• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 : MENGENAL MANDAILING DAN ANGKOLA

A. Tapanuli Selatan Dalam Konteks Fisik, Sosial,

3. Pelapisan Sosial

Pelapisan sosial dalam masyarakat Tapanuli Selatan diawali dari proses pembentukan suatu huta. Sebuah huta dipimpin oleh Raja Pamusuk, dan federasi beberapa huta dipimpin oleh seorang Raja Panusunan yang di pilih dari kalangan Raja Pamusuk dalam wilayah teritorialnya. Berdirinya suatu huta dapat melalui dua jalur, yakni: (1) atas inisiatif raja, atau (2) muncul dari kerabat Raja Pamusuk atau dari kelompok masyarakat. Pendirian huta atas inisiatif raja dimaksudkan untuk memperluas dan mengembangkan huta asal. Dalam pembentukannya dimulai dengan musyawarah bersama unsur-unsur Dalihan Na Tolu.

Huta yang baru seperti ini di pimpin oleh anak raja dan bersifat otonomi

sejajar dengan huta asal. Sementara melalui jalan kedua, diawali dengan musyawarah masyarakat untuk membuka huta yang baru. Setelah ada kesepakatan ditentukan wilayah baru yang akan dibuka sebagai huta baru. Dalam praktiknya jika pembukaan huta baru tersebut atas inisiatif

atas inisiatif kelompok masyarakat seringkali tidak berjalan dengan mulus dan malah memunculkan konflik yang berkepanjangan karena menyangkut hak-hak dan kewajiban tentang kepeminpinan serta kewilayahan.

Setiap huta yang baru harus di resmikan dengan upacara adat. Upacara ini dimulai dengan menanam berbagai tumbuhan sebagai berikut: 1. Suhut sebagai calon raja huta menanam pohon bambu duri, istrinya

menanam pandan. Orang yang menanam bambu disebut pendiri huta (sisuan bulu). Marga pendiri huta inilah yang secara turun-temurun memerintah dan menganyomi penduduk huta.

2. Anak boru menanam jagung berbanjar-banjar, sebagai simbol bahwa anak

boru sebagai orang kaya akan mengawasi dan mengatur ketertiban huta.

3. Mora menanam padi, sebagai lambang pemberi nasehat kepada Raja

huta agar semua urusan berjalan baik. Julukan mora adalah matahari

yang tidak mungkin di tentang (mata ni ari sogakgakon).

Setelah selesai upacara di atas, didahulukan sidang adat di rumah calon raja. Pada acara ini juga diberikan/dinobatkan kepadanya gelar raja yang baru, dengan sebutan mangaraja, dan pada acara ini juga ditetapkan siapa-siapa yang menjadi unsur Dalihan Na Tolu. Setelah selesai penobatan raja huta, selanjutnya adalah peresmian nama huta. Pemerintahan tradisional di Tapanuli Selatan berbentuk kerajaan bersifat Oligarkhi. Raja sebagai pemimpin eksekutif dibantu oleh anak

boru dan didampingi oleh mora sebagai penasehat. Dalihan Na Tolu

sebagai badan legislatif terdiri dari kahanggi, anak boru dan mora bersama dengan hatobangon,yaitu para sesepuh dan cerdik cendikia yang arif dan bijaksana. Mereka ini terdiri dari wakil marga-marga yang berdiam di huta yang bersangkutan disebut juga dengan pimpinan ripe-ripe. Selain mewakili ripe para pemuka agama (Islam) tergolong dalam hatobangon. Pada abad yang lalu, masyarakat bona bulu pernah dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu: golongan bangsawan yang disebut na

mora-mora, golongan kebanyakan disebut halak na jaji, dan golongan budak

disebut hatoban. Pada tahun 1876 pemerintahan kolonial Belanda secara

resmi menghapuskan perbudakan di daerah ini.10

10 Sesuai dengan Undang-undang Emansipasi 1876. Lihat Pemda Tingkat I Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Medan: Pemda, 1995), hal. 145.

Ketika Belanda memasuki kawasan Tapanuli Selatan, di dalam masyarakat masih terdapat pelapisan sosial. Raja sebagai pemimpin lokal dibantu oleh beberapa orang penasehat. Dalam struktur kekerabatan,

mora, dan hatobangon menduduki posisi di struktur adat ini. Tetapi dalam

kehidupan bermasyarakat terdapat komposisi yang berasal dari anggota keluarga raja dan masyarakat yang secara fungsional mempunyai anggota dalam lingkup kerabat sebelum mengambil keputusan. Raja sebagai pimpinan eksekutif selalu meminta pertimbangan pada lembaga adat yang terdiri dari kepala-kepala kampung wilayahnya. Menurut sistem pemerintahan adat, seorang raja merupakan pilihan dari lembaga adat.

Menurut Willer (1846) yang di sadur oleh Basyral Hamidy Harahap,11

lapisan sosial pada masyarakat Tapanuli Selatan dapat digambarkan berdasar komposisi masyarakat sebagai berikut: bahwa Huta dipimpin oleh seorang raja, yaitu pendiri kampung di sebut raja pamusuk.

Adapun komposisi masyarakat secara keseluruhan terdiri dari : a. Raja pamusuk atau Sipungka huta adalah orang pertama mendirikan

kampung

b. Namora-mora dan anggi ni raja sebagai kelompok bangsawan. c. Halak na jaji atau disebut juga situan na torop ialah orang kebanyakan

dan posisi mereka digolongkan dalam kelas menengah.

d. Ampong dalam/Ompu dalam ialah golongan budak yang sudah merdeka dan mereka ini termasuk kelompok kepercayaan raja.

e. Pangkundangi ialah golongan sahaya/pelayan, posisi mereka berada di bawah ampong dalam.

f. Hatoban ialah budak yang berasal dari tawanan perang atau yang dibeli, mereka ini tinggal bersama tuannya.

g. Parsingiran/Halak namarutang ialah orang yang tetap mengabdikan dirinya karena tidak dapat melunasi hutang. Jika mereka mampu melunasi hutangnya akan menjadi merdeka.

Dalam musyawarah adat, kelompok a, b dan c mempunyai perwakilan. Sementara tiga golongan lainnya tidak mempunyai wakil musyawarah

11 T. J Willer, 1846, Verzameling der Battalische wetten en instellingen intensitas Mandailing

en portibie gevolgd van een overzigt van land en volk intensitas die straken, Batavia.dalam

adat. Pada tahun 1876, secara resmi pemerintah kolonial Belanda meng-hapuskan perbudakan dengan undang-undang emansipasi.

Stratifikasi masyarakat yang terkecil adalah ripe yang terdiri dari kelompok masyarakat yang terikat dalam hubungan kekerabatan. Pada setiap huta terdapat beberapa ripe yang dipimpin oleh seorang yang dituakan dan bijaksana. Ripe-ripe tersebut adalah: Ripe anggi ni raja, ripe

suhu-suhu, ripe bayo-bayo dan ripe ampong dalam. Kepala tiap ripe disebut raja sioban ripe. Menurut istilah Willer, gemeente dalam gemeente. Jabatan

kepala ripe disebut Jaiutan. Jika kepala ripe memimpin masyarakat yang jumlahnya besar, maka jabatan kepalanya disebut Jaiutan na Godang. Di bawah huta masih terdapat pemukiman masyarakat yang disebut

pagaran yaitu daerah jajahan. Status Pagaran bisa meningkat menjadi huta

apabila persyaratan untuk menjadi huta telah terpenuhi. Huta yang demikian tetap menjadi bagian dari pengaruh kekuasaan huta induk. Sampai sekarang nama-nama kampung/desa di Tapanuli Selatan masih banyak memakai

huta dan pagaran di depan nama kampung yang bersangkutan seperti: Huta Godang, Huta Namale, Pagaran Batu, Pagaran Tonga dan lain-lainnya.

Setelah agama Islam berkembang dan menjadi agama resmi masyarakat, secara pelan-pelan komposisi dan pelapisan sosial masyarakat mengalami perubahan. Ajaran Islam yang di kembangkan para ulama menentang keras sistem pelapisan sosial yang berlaku, karena lapisan demikian tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dengan konsep kemerdekaan,

ketaqwaan dan ukhwah Islamiyah Para ulama (pemuka agama) yang

lahir dari masyarakat kebanyakan dan ajaran-ajaran Islam membela kepentingan masyarakat. Karena itu, posisi ulama semakin penting dan kuat dalam masyarakat. Ulama dijadikan sebagai anutan dalam kehidupan sehari-hari, terutama kaitannya dengan upacara siriaon dan siluluton. Para ulama memberikan pendidikan dan ajaran secara langsung pada masyarakat, baik lewat pendidikan formal, maupun pengajian-pengajian. Hal ini memberikan pengaruh yang cukup besar kepada masyarakat dalam mensikapi kepemimpinan dan pelapisan sosial. Munculnya kepemimpinan sosial melalui jalur bawah ini akhirnya lahir dua kepemimpinan, yakni; (1) pemimpin adat untuk masalah-masalah yang terkait dengan adat-istiadat, dan (2) pemimpin keagamaan, ulama (pemuka agama) dalam kaitannya dengan keagamaan. Akhirnya, di daerah Mandailing posisi ulama atau pemuka agama lebih dominan daripada posisi pemuka adat, sebaliknya di daerah Angkola, posisi pemuka adat lebih dominan.