• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 : INTERAKSI ADAT DAN ISLAM PADA DALIHAN

B. Siriaon Pada Upacara Kelahiran Anak

1. Upacara Kelahiran Anak

Jika ada kelahiran dalam satu keluarga, kerabat yang bersangkutan segera memberitahukan kepada anggota keluarga yang lain. Pemberitahuan ini penting agar seluruh kerabat mengetahui bertambahnya anggota kerabat mereka. Kerabat Dalihan Na Tolu datang menjenguk bayi yang baru lahir untuk menyatakan rasa kegembiraan dan bersyukur atas kelahiran bayi

tersebut.15 Dengan kunjungan kerabat, banyak kata-kata yang disampaikan

pada bayi dan kedua orangtuanya, seperti kalimat yang menyenangkan, harapan-harapan, dan do’a keselamatan. Inti dari kata-kata yang diberikan menyangkut hubungan kekerabatan dan keagamaan. Kedatangan unsur

anak boru dan mora merupakan peristiwa adat, karena mereka membawa

makanan dan kain selendang yang diberikan kepada orangtua dan bayi yang lahir tersebut.

Rombongan dari pihak mora biasanya terdiri dari nenek dan kakek (ompung halaklahi dan dadaboru) bayi garis ibunya, disertai kerabat, antara lain, tulang dan nantulang bayi. Mereka membawa indahan na ditungkus lengkap dengan tiga butir telur ayam yang sudah direbus dan terkupas, disertai sedikit garam. Telur ayam berfungsi sebagai pangupa bayi dan orangtuanya, yang dilakukan secara adat. Sebelum upacara adat dilakukan, lebih dulu pihak mora menyuguhkan burangir (daun sirih) kepada ibu bayi, kemudian kepada ayah bayi serta kerabat keluarga. Setelah burangir disuguhkan, dilanjutkan dengan pemberian sambutan menyatakan kegembiraan dan kebahagiaan, selanjutnya mencicipkan telur dan garam ke bibir bayi tersebut, dan dilanjutkan dengan makan bersama.

Dalam acara mengunjungi anak yang baru lahir ini, bisa juga dilakukan

mora sekaligus memberikan parompa sadun yaitu panjangking na togu.

15 Pada masa dahulu, melahirkan bayi dilakukan di rumah, bukan di rumah sakit, dengan bimbingan seorang dukun beranak dan oleh ibu-ibu dari kerabat dan tetangga dekat. Sekarang telah beralih ke bidan atau rumah sakit/ klinik bersalin.

Apabila upacara adat disertai pangkupangi daging kambing, maka pihak

suhut harus memberitahukannya kepada kaum kerabat Dalihan Na Tolu

mereka. Dengan demikian, pihak mora tidak datang begitu saja membawa

parompa sadun dan makanan daging kambing sebagai landasan pemberian parompa, tetapi pihak mora harus terlebih dahulu memberitahukannya

kepada pihak kerabat Dalihan Na Tolu yang ikut serta dalam upacara pemberian parompa sadun tersebut. Dengan demikian, upacara adat

mangaligi na baru sorang dengan sekaligus pemberian panjangking na togu menjadi sempurna dan lengkap sebagai upacara adat.

Setelah upacara pemberian parompa dan pasu-pasu selesai, yaitu

parompa sadun diuloskan kepada bayi, mereka selanjutnya makan bersama.

Upacara ini disebut mangan sitaranang-anang, minum sitarining-ining,

dijama tot nijama ulu, pirandoma butuha, artinya mereka semua yang

hadir makan dengan sekenyang-kenyangnya.

Pelaksanaan pemberkatan (pasu-pasu) terhadap anak yang baru lahir berupa pesta yang melibatkan anggota kerabat sudah jarang dilaksanakan, terutama bagi masyarakat kebanyakan, sebab memerlukan biaya besar. Sementara bagi kalangan yang mempunyai ekonomi lebih baik, acara tersebut diganti dengan penyembelihan hewan kambing sebagai aqikah. Pelaksanaan aqikah tersebut sekaligus penabalan atau pemberian nama pada anak. Namun demikian aqikah terhadap anak lebih banyak dilakukan setelah dewasa, yaitu pada waktu seseorang melangsungkan pernikahan. Terkait dengan tertundanya acara aqikah anak yang merupakan syari‘at Islam dan status hukumnya adalah sunat dan bukan merupakan kewajiban, nampaknya bukan karena ketidaktaatan terhadap ajaran agama, tetapi karena faktor pembiayaan yang terlalu mahal.

Adapun jumlah keluarga yang melaksanakan aqikah anak bisa dilihat pada tabel berikut :

Tabel 23

Pelaksanaan Akikah Anak Pada Masyarakat Tapanuli Selatan

Sumber: Diolah dari wawancara tertulis kepada informan yang terdiri dari kelompok adat dan kelompok agama di wilayah Mandailing dan Angkola.

Kelahiran anak dalam keluarga mempunyai makna penting dalam kehidupan orang Tapanuli Selatan. Makna yang paling menonjol adalah tentang status. Dengan kelahiran anak, si suami menjadi ayah si Anu dan isteri menjadi ibu si Anu. Dengan kelahiran anak, status kedua orangtua menjadi lebih terhormat satu tingkat di dalam kehidupan masyarakat, dan kehadirannya sebagai anggota masyarakat adat lebih sempurna. Nama pribadi mereka dapat digantikan dengan panggilan seharian: inanguda

na di halak si Anu-an, uda na di halak di Anu-an dan seterusnya. Panggilan

seperti ini enak didengar telinga, sebab dengan tidak langsung menyebut nama aslinya dirasa mempunyai makna sastra. Terkait dengan hal tersebut, menurut adat, bahwa menyebut nama orang yang usianya lebih tua daripada kita adalah dilarang (dipantangi), terutama menyebut nama orangtua sendiri. Hal ini berbeda sekali dengan etnis lain; dimana kalangan anak-anak sudah terbiasa menyebut nama orang yang lebih tua, termasuk

orangtuanya sendiri.16

Kelahiran pada masyarakat Tapanuli Selatan adalah peristiwa kegembiraan.

Daerah Penelitian Pelaksanaan Aqikah Pada Anak

Mandailing Angkola Total N = 450 Frekuensi

N = 225

Frekuensi

N = 225 F %

Dilakukan pada usia bayi/ anak 59 31 89 19,75

Dilakukan setelah dewasa/ perkawinan 120 122 242 53,75

Belum ada yang dilakukan 21 18 39 8,75

Tidak dilakukan karena hukumnya sunat 26 54 80 17,75

16 Bagi orang Tapanuli Selatan dan orang Batak pada umumnya, nama orangtua tidak lazim dicantumkan di belakang nama seseorang. Yang dicantumkan adalah marga yang bersangkutan. Namun demikian, Islam menawarkan agar nama orangtua sebaiknya disebutkan pada setiap nama anak, dan pencantuman nama orang tua ini banyak ditemukan pada nama-nama ulama. Pencantuman nama-nama orang tua ini mungkin juga karena pengaruh etnis lain yang mengembangkan Islam di daerah ini. Adapun bagi pendatang akan mendapat marga setelah menetap di suatu kampung.

Melakukan acara kelahiran anak adalah tradisi sosial yang bersumber dari adat dan ajaran Islam. Adapun tahapan-tahapan upacara kelahiran dimulai sejak anak lahir sampai menjelang aqil-baligh, adalah sebagai berikut: a. Melahirkan; ucapan selamat atas kelahiran anak dari kerabat dan masyarakat, mengazdankan/iqomat pada telinga bayi, menggosok tenggorokan bayi, dan mencukur rambut.

b. Memberikan nama; nama yang baik dan tidak baik, dan nama anak sebaiknya disandarkan kepada nama ayahnya.

c. Melaksanakan aqikah; makna aqikah, dasar-dasar hukumnya, waktu pelaksanaan aqikah, dan tatacara pelaksanaan aqikah.

d. Mengkhitankan; makna khitan, khitan anak laki-laki dan perempuan, waktu khitan, dan beberapa hikmah dari khitanan.

Kelahiran dan pengasuhan anak banyak terkait dan terjadi interaksi antara aturan adat dengan ajaran Islam, yang direalisasikan dalam upacara yang melibatkan anggota kerabat. Menurut ajaran Islam, anak yang lahir merupakan amanah dari Allah SWT. Orangtua mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk menjaga dan mengasuh supaya menjadi anak yang shaleh dan beriman kepada Allah SWT, kewajiban mengasuh secara sosial bertujuan agar menjadi anak yang berguna bagi masyarakat, terutama bagi lingkup kerabatnya, sebagaimana terungkap pada setiap acara adat. Pada masyarakat Tapanuli Selatan, setiap anak yang lahir harus diberitahukan kepada anggota kerabat Dalihan Na Tolu.

Tradisi upacara kelahiran anak yang telah diwarnai oleh ajaran Islam meliputi enam hal, yaitu: (1) memberikan ucapan selamat, (2) memper-dengarkan azan dan iqamat, (3) mencukur rambut, (4) memberi nama, (5) melaksanakan akidah, dan (6) melaksanakan khitan. Masing-masing diuraikan berikut:

1). Memberikan ucapan selamat dan rasa ikut gembira.

Islam menganjurkan agar setiap umat Islam memberikan ucapan kegembiraan bagi keluarga yang baru melahirkan anaknya dengan berdo’a agar mendapat keselamatan dan menjadikannya sebagai kurnia dan pemberian nikmat dari Allah SWT. Selain itu, melakukan kunjungan kepada keluarga tersebut adalah menunjukkan adanya ikatan silaturrahmi dan persaudaraan. diisyaratkan pemberian kegembiraan atas kelahiran anak bagi Nabi Ibrahim a.s dan kepada Nabi Zakaria a.s, juga pada waktu

kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan memberikan berita gembira kepada neneknya (kakeknya) Abdul Muthalib dan paman beliau Abu Lahab,

meskipun kemudian menjadi penentang keras bagi perjuangan Rasulullah.17

Jika dianalisis tatacara yang dilakukan masyarakat Tapanuli Selatan terhadap peristiwa kelahiran seperti diuraikan di atas, ternyata sejalan dengan tradisi keislaman, dimana inti dari upacara adat adalah bermuatan syukuran dan menunjukkan ikatan kekeluargaan yang mendalam. Anak yang baru lahir menurut konsep Islam digambarkan sebagai harta yang suci bersih belum dinodai oleh sesuatu. Untuk itu diberikan berbagai nasehat dari pihak kerabat dekat. Nasehat-nasehat tersebut pada intinya adalah bersifat religius dan hidup bermasyarakat, serta menatap hari depan yang lebih baik dan optimis. Keberadaaan ibu bayi setelah melahirkan berarti telah terhindar dari perjalanan hidup yang mengancam jiwanya, meskipun pada saat lepas melahirkan ibu sedang dalam keadaan sakit (sementara). Dalam kondisi seperti ini ibu menjadi perhatian anggota kerabatnya, yakni dengan memberikan pertolongan atau bantuan, seperti memberikan makanan melalui upacara adat.

2). Memperdengarkan adzan dan iqomat pada telinga anak.

Syari‘at Islam menganjurkan menyuarakan adzan (kalimat tauhid) di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri anak/bayi yang baru lahir. Dasar dari syari‘at ini adalah hadis dan tindakan Nabi Muhammad pada waktu kelahiran Hasan bin Ali (cucu Nabi):

ﲔﺴﺤﻟا

ﻦﺑ

ﻲﻠﻋ

ﻦﻣ

ﺪﻟو

ﻪﻟ

دﻮﻟﻮﻣ

نذﺄﻓ

ﻪﻧذأ

ﲎﻤﻴﻟا

مﺎﻗأو

ﻪﻧذأ ﰲ

ﻢﻟ ىﺮﺴ ﻟا

نﺎﻴ ﺼﻟا مأ هﺮﻀﺗ

18

.

ﻦﻋ

ﻢﺻﺎﻋ

ﻦﺑ

ﺪﻴ ﻋ

ﻦﻋ

ﷲا ﺪﺒﻋ

ﻦﺑ

ﰊأ

ﰱوأ

ﻦﻋ

ﻪﻴﺑأ

لﺎﻗ

ﺖﻳأر

ﱯ ﻟا

ﻪﻴﻠﻋ ﷲا

ﻢﻠﺳو

نذا

نذا

ﻦﺴﺤﻟا

ﲔﺣ

ﻪﺗﺪﻟو

ﻪﻣأ

ﺔﻤﻃﺎﻓ

ةﻼﺼﻟﺎﺑ

ﺎﻣو

ﺪﻨﺳأ

ﻊﻓار ﰊأ ﻦﻋ

ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر

. 17 Al-Qur’ân S.11 : 69-71, QS. 3 : 39, dan QS. 19 : 7,

18 “Orang yang mendapatkan kelahiran bayi, lalu ia mengazankan ditelinga kanan dan iqamah ditelinga kiri, tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan”

Makna dari diperdengarkannya adzan dan iqomat pada telinga bayi ketika lahir ada tiga, yaitu: (1) kalimat pertama yang didengar bayi/anak adalah kalimat kebesaran Allah, (2) kesaksian (syahadatain) pada waktu mulai memasuki dunia, dan (3) juga kalimat ini diulangi lagi ketika seseorang akan meninggalkan hidup di dunia. Dengan kalimat-kalimat

adzan itu makhluk jin dan syetan tidak dapat memperdayakan anak untuk

melakukan hal-hal yang tidak baik atau sebagai tangkal dari gangguan. Makna lain adalah seruan yang pertama diberikan pada anak adalah tentang tauhid dan agama Islam.

Dalam upacara adat, tindakan seperti ini tidak dijumpai, dan tindakan ini murni berasal dari ajaran Islam. Namun demikian, belum tentu seluruh keluarga Muslim melakukan adzan dan iqomat pada waktu kelahiran anak, karena pada waktu kelahiran tidak ada orang yang melakukannya, atau sosialisasi dari ajaran Islam tidak melibatkan semua lapisan sosial, hanya terbatas pada pemuka agama saja. Biasanya, orang yang mengurusi kelahiran anak lebih banyak pihak perempuan, termasuk dukun bukan pihak laki-laki.

3). Mencukur rambut anak

Dalam ajaran Islam mencukur rambut kepala anak lebih menekankan

kepada kesehatan dan sosial.19 Oleh karena itu tradisi ini diupacarakan

dalam kegiatan sosial religius, yaitu menyatukannya dengan pemberian nama pada anak dan sekaligus melakukan aqikah dan mengayun anak.

4). Memberi nama

Anak yang baru lahir sampai pada usia satu tahun (mulai bisa bicara) belum dibutuhkan nama anak. Biasanya sampai batas tersebut anak dipanggil dengan sebutan ucok atau lian untuk laki-laki dan sebutan butet atau taing untuk perempuan. Setelah anak mulai mengerti pembicaraan orang lain, kepada anak perlu diberikan nama agar kelak terbiasa dipanggil teman-temannya atau menjadi identitas bagi anak diantara saudara atau

19 Dengan mencukur rambut akan memperkuat fisik anak, membuka selaput kulit kepala, dan mempertajam indera penglihatan, penciuman, dan pendengaran. Demikian juga yang bernilai religi; dimana menurut ajaran Islam, berat rambut yang dicukur akan memberikan sedekah perak kepada orang lain. Namun acara ini banyak dilakukan dalam bentuk makanan atau dilakukan dengan bentuk acara aqikah.

anggota kerabat lainnya. Pemberian nama anak dilakukan dengan upacara yang melibatkan anggota kerabat. Bersamaan dengan itu penabalan nama anak biasanya dilakukan seorang ulama atau pemuka agama setempat. Nama yang diberikan kepada anak biasanya berasal dari orang tuanya. Namun jika nama yang dibuatkan dianggap kurang baik, maka keputusan terakhir berada pada ulama/pemuka agama.

Islam memberikan beberapa petunjuk tentang nama seseorang, nama diberikan kepada anak sewaktu usia bayi, yaitu pada waktu mengadakan upacara Aqikah. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi:

“Dari Samurah bin Jundub Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama pada hari itu juga” [HR. Abu Daud, An-Nasa’I, Ibn Majah,Ahmad)

Dari hadis ini terlihat, bahwa pemberian nama dilakukan pada hari ketujuh dari kelahirannya, bersamaan dengan pelaksanaan aqikah. Nama yang baik menurut hadis Nabi tersebut adalah nama nabi-nabi dan nama yang disandarkan pada asmaul husna, seperti Abdullah, Abdurrahman, Abdurrahim dan seterusnya, atau nama yang mempunyai arti baik. Jika terdapat nama seorang yang mempunyai arti tidak baik, sebaiknya diganti dengan nama lain. Dianjurkan nama seseorang menyandarkannya kepada ayahnya, yaitu menyebutkan nama ayah di belakang namanya.

Pada masyarakat Tapanuli Selatan terdapat nama-nama yang diambil dari nama-nama keturunan. Nama yang dianggap baik adalah nama yang bersumber dari bahasa Arab atau bahasa daerah. Ada tiga tahapan pemberian nama, yaitu (1) nama kecil, biasanya diberikan ketika anak masih anak-anak, (2) nama gelar yang diberikan pada waktu seseorang melangsungkan perkawinan, dan (3) laqap haji bagi yang melaksanakan haji. Laqap haji diberikan biasanya jika nama sebelumnya dianggap kurang baik. Nama-nama orang Tapanuli Selatan yang paling banyak adalah yang bersumber dari bahasa Arab. Adapun nama gelar harus diambil dari nama kakek atau anggota keluarga dekat. Sebutan nama ayah di belakang nama seseorang jarang dipergunakan karena menyebutkan nama orangtua termasuk larangan (pantang). Orang Tapanuli Selatan lebih senang memakai marga di belakang nama.

ةﺮﻤﺳ

ﻦﺑ

بﺪﻨﺟ

ﻞﮐ

مﻼﻏ

ﲔﻫر

ﻪﺘﻘﻴﻘﻌﺑ

ﺢﺑﺬﻳ

ﻪﻨﻋ

مﻮﻳ

ﻪﻌﺑﲝﺳ

ﻖﻠﺤﻳو

ﻪﺳأر

ﺴﻳو

.

Yang paling berperan menetapkan nama anak bagi masyarakat Tapanuli Selatan adalah pihak orangtua, terutama ayah dan kesepakatan kerabat dekat. Tentang siapa yang paling dominan menetapkan nama anak dari 400 informan terlihat pada tabel berikut:

Tabel 24

Kerabat Paling Berperan Menetapkan Nama Anak Dalam Anggota Kebarat Dalihan Na Tolu

Sumber: Diolah dari wawancara tertulis kepada 450 informan, masing-masing etnis 225 informan di Mandailing dan Angkola.

Jika dilihat tabel di atas bahwa pihak yang berperan menetapkan nama anak dalam kerabat Dalihan Natolu adalah unsur kahanggi, yaitu pihak suami dan nenek, sebanyak 47,50 %, sementara melalui musyawarah di antara kerabat menempati urutan kedua (35,25%). Namun demikian proses penetapan nama bisa melalui konsultasi dengan pihak pemuka

agama lebih dahulu20 Pemuka agama lebih menekankan penggunan nama

yang diajukan orangtua, jika nama yang diajukan sudah dianggap baik. Dengan demikian pemuka agama tidak melakukan perubahan. Pemberian nama anak dilakukan ketika anak kecil dengan acara kenduri. Kenduri merupakan acara keagamaan dimana peranan para ulama atau pemuka

Kerabat Yang Paling Berperan Memberikan Nama Anak

Etnis

Mandailing Angkola Etnis Total N = 450

F F F %

Isteri/ibu anak 10 13 23 5,25

Suami/ayah anak 70 69 139 30,75

Nenek dari anak 13 63 76 16,75

Melalui kesepakatan bersama 97 61 158 35,25

Ulama/Pemuka Agama 35 19 54 12,00

20 Dari kelompok adat atau keturunan raja-raja banyak mengambil nama anak dari nama keturunannya. Sementara kelompok agama dan kebanyakan masyarakat mengambil nama anak dari bahasa Arab. Sebagian lain dari bahasa daerah. Pemberian nama dari bahasa daerah bertujuan sebagai do’a agar anak tersebut memberikan sesuatu yang berguna bagi keluarga, seperti sangkot artinya terhenti. Maksudnya jika terjadi kematian anak bagi keluarga secara berturut-turut, diharapkan agar anak yang baru lahir tidak lagi wafat. Pemberian nama seperti ini biasanya atas nasehat orang-orang tua dan bayo datu.

agama lebih banyak. Kenduri biasanya dilakukan dengan tahlilan dan pembacaan do’a oleh pemuka agama. Pahala dari bacaan al-Qur’an dan bentuk zikir lainnya dihadiahkan kepada arwah (ruh) para orangtua dan keluarga yang telah meninggal dunia, dan do’a itu ditujukan juga keselamatan bagi keluarga yang punya hajatan.

5). Melaksanakan aqikah anak.

Menurut syariat Islam, setiap anak yang lahir dan telah berusia tujuh hari dianjurkan supaya diaqikahkan, yaitu menyembelih seekor kambing untuk anak. Pelaksanaan aqikah erat kaitannya dengan mecukur rambut anak sebagaimana terlihat dari beberapa hadis Nabi (diantaranya adalah uraian tentang mencukur rambut di atas). Dari berbagai hadis Nabi dan yang langsung dilakukan Nabi sendiri, bahwa hukum aqikah ada dua, yaitu (1) sunnat, dan hanya (2) boleh (mubah) saja.

Pendapat yang mengatakan bahwa hukum aqikah hanya sunat adalah kalangan ahli fikih. Paham yang dipegang masyarakat Tapanuli Selatan adalah bahwa aqikah mubah, dan biasanya dilaksanakan bukan pada waktu usia tujuh hari, tetapi setelah dewasa, ketika melangsungkan perkawinan (pelaksanaan horja). Akikah yang dilakukan bersamaan dengan perkawinan biasanya karena alasan ekonomis, bahwa untuk membeli kambing pada usia anak tidak mampu, sedangkan pada waktu horja perkawinan menurut ketentuan adat harus menyembelih kambing sebagai syarat pangupa. Bagi keluarga yang tidak mampu melakukan akikah dengan menyembelih hewan kambing umumnya diganti dengan upacara sederhana, yaitu membuat makanan lepat dari tepung beras yang diperuntukkan bagi mereka keluarga dekat. Tradisi ini biasanya dihubungkan dengan upacara mengayun anak. Pola mengayun anak dilakukan setelah bayi berusia tujuh hari. Makanan tersebut digantungkan dan diikatkan pada ayunan anak. Setiap orang yang ikut mengayun anak sekaligus memakan lepat yang diletakkan di ayunan anak. Keluarga yang melakukan aqikah, di samping ada acara mencukur rambut kepala anak, juga dilakukan memberikan nama, dengan mengundang anggota kerabat dan masyarakat di huta.

Sedikitnya ada enam hikmah disyariatkannya aqikah pada seseorang, yaitu: 1) aqikah merupakan korban mendekatkan diri kepada Allah di awal menghirup udara kehidupannya, 2) merupakan pengorbanan bagi anak dari berbagai musibah dan kehancuran sebagaimana Nabi Ibrahim

mengorbankan anaknya Ismail, 3) merupakan bayaran hutang anak untuk memberikan syafaat pada orangtuanya, 4) merupakan suatu kegembiraan dan kesyukuran atas kelahiran anak dan bertambahnya umat Nabi Muhammad SAW, 5) merupakan perekat sesama kerabat dengan melakukan upacara makan bersama atas kelahiran anak, dan 6) memberikan semacam jaminan sosial atas dasar kebersamaan dan keadilan dalam masyarakat.

6) Mengkhitankan Anak.

Pandangan masyarakat Tapanuli Selatan tentang khitan semata-mata masalah agama. Mereka mengkhitankan anak pada usia antara tujuh sampai sepuluh tahun. Hukum mengkhitan anak adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan walaupun kadar pelaksanaannya berbeda. Tampaknya aturan yang menyangkut khitan ini cukup prinsipil dalam ajaran Islam, sehingga umat Islam lebih bersepakat mengatakan hukumnya wajib. Jika diperhatikan dalam pelaksanaan khitan tidak terdapat upacara-upacara yang melibatkan anggota kerabat, berbeda dengan etnis lainnya seperti etnis Jawa yang melibatkan keluarga.21

Khitanan telah disosialisasikan pada anak sejak usia lima tahun, mulai dikhitankan dan setelah mereka memasuki sekolah dasar. Bagi anak yang sudah berusia sepuluh tahun dan belum dikhitan bisa menjadi bahan ejekan kawannya, sebab sesama anak sebaya selalu mengetahui apakah temannya sudah dikhitan atau belum. Hal ini dapat diketahui pada waktu mereka sama-sama mandi di sungai yang umumnya belum memakai kain basahan. Dengan demikian, anak yang menurut usianya mestinya sudah waktunya untuk dikhitankan, tetapi ternyata belum bisa menjadi beban psikologis bagi anak. Karena itu wajar kalau anak meminta orangtuanya agar secepatnya dikhitankan. Dalam pelaksanaan sholat berjamaah di masjid, biasanya anak yang belum dikhitan harus menempati barisan (shaf) paling belakang karena dianggap belum bersih dari najis.

Menyangkut hukum khitan bagi seseorang, ada dua pendapat, yaitu pendapat yang mengatakan hukumnya sunat, dan pendapat yang mengatakan wajib. Namun demikian, umumnya umat Islam lebih cenderung

21 Dalam lingkaran hidup orang Jawa, setiap anak yang dikhitankan diadakan upacara atau pesta yang hampir sama besarnya dengan pesta perkawinan; Mereka menganggap khitanan sebagai peresmian diri masuk Islam. Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (ttp.: tnp.,1984), hal. 357.

pada pendapat yang mewajibkan khitan anak. Ada juga non-muslim yang melakukan khitan yang didasarkan pada alasan kesehatan semata. Dalam masyarakat, masalah khitan tidak menjadi khilafiyah sejak dulu sampai sekarang, yang berarti telah menjadi kesepakatan bulat. Yang menjadi khilafah adalah upacara-upacara yang dilakukan masyarakat setempat, meskipun bukan kasus Tapanuli Selatan, sebab di Tapanuli Selatan tidak terdapat upacara adat khitanan.

Tentang Khitan bagi wanita, mayoritas ahli fikih dan Imam mujtahid menetapkan tidak wajib, tetapi hanya bersifat anjuran, kecuali Ahmad bin Hanbali yang menyamakan laki-laki dan wanita. Masyarakat Tapanuli Selatan, walaupun hukum khitanan bagi wanita adalah sunat namun kebanyakan mereka tetap melaksanakannya, meskipun pelaksanaannya tidak sama dengan khitanan laki-laki yang memakan waktu sampai dua minggu (maksudnya sampai sembuh).

Tentang pelaksanaan khitanan, para ulama bersepakat dilakukan menjelang anak mencapai aqil baligh, yaitu menjelang anak mendapat beban syara’. Maksud khitanan ketika memasuki masa baligh tersebut adalah agar ibadahnya sah dan secara psikologis tidak lagi menjadi beban, serta secara sosiologis masyarakat telah menerimanya sama dengan orang dewasa lainnya.

Esensi dari semua rangkaian upacara kelahiran anak di atas menempatkan anak sebagai manusia masa depan yang lebih optimistik, yang didasarkan pada aturan-aturan Islami. Perhatian Islam sangat terlihat pada manusia sejak dilahirkan. Selain hal yang menyangkut teologis, hukum-hukum juga memberikan kesehatan dan kekuatan anak. Dengan demikian, ketika anak dapat membuka mata melihat alam sekitarnya dan memahami permasalahan dan hakekat sesuatu, selanjutnya anak menemukan dirinya berada dalam keluarga muslim yang melaksanakan syari’at Islam.