana pada tingkat
penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan hakim di sidang pengadilan maupun
mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana sebagaimana dalam pasal 21 ayat 4
yaitu:
45
1. Tersangka atau terdakwa melarikan diri
2. Tersangka atau terdakwa merusak menghilangkan barang bukti atau
3. Tersangka atau terdakwa mengulangi melakukan tindakan pidana.
Bertolak dari rumusan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dasar
pemikiran perlunya keberadaan upaya paksa penahanan ini adalah untuk:
1. Kepentingan pemeriksaan peradilan pidana
2. Memelihara ketertiban umum, mencegah diulangnya tindak pidana atau oleh
tersangka atau terdakwa
Dalam visi siapa lebih luas bila dikaitkan dengan adanya perkembangan
pemikiran bahwa pengamanan masyarakat mulai dipandang tergantung dari
perbandingan narapidana secara dini dari pada, penggunaan kekerasan dan
peningkatan keamanan dalam lembaga secara maksimum, maka tidak terlebih bila
dikatakan bahwa asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban
membina, warganya untuk menjadi lebih baik tidak hanya sekedar untuk kepentingan
pemeriksaan perlindungan masyarakat secara represif.