• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan Hak-Hak Sipil Bagi Umat Tao Oleh Pemerintah Saat Ini Jaminan konstitusi terhadap kemerdekaan beragama sebagaimana dalam

Dalam dokumen T2 752011001 BAB III (Halaman 88-99)

UUD 1945 pasal 29 tidak saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama dan

32 Suseno, Franz Magnis. 1998. Agama-agama, Kerukunan, dan Kerendahan Hati, dalam Franz Magnis Suseno. Mencari Makna Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 11.

kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Umat agama-agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara berhak untuk mendapatkan pelayanan negara tanpa diskriminasi. Salah satu prinsip pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2004 adalah prinsip kesamaan hak, di mana pelayanan publik tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, status ekonomi.

Enam agama besar, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu,Budha, dan Khonghucu telah mendapatkan pelayanan dalam struktur organisasi Kementerian Agama. Aliran kepercayaan juga telah diakomodir kepentingannya oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang membidangi kebudayaan. Namun agama lainnya, di luar 6 agama di atas mengalami persoalan dalam mendapatkan pelayanan dari negara yang disebabkan karena identitas keagamaan mereka. Hak anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama dan oleh guru yang seagama juga tidak terpenuhi. Pendidikan agama dalam regulasi yang ada hanya merujuk pada pendidikan agama untuk enam agama besar saja.

Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah Negara memiliki kesulitan- kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang ada di Indonesia. Sementara pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia sebagaimana pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahwa beliau adalah

yang tepat untuk konteks pelayanan negara.

Tao bisa menjadi fenomena kebangkitan agama di negara modern yang lebih menunjukkan pertumbuhan religius movement yang beriringan dengan munculnya sejenis religiousitas yang tersembunyi (invisible religion), perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia juga diwarnai berbagai kecenderungan pemikiran dan gerakan. Hubungan antara etnik Cina dan agama Tao telah melahirkan apa yang disebut elective affiliation. Konsep elective affiliation yaitu suatu kedekatan agama tertentu dengan nilai-nilai, struktur sosial, kelas sosial, kelompok sosial, atau etnik tertentu33.

Analisis Peneliti terhadap keberadaan agama Tao bahwa agama Tao merupakan model ethno-religius di Indonesia yang tampak dalam fenomena agama yang menjadi identitas komunitas tertentu, dalam hal ini komunitas tersebut adalah komunitas Tionghoa, maka peneliti memberikan istilah bagi

agama Tao sebagai “Agama Marginal” di Indonesia. Dengan istilah

Marginalized Religion”, maka posisi kelompok keagamaan itu dipahami sebagai konstruksi dari dinamika internal kelompok itu dan relasinya seca ra

sosial dan politis dengan kelompok lain. Menurut peneliti, “Marginalized

Religion” itu sebenarnya adalah model dari “Pencarian Spiritualitas (Seeking Spirituality)”. “Pencarian” ini dapat diartikan sebagai upaya untuk pengukuhan kembali konsep manusia sempurna (whole person), termasuk rasa memiliki

secara emosional dan intuitif. Karakter “pencarian” yang seringkali menembus

batas-batas agama formal dan mapan inilah yang meletakkan religiusitas gaya

33 Kurtz, Lester. 1995. God in The Global Village. California: Pine Forge Press. Hlm. 13- 14.

baru ini sebagai “agama marginal”.

Di dalam meneliti perkembangan Tao, peneliti berpendapat bahwa Tao sebagai gerakan agama baru (new religious movement) di era modern ini atau

yang biasa dikenal dengan sebutan “new age”, meskipun selama ini Tao

merupakan termasuk salah satu ajaran Tri Dharma. Sebutan “New Age

merupakan nama gerakan spiritual yang concern pada perdamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh setiap agama. Agama Tao merupakan salah satu bentuk penting dalam fenomena kebangkitan agama di Indonesia. Peneliti juga memberikan suatu analisa bahwa agama Tao merupakan suatu gerakan spiritual lintas iman (multi faith spiritual movement), karena didalam ajaran agama Tao, selain kepercayaan terhadap ajaran Tao juga lebih dekat dengan akar praktek agama Buddha.

Kebangkitan spiritualisme semacam ini dapat menumbuhkan persoalan baru mengenai kebebasan, pluralisme, dan hak-hak minoritas di Indonesia. Kalangan etnik tertentu dianggap “belum beragama” sejauh mereka belum

memeluk satu diantara “agama resmi” yang diakui di Indonesia, mereka dianggap hanya memiliki “religi” atau “kepercayaan”.

Bahkan Koentjaraningrat menyarankan, bahwa ketiga istilah baik agama, religi, maupun kepercayaan memiliki definisi sendiri-sendiri. Agama merupakan yang diakui secara resmi dalam negara kita, religi merupakan sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, dan kepercayaan merupakan komponen kedua dalam tiap agama dan religi.

berarti hidup mereka terjamin. Dalam interpretasi-interpretasi selanjutnya kata

“kepercayaan” terus mengalami tarik menarik. Hal ini yang pada akhirnya

membuat aliran kepercayaan dan agama-agama suku di bawah pengawasan dan pembinaan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan yang berdiri pada tahun 197834.

Menurut pemahaman peneliti bahwa dalam pandangan penguasa negara

(pemerintah) dan penguasa “agama universal”, maka bila ada komunitas keagamaan yang dianggap menyimpang dari “agama mainstream” yang dianut

negara, maka komunitas keagamaan tersebut harus “dibersihkan” atau

“ditundukkan” ke dalam wadah agama yang sudah ditentukan penguasa dengan sejumlah syarat, diantaranya adalah “agama lokal” harus merubah sistem ajarannya dan disesuaikan dengan ajaran atau pandangan doctrinal “agama

mainstream” yang berlaku. Apabila menolak, maka negara tidak akan

mengakui mereka sebagai “agama” dan hanya sebatas sebagai “aliran kepercayaan”. Menurut peneliti, istilah “aliran kepercayaan” adalah sebuah

istilah yang “diskriminatif” karena bagi umat yang mengakui agama Tao pasti

mereka akan tetap menganggap Tao sebagai agama.

Menurut pemahaman peneliti, bahwa Konstitusi, Perundangan, dan Peraturan Pemerintah Indonesia sejauh ini memang belum memberi perlakuan

yang sama terhadap “agama universal” dan “agama lokal”, apalagi “agama baru”. Penafsiran dan pemaknaan dari Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat 2 masih menempatkan “agama universal” dan “agama lokal” pada dua kutub

34 Saidi, Anas. (Ed.). 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta. Jakarta: Desantara. Hlm. 34.

yang “diametral” dan “kontradiktif”. “Agama universal” ditempatkan sebagai “agama resmi” yang diakui negara, sementara “agama lokal” dianggap “bukan agama” tetapi hanya “aliran kepercayaan”.

Berdasarkan TAP MPR No.4 Tahun 1978, maka “agama universal”

yang diakui Pemerintah Indonesia yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha. Dan Khonghucu TAP MPR No.4 Tahun 1978 sering dijadikan sebagai acuan yuridis-formal mengenai legitimasi keagamaan di Indonesia. Ketegasan tentang 5 agama resmi selanjutnya termuat dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054 tanggal 18 Desember 1978 sehingga menghapus ketentuan lama yang termaktub dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1965 sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara No.2736 Tahun 1965, dan juga UU No.5 Tahun 1965 yang mengakui Konghucu sebagai

bagian dari “agama mainstream” yang diakui Pemerintah Indonesia. Penetapan

Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1965 ini tidak hanya dicantumkan Konghucu tetapi juga Yahudi, Zaratrustra, Shinto, dan Taoisme. Tapi pencantuman inipun sebetulnya hanya bersifat konstatasi tentang agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia, bukan bersifat pembatasan bahwa hanya agama-agama itulah yang diakui dan berhak hidup di Indonesia, tetapi dalam prakteknya tidak demikian. Konghucu kembali menjadi agama yang diakui Pemerintah Indonesia pada masa Pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid, sedangkan terhadap “agama-agama baru” tampaknya

“agama resmi” yang diakui Pemerintah Indonesia tetapi juga telah menarik garis yang tegas antara “agama” dan “aliran kepercayaan”. “Agama” sebagai sesuatu yang luhur dan “aliran kepercayaan” hanya menduduki posisi “kelas dua” dibawah “agama”. Ketetapan ini ditindaklanjuti Pemerintah Republik

Indonesia melalui Kemnetrian Agama dalam sebuah Instruksi Menteri Agama

No.4 Tahun 1978 yang menolak “kelompok aliran kepercayaan” sebagai

“agama” dan melepaskannya dari pembinaan oleh Kementerian Agama.

Adanya sejumlah peraturan dan perundangan yang “diskriminatif”

berdampak pada pandangan yang sinis dan tidak empatik dari masyarakat mayoritas terhadap komunitas keagamaan lokal. Adanya perlakuan

diskriminatif tersebut dapat mengakibatkan “agama lokal” kurang dihargai dan

akhirnya mengalami diskriminasi, terpinggirkan, terpuruk, terhegemoni, dan kehilangan haknya untuk dihargai sebagai bagian dari kemajemukan agama.

Menurut peneliti, sebutan istilah “agama marginal” sangatlah tepat diberikan

untuk keberadaan agama Tao di Indonesia.

Sejak Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan berlaku, maka pengaturan tentang pencatatan sipil tunduk pada Undang-Undang No.23 Tahun 2006 karena kegiatan pencatatan sipil masuk ke dalam kegiatan Administrasi Kependudukan. Meskipun keberadaan agama Tao

di Indonesia sebagai “agama marginal” namun pada kenyataannya kehidupan

beragama umat Tao berjalan secara alamiah tanpa adanya hambatan. Setelah sekian lama mengalami berbagai macam diskriminasi, namun umat Tao cenderung untuk bersikap dialogis dan melakukan pendekatan persuasif. Saat ini,

dalam hal perkawinan, umat agama Tao tidak mengalami hambatan dalam pencatatannya. Ketika terjadi perkawinan, maka terlebih dahulu tokoh agama Tao menguruskan persyaratan administrasi atau surat-surat berkenaan dengan syarat- syarat perkawinan. Melalui Majlis Tridharma Indonesia (MTI), surat-surat tersebut diserahkan ke Kantor Catatan Sipil. Setelah ditentukan hari perkawinannya, maka perkawinan dilaksanakan di kelenteng “Sinar Tao” di Jl. Madukoro AA/BB Semarang. Sebelum upacara perkawinan dimulai, mereka

melakukan sembahyang di kelenteng “Sinar Tao, tepatnya di depan altar Maha

Dewa Lao Zi. Upacara perkawinan dipimpin oleh ruhaniwan/pendeta agama Tao, yakni Adhi Sandjojo Tairas. Di tempat inilah seluruh keluarga calon penganten laki-laki dan perempuan untuk mengikuti upacara ritual perkawinan dan sekaligus menyaksikan pencatan perkawinan oleh seorang utusan Kantor Catatan Sipil Kota Semarang.

Prosesi perkawinan umat Tao nampak ketika diatas altar Maha DewaTao, diletakkan 5 macam buah sebagai lambang dari U Fuk (Lima kebahagiaan). Di kanan-kiri hiolo terdapat 9 pasang lilin merah yang diatur dari yang pendek ke yang tinggi. Sebagai pemanis, diletakkan rangkaian bunga. Ada pula yang memasang kain merah untuk semakin memeriahkan ruangan.

Begitu tiba, pengantin dijemput oleh sepasang Huang Ie yang bertugas sebagai penjemput pengantin. Mereka dibawa ke ruang upacara dengan diiringi lagu Kwe Ming Li.

kiri tempat upacara, barulah pengantin dan orang tua mereka diantar ke depan altar untuk sembahyang, diiringi lagu Kung Huo. Pengantin beserta orang tua sembahyang dengan menggunakan 1 hio besar dipimpin oleh salah seorang pemimpin upacara.

Seusai sembahyang, orang tua pengantin dipersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan. Orang tua mempelai pria di sebelah kanan dan orang tua mempelai wanita di sebelah kiri.

Acara Cing Ciu (Mempersembahkan arak) dimulai. Dengan diiringi lagu Syiek Suang Jing atau terima kasih, kedua mempelai Kui (bersujud) mempersembahkan arak sebagai lambang hormat serta terima kasih mereka kepada orang tua yang telah membesarkan, mendidik serta memberikan kasih sayang sehingga dewasa dan dapat mulai menempuh sebuah kehidupan sendiri yang mandiri.

Acara dilanjutkan dengan suatu Tanya jawab antara pemimpin upacara dengan pengantin. Para pemimpin upacara berhak menilai apakah kedua mempelai memang cukup layak secara mental untuk membangun sebuah rumah tangga sendiri.

Selanjutnya adalah Acara Tukar Cincin. Dengan diiringi lagu Se Yen (Kuucap Janji), mempelai berdua saling mengikatkan diri. Para pemimpin upacarapun memberikan beberapa nasehat yang berguna dalam kehidupan pernikahan mereka kelak. Puncaknya pernikahan disahkan dengan memberikan simbol berupa kalungan hati kepada masing-masing pengantin, yang kemudian disatukan dengan sebuah kalungan besar berbentuk hati juga, sebagai tanda

bersatunya dua hati. Hadirin serentak memberikan tepuk tangan sambil menyanyikan lagu Cu Fuk, yang berarti selamat berbahagia.

Upacara diakhiri dengan ucapan selamat dari para pemimpin upacara beserta Fu Fak yang lalu diikuti oleh keluarga dan hadirin. Sebelum meninggalkan Taokwan, kedua mempelai sembahyang mengucapkan terima kasih. Lagu Gembira Ria dan Tao Ciao Ti Ce (Umat Tao) mengantar kepergian mereka. Demikianlah, dua buah hati telah menjadi satu, bahu membahu menempuh sebuah kehidupan yang baru.

Begitu juga dalam ritual kematian, umat agama Tao memberikan pelayanan bagi umat yang meningggal dunia. Ritual kematian yang dimaksudkan adalah serangkaian kegiatan untuk mengurus jenazah sampai ke pemakaman.

Dalam hal ini, pengurus kelenteng “Sinar tao” terlebih dahulu mengadakan ritual

kematian, yang dinamakan “Jao Tu”. Upacara ini dimaksudkan untuk

menghantarkan arwah ke alam keabadian, yang diikuti oleh keluarga yang berduka. Biasanya, upacara Jao Tu dilakukan oleh 12 orang ruhaniwan, dan salah satunya berlaku sebagai pemimpin upacara yang membacakan doa-doa atau mantra-mantra agar almarhum memperoleh kehidupan yang damai, dan memberikan rasa aman dan ketenteraman bagi keturunan yang ditinggalkannya. Ritual kematian tersebut dilakukan di rumah duka, tempat almarhum disemayamkan, seperti di Rumah Duka Iwan dan Rumah Duka Pantiwilasa. Di tempat inilah, mereka melakukan ritual kematian dengan pembakaran dupa. Diantara mereka ada seorang yang bertugas membawa Siang Fen (bubuk

cendana) yang akan dibakar di anglo kecil di bawah peti jenazah agar harumnya tembus ke langit tingkat sembilan.

Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa pelayanan hak-hak sipil oleh pemeritah dirasakan jauh lebih baik oleh umat agama Tao, karena pemerintah telah memberikan kelonggaran-kelonggaran sebagai warga negara Indonesia, seperti: hak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan pelayanan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dan sebagainya. Bagi umat agama Tao, perlakuan diskriminatif selama ini tidak direspon secara frontal, melainkan cenderung untuk bersikap persuasif dan dialogis. Hal ini terlihat ketika umat Tao disyaratkan agar mencantumkan agama Budha dalam sebuah dokumen kependudukan, dan mereka memilih untuk menurutinya.

Sikap umat Tao semacam ini tidak lepas dari azas dasar yang dianut oleh

umat Tao yang bersumber pada Kitab Suci “Tao Te Ching”, yang berarti “Aturan

mengenai Jalan dan Kebajikan”. Karena itu, umat agama Tao tidak banyak

tuntutan kepada pemerintah, utamanya berkenaan dengan pengakuan terhadap agama Tao. Sebab hal ini membawa konsekwensi yang lebih berat kepada eksistensi agama Tao sendiri, seperti: penyiapan SDM, penyiapan sarana dan prasarana, bahkan penyiapan struktur kelembagaan.

Sejak era pemerintahan Gus Dur, etnik Tionghoa Indonesia telah

merasakan “kemerdekaan” untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya,

Pelayanan bagi Tao Yuan (umat Tao) kini pun sudah tersebar di sejumlah Taokuan (tempat ibadah umat Tao ) yang tersebar di Indonesia yaitu Thay Ping Gong Sinar Suci Jakarta; Wan Fu Gong Sinar Mulia Bandung; Zheng Dao Gong

Dewa Agung Jambi; Qing Jing Gong Suci Mulia Bandar Lampung; Zi Xiao Gong Sinar Bakti Bangka; Xuan Guang Gong Sinar Agung Tao Palembang; Ci Ai Dao Guan Cinta Kasih Mojokerto; Qing Ping Gong Sinar Damai Makassar; Jing Hua Gong Sinar Murni Medan; Zheng Shan Gong Sinar Sejati Binjai; Wan Fu Gong Sinar Tao Semarang; Thay Qing Gong Maha Suci Surabaya; dan Tao Kwan Sinar Cerah Pontianak (http://taoindonesia.info/2011/10/20/taokuan-tempat-ibadah-

umat-tao-di-indonesia/ Diunduh 17 Agustus 2013 – 11.59 WIB)

Dalam dokumen T2 752011001 BAB III (Halaman 88-99)