• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman tentang Sikap dan Tindakan yang Sesuai dengan Prinsip-Prinsip Antikorups

HASIL DAN PEMBAHASAN

E. Pemahaman tentang Sikap dan Tindakan yang Sesuai dengan Prinsip-Prinsip Antikorups

Subbab ini berupaya untuk mengetahui bagaimanakah sikap atau tindakan yang dilakukan oleh para aparat birokrasi pemerintah desa dalam melayani kepentingan masyarakat. Sikap antikourpsi ditunjukkan dengan terlebih dahulu mengedepankan tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip anti korupsi. Namun jika korupsi dianggap sebagai hal yang biasa (business as usual) maka mungkin mereka akan menganggap berbagai tindakan koruptif itu sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai upaya menjalankan prinsip-prinsip antikorupsi antara lain adalah: transparan, bertanggung jawab dan bersedia membuka ruang dialog bagi aspirasi masyarakat. Hal-hal yang dapat dianggap mewakili prinsip- prinsip tersebut dalam menjalankan roda pemerintahan antara lain: (1) tertib dalam pembuatan laporan pertanggungjawaban untuk setiap kegiatan; (2) jujur dalam pembuatan laporan pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan; (3) menepati rencana atau menjalankan program sesuai dengan rencana pembangunan yang telah tertulis di dalam dokumen rencana kegiatan (Rencana Pembangunan Jangka Pendek/RPJP, atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah /RPJM); dan (4) melakukan musyawarah di tingkat wilayah (desa) bila menemui berbagai masalah atau kendala, sehingga masalah itu dapat dipecahkan bersama oleh masyarakat.

Tabel 32: Sikap Aparat Birokrasi Pemerintah Desa dalam Menjalankan Prinsip- Prinsip Antikorupsi

Upaya yang Berkaitan dengan Prinsip- Prinsip Antikorupsi

Frekuensi Total

Ya Tidak

Pembuatan LPJ dalam setiap kegiatan desa 46 (70,8%) 19 (29,2%) 65 (100%) Jujur dalam pembuatan LPJ 3 (4,6%) 62 (95,4%) 65 (100%) Melaksanakan rencana pembangunan 10 (15,4%) 55 (84,6%) 65 (100%) Melakukan Musyawarah Desa 38 (58,5) 27 (41,5%) 65 (100%)

Bila memperhatikan tabel 32 di atas, beberapa aktivitas aparat desa nampaknya sudah mengarah pada upaya penegakan prinsip-prinsip anti korupsi, yaitu pada kegiatan pembuatan LPJ dalam setiap kegiatan desa, di mana hal itu menunjukkan tanggung jawab mereka kepada publik atau masyarakat (sebanyak 70,8 persen responden telah melakukan hal tersebut). Hal lain yang juga dapat dianggap telah memenuhi prinsip- prinsip antikorupsi adalah melakukan musyawarah desa, di mana sebanyak 58,5 persen responden mengaku bahwa hal tersebut telah biasa mereka lakukan di wilayahya.

Bila kedua hal tersebut di atas dianggap sebagai upaya pemerintah desa untuk menegakkan prinsip-prinsip antikorupsi, maka ada hal lain yang dilakukan oleh para aparat birokrat pemerintah desa yang cenderung dianggap tidak mencerminkan sikap antikorupsi. Hal-hal tersebut adalah: tidak jujur dalam pembuatan LPJ (sebanyak 95,4 persen mengaku bahwa mereka tidak jujur dalam membuat LPJ), dan tidak melaksanakan rencana pembangunan (sebanyak 84,6 persen mengaku bahwa kegiatan pembangunan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana). Bila demikian halnya maka dapat dikatakan bahwa para aparat birokrasi pemerintahan desa belum mampu menegakkan prinsip-prinsip transparansi dan tanggung jawab.

Meskipun nampaknya para aparat birokrasi pemerintah desa yang menjadi responden dalam studi ini belum dapat dikatakan sepenuhnya mampu menerapkan prinsip-prinsip antikorupsi dalam setiap kebijakan, tindakan atau sikap mereka dalam melayani masyarakat, namun ketika mereka diminta pendapatnya tentang upaya gerakan antikorupsi, cukup banyak responden yang mengatakan bahwa kontrol atau pemeriksaan secara rutin atau berkala (setiap tahun) oleh inspektorat (63,5 persen) atau KPK (73,1 persen) perlu dilakukan dan terus-menerus diperkuat. Ini artinya, mereka masih membutuhkan kontrol yang cukup tegas dan kuat untuk menjalankan roda pemerintahan, meskipun dalam skala tingkat desa, agar kasus-kasus korupsi tidak mudah didakwakan kepada mereka.

Tabel 33: Upaya yang Diharapkan untuk Menegakan Prinsip-Prinsip Antikorupsi

Upaya yang Diharapkan untuk Menegakkan Prinsip-Prinsip Antikorupsi

Frekuensi Total

Ya Tidak Pemeriksaan Inspektorat setiap 1 tahun

sekali

33 (63,5%) 19 (36,5%) 52 (100%)

Keyakinan para aparat pemerintah desa untuk dapat bertindak adil, jujur dan sesuai dengan prinsip-prinsip antikorupsi masih tetap menjadi tekad mereka. Hal itu dapat dibuktikan ketika mereka diminta pendapatnya tentang ide atau saran untuk mewujudkan pemerintahan desa yang bebas korupsi, di mana dari 45 responden yang memberikan ide/saran, sebanyak 80 persen menyarankan agar selalu bertindak transparan dalam setiap kegiatan desa dan sebanyak 51 persen menyarankan untuk memperkuat musyawarah desa. Sedangkan yang menginginkan kejujuran sebagai cara terbaik untuk menegakkan prinsip-prinsip anti korupsi hanya sekitar 40 persen.

Tabel 34: Ide Atau Saran Untuk Mewujudkan Pemerintahan Desa Yang Bebas Korupsi

Bentuk Ide atau Saran Frekuensi Total

Ya Tidak Selalu melakukan transparansi dalam

kegiatan Desa

36 (80%) 9 (20%) 45 (100%) Musyawarah Desa 23 (51%) 22 (49%) 45 (100%)

Jujur 18 (40%) 27 (60%) 45 (100%)

Simpulan

Sebagai upaya menjalankan prinsip-prinsip antikorupsi bagi aparat birokrasi pemerintah desa, maka beberapa hal berikut ini dapat dianggap sebagai representasi penerapan prinsip-prinsip anti korupsi, yaitu: transparan, bertanggung jawab dan bersedia membuka ruang dialog bagi aspirasi masyarakat. Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa:

a) beberapa aktivitas aparat desa yang nampaknya sudah mengarah pada upaya penegakan prinsip-prinsip anti korupsi, yaitu pada kegiatan: (1) pembuatan LPJ dalam setiap kegiatan desa, di mana hal itu menunjukkan tanggung jawab mereka kepada publik atau masyarakat, dan (2) melakukan musyawarah desa. b) Namun ada beberapa sikap atau tindakah yang dianggap oleh para responden

yang dianggap tidak mencerminkan sikap antikorupsi pada para aparat pemerintah desa. Hal-hal tersebut adalah: (1) tidak jujur dalam pembuatan LPJ, dan (2) kegiatan pembangunan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana.

c) Untuk mendukung upaya gerakan antikorupsi, cukup banyak responden yang menginginkan bahwa kontrol atau pemeriksaan secara rutin atau berkala (setiap tahun) dilakukan oleh inspektorat atau KPK.

d) Keyakinan para aparat pemerintah desa untuk dapat bertindak adil, jujur dan sesuai dengan prinsip-prinsip antikorupsi masih tetap menjadi tekad mereka. Adapun saran dan keinginan para responden adalah; (1) agar aparat birokrasi pemerintah desa selalu bertindak transparan dalam setiap kegiatan desa, dan (2) memperkuat lembaga musyawarah desa. Namun sayangnya yang menginginkan kejujuran sebagai cara terbaik untuk menegakkan prinsip-prinsip anti korupsi hanya hanya dipilih oleh sedikit responden.

2. PEMBAHASAN

Karakteristik responden sesuai dengan sasaran penelitian ini, di mana posisi mereka di pemerintahan desa pada umumnya adalah kepala dusun, kepada desa, serta kepala urusan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat. Masa bakti mereka sebagai aparat birokrasi pemerintahan desa sebagian besar lebih dari 10 tahun dengan usia berkisar antara 38 hingga 55 tahun. Tingkat pendidikan mereka pada umumnya hanya sampai pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Karakteristik khas para aparat birokrasi pemerintah desa semacam itu sedikit-banyak dapat menjelaskan sikap dan perilaku mereka dalam mengelola pemerintahan desa.

a. Pemahaman Tentang Unsur-Unsur dalam UU Desa

Oleh karena para responden adalah aparat birokrasi pemerintah desa yang sudah cukup lama bertugas, maka pada umumnya mereka juga sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang berbagai unsur yang termuat di dalam UU Desa, seperti hal-hal yang berkaitan dengan: (1) pemerintah desa beserta perangkatnya; (2) musyawarah desa, BPD dan perangkatnya; (3) pembangunan desa, serta (4) peraturan desa. Unsur-unsur tersebut juga telah dilaksanakan dengan baik oleh para perangkat pemerintah desa. Namun unsur-unsur yang nampaknya masih belum banyak dikenal oleh para perangkat atau aparat birokrasi pemerintah desa yang ada di dalam Undang- Undang Desa No.6 tahun 2014 adalah tentang: (1) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); (2) pemberdayaan masyarakat desa; (3) pengelolaan asset desa, dan (4) pengelolaan keuangan desa. Meskipun pengelolaan asset desa dan keuangan desa oleh

sebagian responden dianggap hal baru, namun ada beberapa responden yang mengaku bahwa di desanya kedua hal tersebut (mendata dan memelihara asset desa serta mengatur serta membukukan keuangan desa) sudah dapat dijalankan dengan baik.

Dua hal yang benar-benar baru bagi hampir seluruh responden adalah tentang BUMDes dan pemberdayaan masyarakat desa. Bila kedua unsur tersebut belum dipahami dengan baik oleh para aparatur birokasi pemerintah desa dikhawatirkan ketika dana desa dialokasikan untuk kedua hal itu akan timbul berbagai masalah, seperti penyimpangan penggunaan anggaran pada pengelolaan BUMDes atau ketidaktepatan sasaran program bagi kelompok-kelompok masyarakat yang memang benar-benar membutuhkan program pemberdayaan masyarakat. Untuk itu perlu ada intervensi dan sosialiasi kepada para aparatur birokrasi pemerintahan desa mengenai kedua hal baru tersebut.

b. Implementasi Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Sebagai upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik hampir seluruh responden mengaku telah melakukan pelayanan terbaik untuk masyarakat, khususnya dalam hal menyelenggarakan musyawarah desa, menetapkan dan melaksanakan peraturan desa serta, untuk sebagian responden, memelihara asset desa. Adapun bentuk pelayanan publik yang dianggap telah berorientas pada kepentingan masyarakat adalah dalam hal pelayanan administrasi kependudukan.

Bila hal-hal di atas dianggap oleh sebagian besar responden telah mencerminkan kinerja baik mereka kepada masyarakat, maka mereka juga mengakui bahwa masih ada bidang kerja yang belum memenuhi prinsip pelayanan terbaik untuk publik/masyarakat yaitu dalam hal pelaksanaan pembangunan desa. Sedangkan bidang kerja yang sama sekali belum pernah mereka laksanakan adalah menjalankan program pemberdayaan masyarakat desa, dan mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik ditandai pula oleh terbukanya partisipasi masyarakat dalam kegiatan desa. Menurut pengakuan responden, partisipasi masyarakat sudah diberi ruang oleh para aparat pemerintah desa khususnya dalam hal: (1) kegiatan pembentukan Badan Permusyawarahan Desa (BPD) dan perangkatnya; (2) pembentukan pemerintahan desa dan perangkatnya; (3) menyelenggarakan musyawarah desa; (4) menyelenggarakan pembangunan desa; (5) menetapkan dan melaksanakan

peraturan desa; (6) mengatur dan membukukan keuangan desa; serta (7) mendata dan memelihara asset desa.

Adapun bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat dalam membantu jalannya pemerintahan desa antara lain berupa: menyumbangkan tenaga, menyumbangkan uang, ikut dan terlibat dalam musyawarah desa, serta menyampaikan aspirasi melalui BPD atau perwakilan rakyat setempat. Tingkat partisipasi masyarakat yang demikian itu, menurut konsep tangga partisipasi masyarakat yang dikemukan oleh Sheryy Arnstein (1969) menunjukkan bahwa masyarakat masih berada pada tangga partispasi tokenisme, di mana partispasi mereka dapat diartikan masih sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi sekadar menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguh-sungguh untuk melibatkan masyarakat secara bermakna.1

Tata kelola pemerintah yang baik juga ditandai dengan kemampuan aparat birokrasi pemerinah untuk bertindak transparan. Namun berdasarkan pengakuan para responden terlihat bahwa prinsip transparansi belum sepenuhnya dijalankan oleh para aparat birokrasi pemerintahan desa. Adapun unsur-unsur yang dinilai responden cukup besar ketidaktransparannya antara lain adalah pada pembuatan dan penegakkan peraturan desa, serta pada kinerja BPD dan perangkatnya. BUMDes dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dianggap unsur baru dalam pemerintahan desa sehingga mereka tidak dapat menilai tingkat transparansinya.

Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) juga dapat diukur dari kemampuan aparat birokrasi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada masyarakat. Berdasarkan jawaban responden, terlihat bahwa di semua unsur dalam UU desa yang sudah diimplementasikan, pada umumnya para aparatur birokrasi pemerintahan desa sudah dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Namun ada beberapa unsur yang menurut responden belum pernah dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, yaitu: pada proses pembentukan peraturan desa, hasil musyawarah desa serta asset desa. BUMDes dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah hal baru dalam pemerintahan desa sehingga kebanyakan responden tidak bisa memberi penilaian terhadap kinerja pemerintah desa pada kedua hal tersebut.

Meskipun menurut pengakuan sebagian responden mereka sudah mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat, tetapi cukup banyak pula di antara responden tidak mengetahui cara mempertanggungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada masyarakat termasuk tidak mengetahui mekanismenya. Sehingga cukup banyak responden yang tidak membuat LPJ di setiap kegiatan atau , membuat LPJ tahunan. Di samping itu mereka juga tidak bekerja sesuai dengan tugas, pokok dan fungsinya (tupoksi).

Prinsip good governance juga mensyaratkan adanya penyampaian informasi yang dapat dipercaya kepada masyarakat, khususnya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan program-program pemerintah. Berdasarkan pengakuan beberapa responden bahwa masih ada informasi yang tidak secara rutin disampaikan kepada masyarakat, yaitu informasi yang berkaitan dengan kebijakan dari pemerintah propinsi dan kebijakan dari pemerintah pusat. Kendala yang dihadapi aparatur birokrasi pemerintah desa ketika mereka tidak bisa secara rutin menyampaikan informasi dari pemerintah propinsi dan pusat kepada masyarakat adalah karena: keterbatasan akses informasi (tidak tersedianya media komunikasi yang cepat, seperti email, internet, dan sebagainya) dan pemerintah propinsi atau pusat terlambat menyampaikan informasi tersebut sampai ke tingkat desa.

Prinsip good governance lainnya adalah pada kemampuan aparat birokrasi pemerintahan untuk bertindak adil kepada masyarakat dan selalu menaati aturan-aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan pengakuan responden, sebagian besar aparat pemerintahan desa sudah menerapkan prinsip keadilan di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menaati aturan hukum yang berlaku. Namun demikian, ketika para responden diminta memberikan contoh perilaku mana saja dari para aparat pemerintah desa yang sudah menunjukkan keadilan, kebanyakan dari mereka menunjuk pada pelayanan kependudukan. Namun, dalam menjalakan perannya dalam melayani penduduk menurut pengakuan responden, mereka masih belum mampu menunjukkan visi keadilan dan ketaaatan pada aturan hukum, karena seringkali mereka masih mendahulukan keluarga, tidak selalu memberikan informasi kepada masyarakat, menerima suap dan tidak mendahulukan prosedur.

c. Pemahaman Tentang UU Antikorupsi dan Pengetahuan Tentang Tindakan Koruptif

Berdasarkan pengakuan sebagian besar responden bahwa masih cukup banyak di antara mereka yang belum pernah mempelajari atau mendapatkan informasi tentang UU Anti Korupsi. Oleh karena itu merekapun juga mengaku tidak pernah menemukan atau mengalami kejadian yang berkaitan dengan tindakan korupsi.

Meskipun sebagian besar responden belum pernah mendapatkan informasi tentang UU Anti Korupsi, namum ketika mereka diukur skala sikapnya terhadap berbagai kasus yang mengindikasikan tindakan koruptif, ternyata jawaban para responden cukup bervariasi. Hal yang cukup menarik dari sikap mereka terhadap tindakan yang dapat dianggap korupsi adalah bahwa ada beberapa kategori tindakan koruptif yang dianggap oleh sebagian besar responden cenderung dianggap bukan atau belum merupakan tindakan koruptif. Tindakan-tindakan tersebut adalah: kolusi dengan sistem kickback; suap-menyuap; gratifikasi; dan benturan kepentingan. Tindakan-tindakan tersebut

memang berada dalam wilayah ‘abu-abu’ di mana mungkin saja hal-hal semacam itu dianggap oleh sebagian besar responden merupakan suatu kewajaran, karena

‘kebiasaan’ atau budaya masyarakat dekat dengan tindakan-tindakan semacam itu. Hal itu tercermin juga dari pengakuan responden yang menyatakan bahwa seringkali mereka masih mendahulukan kepentingan keluarga, tidak selalu memberikan informasi kepada masyarakat, menerima suap dan tidak mendahulukan prosedur. Sedangkan tindakan atau perilaku yang dianggap koruptif oleh sebagian besar responden adalah tindakan: penggelapan, penipuan, pemalsuan, dan pemerasan. Di mana tindakan-tindakan semacam itu terlihat jelas unsur kriminalitasnya.

Ketika para responden digali informasinya tentang pemahaman mereka tentang prinsip-prinsip anti korupsi, menurut pengakuan mereka ada beberapa aktivitas aparat desa yang nampaknya sudah mengarah pada upaya penegakan prinsip-prinsip anti korupsi, yaitu dengan membaut LPJ dalam setiap kegiatan dan melakukan musyawarah desa. Namun ada beberapa sikap atau tindakah yang dianggap oleh para responden tidak mencerminkan sikap antikorupsi pada para aparat pemerintah desa. Hal-hal tersebut adalah tidak secara jujur dalam pembuatan LPJ, dan kegiatan pembangunan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana.

Memperhatikan ringkasan temuan data yang telah dipaparkan di atas, maka studi ini menjadi penting karena UU Desa sudah disahkan dan dana desa telah disalurkan ke

berbagai desa di wilayah di Indonesia. Temuan studi ini menunjukkan bahwa ternyata para aparat birokrasi pemerintah desa nampaknya belum siap untuk menerapkan UU Desa dan mempertanggungjawabkan dana desa yang telah dikucurkan oleh pemerintah pusat. Hal itu tercermin dari indikator yang menunjukkan bahwa para aparat pemerintah desa yang menjadi subyek penelitian ini belum sepenuhnya memahami prinsip-prinsip dan mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan mereka pun masih belum memahami sepenuhnya tindakan-tindakan yang dapat dianggap mengarah pada perilaku koruptif.

Upaya untuk memperkaya pengetahuan dan meningkatkan kemampuan yang memadai dari para aparatur birokrasi tentang proses dan mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik akan cukup banyak membantu mereka untuk menguatkan institusi desa. Apabila mereka mampu menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik maka upaya untuk menggalang partisipasi masyarakat desa tidak sekadar hanya dipermukaan atau formalitas saja. Bila kemampuan itu terus dikembangkan maka diharapkan mereka juga mampu meningkatkan kompetensi mereka dalam menjalankan perannya sebagai pelayan publik yang adil, transparan dan bertanggung jawab.

BAB VI