• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Birokrasi Sebagai Pelayanan Publik dan Pembangunan

KONSEP PEMIKIRAN KAJAOLALIDDO

2. Perilaku Birokrasi Sebagai Pelayanan Publik dan Pembangunan

Secara umum, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah type dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistimatis pekerjaan dari banyak orang.

Pada prinsipnya teori-teori birokrasi telah berkembang dengan pesat sejalan dengan perkembangan zaman. Telah banyak teori yang menjadi alternatif dalam pelaksanaan birokrasi. Namun semakin banyak permasalahan yang muncul akibat perilaku birokrasi sehingga menimbulkan konsepsi masyarakat bahwa birokrasi adalah hal-hal yang jelek.

Namun dalam terminologi birokrasi, ada beberapa pengertian yaitu pemerintahan para pejabat, sistem administrasi profesional, in efisiensi organisasi, administrasi negara, pranata-pranata non pasar serta organisasi yang tidak demokratis. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dan setiap orang seringkali mengalahkannya, namun dalam perkembangannya pada era ini dikenang sebagai era birokratis. Organisasi birokrasi berlaku umum dan kebanyakan kegiatan sosial terdapat atau terjadi dalam birokrasi.

Pembangunan sistem politik yang dapat menjamin stabilitas sebagai syarat pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, maka mulai melakukan usaha untuk menyehatkan kembali birokrasi pemerintahan sebagai instrumen penting yang akan menopang dan memperlancar usaha-usaha pembangunan. Ini berarti usaha menciptakan suatu sistem birokrasi modern yang efisien dan efektif.

Penataan itu, berorientasi pada apa yang dikembangkan oleh Max Weber yang disebut legal rasional yang ditandai: (1) tingkat spesialisasi yang tinggi, (2) struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas, (3) hubungan antara anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, (4) rekruitmen yang didasarkan atas kemampuan teknis dan (5) diferensiasi antara pendapatan resmi dan pribadi. Kualitas ini ingin dicapai melalui pengaturan struktur seperti hirarki kewenangan, pembagian kerja, profesionalisme, tata kerja dan sistem pengupahan yang kesemuanya berdasarkan peraturan (Budi, 1995)

Birokrasi dalam perkembangannya menjadi pusat perhatian para pakar dengan membuat tiga kategori birokrasi yaitu:

1) Birokrasi Rasional (Hegelian Bureaucracy dan Weberian Bureacracy) pengikutnya: Hegel, Kalau warga negara dari sebuah negara dibiarkan mengatur

dirinya sendiri, maka akan terjadi kekacauan karena masing-masing warga akan memperjuangkan kepentingan subyektifnya melawan kepentingan subyektif warga lain. Inti konsep Hegelian Bureucracy adalah melihat birokrasi sebagai institusi yang menjembatani antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum dan civil society yang memanifestasikan kepentingan khusus dan masyarakat.

2) Birokrasi sebagai suatu penyakit (Bureaucracy Pathology) :

Birokrasi yang selalu dikaitkan dengan kelambanan kerja dan prosudur yang berbelit-belit. Seringkali birokrasi dianggap sebagai organisasi yang kejam, mempunyai peraturan-peraturan yang aneh-aneh dan sewenang-wenang dan menindas. Pengikutnya adalah:

a. Marks : Berpendapat bahwa warga negara hanyalah alat dari kelas yang berkuasa yakni kelas bangsawan di negara feodal dan kelas kapitalis di negara kapitalis. Birokrasi adalah alat kelas yang berkuasa yaitu kaum borjois dan kapitalis untuk mengeksploitir kelas proletar.

b. Laski: Birokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan, dimana kekuasaan ada pada pejabat-pejabat negara yang diselenggarakan sedemikian rupa sehingga merugikan atau membahayakan warga negara.

c. Robert Michles: Birokrasi sebagai struktur yang mesti mengambil bentuk oligarki.

d. Michel Crocier: Birokrasi sebagai suatu organisasi yang tidak dapat memperbaiki tingkah lakunya dengan cara belajar dari keseluruhannya.

3). Birokrasi Netral, pengikutnya :

a. Almond dan Powel: Birokrasi pemerintahan adalah sekumpulan tugas-tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal, berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal.

b. Lance Castel: Birokrasi sebagai orang-orang yang bergaji yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.

c. La Palombara: Birokrat terdiri dari unsur-unsur pimpinan pejabat dalam organisasi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. (Budi, 1995)

Selain itu, masih banyak pakar yang mengemukakan pemahaman dan pendapatnya mengenai fenomena birokrasi, diantaranya:

1) Max Weber: Kediktatoram para pejabat sedang berlangsung, ini terjadi disebabkan adanya kapasitas birokrasi yang sangat unik untuk mengelola tugas-tugas administratif masyarakat industri yang sangat kompleks. (Beethan,1990) 2) De Gournay: adanya penyakit dari birokrasi di Prancis dimana para pegawai

berkumpul untuk membicarakan kepentingan kelompoknya, ini disebut Bureamania.(Albrow, 1989)

3) Birokrasi diartikan sebagai pemerintahan atau manajemen kaku, macet dan segala tuduhan terhadap instansi yang Berkuasa Kramer, 1977). Birokrasi ada kalanya menjadi penyakit disebut Biropatologik (Biropat).

4) Birokrasi sebagai type ideal organisasi.

5) Birokrasi sesuatu yang kita benci dan secara simultan menampilkan citra kontradiktif dan inefisiensi dan ancaman kekuasaan, inkompetensi, pemborosan, manipulasi dan korupsi.

6) Mill mengemukakan bahaya-bahaya birokrasi.

7) Heinzen: secara keseluruhan menggunakan konotasi negatif terhadap birokrasi sebagai pemerintahan para pejabat. Di dalam semangatnya birokrasi terjalin dengan watak budak yang angkuh, cendrung menjadi suatu instrumen yang menuntut bagi dirinya sendiri, ciri-ciri kekuasaan yang tidak terbatas.

8) Jose Olhzewksi (1904): banyak memperbincangkan secara luas tentang birokratisme. Tingkah laku dan sikap pejabat profesionalisme yang menyakitkan warga negara.(Albrow, 1989)

9) Parkinsone adalah suatu penyakit birokrasi yang selalu memperbanyak struktur tugas untuk mendapatkan banyak kesempatan memegang jabatan.

10) Diagnosis birokrasi, dimana dibedakan dalam tiga posisi dasar tentang fungsi-fungsi pejabat di negara demokrasi yaitu : (1) Pejabat menuntut terlalu besar dan perlu dikembalikan pada fungsi-fungsinya yang seimbang, (2) Pejabat benar-benar memiliki kekuasaan dan tugas yang semakin besar dan jabatan itu harus dijalankan secara bijaksana. (3) kekuasaan itu diperlukan oleh para pejabat dan yang harus

dicari adalah metode-metode yang dengannya pelayanan mereka dapat disalurkan bersama-sama. Pertama lebih dekat dengan keprihatinan abad ke-19, kedua paling ortodoks, ketiga paling radikal tetapi jelas. (Albrow, 1989)

11) Model birokrasi humanistik yaitu birokrasi yang menempatkan manusia pada proporsinya. Ide humanistik dalam organisasi bukanlah suatu hal yang baru. Penganjur humanistik adalah Mc Gregor, Black dan Mounton, Golembiewski, Arggiris, Morgan, Soedjatmoko, Korten, Bryant, White.

12) Unsur-unsur paling penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dimensi human dan terhadap perwujudan potensi manusia menurut Korten ada tiga nilai-nilai yaitu : (a) Kelestarian hidup: dapat mengaktualisasikan potensinya, (b) Harga diri: suatu masyarakat maju harus menyediakan bagi segenap anggotanya kesempatan untuk meraih dentitas, rasa bangga, rasa terhormat dan pengakuan, (c) Kebebasan: mewujudkan kebersamaan (Budi, 1995)

Model birokrasi yang ideal yang akan datang adalah yang mempunyai krakteristik yang organis adaptif, humanis, a politis, netral, berorientasi pada pelayanan dan mempunyai sifat seperti dicetuskan oleh model Hegelian Bureacracy. (Budi, 1995)

Dari berbagai model birokrasi, maka yang mendekat dengan pelayanan public berbasis kemanusiaan adalah model Hegelian Bureacracy yang tentunya menjadi tolak ukur berkualitasnya suatu pelayanan public dan sangat substantive diterapkan di era reformasi ini, utamanya dalam impelementasi otonomi daerah dengan konsep desentralisasi.

Untuk mereformasi birokrasi pemerintah yang paling mendasar ialah bagaimana bisa mengubah mindset dan perilaku dari para birokrasi publik. Salah satu perubahan mindset yang perlu dilakukan ialah pandangan birokrasi terhadap kekuasaan yang cendrung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan sakral dan berorientasi pada pelayanan public yang berbasis kemanusiaan dengan memberikan pelayanan yang berkualitas sebagai bentuk pertanggungjawaban birokrasi akan tugas dan tanggungjawabnya.

Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi atau seorang individu dengan lingkungannya. Jadi perilaku birokrasi pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara individu dengan organisasinya. Oleh karena itu untuk memahami perilaku birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu individu-individu sebagai pendukung organisasi tersebut. Krakteristik individu yang berinteraksi dengan karakteristik birokrasi menimbulkan perilaku birokrasi .

Sebuah pendekatan yang lebih komperehenship tentang penataan perilaku birokrasi dengan mengintegrasikan teori organisasi dengan pendekatan budaya. Ini juga dilakukan oleh Stanley J. Heginbothan dalam penelitiannya di India. Menurutnya ada empat komponen dari teori organisasi yang dipandang sebagai intervening variabel dengan pendekatan budaya yaitu:

1) Struktur organisasi formal yang susunan hirarki organisasi yang mencakup jenjang kepemimpinan dan kewenangannya.

2) Sistem motivasi yang intensif yang mengatur cara bagaimana pimpinan mempengaruhi perilaku bawahannya.

3) Norma kerja yang meliputi pola kerja serta distribusi waktu dalam oragnisasi. 4) Hubungan antara organisasi dengan masyarakat yang dilayani.

Perilaku birokrasi selain dipengaruhi oleh watak dasar yang terdapat dalam konsep kebudayaan dan menjadi induk dari birokrasi , dipengaruhi pula oleh watak dasar yang terdapat dalam sistem kebudayaan yang ada dalam lingkungan tempat birokrasi tersebut hidup dan berkembang. Krakteristik birokrasi Indonesia yaitu berorientasi pada service orientations dan social control orientations. Korupsi dan penyalagunaan wewenang merupakan perilaku birokrasi yang tidak bertanggung jawab.

Perilaku birokrasi dalam organisasi pada pelaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dapat dilihat dari dua karakteristik yaitu karakteristik individu, meliputi kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman dan pengharapan. Sedangkan karakteristik organisasi meliputi hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sisten penghargaan dan system control. (Rivai, 2003)

Perilaku birokrasi publik pada implementasi tugas dan tanggung jawabnya.

a. Birokrasi sebagai pelayanan publik

Osbone (2000) mengatakan peningkatan pelayanan public oleh birokrasi pemerintah yaitu dengan mengalihkan wewenang kepada pihak swasta lebih banyak berpartisipasi karena melayani pemerintah itu milik rakyat bukan rakyat milik kekuasaan pemerintah.

Langkah-langkah straegis dalam peningkatan pelayanan publik adalah :

1) Kebijaksanaan koorporatisasi dan privatisasi bagi unit-unit organisasi pemerintah yang mepunyai fungsi pelayanan.

2) Pemanfaatan teknologi informasi dalam menunjang perwujudan penciptaan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik .

3) Mendorong pimpinan instansi pemerintah untuk mengembangkan pola pelayanan terpadu.

4) Penataan fungsi-fungsi pelayanan public

5) Mendorong agar pimpinan instansi pemerintah menyederhanakan berbagai prosudur pelayanan melalui langkah deregulasi dan debirokratisasi.

6) Dikembangkan diklat fungsional di bidang pelayanan untuk mendorong profesionalisme pegawai.

b. Birokrasi penentu kebijakan publik

Kebijakan publik adalah pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi dan kinerja kebijakan dan program kebijakan. Dalam pembuatan kebijakan publik perlu mempertimbangkan: (1) Responsiveness : perhatian utama terhadap tanggapan masyarakat, (2) Affectiveness : pembinaan utama terhadap pencapaian apa yang dikehendaki dari suatu tujuan.

c. Birokrasi dari masyarakat

Pemerintah dalam menyusun kebijakan publik berdasarkan dengan masalah – masalah yang dihadapi masyarakat dan upaya untuk meningkatkat harkat dan martabatnya, sehingga implementasi program juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Program yang

akan dilaksanakan didasari oleh aturan yang ada, namun implementasinya sangat tidak sesuai akibat perilaku birokrasi yang tidak mengindahkan aturan yang ada. Birokrasi pemerintah pada hakekatnya secara pokok berfungsi mengatur dan melayani masyarakat. Maka tugas birokrasi pemerintah itu tidak semata-mata mengatur saja, akan tetapi juga memberikan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi pelayanan public selama ini belum mendapatkan perhatian dari para birokrasi kita sebab porsi mengaturnya masih dominan ketimbang porsi pemberian pelayanan sehingga menimbulkan pencitraan aparatur semakin terpuruk. Makanya dibutuhkan suatu upaya sistematis untuk lebih mengedepankan pelayanan public yang berbasis kemanusiaan yang mampu memberikan pelayanan public berkualitas.

Pemberian pelayanan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik. Sedangkan fungsi mengatur lebih menekankan kepada kekuasaan atau power yang melekat pada posisi atau jabatan birokrasi (position power). Selama ini pelayanan yang dilakukan oleh birokrasi masih bersifat monopoli sehingga jelek, sangat birokratis dan tidak mampu memberikan kualitas pelayanan kepada publik sehingga masyarakat sangat tergantung dari usaha birokrasi (Setiawan, 1998). Pendekatan position power seperti itu sangat kuat akibatnya birokrasi pemerintah terasa kuat dan besar sehingga jadilah serba pemerintah. Birokrasi kita sering terperangkap pada jaring parkinsonisme. Birokrasi parkinsonian ini merupakan birokrasi yang menunjukkan pada usaha untuk selalu ingin menambah jumlah satuan/unit kerja dan jumlah pejabat/pelaksananya (Evers,1987 dalam Setiawan 1998)

Melihat permasalahan birokrasi, dengan menggunakan teori domino,ketidakmampuan birokrasi ini lebih disebabkan oleh:

1. Bahwa birokrasi berada dan bekerja pada lingkungan yang hirarkhis, birokratis, monopoli dan terikat oleh political authority.Keadaan ini membuat birokrasi menjadi membudaya yang kaku, ada di lingkungan yang hanya sebatas following the instruction. Dan juga dikarenakan ada di dalam tightening control, maka birokrasi menjadi tidak memiliki inisiatif dan kreatifitas.

2. Birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi karena tidak saja terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan (public sevice, development and empowering). Akibatnya adalah menjadikan birokrasi sebagai lembaga yang sangat tambun sehingga mengurangi kelincahannya. (Utomo, 2003)

Kenyataan ini perlu disikapi untuk melakukan pembenahan dan pengembalian fungsi birokrasi kepada konsep, makna, prinsip yang sebenarnya. Dalam rangka ini dibutuhkan Good Governance dalam birokrasi pemerintahan dengan meningkatkan kerjasama untuk pemerintah, swasta, dan masyarakat. Konsep ini sangat sejalan dengan konsep good governance yang diaplikasikan dalam kegiatan pemerintahan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan kuat dengan menampilkan pelayanan public yang berbasis kemanusiaan.

Standar evaluasi kinerja kebijakan meliputi :

a. Ketaatan (complience), berkaitan dengan upaya audit dengan mempertanyakan sejauh mana transaksi oleh pemerintah telah sejalan/sesuai dengan ketentuan hukum/ peraturan perundangan.

b. Efisiensi (effeiciency), sejauhmana institusi pemerintah telah mencapai tingkat produktivitas optimum atas dasar sumber daya yang telah digunakan, dan

c. Efektivitas (effectiveness), sejauhmana tingkat pencapaian tujuan kebijakan atas dasar pemanfaatan sumber daya publik. (Sankri, 2003).

Pelayanan birokrasi diarahkan pada pelayanan publik dan kebijakan publik yang mengarah kepada pelayanan prima dengan indikator standar pelayanan, aturan tertulis, efisiensi dan efektiftas. Sedangkan sasaran daripada perilaku birokrasi sebagai pelayan publik adalah terciptanya Good governance dengan indikator, transparansi, kepastian hukum, akuntabilitas, partisipasi masyarakat/keterbukaan. Mantapnya pelayanan birokrasi dengan bersinergi dengan tata kelola pemerintahan yang baik yng tentunya menampilkan pelayanan public berbasis kemanusiaan sesuai dengan prinsip Hegelian Birokrasi.

BAB. 5.