• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pelayanan Kesehatan

3. Pelayanan Gizi

a. Cakupan Pemberian Vitamin A pada Bayi

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar diseluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan “Nutrition Related Diseases” yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak kurang Vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan – 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang.

Berdasarkan data yang yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota, cakupan pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi pada bayi sebesar 99.08%, lebih banyak dibandingkan tahun 2010 sebesar 96,84%. Cakupan tersebut sudah melampaui target SPM sebesar 95%. Sebagian besar kabupaten/kota telah melampaui target, hanya ada 1 kabupaten yang masih di bawah target yaitu Kabupaten Pemalang (82,46%).

Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada bayi selama 5 tahun terakhir (2007-2011) dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

92 93 94 95 96 97 98 99 100 Cakupan 94,74 98,52 98,11 96,84 99,08 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.6 Cakupan Suplementasi Kapsul Vit. A pada Bayi dan Balita Tahun 2007 – 2011

b. Cakupan Pemberian Vitamin A pada Anak Balita

Salah satu program penanggulangan KVA yang telah dijalankan adalah dengan suplementasi kapsul Vitamin A dosis tinggi 2 kali pertahun

pada Balita dan ibu nifas untuk mempertahankan bebas buta karena KVA dan mencegah berkembangnya kembali masalah Xerofthalmia dengan segala manifestasinya (gangguan penglihatan, buta senja dan bahkan kebutaan sampai kematian). Disamping itu pemantapan program distribusi kapsul Vitamin A dosis tinggi juga dapat mendorong tumbuh kembang anak serta meningkatkan daya tahan anak terhadap penyakit infeksi, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan anak.

Balita yang dimaksud dalam program distribusi kapsul Vitamin A adalah anak umur 12 – 59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi. Kapsul Vitamin A dosis tinggi terdiri dari kapsul vitamin A berwarna merah dengan dosis 200.000 SI yang diberikan pada anak umur 12-59 bulan dan diberikan pada bulan Pebruari dan Agustus setiap tahunnya.

Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada Balita tahun 2011 sebesar 98.45%, mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 (96.76%). Cakupan ini sudah melampaui target SPM (95%). Cakupan tertinggi (>100%) sudah dapat dicapai oleh 8 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Kendal, Kota Magelang dan Kota Semarang. Sedangkan yang masih di bawah target yaitu Kabupaten Jepara (88,62%) dan Kabupaten Pemalang (91,00%). Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita selama 5 tahun terakhir (2007-2011) dapat dilihat dalam gambar berikut ini : 70 75 80 85 90 95 100 Cakupan 82,6 95,14 82,44 96,76 98,45 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.7 Cakupan Suplementasi Kapsul Vit. A pada Balita di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 – 2011

c. Cakupan Pemberian Vitamin A pada Ibu Nifas

Ibu nifas adalah ibu yang baru melahirkan bayi baik di rumah dan atau rumah bersalin dengan pertolongan dukun bayi dan atau tenaga kesehatan. Suplementasi vitamin A pada ibu nifas merupakan salah satu program penanggulangan kekurangan vitamin A.

Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A adalah cakupan ibu nifas yang mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) pada periode sebelum 40 hari setelah melahirkan. Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A tahun 2011 sebesar 96,43%, meningkat dibandingkan tahun 2010 (92.78%). Cakupan tertinggi (>100%) dicapai oleh Kabupaten Magelang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Klaten, Kota Magelang dan Kota Surakarta. Sementara cakupan terendah di Kabupaten Temanggung sebesar 84,36%. 75 80 85 90 95 100 Cakupan 82,73 92,94 87,31 92,78 96,43 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.8 Cakupan Ibu Nifas mendapat Kapsul Vit. A di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 – 2011

Beberapa hal yang mempengaruhi fluktuasi angka cakupan pemberian vitamin A pada bayi, balita, dan bufas diantaranya:

1) Advokasi, pendekatan, dan lain-lain bentuk yang disertai dengan penyebarluasan informasi.

2) Forum komunikasi, yang bermanfaat sebagai wahana yang mendukung terlaksananya kegiatan KIE di berbagai sektor terkait.

3) Sosialisasi pemberian kapsul Vitamin A terhadap petugas kesehatan di Puskesmas, rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan lainnya.

4) Kegiatan konseling/konsultasi gizi dilakukan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit pada sasaran ibu anak.

5) Tersedianya sarana pelayanan kesehatan yang terjangkau.

6) Lintas program/ lintas sektor terkait (Promosi Kesehatan, Imunisasi, dll) 7) Adanya sweeping dari kader kesehatan dengan sasaran ibu anak yang

belum mendapatkan kapsul Vitamin A pada bulan kapsul.

d. Persentase Ibu Hamil yang Mendapatkan Tablet Fe

Program penanggulangan anemia yang dilakukan adalah memberikan tablet tambah darah yaitu preparat Fe yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia pada balita, ibu hamill, ibu nifas, remaja putri, dan WUS (Wanita Usia Subur). Penanggulangan anemi pada ibu hamil dilaksanakan dengan memberikan 90 tablet Fe kepada ibu hamil selama periode kehamilannya. Cakupan ibu hamil mendapat 90 tablet Fe di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar 89,39% lebih rendah bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2010 (90,25%), dan belum mencapai target SPM 2010 (90%). Cakupan tertinggi dicapai Kabupaten Pekalongan 101,53% dan terendah Kabupaten Kendal 53,12%.

80 85 90 95 100 Fe 1 92,98 93,94 92,59 95,92 95,43 Fe 3 85,91 87,06 85,62 90,25 89,39 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.9 Persentase Pemberian Tablet Fe Pada Ibu Hamil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 – 2011

Dari grafik di atas dapat diihat bahwa cakupan Fe 1 dan cakupan Fe 3 sudah cukup baik dan memadai. Hal ini dapat dilihat dari tingginya prevalensi pemberian tablet Fe pada ibu hamil.

e. Persentase Bayi yang Mendapatkan ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu-satunya makanan yang sempurna dan terbaik bagi bayi karena mengandung unsur-unsur gizi yang dibutuhkan oleh bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi guna mencapai pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal.

ASI adalah hadiah yang sangat berharga yang dapat diberikan kepada bayi, dalam keadaan miskin mungkin merupakan hadiah satu-satunya, dalam keadaan sakit mungkin merupakan hadiah yang menyelamatkan jiwanya (UNICEF). Oleh sebab itu pemberian ASI perlu diberikan secara eksklusif sampai umur 6 (enam) bulan dan tetap mempertahankan pemberian ASI dilanjutkan bersama makanan pendamping sampai usia 2 (dua) tahun.

Kebijakan Nasional untuk memberikan ASI eksklusif selama 6 (enam) bulan telah ditetapkan dalam SK Menteri Kesehatan No. 450/Menkes/SK/IV/2004. ASI eksklusif adalah Air Susu Ibu yang diberikan kepada bayi sampai bayi berusia 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman, kecuali obat dan vitamin. Bayi yang mendapat ASI eksklusif adalah bayi yang hanya mendapat ASI saja sejak lahir sampai usia 6 bulan di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Pemberian ASI eksklusif bukan hanya isu nasional namun juga merupakan isu global. Pernyataan bahwa dengan pemberian susu formula kepada bayi dapat menjamin bayi tumbuh sehat dan kuat, ternyata menurut laporan mutakhir UNICEF (Fact About Breast Feeding) merupakan kekeliruan yang fatal, karena meskipun insiden diare rendah pada bayi yang diberi susu formula, namun pada masa pertumbuhan berikutnya bayi yang tidak diberi ASI ternyata memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk menderita hipertensi, jantung, kanker, obesitas, diabetes dll.

Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2011 menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif hanya sekitar 45,18%, meningkat dibandingkan tahun 2010 (37,18%).

Cakupan tertinggi adalah Kabupaten Klaten 77,55%. Sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Rembang 6,41%. Hanya 6 kabupaten/kota saja yang telah mencapai pemberian ASI eksklusif di atas 60% yaitu Kabupaten Purworejo, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Klaten, Kabupaten Blora, Kabupaten Pati dan Kabupaten Temanggung.

0 10 20 30 40 50 Cakupan 27,35 28,96 40,21 37,18 45,36 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.10 Cakupan Pemberian ASI Eksklusif Tahun 2007 – 2011

Beberapa hal yang menghambat pemberian ASI eksklusif diantaranya adalah:

1). Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga lainnya mengenai manfaat ASI dan cara menyusui yang benar.

2). Kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari petugas kesehatan.

3). Faktor sosial budaya.

4). Kondisi yang kurang memadai bagi para ibu yang bekerja. 5). Gencarnya pemasaran susu formula.

Upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif tetap berpedoman pada Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui yaitu:

1) Sarana Pelayanan Kesehatan mempunyai kebijakan Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (PP-ASI) tertulis yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas.

2) Melakukan pelatihan bagi petugas dalam hal pengetahuan dan ketrampilan untuk menerapkan kebijakan tersebut.

3) Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai umur 2 tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui. 4) Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 30 menit setelah

melahirkan yang dilakukan di ruang bersalin (inisiasi dini). Apabila ibu mendapat operasi caesar, bayi disusui setelah 30 menit ibu sadar. 5) Membantu ibu bagaimana cara menyusui yang benar dan cara

mempertahankan menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas indikasi medis.

6) Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir.

7) Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama bayi 24 jam sehari.

8) Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui.

9) Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI. 10) Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI) dan

rujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari rumah sakit, rumah bersalin atau sarana pelayanan kesehatan.

f. Cakupan Pemberian Makanan Pendamping ASI pada Anak Usia 6-24 bulan Keluarga Miskin.

Anak usia 6-24 bulan dari keluarga miskin diberikan makanan pendamping ASI baik makanan lokal maupun pabrikan. Jumlah anak usia 6-23 bulan dari keluarga miskin dari 21 kabupaten/kota sebanyak 145.724 anak, yang mendapatkan makanan tambahan ASI (MP-ASI) sebanyak 55.831 (38,31%). Kabupaten yang cakupannya sudah mencapai 100% adalah Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Demak, Kabupaten Temanggung, Kota Salatiga dan Kota Pekalongan. Cakupan terendah adalah Kabupaten Brebes 0,40%.

g. Jumlah Balita Ditimbang

Salah satu upaya untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat adalah melalui Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang sebagian kegiatannya dilaksanakan di Posyandu. Penimbangan terhadap bayi dan balita yang dilakukan di posyandu merupakan upaya masyarakat memantau pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita yang dintegrasikan dengan pelayanan kesehatan dasar lain (KIA, Imunisasi, Pemberantasan Penyakit). Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu tersebut digambarkan dalam perbandingan jumlah balita yang ditimbang (D) dengan jumlah balita seluruhnya (S). Semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu maka semakin baik pula data yang dapat menggambarkan status gizi balita.

Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu tahun 2011 sebesar 78,32% menurun dibandingkan dengan pencapaian tahun 2010 (89,49%). Cakupan tertinggi adalah di Kabupaten Sragen 88,35% dan terendah Kabupaten Pemalang 61,43%.

0 20 40 60 80 100 Balita ditimbang 71,63 76,47 75,89 89,49 78,32 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.11 Cakupan Balita Yang Ditimbang Tahun 2007 – 2011

Kabupaten/kota yang belum dapat mencapai target partisipasi masyarakat sebesar 80% sebanyak 15 kabupaten/kota. Banyak hal dapat mampengaruhi tingkat pencapaian partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu antara lain tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan gizi, faktor ekonomi dan sosial budaya. Dari data yang ada menggambarkan bahwa pedesaan dan

perkotaan tidak memperlihatkan perbedaan yang menyolok dalam partisipasi masyarakat tetapi yang sangat berpengaruh adalah faktor ekonomi dan sosial budaya.

h. Cakupan Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan

Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan tumbuh kembang Balita di Posyandu, dilanjutkan dengan penentuan status gizi oleh bidan di desa atau petugas kesehatan lainnya. Penemuan kasus gizi buruk harus segera ditindak lanjuti dengan rencana tindak yang jelas, sehingga penanggulangan gizi buruk memberikan hasil yang optimal.

Pendataan gizi buruk di Jawa Tengah didasarkan pada 2 kategori yaitu dengan indikator membandingkan berat badan dengan umur (BB/U) dan kategori kedua adalah membandingkan berat badan dengan tinggi badan (BB/TB). Skrining pertama dilakukan di posyandu dengan membandingkan berat badan dengan umur melalui kegiatan penimbangan, jika ditemukan balita yang berada di bawah garis merah (BGM) atau dua kali tidak naik (2T), maka dilakukan konfirmasi status gizi dengan menggunakan indikator berat badan menurut tinggi badan. Jika ternyata balita tersebut merupakan kasus buruk, maka segera dilakukan perawatan gizi buruk sesuai pedoman di Posyandu dan Puskesmas. Jika ternyata terdapat penyakit penyerta yang berat dan tidak dapat ditangani di Puskesmas maka segera dirujuk ke rumah sakit.

0 5000 10000 15000 20000 Jml Balita Gibur 18106 5528 5249 3514 3187 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.12 Jumlah Balita dengan Gizi Buruk

Balita Gizi Buruk tahun 2011 berjumlah 3.187 menurun apabila dibandingkan tahun 2010 (3.514). Tetapi persentase Balita Gizi Buruk mendapatkan perawatan tahun 2011 sebesar 100% jauh lebih meningkat dibandingkan tahun 2010 (93,28%).

i. Desa dengan Garam Beryodium yang Baik

Persentase desa/kelurahan dengan garam beryodium yang baik, menggambarkan identitas mutu garam beryodium yang dikonsumsi penduduk di suatu desa/kelurahan, dimana pada tahun 2011 sebanyak 53,42% menurun dibandingkan tahun 2010 (80,15%).

0 20 40 60 80 100 % Desa dg garam beryodium 58,83 55,93 48,81 80,15 53,42 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.13 Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beryodium Baik Tahun 2007 – 2011

Berdasarkan laporan yang masuk dari 33 kabupaten/kota, yang cakupannya mencapai 100% adalah Kabupaten Tegal, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga dan Kota Semarang. Sedangkan kabupaten dengan konsumsi garam beryodium terendah adalah Kabupaten Demak 9,68%.

4. Pelayanan Keluarga Berencana

Dokumen terkait