• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752011001 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752011001 BAB III"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG

3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang

Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan) cukup beralasan karena berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar, guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM sampai abad 3 M1 (Setiono, 2002:17).

Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah berlangsung lama. Berdasarkan kronik (catatan berbagai peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu) dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa

(2)

pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM), ternyata Tiongkok telah mengenal Nusantara yang disebut Huang-Tse.

Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu satu tahun karena pengaruh musim, sehingga banyak pengembara (pedagang) dari daratan Cina yang harus tinggal selama enam bulan dan akhirnya jatuh cinta dengan negeri yang kaya ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan negeri tempat mereka berasal, yang tandus dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan yang berkepanjangan.

Pada masa kerajaan Airlangga terdapat koloni-koloni Cina yang menetap antara lain di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten. Satu hal yang penting adalah orang-orang Cina mau dan dapat memepertahankan kependudukannya. Karena mereka diterima oleh penduduk pribumi setempat untuk membaur dan hidup berdampingan dengan damai2.

Menurut catatan yang ada, orang-orang Cina mulai berdatangan ke Indonesia pada abad IX yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru. Ketika Laksamana Cheng Ho mcngunjungi Jawa, Cheng Ho menjumpai berbagai pemukiman yang luas dari para pedagang Cina yang tiba pada akhir abad XIV. Sekalipun pada masa itu, kaisar Zhu Yuanzhang dengan tegas melarang orang Cina melakukan perdagangan dan perjalanan ke luar negeri sendiri-sendiri. Dalam sejarah diketahui pada zaman Mataram kuno kira - kira abad VII, Semarang sudah merupakan pelabuhan penting. Sekarang letaknya disekitar Pasar Bulu di kaki

(3)

bukit Bergota yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti Bukit Brintik (kini masih bisa dilihat di perbukitan belakang Gereja Kathedral) dan Bukit Mugas (sekarang terdapat gedung PTP dan Universitas Stikubank di belakang pom bensin) hingga daerah Tlogo Bayem. Di sebelah selatan dan barat Bukit Bergota terdapat antara lain bukit Candi dan Bukit Simongan yaitu daerah sekitar Gedung Batu sekarang. Waktu itu pendatang-pendatang dari daratan Tiongkok sudah banyak yang bermukim di sana.

Tidak diketahui secara pasti, siapakah orang Cina yang pertama kali bermukim di sekitar pelabuhan Gedung Batu. Meski dalam arsip Kongkoan atau Chineese Road yaitu institusi resmi orang Cina yang terdiri dari Mayor, Kapten, dan Letnan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda untuk mengurusi masalah-masalah ringan dalam kelompok mereka seperti pencatatan perkawinan yang terdapat di setiap kota besar di Indonesia, disebutkan bahwa Sam Poo Tay Djien atau Cheng Ho adalah yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Semarang. Cheng Ho, Zheng He, The Hoo, Sam Poo adalah satu nama yang

dibelakang hari menjadi semacam “tokoh mitologi” yang sangat dikeramatkan

dikalangan etnik Tionghoa bahkan sampai sebagai dewa diberbagai kelenteng dengan sebutan “Sam Po Kong” oleh para penganut Konfusianis. Sebuah anakhronisme, Maestro Cheng Ho pun di kemudian hari dikenal dengan banyak sebutan, diantaranya adalah Sam Po Tay Djien, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa Lang3. Cheng Ho adalah utusan dari Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming untuk

(4)

mengadakan pelayaran ke daerah-daerah di Lautan Selatan dari tahun 1405 sampai tahun 1433 dan mungkin telah mengunjungi Semarang pada tahun 14064 (Kasmadi dan Wiyono, 1985:77). Yang jelas, mereka menganggap leluhurnya untuk pertama kali datang di Indonesia adalah mendarat di Bantam (Banten). Kemudian berpencar ke daerah lain seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak, Tanjung, Buyaran, dan akhirnya sampai ke Semarang.

Wang Jinghong (Ong King Hong), sang jurumudi dan sepuluh awak kapal lainnya yang ditinggal di Semarang oleh rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika hendak meneruskan perjalanannya ke Tuban, karena Wang Jinghong sakit keras dan setelah sembuh dengan dibantu oleh awak kapal yang ikut ditinggal, mereka membuka pemukiman baru di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan). Tidak jauh dari tempat mereka tinggal memang telah ada pemukiman penduduk yang dihuni oleh penduduk asli dan warga etnik Cina yang lebih dahulu datang ke Semarang.

Belakangan orang-orang etnik Cina yang merantau ke Semarang memilih bertempat tinggal di sekitar Kelenteng Sam Po Kong karena Gedung Batu memiliki Hong-sui (Geomancy) yang bagus dibandingkan dengan daerah lain di Semarang yang waktu itu masih berupa tegalan dengan beberapa rumah penduduk yang letaknya berdampingan dengan rawa-rawa ataupun comberan, disamping untuk "ngalap berkah" dari Sam Po Kong.

(5)

Tidak jauh dari pemukiman Gedung Batu tinggallah seorang etnik Tionghoa benama Souw Pan Djiang yang jago silat dan di rumahnya sering diadakan semacam diskusi dengan warga etnik Tionghoa yang lain tentang kiat-kiat berdagang di Semarang. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Panjangan, dulu disebut sebagai desa Sepanjang, yang berasal dari kata Pan-Djiang yang merupakan dua kata terakhir dari nama Souw Pan Djiang5 (Liem Thian Joe, 1933). Kebanyakan orang-orang Cina yang merantau ke Semarang ataupun daerah lain mayoritas adalah pedagang berbagai jenis barang khas daratan Tiongkok seperti tembikar, porselen, kain sutera dan lain sebagainya. Kebiasaan dari mereka (pedagang Cina) adalah membawa uang tangci sebagai alat pembayaran yang sah. Lantaran bentuknya yang persegi dan berlubang ditengahnya, dan ketika mereka hendak bepergian selalu merenceng (merangkai) uang tersebut dan melilitkannya di pinggang. Saat itu, penduduk Semarang menyebutnya uang Kentang, sedangkan penduduk di wilayah Kedu seperti Magelang, Temanggung, Kebumen, dan Purworejo menyebutnya dengan uang Gobok.

Sebelum kedatangan orang Belanda, penduduk etnik Tionghoa di Semarang atau daerah lain di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dan berkulturasi dengan budaya masing-masing. Disamping berdagang. orang etnik Tionghoa juga bermata pencaharian sebagai petani dan tukang. Umumnya mereka tidak membawa serta istri dari Tiongkok

5

(6)

dan menikah dengan perempuan local sehingga lahirlah keturunan campuran yang biasa disebut peranakan dan telah merasa menjadi orang Indonesia. Meski demikian, orang Indonesia pada umumnya memandang orang etnik Tionghoa terbagi kedalam dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok.

Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan faktor kelahiran saja, artinya orang Peranakan itu tidak hanya yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan silang antara orang etnik Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok bukan hanya orang etnik Tionghoa yang asli kelahiran Cina. Akan tetapi penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau etnik Tionghoaterhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya. Sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau itu telah berada di Indonesia dan kepada intensitet perkawinan campuran yang telah terjadi di antara para perantau itu dengan orang Indonesia. Penggolongan diatas jelas bermuatan politis, sebagaimana sentimen anti-Cina yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia, kemudian diperburuk lagi oleh pemerintahan pada masa Presiden Soeharto6. Orang-orang Cina seperti yang tinggal di kota-kota lain, dibedakan antara peranakan dan totok. Peranakan adalah yang sudah lama tinggal di Indonesia, sudah berbaur dengan masyarakat pribumi, berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dan

(7)

berperilaku seperti pribumi. Adapun totok, adalah orang-orang Cina pendatang baru, yang datang baru sekitar satu0dua generasi, dan berbahasa Cina7

Major William Thorn dalam buku laporannya selaku Deputy Quarter-Master General to the Forces Serving in Java, menyatakan orang-orang Cina tidak membawa istri dari Tiongkok karena memang ada larangan untuk membawa atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau istri. Tidak kurang dari 5.000 orang etnik Tionghoa yang segera datang ke Batavia kemudian menyebar ke seantero Jawa begitu mendengar kabar bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa8.

Migrasi wanita etnik Cina ke Asia tenggara baru di mulai pada abad ke-l9 dan awal abad ke-20. Sebelumnya imigran etnik Tionghoa hanya terdiri laki-laki saja. Migrasi wanita etnik Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang etnik Tionghoa baik laki-laki maupun perempuan meningkat tajam.

Menyinggung soal kemurnian penduduk Indonesia, Dr.Josef Glinko (2000), pakar antropolog Universitas Airlangga menyatakan, khusus untuk masyarakat Cina sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah airnya, memang hanya pria. Dengan demikian, mau tk mau mereka lantas kawin dengan para wanita disini, jadilah keturunannya anak beranak ikut menghuni

Indonesia. “Lha, mana yang tetap non pribumi kalau begini? Hanya orang bodoh

(8)

Kota Semarang telah diciptakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di tahun 1659 merupakan pelabuhan penting di jalur pantai utara Jawa. Yang mana keadaannya sangat menarik perhatian berbagai pedagang yang datang dari Arab, India, Persia, Cina, dan tak ketinggalan pula orang-orang Eropa. Orang Eropa yang pertama kali datang ke Semarang adalah orang Portugis, menetap di sekitar

“kota lama” (Heerenstraat), yaitu sekitar Gereja Blenduk. Sedangkan Belanda

masuk Semarang mulai awal abad ke-17.

Pada masa itu, Semarang merupakan sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian jatuh dalam kekuasaan Mataram dibawah pimpinan Amangkurat I. Sewaktu terjadi peperangan antara Pangeran Trunojoyo melawan pihak Mataram dibawah pimpinan Raja Amangkurat II, Souw Pan Djiang bersama warga etnik Tionghoa lainnya yang menguasai ilmu silat, berada di pihak Trunojoyo.

Pihak Mataram terdesak sampai di Kartasura. Penguasa Kartasura meminta bantuan kepada Mataram. Hingga Amangkurat II mengambil keputusan untuk meminta bantuan kepada VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie), yaitu kongsi dagang Belanda yang mempunyai tugas mengatur (memonopoli) perniagaan di negeri jajahan Pemerintahan Belanda. Orang Jawa menyebutnya Kumpeni, dan orang etnik Cina menyebutnya Kong Pan Ge9.

VOC tersebut bertugas menumpas para pemberontak Trunojoyo. VOC atau Kompeni berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Informasi tentang tahun terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut berbeda-beda, misalnya dalam

(9)

Arsip Kongkoan disebutkan terjadi pada tahun 1628, padahal menurut A.J. Eijkman dalam bukunya Geschiedenis van Nederland Oost-Indie disebutkan bahwa Kartasura baru didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1678, sedangkan menurut Raffles dalam bukunya Raffles History of Java disebutkan bahwa pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 173110.

Sebagai imbalannya, pihak Mataram menyerahkan daerah Semarang kepada Kompeni. Semarang resmi dibawah kekuasaan Kompeni sejak tanggal 15 Januari 1678. Dalam Arsip Kongkoan karya dari Liem Thian Joe, peristiwa itu terjadi pada 15 Januari 1724. Namun pada tahun 1799 VOC mengalami bangkrut sehingga Semarang diambil alih oleh pemerintah Belanda yang secara otomatis diterapkan pemerintahan kolonial Belanda.

Perpindahan pemukiman orang-orang etnik Tionghoa yang lazim disebut pecinan, dari Gedung Batu ke tempat sekarang yang merupakan wilayah Kelurahan Kranggan, adalah bermula dari perlawanan orang-orang etnik Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada tahun 1740 yang mengakibatkan terbunuhnya 10.000 orang etnik Cina. Pada tahun 1743 pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh Belanda.

(10)

militer di ujung Bojong tepatnya di jalan Djurnatan. Gedung tersebut di namakan “De Werttensbergse Kazerne”. Namun sekarang gedung itu telah dimusnahkan,

menjadi kawasan pertokoan Semarang Plaza.

Alasan Belanda memindahkan orang-orang etnik Tionghoa yaitu agar mudah diawasi dan untuk menghambat kontak hubungan dengan warga etnik Tionghoa di daerah lain. Oleh karena itu Belanda memperkenankan warga etnik Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggalnya dimana saja asal masih dalam wilayah yang ditetapkan oleh penguasa.

Untuk sebelah utara, selatan dan timur yaitu berbatasan dengan kali Semarang. Kali Semarang itu mengalir dan memutar diantara Cap Kauw King, Gang Pinggir, dan Pekojan yang pada waktu itu merupakan akses terpenting sebagai jalur perdagangan dari pelabuhan menuju ke daerah-daerah pedalaman. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan sebuah tegalan yang dinamakan Beteng11. Akibatnya orang-orang etnik Tionghoa lalu mendirikan bangunannya sekenanya saja, sampai sekarang masih bisa kita lihat bekas-bekasnya, misalnya, jalan di Gang Baru sebelah selatan sedikit lebar, sedangkan yang disebelah utara sangat sempit.

Selanjutnya, kota Semarang semakin maju perdagangannya. Orang-orang etnik Tionghoa ramai mengembangkan kebiasaan dari negeri moyangnya yaitu judi. Pusat perjudian terkonsentrasi di daerah Gang. Pinggir, tepatnya di ujung Gang Tjilik. Dampak dari ramainya perjudian di kawasan baru tersebut adalah berdiri pula tempat-tempat pegadaian. Dimana para penjudi yang tidak hanya

11

(11)

orang etnik Tionghoa, pendatang dari India, Arab, Persia, Belanda dan juga orang Jawa sendiri pun ikut serta agar mudah mendapatkan uang. Pihak Belanda pun memungut pajak judi. Dan pada tahun 1724 pemerintah Belanda mengeluarkan uang resmi. Meski di Semarang waktu itu telah beredar pula uang Gobok (Tangci) dan Real. Uang resmi yang dikeluarkan Belanda disebut dengan Hollandsche Duitten. Sementara uang Gobok berlaku hingga tahun 1855, kemudian diganti dengan uang Cent12(Tio,tth:21).

Perlu untuk diketahui, saat itu kali Semarang masih jernih dan dalam, sehingga kapal-kapal berukuran sedang bisa masuk dan bersandar di Kali Koping Gang Pinggir yang kemudian membawa kemajuan pesat bagi daerah Pecinan sampai ke arah timur yang sekarang dikenal dengan nama Petudungan. Pembauran antara warga etnik Tionghoa dengan penduduk asli maupun dari suku-suku lain yang mayoritas beragama Islam dengan ditunjang adanya sebuah Pesantren, membawa Petudungan berkembang pesat hingga hutan-hutan dibuka untuk pemukiman baru dan jalan sebagai akses menuju Demak terutama melewati jalan Ambengan.

Setelah peristiwa pembantaian orang etnik Tionghoa pada bulan Oktober 1740 oleh Kompeni Belanda, terjadilah pengungsian besar-besaran dari Jakarta ke daerah Jawa Tengah. Maka terbentuklah konsentrasi pemukiman etnik Tionghoa di Semarang, dan di sana berdirilah kelenteng-kelenteng seperti Kwee Lak Kwa (TITD Sinar Samudera), Tay Kak Sie, dan lain sebagainya.

(12)

daerah Pekojan yang pada saat itu dikenal sebagai tempat bermukimnya orang Koja, yaitu warga keturunan India yang menikah dengan penduduk asli setempat. Pembukaan hutan tersebut untuk kenyamanan warga Belanda. Akibatnya pekuburan etnik Tionghoa dipindahkan di kaki bukit Candi, yaitu disekitar jalan Sriwijaya, jalan Gergaji, dan jalan Diponegoro atau jalan Siranda. Untuk keperluan acara pemindahan kuburan tersebut, warga etnik Tionghoa mengadakan upacara besar-besaran untuk menolak bala. Untuk mengenangnya dibuatlah inskripsi yang bertuliskan "Lam Boe 0 Mie Too Hoet Kian An", yang dipahatkan di ujung jalan Petolongan yang tembusannya sampai jalan Pekojan13.

Dalam perkembangannya, daerah Pekojan masuk ke dalam wilayah Pecinan. Seiring bertambahnya pendatang yang bermukim, menyebabkan pelebaran daerah Pekojan. Sampai-sampai bekas penjara di pojok perempatan Djurnatan pun diubah menjadi pusat pertokoan.

Untuk keamanan daerah Pecinan, warga etnik Tionghoa mengajukan izin kepada pemerintah Belanda selaku penguasa agar diperbolehkan membangun pintu gerhang di empat penjuru daerah Pecinan. Pertama, di jalan Sebandaran yang menikung ke arah jalan Jagalan. Kedua, di sudut jalan Cap Kau King berbatasan dengan jalan Benteng. Ketiga, di jalan Gang Warung. Dan keempat, di seberang jembatan Pekojan. Akhirnya pada tahun 1811, Semarang jatuh ke tangan Inggris. Ketika itu Gubernur Jenderal Hindia-Belanda adalah Jenderal Jannssens. Penyerahan kekuasaan dilakukan di Benteng Ungaran yang sekarang menjadi sebuah asrama.

13

(13)

Setelah perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC yang berlaku mulai 15 Desember 1960, orang-orang Etnik Tionghoa yang semula berstatus warga negara asing (WNA), ada yang memilih menjadi WNI, tetapi ada pula yang menolak atau ditolak sebagai WNI. Status hukum WNI berdasarkan perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC itu dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Inpres Nomor 2 Tahun 1980 dan Kepres Nomor 13 Tahun 1980. Orang-orang Etnik Tionghoa WNI kemudian menerima SBKRI dari Camat setempat atas nama Ketua Pengadilan Negeri.

3.2. Sejarah Masuknya Agama Tao di Kota Semarang

Agama Tao berasal dari negeri Tiongkok (China) sejak 7000 tahun yang

lalu, umumnya agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Huang Di) karena beliau yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai Tao dalam menjalankan pemerintahannya. Dikembangkan oleh Lao Tzu dengan Kitab Suci Tao De Jing yang ditulisnya, kemudian oleh Zhang Tao Ling mengkodifikasikan ritus-ritus keagamaan Tao seperti tentang bagaimana cara memuja (sembahyang) pada Dewa dengan baik dsb, sehingga ajaran-ajaran Tao menjadi sebuah institusi keagamaan yang well organized.

(14)

kegiatan perdagangan. Agama-agama yang berkembang di Tiongkok selain agama Tao, adalah Khonghucu dan Buddha, para pendatang ini mengaplikasikan nilai-nilai kegamaan dalam ajaran Tao dengan membangun sejumlah kelenteng sebagai tempat ibadah.

Dan pada masa-masa pelayaran Laksamana Cheng Hoo antara tahun 1405-1433 telah menemukan akulturasi budaya antara Tiongkok-Nusantara dengan adanya sejumlah kelenteng yang tersebar di seluruh wilayahnya, dan diantara sejumlah kelenteng itu adalah Jin De Yuan yang dilukiskan oleh seniman Belanda F.Velentjin pada tahun 1726 tapi sayangnya kelenteng ini kemudian terbakar habis saat terjadi peristiwa berdarah bagi etnik Tionghoa di Batavia tahun 1740 14.

Kedatangan agama Tao di Kota Semarang tidak dapat diketahui dengan pasti, akan tetapi banyak tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh agama di daerah ini yang mengaitkan dengan datangnya etnik Cina di Kota Semarang khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Hal ini ditandai dengan jatuhnya dinasti Ming pada tahun 1683 yang mengakibatkan timbulnya gelombang imigran besar-besaran bangsa Cina ke berbagai bangsa di Asia tenggara, salah satunya Indonesia. Orang Cina yang datang ke Indonesia sebagian besar berasal dari dua propinsi, yakni Propinsi Fujien (Fukien) dan Guangdong (Kwan Fu)15.

Adanya gelombang imigran tersebut berkaitan dengan iklim politik yang kurang menguntungkan di negeri Tiongkok, karenna pada dinasti Qing tidak

14 Setiono. Op.cit. Hlm.26. 15

(15)

memberi keleluasaan atau kebebasan kepada orang Cina. Selain itu, keadaan alam yang kurang subur juga turut mendoorong terjadinya migrasi tersebut. Oleh karena itu, orang-orang Cina tersebar kemana-mana, terutama suku Hokkian dan suku Kwong Fu (Kanton). Orang-orang Hokkian lebih banyak berdiam di Jawa dan menjalankan profesinya sebagai pedagang, sedangkan orang Kwan Fu lebih banyak berdiam di Sumattera dan kalimantan Barat, serta menjalankan profesinya sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan.

Kedatangan orang-orang Cina tersebut telah membawa tradisi-tradisi leluhurnya dan atau budaya-budaya leluhurnya yang sudah lama berkembang di daerah asalnya, seperti: agama dan kepercayaan tradisonal. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Tan I Ming (Wawancara, 21 Mei 2014), bahwa banyak, kalau bukan sebagian besar masyarakat dari daratan Cina yang mengenal dan memeluk agama, seperti Kong Hu Cu dan Tao. Bahkan, pada abad ke 17 sudah ada bangunan-bangunan tua di Kota Semarang yang bernama klenteng, seperti Klenteng Siu Hok Bio di Wotgandul Timur. Konon, klenteng ini didirikan pada tahun 1753 oleh komunitas etnik Tionghoa yang dikenal sebagai klenteng tertua di Kota Semarang. Di klenteng ini, dewa utama adalah Hok Teng Tjeng, yang merupakan dewa utama dalam ajaran Taoisme.

Selain itu, di Kota Semarang juga terdapat bangunan klenteng tua yang

disebut “Klenteng Tay Kak Sie”. Klenteng ini dibangun sekitar tahun 1746,

(16)

sebagai tempat pemujaan berbagai Dewa Dewi dari aliran Tao maupun Konfusianisme. Hal ini ditandai dengan adanya ornamen-ornamen dan atau simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan Tao, dan Konfusianisme, seperti: atap klenteng yang berhiaskan sepasang naga sedang memperebutkan matahari. Naga dalam mitologi Cina merupakan binatang yang melambangkan keadilan, kekuatan, dan penjaga barang-barang suci. Naga atau Liong mempunyai makna sebagai lambang kejayaaan atau kemakmuran karena persatuan dari berbagai unsur yang ada. Selain itu, di atas klenteng terdapat simbol singa atau qillin sebagai lambang panjang umur, kemegahan, kebahagiaan, kebajikan, dan kebijaksanaan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Tao sudah masuk di tanah Jawa, khususnya Kota Semarang. Bahkan, jauh sebelum itu agama Tao telah masuk di tanah Jawa sekitar abad ke 15. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Hariyono16 bahwa pada abad ke 15 telah ada orang Cina di Jawa yang beragama Tao. Hal ini dapat dilihat ketika Raden Patah ingin menegakan Islam di tanah Jawa, dimana seluruh pantai utara dikuasainya. Namun, ketika sampai di Semarang (di sekitar Sam Po Kong), pasukan tidak menaklukkan orang yang tidak beragama Islam, karena penduduk disitu memiliki kemahiran membuat kapal yang akan berguna untuk melebarkan kekuasaan Demak. Bahkan, Pengrajin kapal ini ikut membantu menyelesaikan masjid Demak.

16

(17)

Bagi umat Tao, ritual keagamaan berada di tempat-tempat peribadatan Tridharma (TITD) yang dikenal dengan sebutan klenteng, sedangkan klenteng pada hakikatnya merupakan tempat ibadat bersama bagi umat Tridharma. Sebagai ciri umat Tridharma adalah terbiasa untuk menghargai dan merasa ikut memiliki kedua ajaran yang lain, meskipun biasanya setiap orang condong pada satu ajaran saja17.

Di Tiongkok, konsep semacam ini dikenal dengan “Sam Kauw” dalam

dialek Hokkian berarti tiga (sam) agama/ajaran (kauw), yang dimaksud adalah tiga ajaran yang meliputi Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme. Di Indonesia,

konsep “sam kauw” dikenal dengan istilah “Tridharma” yang didirikan oleh Kwee

Tek Hoay pada tahun 1934.

(18)

adalah mempersatukan, menyebarluaskan ajaran tiga agama (Tao, Khonghucu, dan Buddha).

Tapi pada dasarnya organisasi ini lebih bersifat kekeluargaan bagi intern etnik Tionghoa, dan tidak bermaksud untuk memfusikan ketiga agama menajdi satu agama tunggal sebagaimana yang diungkapkan oleh D.E.Willmott, sebagai berikut:

Ajaran tumimbal lahir tidak diselaraskan dengan ajaran leluhur, dan cara-cara hidupyang agak berbeda yang disiratkan dalam Kesalehan Khonghucuisme, Peninggalan Keduniawian Budhisme, dan Kepasifan Taoisme, dianjurkan secara terpisah atau bersama. Banyak anggota dan penceramah terutama merupakan penganut dari salah satu dari ketiga agama itu, sementara meminjam gagasan-gagasan yang sesuai dari dua yang lain (Suryadinata, 2002:180).

Organisasi Sam Kauw Hwee inilah yang kemudian beralih nama menjadi Tri Dharma pada masa-masa setelah G 30S PKI yang menstigmaisasi Tionghoa baik secara kultural, politik, dan ini berdampak dengan enggannya pemerintah mengakui kedua agama Tiongkok (Tao dan Khonghucu) sebagai sebuah agama, lain halnya dengan agama Budha yang lebih dikenal di Indonesia (karena agama Budha sebelumnya telah menjadi suatu agama mayoritas saat era nusantara).

Di tempat ibadat Tridharma ini, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sembahyang bersama (pemujaan dewa/dewi atau altar sam kauw) sehingga terpelihara ikatan kebersamaan antar sesama orang Tionghoa. Namun, secara

keyakinan umat Tridharma percaya kepada “Trinabi” (sam kauw Seng Jin/San

(19)

kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil barat pada orang-orang Cina.

Dengan kesatuan umat “tiga agama”, maka dianggap cukup kuat dalam

membendung kritenisasi itu. Setelah Indonesia merdeka 1945, maka Tridharma sudah bernaung di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali yang kemudian berubah menjadi Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Kini, Tridharma bernaung di bawah Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia.

3.3. Perkembangan Agama Tao di Kota Semarang

Di Indonesia, ketika negara hadir dengan melabeli agama Tao hanya sebagai salah satu nilai filsafat kebudayaan yang berasal dari hasil pemikiran masyarakat etnik Tionghoa yang berasal dari daratan Cina, pendapat negara menjadi begitu dangkal tanpa memikirkan lebih bijak bahwa agama erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap kekuatan sang Pencipta bagi setiap penganutnya. Keyakinan para umat terhadap keberadaan Tuhan didasari dengan dogma-dogma teologi kanonik.

(20)

prasangka-prasangka terhadap etnik Tionghoa menguat pada umat Tao yang

dianggap “tidak beragama” namun hanya “percaya pada Tuhan Yang Maha Esa”.

Pengakuan Negara terhadap agama tertentu yang dianggap memiliki jumlah penganut dihitung secara kuantitas patut menjadi kajian di masa mendatang karena persoalan utama adalah apakah kriteria utama untuk bisa menentukan sebuah agama bisa diakui secara resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ? Apakah agama dengan penganut yang sedikit tidak bisa mendapatkan tempat di rumah sendiri di tanah air Indonesia ? Apakah yang menjadi konsep pengakuan agama oleh pemerintah adalah agama tersebut harus berasal dari Timur Tengah sehingga agama asli yang lahir dan berkembang di tanah air hingga kini belum bisa memperoleh pengakuan secara legal dari pemerintah. Ini sangat

kontradiksi ketika agama Baha’i yang juga menjadi salah satu agama import

(21)

yang memenuhi kriteria 4 Cs di kemudian hari menjadi agama resmi di Indonesia. Bila sudah diakui, tentu saja diperlukan aturan untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Kearifan lokal di setiap daerah memungkinkan pemeluk agama tersebut bisa hidup berdampingan dan menjalin hubungan satu sama lainnya. Tentu saja kehadiran Negara masih diperlukan untuk melakukan pembinaan kehidupan keagamaan sehingga toleransi antarumat beragama tetap terjaga di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsepsi agama akan sangat berbeda bagi setiap agama dan umat dari agama itu sendiri, jika kita melihat konsepsi agama dalam Islam dan Katolik tentunya sangat berbeda, begitu pula antara Hindhu dan Kristen Protestan pun akan terjadi hal yang sama. Lantas bagaimana dengan agama Tao?

Selama ini agama Tao dalam pandangan awam seringkali dikaitkan dengan agama Buddha karena beberapa kemiripan dalam ritus peribadatannya, misalnya penilaian awam ini muncul karena masyarakat melihat bahwa umat Budha melakukan ritus keagamaan dengan menggunakan salah satu sarana seperti hio (dupa) yang juga dapat ditemui dalam ritus keagamaan Tao. Jadi sebenarnya

apa yang dapat dikatakan sebagai “agama”? Konsepsi tentang agama akan

menjadi sangat debatable dari perspektif setiap individu yang meyakininya. Oleh sebab itu agama dalam keanekaragamannya itu hanya memerlukan deskripsi (penggambaran) untuk memahaminya, bukan definisi (batasan).

(22)

hiasannya. Bahkan, kebanyakan dewa/dewi dalam Kelenteng Tay Kak Sie ini adalah dewa/dewi agama Tao. Sementara itu, kelenteng ini kurang memiliki fasilitas ritual keagamaan bagi umat Tao yang memadai, seperti: ruang atau tempat pemujaaan dewa/dewi agama Tao. Karena itu, ada beberapa tokoh umat Tao yang tergabung dalam Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) untuk memikirkan tentang pendirian kelenteng di tempat lain yang lebih representatif.

Perlu diketahui bahwa PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk paguyuban dan bersifat kekeluargaan serta bebas dijadikan wadah bagi seluruh umat Tao di Indonesia. Organisasi ini bersifat sosial (bukan politik) dan tidak mencampuri urusan para anggotanya dalam permasalahan ibadahnya. Karena itu, PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah tempat bernaung dan bersatunya umat Tao di Indonesia. Di Kota Semarang ini PUTI terbentuk pada tanggal 3 Januari 2001, yang diketuai oleh Edhy Prasetyo Hartono. Organisasi PUTI ini memiliki kegiatan sosial, seperti: bakti sosial untuk musibah gempa dan gunung meletus, pemberian bantuan alat-alat tulis bagi anak-anak sekolah kurang mampu, dan pemberian sembako bagi orang-orang miskin, donor darah, dan sebagainya.

Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) ialah suatu organisasi yang bergerak dibidang sosial yang memiliki kegiatan antara lain donor darah, kunjungan ke panti jompo dan yatim piatu, serta berpartisipasi dalam membantu korban bencana alam. Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) memiliki visi dan misi sebagai berikut:

1) Visi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI):

(23)

menciptakan sinergi dengan memperhatikan keselarasan dan keharmonisan hubungan antar umat beragama di Indonesia, untuk mengisi pembangunan bangsa dan negara Indonesia secara proaktif dan positif.

2) Misi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI):

Mengkordinasi dan merangkum aspirasi umat Tao Indonesia demi tegaknya persatuan dan persaudaraan diantara penganut Tao dari berbagai macam aliran dan persaudaran demi terciptanya komunikasi, saling pengertian dan keselarasan gerak dalam kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial untuk turut mewujudkan pembangunan manusia Indonesia yang ber-Ketuhanan dan berkepribadian luhur seutuhnya.

Melalui paguyuban inilah, mereka umat Tao membahas pendirian tempat ibadah agama Tao dan akhirnya mereka dapat membangun rumah ibadah klenteng

yang dikenal dengan “Sinar Tao” di Jl. Madukoro Blok AA/BB Semarang.

(24)

Jadi, kelenteng bukan saja merupakan tempat ibadat yang mampu memenuhi kebutuhan spiritual umatnya, namun ia juga sekaligus merupakan pusat kebudayaan Cina, serta pusat kegiatan dan interaksi sosial para warga etnik Tionghoa, yang secara psikologis merasa berada di rumah sendiri. Bagi warga etnik Tionghoa, melestarikan kelenteng adalah ibarat mempertahankan rumahnya sendiri18.

Umat Tao di Semarang beribadah di Wan Fu Gong Dao Guan atau sering disebut sebagai Tempat Ibadah Sinar Tao. Tempat Ibadah Sinar Tao didirikan pada tahun 2002 dan diresmikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu & Budha, Bapak Drs. I Wayan Suarjaya, M.Sc. pada tanggal 18 Januari 2004.

Wan Fu Gong merupakan kelenteng Tao di Semarang, meski demikian umatnya juga berasal dari kota-kota di Jawa Tengah. Dao Guan Dao Jia (tempat ibadah agama Tao) didominasi warna merah dan kuning. Ditinjau dari bentuk dan bahan strukturnya cukup modern yakni menggunakan pipa besi sebagai konstruksi atapnya, sehingga bisa dikatakan bahwa tempat ibadah ini mempertimbangkan

“ramah lingkungan”19

.

Kategori untuk tempat ibadah ini ialah Dao Guan, yang bernama Wan Fu Gong. Dimana sesuai dengan kategori Dao Guan, seperti halnya di negara yang lainnya, yaitu merupakan sebuah tempat beribadah dan penyelenggaraan upacara

18 Tjan K. 2007. Pengetahuan Umum Tentang Tri Dharma. Semarang: Benih Bersemi. Hlm. 10-11.

(25)

ritual agama Tao, disamping itu juga memberikan bimbingan kerohanian berupa penjabaran ajaran agama Tao pada umatnya serta memberikan pelayanan-pelayanan lainnya pada umatnya seperti upacara pengangkatan anak (Kwe-pang anak), upacara bersyukur, upacara pemberkatan pernikahan, dan upacara kematian. Wan Fu Gong Dao Guan dapat dikatakan merupakan yang pertama dan satu-satunya Dao Guan yang didirikan di Jawa Tengah, dimana sebagai tuan rumahnya adalah Maha Dewa Tai Shang Lao Jun.

Tempat Ibadah Sinar Tao merupakan sebuah tempat ibadah bagi umat Tao di Semarang dan sekitarnya dan memiliki ciri khas yaitu kesemua sosok Dewa dan Dewi nya merupakan Dewa Dewi yang dipuja oleh umat Tao. Kegiatan dan pengelolaan dari tempat ibadah ini dilakukan oleh Yayasan Sinar Tao Semarang dan juga didukung oleh Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) DPC Semarang dan mendapat bimbingan kerohanian dari Majelis Tri Dharma Indonesia yang berpusat di Jakarta.

Organisasi keagamaan bagi umat Tao awalnya memang menjadi satu dengan MATRISIA (Majelis Tri Dharma Indonesia) bersama dengan agama Khonghucu dan Buddha. karena agama Tao dan Khonghucu tidak dianggap sebagai agama maka pelaksanaan pembinaannya berada di bawah Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi).

(26)

Majelis Agama Budha Dharma Kasogatan Indonesia, Majelis Agama Budha Maitreya Indonesia (MABUMI).

Diawali dengan Resolusi MPRS No. III/Res/MPRS/1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa yang memberikan perhatian penuh terhadap suatu kondisi keagamaan yang ada di negara Indonesia, yang diungkap dalam Pasal 1 sebagai berikut:

(1)Mengintensifkan pendidikan Agama sebagai unsur mutlak untuk nation dan character building di semua sekolah dan lembaga pendidikan, dengan memberikan kesempatan yang seimbang;

(2)Melarang usaha penambahan dan pengembangan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan Pancasila, antara lain Marxisme- Leninisme (Komunisme).

Resolusi ini memberikan gambaran bahwa pendidikan keagamaan sangat penting dalam menjaga stabilitas pertahanan keamanan nasional Indonesia yang sempat terganggu oleh insiden G 30 S PKI, PKI sebagai partai yang memiliki kecenderungan ideologi politik kiri (komunis) dianggap lekat dengan budaya China karena komunisme saat itu berjaya di RRC (Republik Rakyat China). Imbasnya segala hal yang berbau China menjadi seolah-olah adalah komunis, inilah yang menjadikan agama Tao direduksi maknanya hanya menjadi sebuah aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berlakunya Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Adat Istidat tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat

(27)

lingkungan keluarga dan perseorangan, dengan adanya ketentuan ini maka umat Tao (dan Khonghucu) dibatasi laku peribadatannya.

Pemerintah yang saat itu menjustifikasi Negara Cina memiliki pengaruh yang besar terhadap hadirnya komunisme di Indoensia, menginginkan stabilitas nasional sesuai dengan karakter budaya lokal dan disertai kondisi spiritual keagamaan yang masif dalam setiap kegiatan pemerintahan demi terwujudnya cita-cita bangsa.

Melalui TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, ditegaskan bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sesuai TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghyatan dan Pengamalan Pancasila alinea 4.

(28)

Dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan Serta Peraturan Pelaksanaannya.

Hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978 No.K-212/Set.Neg/10/1978 itu ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan dikeluarkannya surat edaran pada semua Gubernur dan Bupati di seluruh wilayah Indonesia, disinilah masalah mulai timbul SE Mendagri No.477/74054

tanggal 18 November 1978 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama” pada

Lampiran SK.Mendagri No.221a Tahun 1975, memberikan interpretasi yuridis bahwa yang dimaksud dengan agama terbatas hanya pada lima agama saja yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, dan Budha. Surat edaran inilah yang kemudian menjadi dasar pengakuan oleh negara terhadap lima agama, implikasinya diluar kelima-nya tersebut dapat dikatakan hanya sebagai sebuah

“aliran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan saat itu agama

Khonghucu dan agama Tao adalah yang termasuk kedalam kategori ini

Oleh karena itu, Kelenteng “Sinar Tao” ini tetap di bawah naungan TITD

sehingga menggnakan altar “Tri Nabi” yakni nabi Kong Cu, Nabi Lao Tse, dan

Budha Sakyamuni/Gautama. Hanya saja, pembinaan agama (Tao) nya dilakukan melalui Majelis Tridharma Indonesia (MTI) yang berpusat di lampung, bukan Majelis Tao Indonesia (MTI) yang berpusat di Medan. Perlu diketahui bahwa kelenteng di Jawa Tengah yang mendapat pembinaan MTI Pusat Lampung hanyalah kelenteng “Sinar Tao” di Jl Madukoro Semarang dan kelenteng “Sinar

Kasih Tao” di Jl. Sriwijaya, Magelang. Di dalam kelenteng ini, patung-patung

(29)

disembah oleh umat Agama Tao. Hal ini terlihat pada kelenteng “Sinar Tao” yang memiliki 13 patung, yakni: Maha Dewa Dai Sang Lauw Cin, Dewa Erl Lang Shen, Dewa Jay Shen Ya, Dewa Fuk Tek Cen Shen, Dewa Shien Thien Sang Tie, Dewa Pau Shen Ta Tie, Dewa Zhen Huang Lauw Yek, Dewa Kwan Shen Tie Cin, Dewa Kwang Tek Cuen Huang, Dewi Ciu Thien Sien Nie, Dewi Thien Sang Shen Muk, Dewa/Dewi Hek Hek Erl Sien, dan Dewa Yek Shia Lau Ren.

Jika dilihat ornamennya, maka Kelenteng Sinar Tao dan Kelenteng Sinar Kasih Tao tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng lainnya yang lebih mistis, patung-patungnya kecil, dan suasana di dalamnya terkesan gelap dan angker.

Berbeda dengan kelenteng “Sinar Tao” atau kelenteng “Sinar Kasih Tao” yang

memiliki arsitektur modern dan elegan, sehingga seluruh ruang terkesan terang, terbuka, dan bercahaya. Kemudian ornamen-oranamen yang mencolok hanya pada pintu gerbang depan yang terdapat dua naga (kanan dan kiri), dan depan pintu masuk yang terdapat patung singa atau killin, dan dua tiang besar di depan pintu masuk terukir ornamen naga juga. Sedangkan di atas atap rumah hanya berbentuk genteng biasa, tidak seperti kelenteng-kelenteng lainnya yang terdapat ornamen patung naga dan atau killin. Meski patung-patung didominasi oleh dewa/dewi agama Tao, tetapi tidak menutup kemungkinan agama lain (Konghucu dan Budha) melakukan pemujaan/ sembahyang di kelenteng ini.

(30)

) dan bagian yang terang melambangkan “Yang” (+). Yin melambangkan malam,

gelap, bumi, air, dingin, batin, feminin, dan sebagainya. Sedangkan “Yang”

melambangkan siang, terang, langit, panas, keras, fisik, maskulin, dan sebagainya.

Keberadaan “Yin” dan “Yang” adalah saling berlawanan tetapi juga saling

membutuhkan, sehingga bersatunya “Yin” dan “Yang” dalam satu lingkaran

sebagai lambang harmoni, yang disebut kesempurnaan dalam Tao (Tai Ting). Dalam pandangan Huston Smith20, asas Yinyang menunjukkan segala pertentangan yang mendasar dalam hidup ini, seperti: baik-jahat, aktif-pasif, positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin, pria-wanita, dan seterusnya. Akan tetapi, asas ini merupakan dualisme yang berlawanan tetapi tidak bertentangan secara mutlak. Karena itu, asas Yinyang ini pada hakikatnya menolak segala dikhotomi yang tajam, sebab asas-asas ini mengandung makna saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya.

Pada saat ini, umat Tao di Kota Semarang mengalami perkembangan yang lebih banyak didominasi oleh orang-orang dari daratan Cina. Menurut Tan I Ming (Wawancara, tanggal 20 Mei 2014), bahwa jumlah umat Tao di Kota Semarang berkisar antara 500 orang sampai 600 orang. Hal ini terlihat pada saat perayaan hari kebesaran Kelenteng Sinar Tao, yang banyak dihadiri umat Tao dari berbagai daerah, seperti: Yogjakarta, Magelang, Temanggung, Solo, Ambarawa, Salatiga, Temanggung, Kudus, dan Jepara. Akan tetapi, umat Tao yang aktif mengikuti kegiatan dan sembahyang di kelenteng Sinar Tao ini hanya sekitar 100 s/d 150 orang. Jumlah umat sebanyak ini dapat dilihat ketika terjadi upacara sembahyang

(31)

atau pemujaan dewa/dewi pada setiap tanggal 1 dan atau tanggal 15 bulan Imlek. Namun, jika dilihat pada upacara sembahyang atau pemujaan dewa/dewi pada hari minggu maka umat Tao hanyab berkisar antara 40-50 orang

3.4. Ajaran Agama Tao

Agama, secara umum dapat di definisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Bagi penganutnya, agama bersisikan ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akherat. Karena itu, Parsudi Suparlan21 mengatakan bahwa agama merupakan sistem keyakinan dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadah) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.

(32)

Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything that

goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life; Code of behavior or

ethics includes all the rules and customs of action that somehow follow from one

aspect or another of the Creed; Cult means all the ritual activities that relate the

follower to one aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly.

Prayer is an example of the former, and certain formal behavior toward

representatives of the transcendent, such as priests, is an example of the latter;

Community-structure refers to the relationship among the followers. This can

vary widely, from a very egalitarian relationship, as among quakers, through

a”republican” structure as Presbyterians have, to a monarchical structure, as

with some Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe”.

3.4.1. Tao Ditinjau dari Definisi Kepercayaan (Creed) 1) Kepercayaan kepada Tuhan

Creed merupakan kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya.

(33)

yang disebut Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa berarti bukan illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja.

Tao meyakini adanya Tuhan, akan tetapi konsep Tuhan tidak mudah difahami dengan akal-budi manusia. Untuk menjelaskannya, perlu difahami

konsep “Tao” atau “Dao” dalam metafisika Taoisme. Konsep Tao atau Dao dapat

diartikan sebagai “kebenaran sejati” atau “kebenaran yang paling hakiki”. Tao

juga dapat diartikan sebagai “keberadaan” atau “jalan kehidupan” (way of life),

sehingga siapa saja yang bisa menyelaraskan dengan Tao maka berbahagialah hidupnya. Selain itu, Tao juga bisa diartikan sebagai sumber atau asal usul alam semesta.

Dalam kitab Tao Te Tjing disebutkan bahwa Tao adalah sumber segala sesuatu. Dan segala sesuatu muncul dari satu sumber yang sama. Langit yang luas, bumi yang kukuh, alam yang indah, lembah yang subur, semuanya berasal dari yang satu itu. Menurut Tjan K22 bahwa kebenaran sejati dan atau sumber segala sesuatu adalah hakikat Tuhan Yang Maha Esa.

Tao menggunakan lambang Ba Kua Dai Chi sebagai lambang keagamaan. Ba Kua melambangkan segala sesuatu yang ada di alam semesta dan juga melambangkan segala arah yang berarti 4 penjuru dan 8 arah (Ba). Dai Chi merepresentasikan hakikat substansi Tao dimana lambang Yin menunjukan kesan

“tiada”, lambang Yin menunjukkan sifat Tao yang tidak berwujud, tidak bernama,

Maha Agung, dan tiada berbatas. Sedangkan lambang Yang menunjukkan “ada”,

(34)

lambang ini mendeskripsikan fungsi dan karya dari Tao yang merupakan awal dari segala yang ada di alam semesta, dengan kata lain lambang ini mereprsentasikan sifat Maha Pencipta dan Maha Kuasa.

Tuhan, dalam agama Tao bukan sosok dan bukan sebuah nama, melainkan keberadaan yang absolut (The Existence and The Absolute). Dia adalah

satu-satunya yang ada, tak ada lainnya dan tak ada saingannya, Dia dinamakan “Taiji

yang melambangkan dao sebagai ke-ada-an, ke-satu-an, dan atau ke-esa-an mutlak. Dari Yang Esa (The One) ini melahirkan “Yang Dua”, yakni “Yang” dan “Yin”. Tjan K mengatakan bahwa Yin Yang adalah sifat dualisme segala ciptaan,

yakni aspek positif (yang) dan aspek negatif (yin). Kedua sifat ini bisa bersifat saling melengkapi, saling bergantian, saling berlawanan, dan saling menandingi, seperti: ada-tiada, pria-wanita, siang-malam, tinggi-rendah, baik-jelek, dan sebagainya23

Dari Yang Dua tersebut akan melahirkan Yang Ketiga (Shan Chai), yakni bumi, langit, dan manusia, dan dari Yang Ketiga melahirkan semua makhluk (kesatuan alam semesta). Karena itu, konsep Tuhan dalam agama Tao sebenarnya tidak mengenal istilah penciptaan, melainkan melahirkan, yakni Yang Satu (Tao) melahirkan Yang Dua (Yang dan Yin), dan yang Dua melahirkan Yang Tiga (Kesatuan Yang dan Yin atau kesatuan alam semesta dan manusia). Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Liping (2005:96): Tao creates one, One creates two, Two creates three, And three creates everything in the world

23

(35)

(Tao melahirkan yang satu, Yang satu melahirkan yang dua, yang dua melahirkan yang tiga, dan yang tiga melahirkan segala sesuatu yang ada di dunia).

Tuhan, atau sebut nama apa saja yang diberikan kepada-Nya tidak pernah mengharapkan sesuatu, dan tidak pernah menuntut sesuatu dari manusia. Akan tetapi, manusia terkadang memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga mencari perlindungan kepada “Sang Penguasa Alam”. Karena itu, mulailah manusia berusaha mengadakan hubungan yang lebih pribadi dengan menjalankan pemujaan-pemujaan dan atau persembahyangan untuk memohon perlindungan.

Tuhan, dalam agama Tao biasanya disebut sebagai “Tian Gong” atau “Thian

Kong” dalam dialek Hokkian). Bagi umat Tao, Thian adalah penguasa tertinggi

alam semesta ini, sebab itu kedudukanNya berada di tempat yang paling agung. Dengan demikian, Tao atau Dao merupakan realitas tertinggi yang dibayangkan sebagai lambang Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Lika24 (2012:88), Tao atau Dao adalah Dzat Yang Maha Agung, Yang Mahabesar, absolut, kekal, dan abadi. Dia menciptakan dan atau mengatur seluruh isi alam semesta.Dia tidak berawal dan tiada berakhir. Dia maha adil dan maha pengasih tanpa pandang bulu, sehingga semua manusia di hadapan Tao atau Dao adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi antara yang satu dengan lainnya. Batasan yang membedakannya adalah apakah manusia mampu mengamalkan ajaran Dao (Xiu Dao) sampai mendapatkan Dao dan bersatu dengan-Nya.

(36)

Sebagaimana yang terjadi di Indonesia ketika negara memberikan penilaian terhadap agama-agama tertentu dengan perspektif yang berbeda dari keyakinan umat, tolok ukur yang digunakan adalah nilai-nilai moral yang ada pada agama tersebut memiliki perbedaan yang mungkin jamak ditemui pada

agama yang “dikehendaki” oleh negara (Islam, Katolik, Kristen Protestan,

Hindhu, dan Budha) yang memunculkan stigma bahwa “keyakinan umat” tidak

dapat disebut sebagai “agama” namun hanya sebagai falsafah terhadap Tuhan atau

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Jika ditilik lebih lanjut sebenarnya makna kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah memang suatu pemikiran filosofis tentang keberadaan Tuhan dan ini merupakan esensi dari semua agama yang ada di dunia, lantas keengganan negara untuk mengakui agama Tao adalah suatu pandangan subyektif yang muncul karena alasan-alasan berlatar-belakang prasangka etnik yang telah mengakar di Indonesia sejak lama.

Negara sebagai pengayom bagi setiap warga negaranya memberikan perlindungan, jaminan dan pengakuan terhadap agama atau keyakinan mereka. Agama menjadi salah satu hak paling asasi bagi manusia, dimana karena sifat agama itu sendiri yang sakral dan sangat bergantung pada keyakinan dan kepercayaan dari setiap individu yang begitu personal.

2) Kepercayaan terhadap Nabi dan Dewa/Dewi

(37)

Tao juga meyakini akan adanya dewa-dewi. Agama Tao percaya bahwa sosok mortal manusia dapat menjadi dewa karena sanggup berbuat jasa yang besar bagi masyarakat ataupun orang lain, kategori perbuatan-perbuatan baik tersebut, sebagai berikut:

a. Bisa memberikan keteladanan yang luar biasa dalam perilaku kebijaksanaan untuk umat manusia;

b. Berjasa besar dalam membangun/memperjuangkan kedamaian bagi negara dan masyarakatnya;

c. Bisa mencegah/menanggulangi bencana yang membahayakan umat manusia; d. Sanggup menyumbangkan nyawanya demi membela keyakinan tentang

kebenaran sejati.

Di dalam Agama Tao juga terdapat kepercayaan terhadap nabi, yakni Nabi Lao Zi. Ia dikenal sebagai perintis ajaran Taoisme dan sekaligus penulis kitab

terbesar agama tao, yakni kitab “Tao Te Ching”. Masyarakat pada saat itu sangat

menghormati Nabi Lao Zi karena banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya sehingga banyak orang yang meminta nasehat kepadanya. Karena itu, nama Lao Zi dikenang oleh masyarakat sepanjang masa, baik sebagai seorang filosuf yang dihormati dan sebagai seorang suci atau dewa yang sangat dimuliakan.

(38)

tua”, “sahabat tua”, dan atau “sang guru tua”. Hal ini dimaksudkan sebagai gelar

penghormatan dan kecintaan kepada Lao Zi yang mengembangkan ajaran Tao untuk menuju kesatuan dan keselarasan dengan alam.

Semasa mudanya, Lao Tzi pernah bertugas sebagai seorang pegawai kerajaan pada masa Dinasti Chou (111-255 SM). Di kerajaan ini, ia diberi tugas untuk mengelola dokumen-dokumen dan surat-surat kuno yang bersejarah, serta buku-buku suci dan rahasia. Dengan pengalamannya ini, Lao Zi dapat mempelajari sejarah dan data-data peninggalan sejarah serta memperhatikan kejadian-kejadian di sekelilingnya, termasuk memperhatikan keadaan sosial dan politik kerajaan itu. Dalam masa kerjanya, ia menekankan dan sekaligus mempraktekkan sebuah kehidupan yang jauh dari keinginan diri atau hasrat semata, yaitu suatu kehidupan yang murni dan bersih. Keadaan yang demikian ini sangat membantu Lao Zi untuk membentuk sebuah teori atau ajaran, yang dikenal sebagai aliran Taoisme.

Dalam agama Tao, ada tiga tokoh yang dimuliakan sebagai leluhur agama Tao, yakni Kaisar Kuning (Huang Di), Lao Zi, dan Zhang Ling. Kaisar kuning diakui sebagai cikal bakal orang Cina dan sekaligus diakui sebagai cikal bakal Taoisme. Lao Zi adalah penerus dan pengembang ajaran Tao yang dirintis oleh Huang Di, sehingga ia dikenal sebagai penggubah Taoisme. Kemudian ia dikenal sebagai Nabi Lao Zi yang mengajarkan kitab kepada para pengikut-pengikutnya,

yakni “Tao Te Ching”. Kemudian Zhang Ling dikenal sebagai Zhang Dao Ling

(39)

untuk melakukan amal secara luas dan menjadikan Tao sebagai agama orang Cina.

Sebagai ciri umum agama Tao adalah memuja arwah di alam semesta, seperti langit, bumi, binatang, gunung, sungai, angin, orang suci, leluhur, dan sebagainya. Bahkan, pemujaan terhadap arwah yang menghuni tubuh manusia, seperti roh jantung, roh paru-paru, roh hati, dan roh ginjal. Pemujaan yang termulia adalah Tao, tetapi Tao sendiri di luar jangkauan akal manusia. Karena itu, agama Tao memanusiakan Tao menjadi tiga maha roh (Trisuci) yang bernama

“San Qing (Tiga Mahasuci), yakni Yuan Shi, Ling-bao, dan Dao-de. Mereka

itulah dikenal sebagai dewa tertinggi dalam agama Tao, yakni Yu Qing, Shang Qing, dan Thai Qing. San Qing ini sebagai sumber segalanya, tetapi mereka tidak menguasai alam semesta, sebab yang menguasainya adalah Shang Di, yakni Thian Gong, yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tjan K, 2010:50-51).

(40)

pada setiap tanggal 1 dan tanggal 15 bulan Imlek (Lunar) dan pada hari-hari kebesaran dewa/dewi.

3.4.2. Tao Ditinjau dari Definisi Tindakan/Perilaku (Code)

Code merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan (creed). Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis. Code yaitu seperangkat tindakan yang bersumber pada keyakinan dalam Creed tadi seperti harus berbuat kebajikan dan sebagainya.

Agama Tao memiliki ajaran moralitas yang sangat tinggi, yang tercermin

dalam prinsip dasar Tao, yakni “Kesetiaan” dan “Bakti”. Agama Tao mengajarkan

umatnya untuk menghormati langit dan bumi, menghormati leluhur, mengasihi sesama, dan berdamai dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, agama Tao mengajarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan damai. Karena itu, pengembangan diri bagi umat Tao meliputi dua aspek, yakni aspek ke dalam dan aspek keluar. Dalam aspek keluar, agama Tao mengajarkan bahwa seseorang harus setia, berbakti, berbuat kebajikan dan cermat. Dalam aspek ke dalam, agama Tao mengajarkan bahwa seseorang harus jujur, teguh memegang prinsip yang baik dan benar. Hal ini dimaksudkan untuk memajukan diri sendiri, membantu orang lain tanpa ada batasan apapun.

(41)

“Dalam teks Tai Shang Gan Yin Pian disebutan bahwa bila seseorang telah

mencapai Tao, maka ia akan menjadi yang terdepan dalam berbuat kebaikan, welas asih pada orang lain, berdedikasi tinggi pada tugasnya, membantu orang yang patut dibantu dengan tanpa pamrih, hormat pada orang tua, memberi perhatian yang besar kepada yang muda, tidak merusak leingkungan termasuk tanah, tumbuh-tumbuhan dan serangga, berempati dan berusaha membantu kepada orang yang membutuhkannya, berempati dan berusaha menyelamatkan kepada orang-orang yang sedang dirundung kemalangan, memandang keberuntungan orang lain sebagai keberuntungannya sendiri, dan sebaliknya memandang kemalangan orang

lain sebagai kesusahan dirinya sendiri”.

Ajaran etika tersebut dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujud sikap dan perilaku yang baik ketika berhubungan dengan sesama umat Tao ataupun masyarakat pada umumnya. Dengan etika semacam ini, maka akan tercipta hubungan yang harmonis dan teratur ntara sesama umat beragama. Dalam kehidupan sehari-hari, etika semacam ini terlihat pada cara-cara berpakaian, berbicara, berjalan, bahkan makan dan tidur. Semua aspek kehidupan ini tidak hanya dilakukan oleh Taois (umat Tao), melainkan juga pendeta Tao. Hal ini disebabkan oleh tanggung jawab seorang pendeta Tao yang harus memiliki moral dan mental yang baik dibandingkan umat biasa.

(42)

saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung satu sama lain. Ajaran ini kan dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan damai.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan hal agama menjadi menarik untuk disimak dimana kita tahu bahwa berbicara tentang agama tidak akan terlepas dari hal-hal yang bersifat spiritual, dimana sesuatu yang sacred (suci), ghaib, ataupun mungkin mistis ada di dalamnya. Namun semua ini takkan lepas

dari apa yang disebut sebagai “umat”, golongan yang mendukung dan meyakini

akan keberadaan agama sebagai sarana pendekatkan diri pada sang Causa Prima (biasa disebut dengan Tuhan, Dewa, Allah) yang bersifat transedental dan tentunya berlawanan dengan keprofanan manusia.

Keyakinan umat akan keberadaan Tuhan dimanifestasikan kedalam ritus peribadatan yang telah dinisbatkan dalam Kitab Suci yang bersumber dari wahyu-Nya, ritus-ritus ini dapat bersifat individual maupun komunal. Agama menjadi suatu pranata nilai yang memberikan pedoman bagi manusia (umatnya) dalam menjalani kehidupan dunia dan pencapaian kesempurnaan di akhirat, karenanya pelaksanaan nilai-nilai keagamaan ini disertai pula dengan sanksi yang bersifat transeden berupa dosa dari Tuhan.

(43)

kesetiaan, dan kekaguman terhadap nilai-nilai moral dalam agama (Nothingham, 2002:4). Akan sangat bijaksana bagi kita untuk tidak menilai agama dari perspektif personal kita yang tentunya akan sangat berbeda dengan para penganutnya, dimana tolok ukur agama berada pada religusitas umat dari agama itu sendiri.

Sumber-sumber kebajikan bagi umat Tao tertuang dalam kitab suci yang menjadi pegangan hidup bagi umat Tao. Agama Tao juga mempercayai adanya

kitab suci yang bernama “Tao Te Ching”. Kitab ini merupakan pemikiran Nabi

Lao Zi yang dijadikan sebagai pedoman moral dan etika bagi umat manusia yang ditulis pada abad ke 6 SM. Penulisan kitab ini terdiri atas 5.000 kata, dan tersusun dalam 81 bab, yang terdiri atas dua bagian, yakni: 1). bagian pertama terdiri atas 37 bab yang menerangkan tentang Tao, yang diyakini ada dimana-mana dan asal mula dari segala sesuatu yang di alam ini; 2). bagian kedua terdiri atas 44 bab yang menerangkan tentang Te (kebajikan), yakni daya dan atau kekuatan yang diperoleh dengan mengikuti Tao. Karena itu, isi kitab ini pada prinsipnya adalah mengembangkan jalan Tao agar selaras dengan kehidupan alam.

(44)

ajaran-ajaran untuk memahami agama Tao. Secara umum ajaran dari agama Tao bersumber dari Kitab Suci Tao De Jing (Kitab tentang Kebijakan dan Kebajikan), namun agama Tao juga memiliki sejumlah kitab suci lainnya yang harus diyakini oleh umatnya, antara lain:

a. Dai Sang Lao Jun Zhen Jing (Kitab Suci Maha Dewa Dai Sang Lao Jin);

b. Er Lang Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Er Lang Shen);

c. Fu Tek Zhen Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Fu Tek Zhen Shen);

d. Wang Di Zhi Jing (Empat Kitab Kaisar Kuning(Huang Di);

e. Dai Bing Jing (Kitab Dai Bing atau Kitab Aman Sentosa);

f. Qing Jing Jing (Kitab Hening Tanpa Pamrih);

g. Shen Tian De Tao Zhen Jing (Kitab Suci demi Mendapat Tao dan Naik Ke

Langit).

Kitab-kitab tersebut pada hakikatnya adalah tiga kitab klasik Tao yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Hal ini terlihat pada pembukaan kitab Tao Te Ching yang menyebutkan:

“Tao yang dapat dijabarkan bukanlah Tao yang sejati; nama yang dapat diberikan pada Nya, bukanlah arti yang sesungguhnya. Dia adalah tak bernama, dan tak berwujud, serta tak terjangkau oleh pemikiran normal. Tao adalah sumber dari semua kehidupan, sesuatu yang bukan pribadi tetapi bukan Dewa/Roh. Tao adalah sesuatu yang tak bernama tetapi berada di belakang layar alam semesta ini. Kehidupan ini sinonim dengan Keberadaan, dengan Tuhan, dengan Allah(Anand Krisna, 1998: xv)”.

(45)

dianggap sebagai ajaran mistis, misterius, dan seolah-olah enggan bersentuhan dengan dunia luar, semua ini lebih karena minimya pemahaman masyarakat tentang bagaimana sebenarnya agama Tao. Orang cenderung menjustifikasi agama Tao hanya sebagai nilai-nilai filsafat karena tidak mampu menangkap essensi ajaran Tao yang tertuang pada Kitab Suci Tao De Jing, kitab suci ini berisi 5000 kata bijak dari Lao Tzu yang sederhana namun memiliki makna yang dalam sehingga banyak orang menilai dengan subyektifitasnya sendiri (multiinterpretable) dan terkadang menimbulkan kesesatan pemahaman.

3.4.3. Tao Ditinjau dari Definisi Peribadatan (Cult)

Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam hubungan dengan Creed sebagai cara upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi.

Setiap agama memiliki sistim upacara yang bertujuan untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. Sistim upacara ini terdiri atas beraneka-ragam upacara dengan berbagai macam unsurnya, seperti berdoa, bersaji, bersujud, berkorban, makan bersama, dan sebagainya25 Dalam agama Tao, sistim upacara yang dilakukan oleh penganutnya berbentuk pemujaan atau sembahyang.

(46)

tersebut umat Tao berdatangan menuju ke Kelenteng Sinar Tao di jl. Madukoro Blok AA/BB Semarang. Sebagian diantara mereka datang secara individual (perorangan), dan sebagian diantara mereka datang dengan keluarganya, seperti anak dan isterinya. Ketika datang, mereka langsung masuk ke dalam klenteng

untuk mengambil “hio” atau dupa yang telah disediakan oleh pengurus kelenteng.

Kemudian mereka langsung melakukan pemujaan/sembahyang ke dewa/dewi agama Tao. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan pemujaan/sembahyang ini adakalana dilakukan secara perorangan, dan adakalanya dilakukan secara bersama/berkelompok.

Pertama-tama, pemujaan/sembahyang dilakukan di hadapan Dewa Langit, sebagai manifestasi Tian Kong, Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pemujaan/ sembahyang di hadapan Maha Dewa Lao Zi, lalu secara berturut-turut melakukan pemujaan/sembahyang di hadapan dewa/dewi agama Tao, sebagai-mana tersebut di atas. Setelah itu, mereka berkumpul di tempat yang telah disediakan untuk saling bertegur sapa, bercerita, berdiskusi, dan sebagainya. Pada saat inilah pengurus yayasan atau tokoh-tokoh agama tao memberikan informasi-informasi penting kepada umat, baik menyangkut masalah keagamaan ataupun masalah-masalah lainnya, seperti: tata cara ibadah, bakti sosial, dan sebagainya. Kemudian pertemuan diakhiri dengan pemujaan/sembahyang bersama yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama Tao.

(47)

5 Imlek. Pada saat ini diselenggarakan upacara pemujaan/sembahyang bersama, sebagaimana pada tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Hanya saja, masyarakat Tao yang mengikutinya berjumlah lebih banyak. Jika pada pemujaan/sembahyang tanggal 1 dan 15 bulan Imlek hanya diikuti sekitar 100 – 150 orang, maka pada kebesaran ini diikuti oleh umat Tao sekitar 500 – 600 orang. Hal ini disebabkan peserta ritual keagamaan tidak hanya berasal darai kota Semarang, melainkan dari umat Tao di luar kota Semarang, seperti; Solo, Jepara, Kudus, Woonosobo, Magelang, dan Temanggung.

Agama Tao dalam menghitung hari menggunakan penanggalan “Imlek”

(48)
[image:48.595.101.520.162.719.2]

Tabel 1:

Hari-Hari Besar Agama Tao Yang Diperingati Oleh Umat Tao Tanggal Bulan (Imlek) Keterangan Nama Dewa-Dewi

15 5 Imlek Maha Dewa Tao Thay Shang Lao Jun

19 2 Imlek Kelahiran Dewi Gwan Yin

Gwan Yin (Welas Asih)

19 6 Imlek Naik Ke Surga

19 9 Imlek Wafatnya Dewi Gwan Yin

9 9 Imlek Pelindung Anak Li Na Zha

24 6 Imlek Dewa Kesetiaan Gwan Gong

3 3 Imlek Penjaga Langit Xuan Thian Zhang Di

2 2 Imlek Penjaga Bumi Fu De Zheng Shen

22 4 Imlek Dewa Kekayaan Chai Shen Ye

22 2 Imlek Dewa Petani Gong De Jun Ong

23 3 Imlek Dewi Penjaga Laut Thien Shang Shen Mu

28 8 Imlek Dewa Pelindung Er Lang Zhen

9 9 Imlek Pelindung Wanita Ciu Thian Xian Nie

19 7 Imlek Penguasa Waktu Tai Su Ye

15 3 Imlek Dewa Pengobatan Bao Sheng Da Di

(49)

Dalam menjalankan pemujaan/sembahyang kepada dewa/dewi, umat Tao

harus melaksanakan “San Li Jiu Kou”, yakni membungkuk tiga kali dan bersujud

(50)
(51)

3.4.4. Tao Ditinjau dari Definisi Komunitas (Community)

Antara Khonghucu dengan Tao sama-sama tergabung dalam Tridharma sebagai satu organ kesatuan hanya ada di Indonesia. Tridharma tidak pernah mempunyai hubungan ke negara lain. Tridharma lahir karena dahsyatnya misi-misi Agama Nasrani yang berorientasi menyedot Umat Buddha keturunan Tionghoa pada akhir abad 19. Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee setelah Tiong Hoa Hwee Koan gagal memelihara dan mengembangkan ajaran Khong Hu Cu dan Beliau menganggap Khong Kauw Hwee yang didirikan di Solo pada tahun 1918 dan di kota-kota lain kurang memasyarakat atau kurang memberikan harapan.

Ong Kie Tjay membentuk Tempat Ibadat Tri Dharma karena klenteng-klenteng di Jawa Timur terancam punah sebagai akibat dari persepsi yang kurang lengkap dari Penguasa Perang Daerah terhadap klenteng yang dianggapnya sebagai Lembaga Kecinaan yang non agama pasca G30S/PKI tahun 1965. Tahun 1954 lahir di Bogor Persatuan Pemuda Pemudi Sam Kauw Indonesia (P3SKI) yang kini menjadi Pemuda Tridharma Indonesia. Salah satu pendirinya adalah Souw Tjiang Poh atau lebih dikenal dengan nama Yogamurti bermukim di Bandung.

(52)

kebudayaan Tionghoa oleh orang Tionghoa sendiri. Dalam pandangan Sam Kauw Hwee, tiga agama ini dapat disebut sebagai agama Tionghoa.

“itoe Sam Kauw aken mendjadi satoe philosofie agama jang paling

lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bangsa Tionghoa

jang leloehoernja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboean taon laloe”.

(tulisan Kwee Tek Hoay di Sam Kauw Gwat Po edisi Feb 1939).

Konsep Tridharma/SamKauw/Sanjiao/Tiga Agama bukan hanya ada di Indonesia, tetapi sudah berakar mulai abad ke-12 di Tiongkok. Ditambah dengan sifat bangsa Tionghoa yang suka mencampur adukkan ajaran agama (sinkretisme) yang ada. Banyak bagian kebudayaan Tionghoa yang sudah tercampur-baur dengan unsur dari ketiga agama ini.

Tridharma (Hanzi: hanyu pinyin: sanjiao) adalah sebuah kepercayaan yang tidak dapat digolongkan ke dalam agama apapun. Tridharma disebut Samkau dalam dialek Hokkian, berarti harfiah tiga ajaran. Tiga ajaran yang dimaksud adalah Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme.

Tridharma lebih tepat disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa sebagai hasil dari sinkretisme ketiga filsafat yang mempengaruhi kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok sejak 2500 tahun lalu.

Tridharma adalah Sam Kauw / San Jiao.

(53)

secara organisatoris memang benar bahwa organisasi Tridharma berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Kementerian Agama RI.

Lao Tze mengajarkan bahwa Tao adalah sumber misteri, kedalaman dasar dari ada. Konsep Tao tersebut mempunyai makna metafisik sebagai kebenaran absolut, realitas terakhir, dasar yang kekal dari ada. Dalam Konfusianisme konsep Tao mempunyai makna etis. Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme, ketiga agama tersebut hidup berdampingan saling melengkapi dan isi mengisi, disamping memang sejalan dengan praktek kesalehan Cina. Seorang penganut Konfusianisme, misalnya, akan meminta seorang pendeta agama Buddha untuk membacakan doa bagi orang yang mati karena Buddha memberikan perspektif yang menarik tentang orang mati. Selain itu ia juga akan mempraktekan ajaran-ajaran Tao untuk menentukan tempat penguburan yang baik. Konfusianisme mengajarkan bagaimana belajar menjadi manusia yang sebenarnya. Dalam dunia filsafat, inilah yang merupakan inti dari

Gambar

Tabel 1:

Referensi

Dokumen terkait

Polder Tawang Semarang mempunyai masalah pencemaran akibat limbah yang berasal dari limbah kota, pasar ikan, industri, dan rumah tangga yang masuk ke perairan yang berpengaruh

h. Pelayanan kesehatan yang diberikan pada kegiatan bakti sosial, baik dalam gedung maupun luar gedung. Peserta Kartu Sehat, Peserta Keluarga Harapan, Penghuni Panti Asuhan,

Pada saat ini, di Indonesia telah dibuat Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun sampai saat ini belum diundangkan dan belum

Bahwa setelah dilakukan pertemuan beberapa kali untuk meminta saudara agar segera membayar sisa  pembayaran tahap kedua, namun saudara tidak mau melaksanakan kesepakatan dengan

Tanggapan sistem lingkar tertutup terhadap masukan undak satuan Kode Matlab untuk penyelesaian soal contoh

Disamping identifikasi strain dan sistem deteksi, ada beberapa kriteria yang diharapkan dalam pengembangan probiotik baru seperti: (1) kecocokan (untuk probiotik konsumsi

Dari uji hipotesis didapatkan hasil bahwa variabel kecerdasan emosional (X1) terhadap kinerja karyawan memiliki pengaruh yang signifikan dan variabel komunikasi (X2) terhadap

Maka apabila diaplikasikan dalam kegiatan penjualan, penyampaian ide secara persuasif (bujukan) agar calon pembeli / prospek setuju dan membeli dari kita akan lebih