• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakan Hak Asasi Manusia Di Rumah Tahanan Negara (Studi Di Rutan Klas I Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakan Hak Asasi Manusia Di Rumah Tahanan Negara (Studi Di Rutan Klas I Medan)"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I MEDAN)

TESIS

Oleh :

DAULAT JHON FERY PURBA 077005139

*

*

S

E K O L A H

FAKULTAS PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN

DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI

MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA

(Studi di RUTAN Klas I Medan)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DAULAT JHON FERY PURBA 077005139/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)

Nama Mahasiswa : Daulat Jhon Fery Purba Nomor Pokok : 077005139

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof. Chainur Arrasjid, SH)

A n g g o t a

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)

A n g g o t a

(Syafruddin S. Hasibuan, SH,MH,DFM)

Dekan

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Chainur Arrasjid, SH

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH,MH,DFM 3. Dr. Hamdan, SH, MH

(5)

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)

Daulat Jhon Fery Purba A B S T R A K

Penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (termasuk tahanan) juga disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan standart minimum rules yang kesemuanya tercermin dalam 10 prinsip pemasyarakatan. Arah pelayanan perawatan tahanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Tujuan umum adalah agar mereka dapat menjadi manusia Indonesia yang baik dan berguna seutuhnya dan ikut serta dalam pembangunan nasional. Bimbingan kegiatan hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela dan bersifat jangka pendek.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara; mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan dan untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan.

Ternyata keberadaan Rumah Tahanan negara (RUTAN) dalam peningkatan perlakuan yang lebih adil dan manusiawi dalam proses peradilan pidana bukanlah hal yang berlebihan. Pelaksanaan penahanan, responden yang seluruhnya merupakan aparat petugas RUTAN Klas I Medan berpendapat bahwa masalah HAM terlalu dibesar-besarkan dan dianggap bahwa penghormatan dan perlindungan HAM belum menjadi pertimbangan utama bagi aparat petugas dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sewaktu tahanan ada di dalam RUTAN. Perlindungan HAM yang terjadi di RUTAN klas I Medan masih belum seperti yang diharapkan. Dikarenakan banyaknya hal yang tidak mendukung sehingga perlindungan HAM terjadi.

(6)
(7)

ARREST AND IMPRISONMENT OF SERVICES IN CONJUNCTION WITH THE ENFORCEMENT OF HUMAN RIGHTS AT HOME STATE

PRISONERS

(Case in RUTAN Klas I Medan)

Daulat Jhon Fery Purba

ABSTRACT

Detention is a deprivation of liberty or deprivation of others are uncomfortable one (passion) and will bring legal consequences as well as a broad sociological good for the person detained or his family because of its excessive ie people who are not legally guilty, but society has deemed guilty . Guidance to prisoners (including prisoners) are also adjusted to the principles contained in Pancasila, the Constitution 45 and the minimum standard rules which all reflected in the 10 correctional principles.

Directions prisoner care services, coaching and guidance you need to do is to fix the officer's behavior for the purpose of fostering citizen auxiliaries can be achieved. The common goal is to enable them to become Indonesia's human good and useful, and participate fully in national development. Guidance activities can only be followed by inmates is voluntary and short-term nature. This study aims to determine the implementation of the detention and custody services in the criminal justice process for the accused were detained in house state inmates; know the protection of Human Rights in the implementation of detention in prisons Class one field and to identify obstacles and constraints faced by RUTAN Class one field in an effort to improve human rights protection, especially in the implementation of detention.

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan atas segala Kasih yang telah diberikanNya serta juga kesehatan

yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian

menyangkut tentang “PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN

TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I MEDAN)”. Tesis ini dibuat dan diselesaikan sebagai suatu syarat untuk mendapatkan gelar magister ilmu hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini

tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada

penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai

penyususan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc(CTM),Sp.A(K),

selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr.Suhaidi,SH,MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

(10)

4. Bapak Prof. Chainur Arrasjid, SH, selaku Pembimbing Utama serta Bapak Dr.

Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,

DFM selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mendorong penulis

dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

5. Bapak Dr. Hamdan, SH, MH dan Ibu Dr. Marlina, SH, MH selaku penguji, terima

kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini.

6. Bapak Kepala Rutan Klas I Medan Thurman S M Hutapea BcIP, SH, M Hum

yang telah memberikan penulis tempat penilitian.

7. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orangtua dan mertua yang telah

menanamkan nilai-nilai dasar keilmuan dan selalu mendoakan penulis. Salam bahagia

penulis haturkan kepada isteri tercinta dan anak-anak tersayang atas kerelaan waktu

yang tersita dan dorongan yang selalu mereka berikan agar penulis segera

menyelesaikan studi.

Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini,

teman-teman di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan banyak terima

kasih. Semoga Tuhan senantiasa menyertai kita dalam hidup damai dan tenteram.

Puji Tuhan

Hormat Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Daulat Jhon Fery Purba

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 06 Juli 1969

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar RK. St. Thomas 1, Lulus Tahun 1982

2. Sekolah Menengah Pertama RK St. Thomas 1, Lulus Tahun 1985

3. Sekolah Menengah Atas Kristen 2, Lulus Tahun 1988

4. Fakultas Hukum Universitas Katholik St. Thomas, Lulus Tahun 1996

5. Fakultas Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera

(12)

DAFTAR ISI

BAB II PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ... 24

A. Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana ... 24

1. Proses Penerimaan, Pendaftaran, dan Penempatan Tahanan di RUTAN ... 37

2. Orang-orang yang diterima di Rutan ... 44

(13)

BAB III PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI TAHANAN DAN

NARAPIDANA DI RUTAN KLAS I MEDAN ... 66

A. Konsep Hak Asasi Manusia ... 66

B. Perkembangan Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum ... 71

C. Manfaat RUTAN Dalam Peningkatan Pelrindungan HAM dalam Proses Peradilan Pidana ... 87

D. Perlindungan HAM bagi Tersangka dan/atau Terdakwa Selaku Warga Binaan di RUTAN Klas I Medan ... 97

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENINGKATAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA ... 103

A. Pelaksanaan Upaya Paksa Penahanan ... 103

B. Kendala Yang Dihadapi Oleh Petugas RUTAN ... 122

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 125

(14)

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN TAHANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

DI RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di RUTAN Klas I Medan)

Daulat Jhon Fery Purba A B S T R A K

Penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (termasuk tahanan) juga disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45 dan standart minimum rules yang kesemuanya tercermin dalam 10 prinsip pemasyarakatan. Arah pelayanan perawatan tahanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Tujuan umum adalah agar mereka dapat menjadi manusia Indonesia yang baik dan berguna seutuhnya dan ikut serta dalam pembangunan nasional. Bimbingan kegiatan hanya dapat diikuti oleh tahanan secara sukarela dan bersifat jangka pendek.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara; mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan dan untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan.

Ternyata keberadaan Rumah Tahanan negara (RUTAN) dalam peningkatan perlakuan yang lebih adil dan manusiawi dalam proses peradilan pidana bukanlah hal yang berlebihan. Pelaksanaan penahanan, responden yang seluruhnya merupakan aparat petugas RUTAN Klas I Medan berpendapat bahwa masalah HAM terlalu dibesar-besarkan dan dianggap bahwa penghormatan dan perlindungan HAM belum menjadi pertimbangan utama bagi aparat petugas dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sewaktu tahanan ada di dalam RUTAN. Perlindungan HAM yang terjadi di RUTAN klas I Medan masih belum seperti yang diharapkan. Dikarenakan banyaknya hal yang tidak mendukung sehingga perlindungan HAM terjadi.

(15)
(16)

ARREST AND IMPRISONMENT OF SERVICES IN CONJUNCTION WITH THE ENFORCEMENT OF HUMAN RIGHTS AT HOME STATE

PRISONERS

(Case in RUTAN Klas I Medan)

Daulat Jhon Fery Purba

ABSTRACT

Detention is a deprivation of liberty or deprivation of others are uncomfortable one (passion) and will bring legal consequences as well as a broad sociological good for the person detained or his family because of its excessive ie people who are not legally guilty, but society has deemed guilty . Guidance to prisoners (including prisoners) are also adjusted to the principles contained in Pancasila, the Constitution 45 and the minimum standard rules which all reflected in the 10 correctional principles.

Directions prisoner care services, coaching and guidance you need to do is to fix the officer's behavior for the purpose of fostering citizen auxiliaries can be achieved. The common goal is to enable them to become Indonesia's human good and useful, and participate fully in national development. Guidance activities can only be followed by inmates is voluntary and short-term nature. This study aims to determine the implementation of the detention and custody services in the criminal justice process for the accused were detained in house state inmates; know the protection of Human Rights in the implementation of detention in prisons Class one field and to identify obstacles and constraints faced by RUTAN Class one field in an effort to improve human rights protection, especially in the implementation of detention.

(17)
(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Pengganti HIR, perhatian

terhadap hak asasi manusia di Indonesia dijunjung tinggi, karena seseorang yang

dianggap telah melanggar hukum tidak lagi diperlakukan sebagai obyek semata

melainkan harkatnya sebagai manusia (subyek) sangat diperhatikan sehingga proses

beracara yang menangani pelanggar hukum dirasakan lebih manusiawi, sesuai dengan

asas didalam hukum semua manusia di mata hukum diperlakukan sama tanpa kecuali.

Rumusan KUHAP salah satu permasalahan mengenai penahanan tetap aktual dibicarakan, karena berhubungan erat dengan hak asasi manusia. Kitab Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mengandung tentang perlindungan hak asasi

tersangka/terdakwa dan hal ini merupakan batas-batas bagi aparat penegak hukum

dalam melaksanakan tugasnya. Sesuai dengan tujuan KUHAP yang lebih baik, yang

memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia dalam keseimbangannya

dengan kepentingan umum. Walaupun batas-batas wewenang telah digariskan

didalam KUHAP, namun penerapannya dalam praktek sering menyimpang, baik pada

tahap penyidikan hingga putusan pengadilan. Hal ini menimbulkan reaksi dan kritik

keras dari korban kejahatan maupun dari masyarakat terhadap prilaku negatif aparat

(19)

Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan

pencegahan kepada masyarakat dan pelaku sendiri untuk tidak berbuat kejahatan

kembali. Namun, tujuan ini terkadang mengalami kegagalan sehingga terkadang

pelaku justru menjadi residivis dan masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan

kejahatan. Hal ini juga karena penerapan sanksi pidana tidak melihat akar persoalan

kejahatan yang sebenarnya. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan sosial disamping

penerapan sanksi pidana.1

Dewasa ini perlakuan adil dan manusiawi di berbagai bidang kehidupan

khususnya dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu perhatian sekaligus

merupakan tuntutan dan dambaan masyarakat, maka segala daya dan upaya akan

dilakukan untuk mendapatkan keadilan adalah hal yang sangat hakiki.

Menurut negara hukum, keadilan itu dihadapkan dan diperoleh dari bentuk

penerapan hukum yang layak, oleh karena itu tidak mengherankan bila rakyat

Indonesia berpendapat bahwa tugas paling penting dan mendesak dilakukan

pemerintah dewasa ini adalah meningkatkan keadilan dalam masyarakat. Dengan

demikian membicarakan masalah prinsip proses hukum yang adil dalam proses

peradilan pidana menjadi salah satu topik yang sangat relevan saat ini.

Penekanan pada masalah penahanan, karena penahanan merupakan salah satu

upaya paksa yang dikenal dalam hukum cara pidana yang sangat erat bersinggungan

dengan masalah hak asasi manusia. Menurut Hulsman, penahanan itu merupakan

1

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy dalam Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal

Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008) Hlm. v

(20)

lembaga paling penting diantara beberapa lembaga penggunaan paksaan dalam

hukum acara pidana2. Dikatakan demikian karena setiap penahanan akan

mengakibatkan hilangnya kemerdekaan manusia dalam waktu yang cukup lama

sebelum ia dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum pasti dan tetap. Apalagi kebebasan itu dipandang merupakan salah

satu dari hak yang dipandang sangat asasi. Tanpa jaminan akan kemerdekaan

manusia tidak akan dapat mengembangan potensi dirinya secara wajar sebagai

manusia dalam kualitasnya yang utuh secara jasmani dan rohani, sebagai individu

maupun makhluk sosial.3

Yahya Harahap mengemukakan bahwa setiap yang namanya penahanan

berarti perampasan kemerdekaan dan kebebasan manusia, nilai-nilai kemanusiaan dan

harkat martabat kemanusiaan serta menyangkut nama baik dan pencemaran

kehormatan diri pribadi manusia.4

2

L. He. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Saduran oleh Soedjono D. (Jakarta : Rajawaqli, 1984) Hlm. 79

Di Indonesia UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Tahun 1981 No. 76

(selanjutnya disebut KUHAP) yang oleh bangsa Indonesia pada awalnya dianggap

sebagai karya agung. Banyak alasan yang dikemukakan oleh para ahli maupun

praktisi sebagai justifikasi keberadaan lembaga penahan ini , masing-masing bertolak

3

Sutandyo Wignyosoebroto, Hak-hak Manusia dan Konstituante, Artikel Kompas 19 Agustus 1996, hlm. 11. Menurut Agus Salim : Kebebasan itu berarti masing-masing dapat menurut kehendaknya dan menurut kehidupan tertentu yang dipilihnya dalam masyarakat. Bachtiar Agus Salim,

Hukum PIdana – Beberapa Catatan Penintetiaire Pecht di Negeri Belanda dan di Indonesia (Jakarta

Timur : Fakultas Hukum USU, 1976) Hlm. 51

4

(21)

dari asumsi ataupun dasar filosofis yang dianut. Ada yang menyatakan asumsi dasar

penahanan adalah bahwa kebebasan seseorang tidak disukai. Bangsa Indonesia

sebagaimana ditegaskan Mardjono Reksodiputro, apabila dilihat dari substansi

KUHAP dapat dikatakan merupakan pengakuan pembuat Undang-undang Indonesia

bahwa “due process of law” (proses hukum yang adil atau layak) merupakan sikap

batin dari KUHAP.5

Prinsip proses hukum yang adil yang mengejawantahkan dalam asas-asas

penegakan hukum di dalam KUHAP merupakan penjabaran dari asas pengayoman

dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan

Kehakiman, Lembaran Negara tahun 1970 No. 74. Hal itu berarti bahwa latar

belakang pentingnya penahanan sebagai salah satu upaya paksa yang penting dalam

proses peradilan pidana, adalah dalam konteks pengayoman bagi masyarakat umum

(publik), korban tindak pidana dan juga bagi tersangka/terdakwa itu sendiri.

Bertolak dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa salah

satu asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban membina warganya

termasuk mereka yang masuk ke dalam proses peradilan pidana.

6

Disamping penahanan sebenarnya dikenal suatu upaya paksa lainya yang juga

merupakan perampasan kemerdekaan manusia, yakni penangkapan. Walaupun tidak

mesti, tetapi pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan

pengangkapan, dan sebaliknya tindakan penangkapan selalu diikuti dengan

5

Mardjono Reksodiputro, Hukum Pidana dan Batas-batas Toleransi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesai. (Jakarta : 1994) Hlm. 15

6

(22)

penahanan. Pada dasarnya baik penangkapan atau penahanan sama-sama merupakan

perampasan hak asasi kebebasan seseorang untuk waktu tertentu.

Fokus perhatian pada penahanan dalam kaitannya dengan penerapan prinsip

proses hukum yang adil adalah disamping untuk pembatasan ruang lingkup

pembahasan juga karena mengingat walaupun penangkapan juga pengekangan

terhadap kebebasan manusia tetapi jangka waktunya maksimum hanya satu hari,

sedangkan penahanan dalam jangka waktu mencapai 400 hari bahkan dapat mencapai

700 hari dalam Pasal 29 KUHAP, sehingga dapat dipandang sebagai kewajiban

warga negara untuk membantu pengamanan dalam negeri.7

KUHAP No. 8 Tahun 1981 telah menentukan berbagai persyaratan

pelaksanaan penahanan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan

maupun kesalahan dalam melaksanakan penahanan, baik kesalahan dalam prosedur

terlebih-lebih kesalahan yang sifatnya “human error” yang akan menimbulkan

kerugian moril dan materil baik bagi diri pribadi maupun keluarga tersangka apalagi

bila akhirnya tidak terbukti bersalah atau kesalahannya tidak sepadan dengan

penderitaan yang telah dialaminya.

Setelah KUHAP berusia lebih dari dua dasawarsa, banyak hal telah terjadi, terutama yang berkenaan dengan tindakan penahanan yang tidak sesuai dengan

prinsip proses hukum yang adil yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia

yang dilakukan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan.

7

(23)

Beberapa kasus aktual yang menjadi pembicaraan masyarakat sebagaimana

diundangkan dalam berbagai media massa, antara lain penahanan anak usia 9 tahun

selama 52 hari dalam kasus pencurian burung senilai Rp. 10.000,- di Yogyakarta

(Kompas, 26 Juli 1995). Kelebihan masa penahanan Hia selama 81 hari di Jakarta

Timur (Kompas, 15 Juli 1995), Polisi mengembalikan tersangka sudah menjadi mayat

(Harian Waspada, Jakarta Timur, tgl. 15 Februari 1995). Beratnya menangguhkan

penahanan dalam kasus pencurian lima buah silet (Kompas, 01 Juli 1995), Dilepas

setelah disiksa hingga cacat (Fajar, 26 Maret 1996), Penganiayaan hingga luka berat

terhadap tersangka di Polsek Pondok Bambu Jakarta Timur (Media Indonesia, 14

Agustus 1989). Sedangkan kasus yang berkaitan dengan fungsi Rumah Tahanan

Negara (RUTAN), antara lain terlihat dalam gugatan praperadilan terhadap RUTAN

Klas IIA Jakarta Timur Tahun 1989 karena tidak dilepaskan demi hukum walaupun

masa penahanannya telah habis (Putusan PN Jakarta Timur No. 05/Pid.Pra/1991/ PN

JKT). Kasus Subekti Ismaun yang telah menyalahgunakan ijin berobat untuk pergi

bersantai ke daerah Puncak Bogor, dan lain sebagainya.

Berbagai kasus di atas menggambarkan kepada kita betapa perlunya upaya

untuk lebih meningkatkan pemahaman dan penerapan prinsip proses hukum yang adil

sehingga tidak akan menimbulkan jatuhnya korban-korban baru tidak saja sekedar

korban dari kejahatan tetapi juga korban peradilan. Sahetapy menulis bahwa korban

yang dewasa ini begitu hangat dikasak kusukkan secara terselubung adalah korban

peradilan, yang dimaksudkan peradilan di sini yaitu mulai dari proses pemeriksaan

(24)

Pemasyarakatan.8 Oleh karena itu tidak berlebihan bila Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) menaruh perhatian serius terhadap masalah penahanan ini khususnya

Prisoners under Arrest or A Waiting Trial atau tahanan yang sedang menunggu

pemeriksaan di depan pengadilan.9

Pelaksanaan penahanan ini terbuka kemungkinan yang lebih luas untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik karena kurangnya ketrampilan dan

pemahaman aparat maupun karena kelalaian. Disamping karena kurangnya

ketrampilan dan pemahaman akan hak asasi manusia sebagai inti dari prinsip proses

hukum yang adil, terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktek pelaksanaan

penahanan juga karena Undang-undang tidak tuntas mengaturnya sampai mendetail,

sehingga dalam banyak hal diserahkan kepada praktek dan kebiasaan. Yang

semestinya tidak boleh menyimpang dari rumusan Undang-undang dan prinsip

perlindungan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh KUHAP.10

Upaya jaksa sistem Hukum Pidana kerap diwujudkan dalam bentuk

pengekangan kemerdekaan/kebebasan atau penahanan. Penahanan adalah peristiwa

yang luar biasa, sebab tiap-tiap penangkapan dan atau penahanan harus tunduk

kepada perlindungan hak kemerdekaan individu. Prinsip keadilan dalam negara

hukum tidak boleh dipisahkan dari proses politik pemerintah yang berdasarkan

8

JE. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai .(Bandung : Alumni) Hlm. 24

9

“Standard Minimum for The Trearment of Prisoners and Prosedures for The Effective

Implementation of The Rules”. Disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada Tanggal 31 Juli

1957. (New York : Department of Public Information

10

Andi Hamzah, Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek Penahanan, Dakwaan –

(25)

kepada hak kemerdekaan individu, keadilan dan aturan perundang-undangan.11

Alasan tidak menghambat tugas penyidik dalam mengumpulkan

bukti-bukti yang akan digunakan untuk mendakwanya. Pada kondisi seperti ini, terdakwa

tidak mempunyai kemampuan untuk membela dirinya ketika polisi menyiksanya baik

secara fisik maupun mental. Pembicaraan mengenai masalah yang berkaitan dengan

fungsi dan peranan Rumah Tahanan Negara (RUTAN), yakni suatu lembaga baru

tempat pelaksanaan penelitian menurut hukum acara pidana Indonesia (KUHAP No.

8 Tahun 1991) yang baik dikenal dalam “HIR” Staatsblad Tahun 1941 No. 44.

Keberadaan RUTAN sebagai suatu subsistem peradilan pidana adalah hal yang

menggembirakan, karena menunjukkan adanya “political will” untuk memenuhi

tuntutan akan lebih terjaminnya penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi

manusia dalam proses peradilan pidana. Disamping itu dapat dikoordinasikan suatu

kegiatan yang diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pribadi tahanan itu sendiri.

Bagian kegiatan menurut Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-PK.04.10

Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan disebut sebagai pelayanan

tahanan sebagai bentuk pembinaan tahanan.

Polisi

sebagai bagian dari pemerintah/eksekutif berwenang untuk menangkap dan menahan

seorang tersangka.

Akhirnya permasalahan pelaksanaan penahanan dalam penelitian ini dititik

beratkan pada tahap pemeriksaan pendahuluan, mengingat walaupun tahap ini bukan

11

(26)

merupakan tahap yang dominan dalam sistem peradilan pidana,12 namun pelaksanaan

penahanan merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya mewujudkan tujuan

pemidanaan, bahkan polisi dan jaksa merupakan unsur yang kritis didalam

keadilan dan amat besar pengaruhnya terhadap siapa akan dilakukan penahanan dan

penuntutan.13 Berbuat salah dalam bertindak atau mereka malas dalam bertindak,

maka niscaya keadilan akan gagal ditegakkan.14 Dari uraian yang dikemukakan di

atas penulis tertarik mengambil judul : ”Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan

Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakkan Hak Asasi Manusia Di Rumah

Tahanan Negara (Studi Di Rutan Klas I Medan)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut diatas dengan ini penulis mengidentifikasi

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses

peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara?

2. Bagaimana Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan

penahanan di RUTAN Klas I Medan?

3. Bagaimana Hambatan yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya

meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan?

12

Menurut Reksodiputro, Sesuai dengan KUHAP tahap ajudikasi harus diberi peran dominan dalam seluruh proses peradilan pidana.

13

Loebby Logman, Pra-Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) Hlm. 91

14

(27)

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas pemahaman

tentang permasalahan yang telah ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan

dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah

tahanan negara

2. Untuk mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam

pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan

3. Untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN

Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM

khususnya dalam pelaksanaan penahanan

D. Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini dilaksanakan dan mendapat hasil maka penulis

mempunyai harapan akan dapat memberikan masukan terhadap dunia akademik

maupun dunia praktis sebagai berikut :

1. Secara Teoritis.

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka

penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional,

terutama hukum pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan penahanan dan

penegakan hak Asasi Manusia.

(28)

Memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan acuan untuk mahasiswa

dan praktisi serta instansi terkait yang diharapkan akan timbul rasa tanggung

jawab dan kehati-hatian dalam melakukan pelayanan terhadap tahanan

sehingga tidak sampai timbul pelanggaran Hak Asasi Manusia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada disekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara Khususnya Fakultas Hukum, ternyata belum ditemukan

judul mengenai Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya

Dengan Penegakan Hak Asasi Manusia Dirumah Tahanan Negara ( Studi di Rutan

Klas I Medan ). Dari beberapa judul tesis yang ada seperti “ Pelaksanaan

Perlindungan Hak-Hak Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan. Kemudian “

Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan

Terhadap Hak Asasi Tahanan dan Narapidana”. Penulis ketahui bahwa topik dan

permasalahannya sangat berbeda dengan judul tesis yang penulis angkat. Oleh karena

itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan

belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Pengertian yang sederhana penahanan merupakan tindakan

(29)

asasi manusia ; KUHAP merupakan undang-undang hukum acara pidana yang

sangat menjunjung tinggi martabat dan harkat manusia, karena itu KUHAP

memberikan pembatasan waktu lamanya penahanan dapat dilakukan, dan jika

batas waktu itu dilampaui maka pejabat yang melakukan penahanan harus sudah

mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari rumah tahanan negara demi hukum.15

Landasan penahanan meliputi dasar hukum, keadaan, serta

syarat-syarat yang memberi kemungkinan melakukan tindakan penahanan antara yang

satu dengan yang lain dari dasar tersebut, saling menopang kepada unsur yang

lain. Sehingga kalau salah satu unsur tidak ada, tindakan penahanan kurang

memenuhi asas legalitas meskipun tidak sampai di kualifikasi sebagai tindakan

yang tidak sah (Ilegal). Misalnya yang terpenuhi hanya unsur landasan hukum

atau yang sering juga dinamakan landasan unsur objektif, tetapi tidak didukung

unsur keperluan atau yang disebut unsur subjektif, serta tidak dikuatkan unsur

syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, penahanan yang seperti itu lebih

bernuansa “ Kejaliman “ dan kurang berdimensi relevansi dan urgensi.16

Perintah penahanan terhadap tersangka/terdakwa yang diduga keras

melakukan tindak pidana, selain didasarkan pada bukti (alat bukti yang sah) yang

15

Martiman Prodjohamidjojo, SH , Penangkapan dan Penahanan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984) hal. 18

16

(30)

cukup, harus didasarkan pula pada persyaratan lain sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam KUHAP, yaitu :17

− Dasar Hukum / Dasar Objektif

Tindakan penahanan yang dapat dikenakan terhadap tersangka /

terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun

pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana

penjara 5 tahun atau lebih, atau tindak pidana sebagaimana dimaksudkan

dalam pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut

maka tidak setiap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang

dilakukan tersebut diluar ketentuan pasal 21 ayat (4) KUHAP.

− Dasar Kepentingan / Dasar Subjektif

Berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sebagai dasar

objektif, maka tindakan penahanan terhadap tersangka/terdakwa juga

didasarkan pada kepentingan (keperluan) yaitu untuk kepentingan

penyidikan, untuk kepentingan penuntutan dan untuk kepentingan

pemeriksaan disidang pengadilan (pasal 20 KUHP), serta didasarkan pula

pada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa

akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau

mengulangi tindak pidana (pasal 21 ayat 1 KUHAP).

17

(31)

Penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan

suatu perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang.

Setiap penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang

secara tegas dinyatakan dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/cabang

Rutan atau Lapas/cabang lapas ditempat tertentu merupakan rangkaian proses

pemidanaan yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan

dengan proses penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang pengadilan serta

pelaksanaan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan. Proses pemidanaan

tersebut dilaksanakan secara terpadu dalam Integrated Criminal Justice System.

Perawatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas atau ditempat

tertentu bertujuan antara lain untuk :18

1. Memperlancar proses pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun

pada tahap peruntutan dan pemeriksaan dimuka pengadilan.

2. Melindungi kepentingan masyarakat dari pengulangan tindak kejahatan

yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan, atau

3. Melindungi si pelaku tindak pidana dari ancaman yang mungkin akan

dilakukan oleh keluarga korban atau kelompok tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan.

Hak tahanan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini ditekankan

pada hak kodrati yang dimiliki oleh setiap orang dan pelaksanaannya dilakukan

dengan memperhatikan statusnya sebagai tahanan dan satu-satu hak yang hilang

adalah hak untuk hidup bebas. Oleh karena itu perawatan tahanan harus

18

Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999, Tentang Syarat-syarat dan Tata Cara

(32)

dilakukan sesuai dengan program perawatan tahanan dengan memperhatikan

tingkat proses pemeriksaan perkara. Kewajiban tahanan untuk secara tertib

mengikuti program-program perawatan adalah bersifat fakultatif yang tidak

bersifat memaksa. Kewajiban tersebut semata-mata untuk memberikan manfaat

yang menguntungkan bagi dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan sehingga

perasaan stres, bosan dan putus asa dapat dilalui secara baik.

Darwan Prinst19

Berkenaan dengan hak asasi manusia, praduga tak bersalah

diprioritaskan sebagai langkah awal bagi semua standar dibidang penahanan

praajudikasi. Orang-orang yang belum dihukum atas kejahatan yang

dituduhkan dijamin hak nya atas perlakuan yang berbeda sesuai dengan status

mereka sebagai orang-orang yang belum dihukum oleh pasal 10 (2) (a) , mengemukakan hak-hak tersangka/terdakwa yang

diatur dalam KUHAP, sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia,

akan tetapi oleh karena perumusannya lemah seringkali hal ini menjadi nihil.

Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa KUHP harus direvisi untuk tidak

memberi peluang atas pelanggaran hak-hak tersangka/ terdakwa. Namun

demikian sebagaimana bagusnya suatu undang-undang pelaksanaanya tetap

ditentukan oleh kualitas, moral dan etika para pelaksananya. Sebagaimana

diungkapkan adanya peraturan yang baik dengan pelaksanaan yang tidak baik

maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal.

19

(33)

Kovenan tentang hak-hak sipil dan politik. Interprestasi komite hak asasi

manusia berkomentar bahwa berdasarkan praduga tak bersalah beban

pembuktian mengenai tuduhan ada pada penuntut umum dan tertuduh harus

diragukan kesalahannya, sampai dengan dapat dibuktikan tuduhan tanpa

keraguan yang mendasar. Salah satu artikel dari Suterland “Detention Before

Trial” tentang alternatif institusi penahanan masa kini ada menyebutkan

bahwa 20

“Persons a waiting from should be separated from convicted criminals, ordinanly authorities believe that this could be best accomplished by maintaining/convicted prisoners in one institution and detained person in another”.

“Bahwa orang-orang yang menunggu proses pemeriksaan pengadilan seharusnya ditempatkan terpisah dari pelaku kriminal yang sudah dihukum. Bahwa tiap pemerintah harusnya mempercayai hal ini dilakukan sebaik mungkin untuk menempatkan para napi dalam satu institusi dan orang tahanan pada institusi yang lain”.

Orang-orang terpenjara adalah sekalian orang-orang yang dimasukkan

dalam penjara atas dasar suatu surat perintah yang sah dari yang berwajib

(polisi, jaksa, hakim) dan untuk golongan ini sering disebut sebagai

“Penghuni” , sedangkan orang-orang tahanan adalah mereka yang ditahan

oleh karena tuduhan/disangka melanggar hukum dan ditempatkan dalam

“Penjara” sambil menunggu proses persidangan. Pembahasan teori labeling

menekankan pada dua hal yaitu :

20

(34)

1. Menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan pengaruh serta efek dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya.

2. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dengan adanya label

akan menimbulkan perhatian masyarakat disekitarnya memperhatikannya secara terus menerus yang akhirnya orang yang terlabel tersebut akan menjalani stigma pemberian masyarakat.

Citra punitif atau gambaran suatu penderitaan orang terpenjara ini

diuraikan oleh Gresham M. Sykes dalam artikelnya sebagai berikut : 21

1. Loss of Liberty (hilang kemerdekaan bergerak), kesakitan ini dirasakan sebagai tutupnya kemungkinan yang tidak hanya untuk bebas karena dikurung dalam penjara, akan tetapi secara moril dan spiritual juga tidak bebas.

2. Loss of Autonomi, kesakitan yang dirasakan sebagai kehilangan hak untuk mengatur diri sendiri, karena harus tunduk pada peraturan-peraturan yang berlaku. Akibatnya adalah orang akan menjadi kehilangan kepribadian.

3. Loss of Goods and Services, yaitu hilangnya hak untuk memiliki barang-barang pribadi dan kebiasaan untuk dilayani. 4. Loss of Heteroseksual, adalah kehilangan hubungan dengan

lawan jenis, karena tidak memungkinkan untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Sebagai akibat dari itu sering timbul perbuatan homo seksual atau lesbian.

5. Loss of Security, dimaksudkan sebagai hilangnya rasa aman.

Kesakitan ini dirasakan sebagai kekhawatiran dan kecemasan terhadap

sesama orang tahanan, karena keterasingan rasa curiga dengan orang yang

baru dikenal. Irwin dan Cressey mengemukakan adanya “Subcultures” yang

21

(35)

berbeda dalam kehidupan di balik tembok penjara, yang pertama, disebut

sebagai “Convict Subcultures”22

Asas equality before the law yang mengandung pengertian bahwa

setiap orang sama dan sejajar di mata hukum tanpa memperdulikan status

sosial, profesi atau segala hal lain yang melekat dalam diri orang ketika

orang itu melakukan suatu kejahatan pada praktik penegakan hukumnya

sungguh sulit diwujudkan. Asas equal treatment yakni perlakuan ketentuan

hukum yang sama terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan dan

tidak memberikan peluang kemudahan terhadap orang yang lain dengan

alasan-alasan yang tidak patut dan tidak logis, juga pada praktiknya tidak

semudah kita mengucapkan. Dan asas presumtion of innocent yang menjadi

prinsipnya dalam penegakan hukum acara pidana yang pada prinsipnya

adalah penghormatan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa/terpidana tanpa

mengenyampingkan proses penegakan hukum semestinya dan berbagai

aspek konsekuensi logisnya, pada praktiknya menjadi alat pertahanan buat

pejabat pelaku kejahatan untuk menghindari proses tindakan-tindakan

hukum seperti penahanan yang sah di mata hukum dan tindakan defensif

ketika rakyat menggugat posisi status sosialnya.

Kondisi dimana ketika penegakan hukum pidana berjalan terhadap

suatu kejahatan namun tidak menghasilkan efektivikasi hukum pidana atau

tidak menghadirkan efek keadilan didalam masyarakat maka hukum dan

22

(36)

penegakannya yang setengah hati itu justru merupakan pintu masuk (entry

point) bagi lahirnya delegitimasi negara. Pada akhirnya kita akan melihat

hancurnya kekuasaan negara atau kekuasaan yang memerintah berlangsung

akibat tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) yang tanpa sadar

diciptakan negara itu sendiri. Pada titik ini bukan saja pantas masyarakat

pada umumnya dan individu pada khususnya kembali menggunakan

cara-cara hukum rimba untuk menyelesaikan persoalan kejahatan

disekelilingnya. Bila ini meluas maka praktik seperti penyerangan suatu

kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya, aksi

premanisme oleh sekelompok orang, pola kriminalitas sadis dikota-kota

besar, konflik dan curiga yang berkepanjangan dibeberapa daerah sampai

aksi pemboman dilokasi tertentu adalah benih fasisme yang sadar tidak

sadar telah disemai oleh negara.

Banyak orang menggugat nilai keadilan yang dihasilkan dari

penegakan hukum dan penjatuhan sanksi secara individual yang kadang

melebihi suatu ukuran nilai kemanusiaan yang beradap karena hanya

bersandar pada prinsip pembalasan. Orang juga mempertanyakan nilai

keadilan yang diciptakan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya

yang bukan saja gagal memenuhi prinsip pembalasan yang mengandung

sifat nestapa terhadap pelaku kejahatan tapi juga gagal mencapai prinsip

prevensi umum yakni menakut-nakuti orang untuk tidak berbuat jahat dan

(37)

Keadilan sebagai orientasi substansial dari hukum pada akhirnya

berubah menjadi ketidakadilan justru oleh hukum itu sendiri ketika hukum

masuk pada bagian yang sifatnya prosedural. Bagian dimana hukum

diasumsikan suka hati bukan lagi dalam konteks diskresi yang bersifat

kepatutan oleh masing-masing penegak hukumnya.

2. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional adalah kumpulan dari berbagai teori yang dihubungan

satu sama lain untuk dapat memberikan suatu gambaran atas suatu fenomena.23

a. Pelayanan adalah suatu bentuk perbuatan yang membuat seseorang

merasa aman dan terlindungi dari segala pengaruh dari luar yang membuatnya tidak aman.

Kerangka konsep sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

b. Penegakan adalah membuat segala sesuatu menjadi adil

c. RUTAN adalah Rumah Tahanan Negara dimana ini merupakan

tempat warga binaan yang harus mendapatkan binaan atau dengan kata lain hukuman dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya.

G. Metode Penelitian

Permasalahan yang timbul dari latar belakang permasalahan, maka penentuan

metode penelitian sangatlah penting untuk menjawab permasalahan tersebut.

Pentingnya metode penelitian tidak hanya diperlukan disaat pemulaan penelitian

23

(38)

tetapi juga dipergunakan diakhir penelitian.24

1. Pendekatan Masalah

Oleh karena itu metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Metode penelitian yang penulis pergunakan melalui pendekatan Yuridis

Normatif, dimaksudkan untuk mengkaji, menguji dan menelaah masalah

penahanan dan pelayanan penahanan sebagai bentuk pembinaan tahanan dalam

peraturan perundang-undangan. Dengan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk

melihat bagaimana penerapan upaya paksa penahanan dan pembinaan tahanan

tersebut dalam proses peradilan pidana sehari-hari sebagai upaya perlindungan

hak asasi manusia.

2. Sumber Data

Data Yuridis Normatif bersumber dari data sekunder yang meliputi :

a) Bahan Hukum Primer yaitu peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan sistem pemasyarakatan dan peraturan pelaksanaan

tugas pemasyarakatan yang meliputi, Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, kitab

undang-undang hukum pidana, undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang pemasyarakatan, peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 1999

tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas dan

tanggung jawab perawatan tahanan, keputusan menteri kehakiman

24

(39)

Nomor : M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Cara-cara penempatan

perawatan tahanan dan tata tertib Rumah Tahanan Negara.

b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti buku yang berkaitan dengan

penahanan, jurnal, majalah, kertas kerja, dan makalah, berbagai arsip,

dokumen dan hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini serta

pendapat para ahli yang dilengkapi dengan data primer berupa hasil

wawancara dengan instansi terkait dan laporan berkala dari berbagai

instansi penegak hukum.

c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum penunjang yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer

dan data sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah,

jurnal ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan

dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam

penelitian ini.25 Data Yuridis Empiris bersumber dari data primer yang

diperoleh melalui studi lapangan.

25

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998) hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu

(40)

3. Pengumpulan Data

Data sekunder sebagai sumber data yuridis normatif dikumpulkan melalui

studi pustaka (library research) yaitu untuk memperoleh bahan data primer dan

data sekunder sehubungan dengan penahanan.

Data primer sebagai sumber data yuridis empiris dikumpulkan melalui studi

lapangan (field research) dengan cara wawancara mendalam (dept interview)

kepada informan :

a) Petugas RUTAN Klas I Medan sesuai dengan jabatan yang ada

dirumah tahanan tersebut yaitu Kepala Rutan, Kepala Seksi, Petugas

registrasi dan kepala blok. Dengan harapan akan dapat mencakup

permasalahan yang ada di Rutan.

b) Tahanan di rutan yang perkaranya belum diajukan ke pengadilan

negeri.

4. Analisa Data

Keseluruhan data dalam penelitian ini baik data primer atau data sekunder

dianalisa secara kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data

yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian

lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan

teori-teori, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi

(41)

BAB II

PELAKSANAAN PENAHANAN DAN PELAYANAN PERAWATAN TAHANAN

A. Pelaksanaan Penahanan dalam Proses Peradilan Pidana

Istilah penahanan, asosiasi orang pemikiran biasanya tertuju pada tindakan

aparat penegak hukum dalam mencabut kemerdekaan orang lain yang disangka /

dituduh melakukan suatu tindakan pidana. Walaupun dalam arti luas istilah

penahanan sebenarnya tidak hanya dikenal dalam hukum acara pidana tetapi

dipergunakan juga diluar konteks hukum acara pidana. Dalam dinas militer misalnya

dikenal “penahanan dalam dinas keprajuritan” (PDK) yang merupakan istilah resmi

dari “perpanjangan dari masa dinas aktif” bagi para prajurit ABRI pangkat kolonel ke

atas yang telah mencapai usia maksimum dinas ABRI, tetapi masih dibutuhkan dalam

tugas-tugas keprajuritan.26

Hukum acara pidana (KUHAP) penahanan merupakan salah satu upaya paksa

di antara lima upaya paksa, yakni penangkapan, penahanan, penyitaan,

penggeledahan, dan pemeriksaan surat. Dikatakan sebagai upaya paksa karena

biasanya dilaksanakan dengan cara menggunakan kekerasan atau kekuasaan paksa.

Cara-cara menggunakan paksaan dan atau kekerasan dalam proses pidana dapat

dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) memasuki ruang; (2) langkah-langkah yang

26

(42)

dapat diterapkan pada benda; (3) langkah-langkah yang dapat diterapkan pada

manusia, dalam bentuk pembatasan kemerdekaan, yaitu penangkapan dan

penahanan.27

Disamping sebagai salah satu instrument penegak hukum pidana, perlu diingat

bahwa pada hakekatnya penahanan adalah perampasan atau pencabutan kemerdekaan

orang lain yang menimbulkan perasaan tidak enak (sengsara) dan akan membawa

konsekuensi hukum maupun sosiologi yang luas baik bagi orang yang ditahan

maupun keluarganya karena sifatnya yang eksesif yakni orang yang belum bersalah

secara hukum, tapi dalam masyarakat sudah dianggap bersalah.28

Kitab undang-undang hukum pidana suatu tindakan penahanan dapat pula

menjadi suatu tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana maksimum

delapan tahun penjara sebagaimana diancam dalam beberapa pasal KUHP yang

mengancam pidana bagi tindakan penahanan orang secara tidak sah atau bertentangan

dengan ketentuan undang-undang. Oleh karena itu dengan keluarnya KUHAP No. 8

Tahun 1981 aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana harus lebih

berhati-hati dan selektif dalam melaksanakan penahanan. Berbagai persyaratan

maupun prosedur yang telah ditentukan secara normative harus dipenuhi dan

dipatuhi. KUHAP adalah untuk mengatur perilaku dan tindakan para penegak

hukum. Ibarat suatu permainan, KUHAP diciptakan agar para penegak hukum yang

27

L. Hc. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Perbandingan Hukum, op.cit., hlm. 56

28

(43)

bermain itu tidak bermain kayu yang mengakibatkan timbulnya pelanggaran hak asasi

manusia.29

Pelaksanaan penahanan ini, KUHAP benar-benar diuji apakah bisa membina

sikap aparat penegak hukum sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing

kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat martabat manusia.30

Perlu pula dikemukakan, bahwa membicarakan penahanan erat kaitannya

dengan penangkapan, sebab pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih

dahulu dilakukan penangkapan dan sebaliknya tindakan penahanan selalu diikuti

dengan penahanan. Dalam kehidupan sehari-hari orang (awam) sering menganggap

bahwa penahanan sama dengan penangkapan karena pada dasarnya penangkapan dan

penahanan merupakan perampasan hak asasi seseorang untuk waktu tertentu. Pada

masa berlakunya HIR dikenal istilah penangkapan sementara yang jangka waktunya Dikatakan demikian karena dalam pelaksanaan penahanan terbuka kemungkinan

yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang karena tersangka ditempatkan

dibawah kekuasaan aparat yang melakukan penahanan terisolir dari masyarakat

umum. Tidak saja hak asasi kemerdekaan manusia yang dapat dilanggar tetapi

mungkin pula terjadinya peenyiksaan fisik, pemerasan ekonomi, teror mental, bahkan

kematian tersangka, dimana hal itu tidak terjadi bila tersangka tidak dikenakan

penahanan.

29

J. E. Sahetapy, Quovadis Hukum Pidana? Artikel, Media Indonesia, Jakarta: 12 Agustus 1995, hlm.3.

30

(44)

20 hari (Pasal 27 HIR). Bagi polisi penangkapan dan penahanan adalah bagian dari

wewenang yang sangat penting , sebagaiman ditulis A.C. Germann et al., “Both

arrest and detention can certainly form a necessary and proper of police

operations”.31

Pandangan yang mempersamakan penangkapan dan penahanan sebenarnya

kurang tepat, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan pengertian maupun

konsekuensi yang diakibatkannya,32

Selanjutnya dalam memahami konsep penahanan dalam peradilan pidana

perlu dipahami beberapa model yang bekerja dalam proses peradilan pidana. Menurut

L. Packer bekerjanya proses peradilan pidana dapat dijelaskan melalui dua buah

model, yaitu “crime control model” dan “due process model”.

walaupun sebenarnya pemahaman demikian

sebenarnya bukan tanpa dasar. Keduanya merupakan pranata hukum yang berbeda

baik dalam teknis pelaksanaan serta syarat-syaratnya maupun konsekuensi

hukumnya.

33

Sistem yang bekerja pada”crime control model” didasarkan pada prinsip

bahwa penekanan jumlah kejahatan merupakan fungsi utama peradilan pidana.

Kegagalan fungsi ini merupakan gangguan terhadap ketertiban umum dan kebebasan. Tetapi kedua model

itu hanyalah sekedar “normative models” yang membantu kita dalam menganalisis

bekerjanya proses peradilan pidana sehari-hari.

31

A. C. Germann, et al, “Introduction To Law Enforcement And Criminal Justice”, (Springfield-Illionis USA: Charles C. Thomas Publisher).

32

Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang Ada dalam KUHAP, (Bandung : Alumni, 1982), hlm.26.

33

(45)

Untuk mencapai tujuan demikian ini, proses criminal harus dilakukan secara efisien,

segala rintangan prosedur yang dapat menjadi hambatan bagi pelaksanaan proses

criminal harus disingkirkan. Proses peradilan pidana diibaratkan seperti ban berjalan,

dimana masing-masing petugas penegak hukum berdiri pada posisinya sendiri. Dalam

hal ini proses peradilan pidana merupakan suatu proses penyaringan dan dalam

tiap-tiap tahap dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat rutinitas. Keberhasilan

pertama-tama diukur sesuai dengan tindakan keberhasilan penyeleasaian kasus demi kasus

untuk mencapai tujuan yaitu mengurangi atau menanggulangi kejahatan.

Demikian “crime control model” didasarkan pada doktrin “Presumption of

guilt” dimana dengan doktrin tersebut diyakini bahwa sejumlah besar perkara pidana

dapat ditangani secara efisien. Penyidik telah berkeyakinan akan kesalahan

seseorang, maka tahap-tahap proses berikutnya harus dianggap sebagai formalitas

belaka. Hasil-hasil penyidikan telah dianggap cukup mengumpulkan semua fakta dan

bukti dan proses di muka persidsangan dianggap tidak mungkin memunculkan fakta

dan bukti-bukti yang baru yang penting. Packer menegaskan bahwa “preumption of

innocence”. Kedua konsep tersebut memang berbeda, tetapi tidak berlawanan.34

Perbedaan tersebut menurut penjelasan Reksodiputro dapat dicontohkan

dengan perbedaan antara atas dengan kiri dimana atas dan kiri adalah dua konsep

yang berbeda, tetapi bukan merupakan dua konsep yang berlawanan.35

34

Ibid, hlm.161.

Untuk

memahami perbedaan kedua konsep tersebut, orang harus dapat membedakan antara

35

(46)

dua macam kesalahan-kesalahan nyata (factual guilt) dan kesalahan menurut hukum

(legal guilt). Dengan suatu contoh Packer memberikan ilustrasi: seseorang dengan

sebuah senjata dengan disajikan banyak orang telah melakukan pembunuhan. Ketika

polisi datang ia langsung menyerahkan diri. Orang tersebut mengaku menembak

korban dengan disajikan oleh saksi-saksi, apakah terhadap orang terseebut masih

berlaku prinsip “presumption of innocence? Bukan begitu maksudnya, kata Packer,

itu bukan merupakan kesalahannya melakukan pembunuhan (legal guilt), ia harus

diperlakukan seolah-olah tidak bersalah.36

Prinsip “presumption of innocence” merupakan intruksi kepada aparat

penegak hukum untuk tidak menghiraukan prinsip “presumption of guilt” terhadap

tersangka. Artinya terlepas dari kesalahan-kesalahan nyata (factual guilt), maka

terhadapnya harus tetap diberlakukan seolah-olah tidak bersalah sampai pengadilan

menyatakan kesalahannya menurut hukum (legal guilt).

Berbeda dengan “crime control model” yang menekankan pada efisiensi dan

penghindaran terhadap segala prosedur yang dapat menghambat proses kriminal,

maka “due process model” lebih menekankan pada jaminan terhadap perlindungan

hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kewenangan penguasa. Kekuasaan

menurut “due process model” selalu dapat disalahgunakan untuk menindas seorang

individu maka kekuasaan ituharus dikontrol dan diawasi. Efisiensi maksimal berarti

36

(47)

tirani maksimal. Dalam rangka membatasi tindakan sewenang-wenang dari aparat,

maka “due process model” sangat menekankan asas “preumption of innocence”.37

Crime control model peradilan pidana bekerja seperti ban berjalan, maka pada

“due process model” proses peradilan pidana bekerja seperti melewati batas-batas

pada lari gawang. Masing-masing gawang dirancang untuk mengarahkan tersangka

pada proses lebih lanjut. Untuk memenuhi prosedur yang ditentukan sesuai dengan

undang-undang merupakan hal yang sangat penting. Kesalahan dalam prosedur

penangkapan atau penahan misalnya akan berakibat pada keabsahan proses

pemeriksaan.

Due process model proses kriminalitas kelihatan berjalan agak lamban,

walaupun demikian diharapkan dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang oleh

aparat negara terhadap tersangka, sehingga setiap tindakan penguasa itu harus dapat

dikontrol dan diawasi. Untuk itu sebagaimana dianut oleh “due process model”

dianjurkan adanya konsep “presumption of innocence”. Apapun juga kompetensi

untuk menetapkan adanya suatu fakta tentang suatu kesalahan, maka kesalahan

berdasarkan hukum (legal guilt) lewat suatu peradilan tetap merupakan bukti

terakhir.38

Perkembangannya sistem peradilan pidana yang mendasarkan pada

“adversary sistem” baik yang bercorak ”crime control model” maupun “due process

model” mendapatkan kritik. Salah seorang yang mengkritik dan mengajukan

37

Ibid., hlm. 166.

38

(48)

alternative adalah Jhon Griffithst.39

Adversary model proses criminal bekerja atas dasar anggapan bahwa pelaku

tindak pidana adalah musuh masyarakat dan dengan demikian ia harus disingkirkan,

maka menurut “family model” pelaku tindak pidana adalah bagian dari suatu

keluarga, jika ia melakukan kesalahan harus diingatkan terlebih dahulu. Tindakan

terhadap pelaku tindak pidana bukan berupa pengasingan dari pergaulan masyarakat

tetapi mengingatkan atas dasar cinta kasih sesama hidup atas dasar Saling

menguntungkan.

Menurutnya apapun bentuk dari ”adversary

model”, tetap merupakan sistem pertempuran antara dua kepentingan yang

berlawanan. Oleh karena itu Griffithst mengajukan model ketiga yang disebutnya

“family model” (model kekeluargaan). Menurut Griffithst, dalam suatu keluarga

mungkin terjadi seorang anggota keluarga melakukan kesalahan dimana terhadap

anggota keluarga yang bersangkutan tetap diberi sangsi tersebut tidak boleh

menjadikan ia sebagai orang jahat, melainkan agar anggota keluarga tersebut mampu

mengendalikan dirinya dan setelah diberi sangsi anggota keluarga yang melakukan

kesalahan tetap berada dalam lingkupan kasih saying keluarga.

40

Menurut “crime control model”, (penangkapan) dan penahanan

serta pembinaan harus dilakukan sebisa mungkin atau sebanyak mungkin. Packer

menulis bahwa “the model, in order to operate succesfull, must produce a high rate

of apprehension and conviction”41

39

Jhon Griffithst, Ideologi in Criminal Procedural or A Third Model of The Criminal

Processil, The Yale Law Journal, (Volume 79, Number 3, January 1970) hlm.367-368.

. Dengan demikian salah satu indikasi

40

Ibid, hlm. 171-172.

41

(49)

keberhasilan sistem peradilan pidana menurut ideology “crime control model” adalah

banyaknya jumlah penahanan yang dilakukan oleh aparat berwenang.

Penahanan harus dilakukan segera setelah penangkapan, tanpa harus

membuang-buang waktu dan biasanya penahanan itu dilakukan oleh polisi. Menurut

“crime control model” penahanan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk

mencegah tersangka mempunyai kesempatan membuat cerita yang tidak benar dan

untuk mencegah campur tangan orang lain yang dapat mempengaruhi kerja sama

tersangka dengan polisi.42

Sistem nilai yang membuat pra anggapan tersangka atau terdakwa dianggap

penjahat dan penahanan perlu segera dilakukan sesudah penangkapan yang sah dalam

“crime control model” adalah untuk keperluan praktis agar peradilan pidana sebagai

suatu ban berjalan itu dapat bergerak maju dengan cepat. Bila diberi kebebasan

terdapat resiko terssangka/terdakwa tidak muncul di pengadilan tepat pada waktunya.

Bahkan untuk para pelanggar hukum, pemula dan orang yang kelihatannya tidak

mungkin mengulangi tindak pidana, menurut “crime control model” masih ada

alasan yang baik agar penahanan tetap dilakukan dalam arti tidak diberikan “pretrial

liberty”.

Selanjutnya nilai-nilai yang bekerja dalam “due process model” dalam hal

penahanan pertama-tama harus lebih dahulu ada “probable cause” (bukti-bukti yang

kuat) sebelum dilakukan tindakan penahanan. Tersangka dibawa ke pengadilan

sesegera mungkin tanpa melakukan penundaan yang tidak penting untuk segera

42

(50)

disidangkan oleh hakim. Tersangka berhak menguji keabsahan penangkapan dan

penahanannya termasuk ada tidaknya “probable cause”.

Menurut pandangan “due process mode” dikemukakan bahwa “it is never

proper for the police to hold a suspect for the purpose of integration or

investigation”. Oleh karena itu terhadap tersangka harus diberikan kesempatan untuk

mendapatkan kebebasan misalnya dengan penagguhan penahanan (bail).43

Pandangan Sahetapy KUHAP mendapat ide dan mengemban amanat dari

undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan Kehakiman agar

proses peradilan pidana dilaksanakan dengan landasan penganyoman. Sahetapy

mengemukakan lebih tepat untuk mempergunakan apa yang disebutnya dengan

“model penganyoman”.

Selanjutnya walaupun telah ada suatu “probable cause” penahanan ini harus dibatasi

sedapat mungkin. Dalam kasus Miranda V. Arizona, hakim berpendapat bahwa polisi

tidak boleh melakukan interogasi terhadap seseorang dalam tahanan sampai ia

diberitahu tentang hanknya untuk diam dan ia berkonsultasi dengan penasehat

hukumnya. Apabila dikaitkan dengan due model dalam proses peradilan pidana yang

dikemukakan Packer, maupun model kekeluargaan yang diajukan Griffithst, maka

proses peradilan pidana menurut KUHAP tidak dapat digolongkan dalam “crime

control model”, “due process model” ataupun “family model”.

44

43

Ibid, hlm 190-191

Dengan demikian dalam proses peradilan pidana

44

Model Penganyoman sebagai model yang dianut KUHAP dikemukakan oleh Sahetapy dalam beberapa tulisan antara lain ”Pendayagunaan Sistem Kamtibmas dalam Tertib Hukum dan Tertib

(51)

penganyoman diberikan baik terhadap masyarakat (public), korban tindak pidana

maupun terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Penulis setuju atas pendapat

tersebut sebab dengan adanya menghayati dan menempatkan diri sebagai penganyom

masyarakat, maka aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan tidak akan

keluar dari kerangka proses hukum yang adil.

Adapun pengertian penahanan itu sendiri pertama-tama dapat dilihat dalam

pasal 1 butir 21 KUHAP sebagai berikut :`

Pasal 1 butir 21:

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Substansi ketentuan pasal 1 butir 21 KUHAP dapat dilihat bahwa pelaksanaan

harus memenuhi tiga unsur elemen, bila tidak dipenuhi maka suatu tindakan bukan

penahanan atau paling tidak bukan penahanan yang menurut hukum acara pidana.

Ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan surat perintah oleh penyidik dan penuntut umum dan dengan

penetapan oleh hakim.

2. Menurut hal-hal dan tata cara yang diatur dalam KUHAP

3. Tersangka/terdakwa ditempatkan disuatu tempat tertentu.

Penahanan sebagai suatu upaya paksa yang pelaksanaannya dengan

menggunakan kekerasan itu perlu dan diatur dalam undang-undang dan mengapa

(52)

seseorang ditahan sedang yang lain tidak? Pembicaraan mengenai hal ini berkaitan

dengan dasar pemikiran atau rasional dari tindakan penahanan.

Sebagaimana telah disinggung dalam bab terdahulu, banyak pemikiran atau

pandangan mengenai hal ini. Banyak alasan yang dikemukakan dan dirumuskan baik

oleh para ahli maupun oleh para pembuat undang-undang sebagai justifikasi atas

keberadaan lembaga penahanan ini, masing-masing bertolak dari asumsi ataupun

dasar filosofis yang dianut. Misalnya ada yang menyatakan asumsi dasar penahanan

adalah bahwa kebebasan seseorang itu tidak disukai.45

Selamanya penahanan itu atas inisiatif aparat penegak hukum, adakalanya

tersangka meminta sendiri untuk kepentingan keamanan diri pribadi. Tetapi apakah ia

ditahan atau sekedar diamankan tentu tergantung surat perintah yang dikeluarkan.

Permadi melakukan hal yang sama ketika menjadi tersangka dalam kasus penghinaan

agama beberapa waaktu yang lalu. Andi Hamzah mengemukakan bahwa dalam

beberapa kondisi dapat terjadi penahanan dengan alasan demi kepentingan tersangka

sendiri. Pasal 20 KUHAP dapat dilihat bahwa dasar pemikiran atau alasan perlunya

penahanan yaitu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana pada tingkat

penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan hakim di sidang pengadilan maupun

mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana sebagaimana dalam pasal 21 ayat 4

yaitu:

45

(53)

1. Tersangka atau terdakwa melarikan diri

2. Tersangka atau terdakwa merusak menghilangkan barang bukti atau

3. Tersangka atau terdakwa mengulangi melakukan tindakan pidana.

Bertolak dari rumusan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dasar

pemikiran perlunya keberadaan upaya paksa penahanan ini adalah untuk:

1. Kepentingan pemeriksaan peradilan pidana

2. Memelihara ketertiban umum, mencegah diulangnya tindak pidana atau oleh

tersangka atau terdakwa

Dalam visi siapa lebih luas bila dikaitkan dengan adanya perkembangan

pemikiran bahwa pengamanan masyarakat mulai dipandang tergantung dari

perbandingan narapidana secara dini dari pada, penggunaan kekerasan dan

peningkatan keamanan dalam lembaga secara maksimum, maka tidak terlebih bila

dikatakan bahwa asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban

membina, warganya untuk menjadi lebih baik tidak hanya sekedar untuk kepentingan

pemeriksaan perlindungan masyarakat secara represif.

Gambar

Tabel 1 Rekapitulasi Narapidana Di Indonesia Menurut Lamanya Pidana Penjara
Tabel 2 Kegiatan Rutin Tahanan Berdasarkan Jenis Dan Frekuensi
Tabel 3  Tabel Tahanan Tentang
Tabel 4 Pendapat Petugas Rutan Klas I Medan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan santoquin dan vitamin E dalam pakan tidak nyata (P > 0,05) berpengaruh terhadap konsumsi pakan, bobot hidup, pertambahan

Sistem komunikasi serat optik mengalami perkembangan yang sangat pesat begitu juga dengan sistem komunikasi nirkabel, perpaduan antara Radio over Fiber (RoF) dan Ortogonal

memenuhi kebutuhan. a) Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan. b) Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik

Hasil penilaian dari pengembangan modul pembelajaran tematik bahasa Indonesia berbasis PAKEM pada materi peristiwa untuk meningkatkan kompetensi berbahasa siswa kelas 5 MI

Surat Keterangan Masih Kuliah / Model C adalah Surat yang menerangkan bahwa mahasiswa tersebut benar-benar mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Univesitas Brawijaya.. Mahasiswa

“Kami adalah satu-satunya Toko Online yang memberikan garansi uang kembali 100% , jika barang tidak sampai ke tangan anda. Kami akan memastikan paket sampai ketangan

Semen Tonasa saat ini telah menggunakan batubara mutu tinggi dan campuran batubara mutu tinggi dan rendah, namun karena cadangan batu bara kualitas tinggi semakin berkurang maka

Penelitian kualitatif ini dimaksudkan agar dapat mendiskripsikan hal-hal yang terjadi dilapangan dengan jelas serta terperinci sehingga dapat di kumpulkan sebanyak