• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAYANAN PUBLIK BERBASIS NEW PUBLIC SERVICE

Optimalisasi pelayanan public oleh pemerintah telah berkembang dalam ilmu administrasi public. Polemic dikalangan para pakar mengenai cara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efisien, tanggap dan akuntabel. Teori yang mapan menjadi cikal bakal kemudian muncul teori baru. Teori reinventing government yang tergolong pada The new public management merupakan demistifikasi atas The Old Public Management dan sekarang muncul demistifikasi The New Public Management dengan munculnya konsep The New Public Service.

Teori yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler, serta Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, sekaligus mengajak semua pihak untuk menjadikan sebagai solusi pemerintah dalam melakukan perbaikan dan mengoptimalisasikan pelayanan publik.

Gagasan-gagasan (Osborne dan Gaebler, 2000: 290-343) tentang Reinventing Government mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi yang telah diyakini keberhasilannya di negara-negara maju. Adapun 10 prinsip tersebut adalah:

“catalytic government: steering rather than rowing, community-owned government:

empowering rather than serving, competitive government: injecting competition into service delivery, mission-driven government: transforming rule-driven organizations, results-oriented government: funding outcomes not inputs, customer-driven government: meeting the needs of the customer not the bureaucracy, 104esponsive104l government: earning rather than spending, anticipatory government: prevention rather than cure, decentralized government: from hierarchy to participation and team work, market-oriented government: leveraging change through the market”.

Pertama, catalytic government: steering rather than rowing, (pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh). Artinya, jika pemerintahan diibaratkan sebagai perahu, maka peran pemerintah seharusnya sebagai pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan (mengayuh). Cara ini membiarkan pemerintah beroperasi sebagai seorang pembeli yang terampil, mendongkrak berbagai produsen dengan cara yang dapat

mencapai sasaran kebijakannya. Wakil-wakil pemerintah tetap sebagai produsen jasa dalam banyak hal, meskipun mereka sering harus bersaing dengan produsen swasta untuk memperoleh hak istimewa. Tetapi para produsen jasa publik ini terpisah dari organisasi manajemen yang menentukan kebijakan. Upaya mengarahkan membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Upaya mengayuh membutuhkan orang yang secara sungguh-sungguh memfokuskan pada satu misi dan melakukannya dengan baik.

Kedua, community-owned government: empowering rather than serving, (pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani). Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketika pemerintah mendorong kepemilikan dan kontrol ke dalam masyarakat, tanggung jawabnya belum berakhir. Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi.

Ketiga, competitive government: injecting competition into service delivery, (pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan). Artinya, berusaha memberikan seluruh pelayanan tidak hanya menyebabkan resoursis pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif. Di antara keuntungan paling nyata dari kompetisi adalah efisiensi yang lebih besar sehingga mendatangkan lebih banyak

uang, kompetisi memaksa monopoli pemerintah (atau swasta) untuk merespon segala kebutuhan pelanggannya, kompetisi menghargai inovasi, dan kompetisi membangkitkan rasa harga diri dan semangat juang pegawai negeri.

Keempat, mission-driven government: transforming rule-driven organizations, (pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan). Artinya, pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban dan bertele-tele. Oleh karena itu, pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut. Di antara keunggulan pemerintah yang digerakkan oleh misi adalah lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, dan lebih mempuyai semangat yang tinggi ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh aturan.

Kelima, results-oriented government: funding outcomes not inputs, (pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan). Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah dibiayai berdasarkan masukan (income), maka sedikit sekali alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai berdasarkan hasil (outcome), mereka menjadi obsesif pada prestasi. Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat otoritas. Karena tidak mengukur hasil, pemerintahan yang birokratis jarang sekali mencapai keberhasilan. Mereka lebih banyak mengeluarkan untuk pendidikan negeri, namun nilai tes dan angka putus sekolah nyaris tidak berubah. Mereka mengeluarkan lebih banyak untuk polisi dan penjara, namun angka kejahatan terus meningkat.

Keenam, customer-driven government: meeting the needs of the customer not the bureaucracy, (pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi). Artinya, pemerintah harus belajar dari sektor bisnis di mana jika tidak fokus dan perhatian pada pelanggan (customer), maka warga negara tidak akan puas dengan pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu, pemerintah harus

menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan secara cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan berbagai metode yang lain. Tradisi pejabat birokrasi selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani warga masyarakat yang datang ke instansinya. Tradisi ini harus diubah dengan menghargai mereka sebagai warga negara yang berdaulat dan harus diperlakukan dengan baik dan wajar. Di antara keunggulan sistem berorientasi pada pelanggan adalah memaksa pemberi jasa untuk bertanggung jawab kepada pelanggannya, mendepolitisasi keputusan terhadap pilihan pemberi jasa, merangsang lebih banyak inovasi, memberi kesempatan kepada warga untuk memilih di antara berbagai macam pelayanan, tidak boros karena pasokan disesuaikan dengan permintaan, mendorong untuk menjadi pelanggan yang berkomitmen, dan menciptakan peluang lebih besar bagi keadilan.

Ketujuh, entreprising government: earning rather than spending, (pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan). Artinya, sebenarnya pemerintah mengalami masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit tersebut.

Kedelapan, anticipatory government: prevention rather than cure, (pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati). Artinya, pemerintahan tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi. Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan, untuk mencegah kebakaran.

Pola pencegahan (preventif) harus dikedepankan dari pada pengobatan mengingat persoalan-persoalan publik saat ini semakin kompleks, jika tidak diubah (masih

berorientasi pada pengobatan) maka pemerintah akan kehilangan kapasitasnya untuk memberikan respon atas masalah-masalah publik yang muncul.

Kesembilan, decentralized government: from hierarchy to participation and team work, (pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja). Artinya, pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan pekerja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi sangat diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan. Tak ada waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke rantai komando dan keputusan untuk turun. Beban keputusan harus dibagi kepada lebih banyak orang, yang memungkinkan keputusan dibuat ke bawah atau pada “pinggiran” ketimbang mengkonsentrasikannya pada pusat atau level atas.

Kerjasama antara sektor pemerintah, sektor bisnis dan sektor civil socity perlu digalakkan untuk membentuk tim kerja dalam pelayanan publik. Dan prinsip yang ke-sepuluh adalah market-oriented government: leveraging change through the market, (pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar). Artinya, daripada beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama. Dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik, 10 prinsip di atas seharusnya dijalankan oleh pemerintah sekaligus, dikumpulkan semua menjadi satu dalam sistem pemerintahan, sehingga pelayanan publik yang dilakukan bisa berjalan lebih optimal dan maksimal. 10 prinsip tersebut bertujuan untuk menciptakan organisasi pelayanan publik yang smaller (kecil, efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif)

cheaper (operasionalnya murah) dan kompetitif. Dengan demikian, pelayanan publik oleh birokrasi kita bisa menjadi lebih optimal dan akuntabel.

Menurut Denhardt & Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat maka administrator pemerintahan seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service. Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaimana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas.

Perspektif new public service mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri warga negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self interest) namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.

Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari adanya beberapa lapisan kompleks tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas dalam suatu negara demokrasi. Administrator yang bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat tidak hanya dalam perencanaan tetapi juga pelaksanaan program guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pekerjaan administrator publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada masyarakat.

Perspektif new public service secara ringkas dapat dilihat dari beberapa prinsip yang dilontarkan oleh (Denhardt & Denhardt, 2004). Prinsip-prinsip tersebut meliputi: Pertama adalah serve citizens, not customers. Karena kepentingan publik merupakan hasil dialog tentang nilai-nilai bersama daripada agregasi kepentingan pribadi perorangan maka abdi masyarakat tidak semata-mata merespon tuntutan pelanggan tetapi justeru memusatkan perhatian untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan diantara warga negara. Kedua, seek the public interest. Administrator publik harus memberikan sumbangsih untuk membangun kepentingan publik bersama. Tujuannya tidak untuk menemukan solusi cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan tetapi menciptakan kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama. Ketiga, value citizenship over entrepreneurship. Kepentingan publik lebih baik dijalankan oleh abdi masyarakat dan warga negara yang memiliki komitmen untuk memberikan sumbangsih bagi masyarakat daripada dijalankan oleh para manajer wirausaha yang bertindak seolah-olah uang masyarakat adalah milik mereka sendiri. Keempat, think strategically, act democratically. Kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan bertanggungjawab melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif. Kelima, recognize that accountability is not simple. Dalam perspektif ini abdi masyarakat seharusnya lebih peduli daripada mekanisme pasar. Selain itu, abdi masyarakat juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar pelayanan, dan kepentingan wargawarga. Keenam, serve rather than steer. Penting sekali bagi abdi masyarakat untuk menggunakan kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama dalam membantu warga negara mengemukakan kepentingan bersama dan memenuhinya daripada mengontrol atau mengarahkan masyarakat membentuk nilai baru. Ketujuh, value people, not just productivity. Organisasi publik beserta jaringannya lebih memungkinkan mencapai keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada semua orang. Munculnya perspektif new public service ini didukung oleh beberapa tulisan lain yang berkembang beberapa tahun sebelumnya sebagai reaksi terhadap dominasi perspektif new public management di berbagai belahan dunia.

Perbaikan kinerja pelayanan publik, memerlukan kebijakan yang komprehensif. Kebijakan itu harus menyentuh semua dimensi persoalan yang meliputi; struktur birokrasi yang kompleks dan tidak rasional, budaya birokrasi dan feodalisme dalam kehidupan masyarakat dan birokrasi, lemahnya kemampuan civil society untuk melakukan pengawasan terhadap prilaku birokrasi dan pejabatnya, gaji dan insentif yang gagal mendorong prestasi kerja, serta kemampuan pegawai yang rendah. Birokrasi dituntut keberaniannya untuk mengadopsi dua perspektif pelayanan publik di atas dan mengoperasionalisasikan di dalam kehidupan birokrasi, sehingga bisa mengembangkan kebijakan reformasi birokrasi yang transparan dan melaksanakannya secara konsisten. Hanya dengan cara ini, reformasi birokrasi akan dapat menghasilkan sosok birokrasi yang benar-benar mengabdikan dirinya pada kepentingan publik dan menghasilkan pelayanan publik yang efisien, dan efektif.

New Public service (NPS) sebagai pelayanan publik terbaru dari administrasi public yang meletakkan pelayanan public sebagai kegiatan utama pada administrator Negara. Pelayanan disini berbeda dengan pelayanan berbasis konsumen. Salah satu intisari dari prinsip NPS adalah bagaimana administrator public mengartikulasi dan membagi kepentingan (Shared Interests) warga Negara agar kepentingan warga dapat terbagi rata, dipelukan media pertemuan antara pemerintah dengan waga masyarakat sehingga semua kepentingan warga masyarakat dapat terakomodasi.

Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai lembaga terus berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Denhardt & Denhardt (2004) mengungkapkan bahwa terdapat tiga perspektif dalam administrasi publik. Perspektif tersebut adalah old public administration, new public management, dan new public service.

Perspektif pertama yang merupakan perspektif klasik berkembang sejak tulisan Woodrow Wilson di tahun 1887 yang berjudul “the study of administration”. Terdapat dua gagasan utama dalam perspektif ini. Gagasan pertama menyangkut pemisahan politik dan administrasi. Administrasi publik tidak secara aktif dan ekstensif terlibat dalam pembentukan kebijakan karena tugas utamanya adalah implementasi kebijakan dan

penyediaan layanan publik. Dalam menjalankan tugasnya, administrasi publik menampilkan netralitas dan profesionalitas. Administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada pejabat politik yang dipilih. Gagasan kedua menyangkut nilai yang dikedepankan oleh perspektif ini, bahwa administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi yang terpadu dan bersifat hierarkis. Denhardt & Denhardt, (2004: 5-7). Lebih lanjut menjelaskan. Gagasan ini terus berkembang melalui para pakar seperti Frederick Winslow Taylor (1923) dengan “scientific management”, Leonard D. White (1926) dan W.F. Willoughby (1927) yang mengembangkan struktur organisasi yang sangat efisien, dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya POSDCORB.

Mengacu pada dua gagasan utama tersebut, menurut Denhardt & Denhardt, (2004: 11-12), perspektif ini menaruh perhatian pada tugas pemerintahan yaitu pada penyediaan layanan secara langsung kepada masyarakat melalui badan-badan negara. Perspektif ini berpandangan bahwa organisasi pemerintahan beroperasi paling efisien sebagai suatu organisasi tertutup sehingga keterlibatan warga negara dalam pemerintahan dibatasi. Perspektif ini berpandangan pula bahwa peran utama administrator publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan pegawai, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan, dan penganggaran.

Selama masa berlakunya perspektif old public administration ini, terdapat dua pandangan utama yang lainnya yang berada dalam arus besar tersebut. Pertama adalah pandangan Herbert A. Simon, (1957) yang tertuang dalam karya klasiknya “administrative behavior”. Simon mengungkapkan bahwa preferensi individu dan kelompok seringkali berpengaruh pada berbagai urusan manusia. Organisasi pada dasarnya tidak sekedar berkenaan dengan standar tunggal efisiensi, tetapi juga dengan berbagai standar lainnya.

Konsep utama yang ditampilkan oleh Simon adalah rasionalitas manusia pada dasarnya kelanjutan dari pendekatan public management. Pendekatan baru tersebut adalah new public service menurut Denhardt & Denhardt atau public governance menurut Bovaird & Loffler. Dibatasi oleh derajat rasionalitas tertentu yang dapat dicapainya dalam menghadapi suatu persoalan, sehingga untuk mempertipis batas tersebut manusia

bergabung dengan yang lainnya guna mengatasi segala persoalannya secara efektif. Meski nilai utama yang hendak dijadikan dasar bertindak manusia adalah rasionalitasnya, namun Simon mengungkapkan bahwa dalam organisasi manusia yang rasional adalah yang menerima tujuan organisasi sebagai nilai dasar bagi pengambilan keputusannya. Dengan demikian orang akan berusaha mencapai tujuan organisasi dengan cara yang rasional dan menjamin perilaku manusia untuk mengikuti langkah yang paling efisien bagi organisasi. Dengan pandangan ini akhirnya posisi rasionalitas dipersamakan dengan efisiensi. Hal ini tampak dalam pandangan Denhardt & Denhardt (2004:9) bahwa “for what Simon called ‘administrative man,’ the most rational behavior is that which moves an organization

efficiently toward its objective.

Pandangan berbeda kedua dalam perspektif old public administration adalah public choice (pilihan publik). Pandangan ini merupakan penafsiran baru atas perilaku administrasinya Simon, dan yang lebih dekat dengan pandangan economic man. Teori pilihan publik ini didasarkan pada tiga asumsi kunci menurut Denhardt & Denhardt (2004:10-11). Yakni: Pertama, teori ini memusatkan perhatian pada individu dengan asumsi bahwa pengambil keputusan perorangan adalah orang yang rasional, mementingkan dirinya sendiri, dan berusaha memaksimalkan manfaat yang diperolehnya. Dengan demikian, seseorang senantiasa berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Kedua, teori ini memusatkan perhatian pada public goods (komoditas publik) sebagai output dari badan-badan publik. Ketiga, teori ini didasarkan pada asumsi bahwa situasi keputusan yang berbeda akan menghasilkan pendekatan yang berbeda dalam penentuan pilihan.

Berdasarkan pengembangan ini, teori pilihan publik berupaya menstrukturasi proses pembuatan keputusan sehingga dapat mempengaruhi pilihan-pilihan manusia. Hal ini merupakan kunci beroperasinya badan-badan publik. Teori pilihan publik inilah yang merupakan jembatan penghubung antara old public administration dengan new public management. Denhardt & Denhardt, lebih lanjut menjelaskan bahwa Perspektif administrasi publik kedua, new public management, berusaha menggunakan pendekatan institusi swasta dan pendekatan bisnis dalam pelayanan publik. Selain berbasis pada teori pilihan publik, dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari public policy schools

(aliran kebijakan publik) dan managerialism movement. Aliran kebijakan publik menurutnya dalam beberapa teori sebelum ini memiliki akar yang cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga analis kebijakan dan para ahli yang menggeluti evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs and benefit, dan rational models of choice.

Aliran ini kemudian mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang selanjutnya mereka sebut sebagai public management. Penggunaan istilah yang berbeda ini dilakukan untuk membedakannya dari public administration dengan mengabaikan fakta bahwa keduanya memiliki perhatian yang sama, yakni implementasi kebijakan publik. Denhardt & Denhardt (2004:20), mengakui bahwa public administration merupakan sinonim dengan public management, namun jika antara keduanya ada yang membedakan maka istilah public management cenderung bias pada interpretasi ekonomi terhadap perilaku manajerial sementara istilah public administration cenderung dipergunakan dalam ilmu politik, sosiologi, atau analisis organisasi.

Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari pandangan bahwa keberhasilan institusi bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan profesionalisme para