• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIAPAN APARATUR BIROKRASI PEMERINTAHAN. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KESIAPAN APARATUR BIROKRASI PEMERINTAHAN. pdf"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

Penelitin Unggulan Perguruan Tinggi

Tahun Anggaran 2015

Judul:

KESIAPAN APARATUR BIROKRASI PEMERINTAHAN DESA

DALAM MENGHADAPI POTENSI PENYIMPANGAN DAN

KORUPSI DALAM PENGELOLAAN DANA ALOKASI DESA

Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun

Oleh:

Novri Susan, MA, Ph.D. (NIDN: 0008117701)

Dr. Tuti Budirahayu, MSi. (NIDN: 0012056804)

Dibiayai oleh DIPA DITLITABMAS Tahun Anggaran 2015 sesuai dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Airlanggaa Tentang Pelaksanaan Hibah Kegiatan Penelelitian dan Program Pengabdian kepada Masyarakat Baru dan Lanjutan

Dana DIPA Ditlabmas Tahun Anggaran 2015 Nomor: 519/UN3/2015, Tanggal 26 Maret 2015

(2)
(3)

RINGKASAN

Tujuan utama, sekaligus juga menjadi tujuan jangka panjang dari studi ini adalah memparkuat institusi desa, dalam hal ini adalah mengetahuai kesiapan aparatur birokrasi pemerintah desa dalam upaya mengelola dana alokasi desa, seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang otonomi pemerintahan desa. Penting bagi kepala desa beserta aparatnya untuk mampu menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) khususnya dalam hal pelayanan publik dan upaya pertanggungjawaban kinerja mereka. Melalui upaya memperkuat institusi desa diharapkan para aparatur birokrasi pemerintahan desa mampu menjalankan tugas dan kewenangannya secara adil, transparan, berintegritas, dan terbebas dari segala macam praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Agar tujuan utama dari studi ini tercapai, maka strategi dan metode yang digunakan, pertam-tama adalah terlebih dahulu memetekan: (1) pemahaman dan pengetahuan kepala desa beserta aparaturnya tentang hakikat Undang-Undang No.6 tahun 2014; (2) pemahaman dan pengetahuan mereka tentang: (a) tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); (b) pengetahuan tentang tindak dan perilaku yang tergolong korupsi; (c) pengetahuan tentang peraturan, UU dan hukum yang berkaitan dengan tindak korupsi serta, (3) pemahaman tentang kesadaran antikorupsi. Kegiatan pemetaan ini dlakukan pada tahun pertama pengajuan proposal penelitian.

Setelah diperoleh peta pemahaman dan pengetahuan dari para aparatur birokrasi pemerintahan desa tentang ketiga hal di atas, maka strategi kedua, sekaligus menjadi usulan kegiatan pada tahun kedua, adalah menguatkan capacity building aparatur birokrasi pemerintahan desa, melalui berbagai studi kasus yang secara empiris dapat ditelusuri ketika mereka menyelenggarakan pelayanan publik dan menjalankan pemerintahan desa.

(4)

PRAKATA

Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang otonomi pemerintahan desa adalah salah satu upaya administratif legal yang dapat mendorong perubahan yang bermakna bagi desa, yaitu meningkatnya kualitas kesejahteraan masyarakat dan aparatur desa. Seiring dengan implementasi UU No.6 tahun 2014 itu seluruh desa di Indonesia dianggarkan untuk mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat, di mana dana yang diperoleh jumlahnya bervariasi tergantung pengajuan rencana anggaran tiap desa dan besarnya dana yang dikelola pemerintah desa dimungkinkan hingga miliaran rupiah.

Pengelolaan dana oleh pemerintah desa sebagai upaya untuk mewujudkan otonomi atau kemandiriannya dapat menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya korupsi yang dilakukan oleh aparatur birokrasi pemerintahan desa. Jika aparat desa tidak mempersiapkan diri dengan baik dan belum mampu mereformasi birokrasinya, maka dana desa yang dikucurkan pemerintah berpotensi menjadi ajang korupsi seperti yang dilakukan oleh aparat birokrasi di tingkat pusat atau provinsi.

Studi ini bertujuan untuk mengetahuai kesiapan aparatur birokrasi pemerintah desa dalam mengimplementasikan UU no.6 tahun 2014 serta sejauh mana mereka memiliki visi pengelolaan dana desa berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Melalui upaya memperkuat institusi desa diharapkan para aparatur birokrasi pemerintahan desa mampu menjalankan tugas dan kewenangannya secara adil, transparan, berintegritas, dan terbebas dari segala macam praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Studi ini dapat terlaksana dengan baik atas dukungan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada: (1) Rektor dan Ketua LPPM Universitas Airlangga yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk melaksanakan penelitian ini, (2) Dekan FISIP Unair atas dukungan yang telah diberikan, (3) Pemerintahan Desa beserta aparatur birokrasinya di wilayah penelitian yang menjadi subyek dalam penelitian ini. Kami berharap hasil studi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam membina dan mengarahkan kinerja pemerintahan desa dalam rangka penerapan UU No.6 tahun 2014.

Surabaya, 16 Oktober 2015

(5)

DAFTAR ISI

a. Korupsi Sebagai Habitus dan Budaya Masyaakat 11 b. Membangun Sistem dan Struktur Sosial Antikorupsi 13

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

1. Tipe dan Metode Penelitian 2. Lokasi Penelitian

18 18

3. Subyek Penelitian 19

4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 19

Bab V

B. Pemahaman Aparatur Birokrasi Desa terhadap UU Desa C. Implementasi Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

D. Pemahaman Aparat Desa terhadap Tindak Koruptif dan UU yang Berkaitan dengan Tindak Koruptif

E. Pemahaman tentang Sikap dan Tindakan yang Sesuai dengan Prinsip-Prinsip Antikorupsi

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

- Instrumen

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang

Kesadaran antikorupsi penting ditumbuhkan kepada segenap agen penyelenggara negara maupun aparatur birokrasi pemerintahan di Indonesia, karena telah banyak pejabat atau birokrat melakukan tindak koruptif. Korupsi yang dilakukan oleh aparatur birokrasi terbukti telah merugikan masyarakat, dan jumlah kerugian yang ditimbulkannya bisa mencapai triliunan rupiah (Budi 2013). Sesungguhnya nilai kerugian yang diakibatkan oleh para koruptor itu tidak saja dalam bentuk uang, tetapi juga hilangnya hak dan kesempatan masyarakat sipil untuk mendapatkan akses kesejahteraan hidup yang lebih baik. Oleh karena kerugian yang ditimbulkannya sangat besar dan berdampak sistemik, maka korupsi dikategorikan juga sebagai kejahatan ‘luar

biasa’ (extraordinary crime).

Tindak dan perilaku koruptif di Indonesia, tidak saja dilakukan oleh para aparatur birokrasi di tingkat pusat, tetapi juga oleh aparatur birokrasi di pedesaan. Dana yang mereka selewengkan jumlahnya bervariasi, namun dana yang dikorupsi cenderung tidak sebesar yang dikuasai oleh para pejabat atau aparatur birokrasi di tingkat kota, provinsi atau pusat. Meskipun dana yang dikorupsi oleh aparat desa jumlahnya relatif lebih kecil, tetapi dampak dari korupsi di pedesaan lebih terasa dibandingkan dengan yang terjadi di kota atau provinsi. Dikatakan demikian karena dana tersebut seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, di mana tingkat kesejahteraan masyarakat desa jauh lebih memprihatinkan dibandingkan dengan masyarakat kota. Desa juga menjadi garda terdepan pelaksanaan program-program pemerintah yang berhubungan langsung dengan rakyat. Tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat desa yang masih rendah, menjadi salah satu penyebab para aparatur birokrasi di desa rawan menyalahgunakan kewenangannya.

(7)

pedesaan, seperti penarikan Urdes (Urunan Desa ) yang dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Penggunaan dana Urdes itu tidak jelas dan kebanyakan tidak bisa dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Korupsi di desa juga merambah di sektor pertanian, seperti misalanya penyimpangan pada program swasembada tanaman pokok, hingga kasus pengadaan benih. Program-program kementerian pertanian dari pusat hingga tingkat desa sangat rawan menjadi ajang korupsi dan kegiatan politik praktis.

Kekhawatiran terhadap korupsi yang dilakukan oleh aparatur birokrasi di pedesaan semakin menguat ketika Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang otonomi desa akan segera diterapkan di seluruh desa di Indonesia. Jika aparat desa tidak mempersiapkan diri dengan baik dan belum mampu mereformasi birokrasinya, maka dana desa yang akan dikucurkan pemerintah mungkin berpotensi menjadi ajang korupsi seperti yang dilakukan oleh aparat birokrasi di tingkat pusat atau provinsi. UU No.6 tahun 2014 diharapkan dapat mendorong perubahan yang bermakna bagi desa, yaitu meningkatnya kualitas kesejahteraan masyarakat dan aparatur desa (Yanto 2014).

Studi yang dilakukan Rahman (2011) menunjukkan bahwa ada empat hal yang mendorong kepala desa atau aparatur birokrasi di desa melakukan korupsi. Pertama, kepala desa memiliki peran ganda, yaitu sebagai pemimpin formal (aparatur birokrasi pemerintahan) dan tokoh masyarakat (sebagai tetua atau sesepuh adat/desa). Dengan peran gandanya itu maka kepala desa agak sulit memisahkan kepentingan formal-birokrasi dengan kepentingan warga yang mungkin tidak ada hubungannya dengan tugas sebagai aparatur birokrasi. Akibatnya, kepala desa cenderung mencampuradukkan anggaran dan penggunaan dana yang dikelolanya untuk berbagai kepentingan tersebut. Apalagi dengan kondisi gaji kepala desa yang relative kecil, dan sering mengandalkan sumbangan dari warga berupa hasil bumi: padi, kelapa, atau tanah bengkok gersang.

Kedua, oleh karena pemilihan kepala desa dilakukan berdasakan pemilihan umum atau dukungan masyarakat, maka tak jarang dalam proses pemilihan itu menggunakan cara-cara curang, seperti money politic. Melalui mekanisme seperti itulah cukup banyak kepala desa yang berupaya mengembalikan modalnya dengan jalan menyalahgunakan jabatannya.

(8)

menempatkan kadernya sebagai kepala desa. Melalui sistem demokrasi yang demikian ini, maka korupsi cenderung semakin menguat di pedesaan.

Keempat, Rendahnya kemampuan aparatur birokrasi pemerintahan desa untuk menumbuhkan iklim keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk keterbukaan dalam pertanggungjawaban keuangan. Selain kemampuan atau pengetahuan yang minim tentang tata kelola pemerintahan yang baik, masyarakat desa pun cenderung pasrah atau apatis terhadap urusan pemerintahan.

Gerakan antikorupsi di tingkat terbawah, yaitu di desa, sesungguhnya sudah dimulai melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Sejak diluncurkan tahun 2007, PNPM Mandiri mencoba mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya tindak atau perilaku koruptif yang seringkali dilakukan oleh aparatur birokrasi di pedesaan (Yasin 2014). Sebagai program pemberdayaan masyarakat pedesaan, korupsi menjadi ancaman serius ketika program pemberiaan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) diluncurkan pada masa-masa krisis. PNPM Mandiri Perdesaan menyadari bahwa titik kritis korupsi selain pada kesadaran pelaku, juga rendahnya pengawasan terhadap para aparat birokrasi desa. Melalui kesadaran para aparat birokrat untuk membantu mengawasi penyaluran dana BLM, disertai dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam mengelola dana BLM, maka potensi korupsi di sebagian birokrasi lebih terkendali. Meskipun Program PNPM di pedesaan sudah menjadi agen gerakan antikorupsi dan telah mengedukasi para aparat birokrasi pedesaan tentang akuntabilitas dan integritas, namun sikap dan kesadaran antikorupsi tetap harus terus ditumbuhkan, agar berbagai program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan di pedesaan dapat berjalan efektif dan efisien.

Agar korupsi tidak semakin merebak di desa, maka dibutuhkan kepala desa dan aparatur birokrasi tingkat desa yang benar-benar mampu memahami rambu-rambu peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta memiliki kemampuan yang memadai dalam mengambil keputusan terutama dalam mengelola program-program dan APBD tingkat desa.

2.

Keutamaan Penelitian

Studi ini penting dan mendesak untuk dilakukan karena bebeapa alasan berikut ini: 1. Menyambut Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa yang telah

(9)

birokrasi yang menjalankan pemerintahan desa perlu segera mempersiapkan diri untuk mengimplementasikan UU tersebut. Di dalam UU itu, kepala desa dan segenap aparatur birokrasi desa mendapat kewenangan penuh untuk mengatur seluruh aktivitas, termasuk pengelolaan dana desa untuk peningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Agar kepala desa dan aparatur birokrasi desa mampu bekerja dengan baik, termasuk memahami prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) maka diperlukan upaya pemetaan pemahaman atau pengetahuan mereka tentang: (a) tata kelola pemerintahan yang baik; (b) tindak dan perilaku yang tergolong korupsi; (c) peraturan, UU dan hukum yang berkaitan dengan tindak korupsi serta, (d) kesadaran antikorupsi. 3. Pengetahuan dan kemampuan yang memadai dari para aparatur birokrasi

tentang proses dan mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik akan membantu mereka untuk menguatkan institusi desa termasuk menggalang keterlibatan dan partisipasi masyarakat desa dalam penyusunan dana alokasi desa, dan diharapkan mereka juga mampu mengembangkan model

capacity building untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam menjalankan perannya sebagai pelayan publik.

3. Rumusan Masalah

Memperhatikan keutamaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan utama permasalahan penelitian ini adalah:

“Sejauh mana kesiapan para kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa

dalam mengimplementasikan Undang-Undang No.6 tahun 2014?”

Adapun rincian permasalahan yang diajukan untuk mengetahui sejauh mana kesiapan para kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam mengimplementasikan Undang-Undang No.6 tahun 2014, adalah:

1. Apakah kepala desa dengan aparatur birokrasinya memahami prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan upaya-upaya apa yang telah dilakukan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut?

(10)

3. Apakah kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa telah berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip antikurpsi dalam melayani kepentingan publik/masyarakat dan jika telah melakukannya, bagaimana bentuk-bentuk gerakan atau kesadaran anti korupsi yang pernah dilakukan?

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Korupsi sebagai Habitus dan Budaya Masyarakat

Meskipun korupsi telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan pemberitaan pengungkapan kasus korupsi di media massa telah gencar dilakukan, namun masih tersirat keraguan bahwa korupsi sulit untuk dihentikan. Sebagian masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa tindakan semacam suap, pemberian hadiah (gratifikasi) atau permintaan imbalan dari dan untuk aparat birokrasi bukanlah tindakan koruptif, karena secara kultural tindakan semacam itu sudah menjadi budaya atau kebiasaan yang tertanam kuat dalam benak masyarakat (Budirahayu, Pryhantoro & Susan 2009)

Keraguan masyarakat tentang efektivitas gerakan antikorupsi juga semakin menguat manakala sistem dan struktur birokrasi pemerintahan di Indonesia sudah sedemikian korupnya, diperkuat dengan jejaring yang terbentuk antara pemerintah, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum (Aditjondro 2004), sehingga norma-norma yang ada di dalamnya membenarkan perilaku koruptif dan menyalahkan sikap individu yang memegang teguh nilai-nilai integritas dan kejujuran.

Gerakan antikorupsi menjadi antitetis dari korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi atau penyelenggara Negara. Gerakan antikorupsi dapat berjalan efektif ketika masyarakat menyadari dampak atau akibat terburuk yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Gerakan antikorupsi juga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat manakala masyarakat mampu merubah kebiasaan yang mendukung tindak/perilaku koruptif. Kesadaran antikorupsi dapat dimulai dengan membongkar habitus korupsi yang telah tertanam kuat dalam pikiran, kesadaran, dan tindakan atau perilaku yang sehari-hari dialami oleh individu.

(12)

menguntungkan atau memaksa mereka untuk melakukannya. Habitus korupsi dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia tentang persepsi integritas dan antikorupsi generasi muda di wilayah pedesaan dan perkotaan di Aceh, Kupang dan Surabaya pada tahun 2013 (Transparency Interenational Indonesia, 2013:16) menunjukkan, bahwa kaum muda pernah mengalami atau setidaknya mengetahui adanya praktik korupsi di sekitar mereka. Perimisivitas tertinggi anak muda urban dan rural di semua daerah penelitian ada pada penerimaan mereka akan tindakan melanggar hukum, seperti memberi suap untuk urusan SIM/STNK (Di NTT/Kupang kaum muda di pedesaan jumlahnya mencapai 35 persen sedangkan di perkotaan sebesar 52 persen) dan menolong keluarga atau nepotisme dalam mencarikan pekerjaan, perijinan dan bentuk pelanggaran hukum lainnya demi keluarga (di Aceh, anak muda di pedesan mencapai 27 persen, di Jawa Timur, anak muda di pedesaan mencapai 30 persen).

Habitus korupsi di Indonesia bukannya tanpa sebab. Itu adalah akibat dari perilaku dan kebiasaan yang dicontohkan oleh keluarga, orangtua, guru, pejabat, atau orang-orang yang ada di lingkungan sekitar. Praktik menolong teman atau kerabat untuk mendapatkan pekerjaan, memberi upeti atau hadiah kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan atau otoritas, membuat jaringan sosial atau koneksi untuk kepentingan bisnis yang melibatkan pejabat publik atau pegawai pemerintah, atau kepemimpinan patrimonialisme yang lebih memilih bekerja sama dengan kerabat, atau orang-orang terdekat yang memiliki loyalitas pribadi pada pemimpin tersebut (kasus Ratu Atut Chosiyah, yang menjabat sebagai Gubernur Banten), adalah beberapa contoh habitus

masyarakat yang melanggengkan korupsi.

Habitus korupsi akan semakin menguat apabila masyarakat memiliki keyakinan bahwa perilaku koruptif dapat dibenarkan dalam situasi tertentu, apalagi ketika

(13)

asumsi atau hipotesis semacam itu dapat dibenarkan? Sebagian pihak meragukan bila hanya pemimpin atau orang-orang yang menjadi panutan masyarakat itu saja yang berubah, karena korupsi bukan sebuah tindakan yang sederhana atau berdimensi tunggal. Korupsi dalam realitasnya melibatkan banyak pihak dan berdimensi ganda. Oleh karena itu menganggap korupsi hanya sebagai persoalan moral, habitus, maupun kultur tidaklah memadai untuk menjelaskan upaya pemberantasan korupsi. Urain berikut ini, mengetengahkan persoalan korupsi dalam tataran sistem dan struktur masyarakat.

b. Membangun Sistem dan Struktur Sosial Antikorupsi

(14)

dari sistem dan norma yang sudah terbentuk sejak lama, dan pada akhirnya, mau tidak mau, mereka terseret mengikuti praktik korupsi (Widoyoko, 2013:44).

Jika demikian keadaannya, apakah mungkin membangun sistem dan struktur sosial antikorupsi, dan apakah sistem antikorupsi bisa dikembangkan di lembaga-lembaga yang terkenal korup itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, barangkali pemikiran Anthony Giddens tentang teori strukturasi dapat menjelaskannya. Teori ini dirumuskan oleh Giddens untuk menjembatani analisis di level makro (struktur) dan mikro (agen/individu/aktor yang bekerja untuk struktur). Melalui teori strukturasi ini, Gidden mencoba melihat bagaiamana suatu praktik sosial bisa terbentuk (praktik sosial di sini bisa dianalogikan sebagai tindakan koropsi atau sebaliknya, sikap dan perilaku antikorupsi). Hubungan antara struktur dan agen sifatnya saling mengandaikan (dualitas), artinya, struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) bagi praktik sosial (Widoyoko, 2013:32). Struktur merupakan aturan dan sumber daya yang dipergunakan oleh aktor untuk berinteraksi. Struktur juga dibentuk oleh aktor melalui interaksi tersebut. Struktur juga merupakan aturan (rules) dan sumber daya (resource) yang terbentuk oleh, dan membentuk perulangan praktik sosial. Sebagai aturan, struktur membatasi perilaku agen (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan agen), tetapi struktur sekaligus juga sebagai sumber daya yang memberdayakan, karena agen bisa melakukan sesuatu. Struktur juga dibentuk dan membentuk praktik sosial yang berulang.

(15)

praktis pula, dapat diketahui bagaimana proses strukturasi terjadi, yaitu, bagaiman struktur dibentuk oleh tindakan dan bagaimana tindakan agen dipengaruhi oleh struktur (Giddens, dalam Widoyoko, 2013: 34). Kesadaran diskursif merupakan kapasitas agen untuk mampu melakukan refleksi atas tindakan, sehingga tindakan yang berulang yang terbangun dari kesadaran praktis dapat berhenti. Dengan kesadaran diskursif, agen mampu terus-menerus mempertanyakan tindakan yang telah dilakukan sampai kemudian melakukan perubahan. Dengan konsep tentang kesadaran diskursif ini pula, Giddens ingin mengatakan bahwa, perubahan bisa saja terjadi bila pelaku memiliki kemampuan untuk introspeksi dan mawas diri.

Melalui teori Giddens maka korupsi sebagai praktik sosial, bisa dilihat sebagai sebuah kesadaran praktis yang terbentuk dari praktis sosial yang berulang-ulang dilakukan. Karena sudah menjadi kesadaran praktis, maka agen tidak menyadari lagi kalau sesungguhnya ia sedang melakukan praktik korupsi yang melanggar hukum. Kesadaran praktis memberikan perangkat bagi manusia untuk melakukan tindakan sehari-hari. Dalam konteks korupsi, maka tindakan yang dipandu oleh kesadaran praktis ini berupa praktik korupsi sehingga agen bukan hanya tidak menyadari, tetapi sudah menganggapnya sebagai tindakan yang benar. Pemberantasan korupsi, dapat dilakukan ketika agen memiliki kemampuan melakukan introspeksi dan mawas diri untuk berhenti melakukan korupsi dengan cara membenahi kesadaran diskursifnya, agar kesadaran diskursif yang dimiliknya itu mampu menjadi kesadaran praktis antikorupsi. Melalui pemikian Giddens ini maka harapan untuk menciptakan Indonesia bebas korupsi mendapatkan titik terangnya. Artinya, dengan cara menegosiasi habitus antikorupsi ke dalam kesadaraan diskursif agen, dengan harapan habitus antikorupsi dan kesadaran diskursif secara gradual dapat menjadi kesadaran praktis antikorupsi yang berkembang di ranah publik, maka gerakan pemberantasan korupsi akan semakin menguat.

(16)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui seberapa jauh pemahaman dan kesiapan para kepala desa beserta

aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam menerapkan Undang-Undang No.6 tahun 2014.

2) Mengetahui pemahaman atau pengetahuan kepala desa dan aparatur birokrasinya tentang prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) serta upaya-upaya yang telah mereka lakukan dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut.

3) Memetakan pengetahuan kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa tentang perilaku/tindak koruptif, serta peraturan/UU dan hukum yang berkaitan dengan tindak korupsi.

4) Memetakan dan mengidentifikasi tindakan yang pernah dilakukan oleh kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam menerapkan prinsip-prinsip antikurpsi dalam melayani kepentingan publik/masyarakat.

2. Manfaat Penelitian

(17)

2.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian tentang pemetaan kesadaran antikorupsi pada aparatur birokrasi pemerintahan pedesaan di Jawa Timur ini dibatasi pada pemerintahan desa yang telah menerapkan UU no.6 tahun 2014, dan mendapatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) yang sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kasus-kasus yang akan diangkat dalam pemetaan kesadaran antikorupsi melliputi kegiatan pelayanan publik/masyarakat serta penggunaan dana APBD untuk program-program yang berkaitan dengan peningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(18)

BAB IV

METODE PENELITIAN

1.

Tipe dan Metode Penelitian

Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan dan kesiapan para aparatur birokrasi pemerintahan desa tentang pelaksanaan UU No.6 tahun 2014, juga memetakan pengetahuan dan kesadaran mereka tentang korupsi, maka tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode survei. Survei dilakukan kepada aparatur pemerintahan desa di mana pertanyaan yang ditujukan tentang praktik pelaksanaan pemerintahan desa, khususnya dalam upayan mengimplementasikan UU No.6 tahun 2014.

2.

Lokasi Penelitian

Desa yang dijadikan lokasi penelitian ini dipilih berdasarkan karakteristik wilayah dan matapencarian dari sebagian besar penduduknya. Di Indonesia dikenal tiga karakteristik desa, yaitu: desa agraris, di mana mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang pertanian dan perkebunanan; desa industri, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang industri kecil rumah tangga; dan desa nelayan, di mana mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang perikanan dan pertambakan.

Studi ini dilakukan di Jawa Timur, tepatnya di empat kabupaten, yaitu Kabupaten: Malang, Sidoarjo, Lamongan dan Tuban. Kabupaten Malang dipilih sebagai lokasi penelitian karena wilayah ini dikenal sebagai daerah pertanian dan agrowisata. Dua desa dipilih untuk mewakili karakteristik wilayah tersebut, yaitu Desa Madiredo, dikenal sebagai salah satu pusat penghasil Apel Malang, dan Desa Tawangsari, sebagai daerah pertanian dan penghasil sayur-mayur.

(19)

Selain dua kabupaten di atas, dua kabupaten berikutnya, yaitu Kabupaten Lamongan dan Tuban, dipilih menjadi lokasi penelitian karena kekhasan wilayahnya, yaitu daerah pantai atau pesisir. Di Kabupaten Lamongan satu desa yang dapat dianggap mewakili daerah nelayan adalah Desa Kranji, sedangkan di Kabupaten Tuban, dipilih dua desa yang berada di wilayah pesisir dan sekaligus juga menjadi daerah industri baru di Kabupaten Tuban, yaitu Desa Glondonggede dan Desa Tambakboyo.

3.

Subyek Penelitian

Sebagai penelitian deskriptif maka subyek penelitian adalah kepala desa, perangkat atau aparatur birokrasi desa di masing-masing wilayah penelitian. Jumlah responden yang dijadikan sebagai subyek penelitian ini ditentukan berdasarkan data awal tentang aparatur birokrasi desa beserta tugas, pokok dan fungsi masing-masing bagian di pemerintahan desa.

4.

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Data dikumpulkan dengan menggunakan beberapa strategi, antara lain: (1) melalui wawancara terstruktur mengenai berbagai informasi yang berkaitan dengan pengetahuan dan pengetahuan tentang isi dari Undang-Undang Desa, makna korupsi serta kesadaran antikorupsi menurut masing-masing individu subyek penelitian; (2)

Focus Group Discussion (FGD), digunakan untuk menjaring pendapat dan pemikiran kepala desa dan para aparatur birokrasi pemerintah desa, khususnya berkaitan dengan upaya pemerintahan desa dalam menjalankan pemerintahannya, termasuk program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dananya diambil dari APBD; (3) observasi, khususnya dalam kegiatan pelayanan masyarakat yang diselenggarakan oleh aparatur birokrasi pemerintahan desa; (4) dokumen-dokumen pendukung yang berkaitan dengan program-program pemerintah desa dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan penerapan akuntabilitas dan pertanggungjawaban pemerintah desa kepada lembaga pengawas pemerintah desa.

(20)

pemerintahan desa tentang pelaksanaan UU No.6 tahun 2014; pemahaman mereka tentang prinsip-prinsip tata kelola pemerintah yang baik, dan pengetahuan dan kesadaran mereka tentang korupsi dan penerapan prinsip-prinsip antikorupsi dalam menjalankan peran atau tugas mereka.

(21)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Paparan Hasil Penelitian

A.

Karakteristik Responden

Oleh karena studi ini ditujukan untuk Mengetahui seberapa jauh pemahaman dan kesiapan para kepala desa beserta aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam menerapkan Undang-Undang No.6 tahun 2014, serta untuk mengatahuai pengetahuan mereka tentang prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), termasuk pemahaman mereka tentang perilaku/tindak koruptif, makak responden penelitian ini adalah para aparat atau perangkat desa yang menjalankan tugas-tugas administratif pemerintahan desa. Berikut jumlah responden di masing-masing desa.

Tabel 1: Nama Desa dan Jumlah Responden di Masing Desa

Desa Jumlah Responden

Penelitian Persentase

Berbek (Kab. Sidoarjo) 8 12,3 %

Wedoro (Kab. Sidoarjo) 8 12,3 %

Madiredo (Kab. Malang) 10 15,4 %

Tawangsari (Kab. Malang) 10 15,4 % Glondonggede (Kab. Tuban) 10 15,4 %

Tambakboyo (Kab. Tuban) 9 13,8 %

Kranji (Kab. Lamongan) 10 15,4 %

Jumlah 65 100 %

Berdasarakan data pada tabel 1 di atas, terlihat bahwa jumlah respoden di masing-masing desa berkisar antara 8 hingga 9 orang. Hal ini karena struktur birokrasi atau organisasi penyelenggaraan pemerintah desa tidak terlalu rumit, sehingga jabatan di dalam struktur tersebut jumlahnya tidak banyak.

(22)

Tabel 2: Responden dengan Jabatan/Posisi dalam Pemerintahan Desa

Jabatan Frekuensi Persentase

Kepala Desa 5 7,7 %

Kepala Dusun 19 29,2 %

Kepala Seksi (Kasi) Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan

2 3%

Kasi/Kepala Urusan (Kaur) Kesejahteraan Rakyat (Kesra)

9 13,8 %

Kasi Nelayan & Perikanan 2 3 %

Kasi Pelayanan Umum 2 3,1 %

Kasi/Kaur Pemerintahan 10 15,4 %

Kasi Pertanian dan Pengairan 1 1,5 %

Kasi Tanah dan Air 1 1,5 %

Kasi Ketentraman dan Ketertiban 4 6,1 %

Kaur Bangunan 1 1,5 %

Kaur Pemberdayaan Masyarakat 1 1,5 % Sekretaris Desa (Sekdes) 8 12,3 %

Jumlah 65 100 %

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa cukup banyak responden bertindak sebagai kepala dusun (29, 2 persen), disusul kemudian berposisi sebagai kasi/kaur pemerintahan (15,4 persen), dan yang menjabat sebagai kasi/kaur kesejahteraan rakyat sebanyak 13,8 persen, serta yang menduduki posisi sebagai kepala desa sebanyak 7,7 persen.

Jika dikategorikan berdasarkan usia, maka usia para aparat pemerintahan desa yang menjadi sampel dalam studi ini terbanyak berada di usia 39-52 tahun (60 persen). Aparat desa yang terkategori berusia muda jumlahnya sama denan aparat desa yang berusia 35 tahun ke atas (masing-masing 20 persen). Ini artinya perangkat yang bekerja pada birokrasi pemerintahan desa telah bekerja relatif cukup lama, dan usia mereka dapat digolongkan sebagai usia yang cukup mapan.

Tabel 3: Usia Responden

Usia Frekuensi Persentase

25-38 13 20 %

39-52 39 60 %

>53 13 20 %

Jumlah 65 100 %

(23)

cukup banyak yang mulai bekerja sejak sebelum tahun 2000 (lebih dari 15 tahun), bahkan ada yang sudah bekerja sebagai perangkat desa sejak tahun 1977 (23 persen). Lamanya masa jabatan perangkat desa ini dapat disetarakan dengan lamanya masa kerja seorang pegawai negeri sipil, yang dianggap memasuki usia pensiun ketika berumur 55 ke atas. Sedangkan perangkat desa yang dapat dikatakan relatif masih baru menjabat sebagai perangkat (sekitar 1 hingga 4 tahun yang lalu) jumlahnya sebanyak 29 persen.

Tabel 4: Tahun Mulai Menjabat Sebagai Perangkat

Tahun Mulai Menjabat Frekuensi Persentase

Sebelum tahun 2000 21 32%

2001-2005 8 12%

2006-2010 17 27%

2011-2014 19 29%

Jumlah 65 100 %

Aparat birokrasi pemerintahan desa nampaknya masih didominasi oleh pria dibandingkan perempuan, hal ini dapat dilihat pada table di bawah ini, di mana Jumlah aparat birokrasi desa laki-laki sebanyak 92 persen, sedangkan perempuan jumlahnya hanya sekitar 8 persen.

Tabel 5: Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-Laki 60 92,3 %

Perempuan 5 7,7 %

Jumlah 65 100 %

(24)

Tabel 6: Pendidikan Responden

Jenjang Pendidikan Frekuensi Persentase

SD 6 9,2 %

SMP 10 15,4 %

SMA 37 56,9 %

Diploma 2 3,1 %

S1 9 13,8 %

S2/S3 1 1,5 %

Jumlah 65 100 %

Simpulann

Berdasarkan data pada tabel-tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa aparat birokrasi pemerintah desa yang terambil sebagai sampel penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) jabatan yang cukup banyak disandang para responden adalah sebagai kepala dusun, kasi/kaur pemerintahan & kesejahteraan rakyat serta kepala desa, di mana jabatan atau posisi tersebut dapat dianggap strategis dalam birokrasi pemerintah desa; (2) usia responden sebagian besar di atas 38 tahun ke atas, di mana rentang usia tersebut dapat dianggap sebagai usia yang cukup mapan dari segi pengalaman dan pengetahuan dalam tugas-tugas kepemerintahan; (3) sebagian besar respoden menduduki jabatannya sejak lebih dari 10 tahun yang lalu; (4) sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki; dan (5) tingkat pendidikan responden sebagian besar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

B.

Pemahaman Aparatur Birokrasi Desa terhadap UU Desa No.

6/2014

(25)

1. Pengetahuan Tentang Unsur-Unsur dalam UU Desa

Berdasarkan data yang terkumpul, diketahui bahwa dari kedelapan unsur tersebut, hampir keseluruhan responden (98-100 persen) memiliki pengetahuan tentang: (1) pemerintah desa beserta perangkatnya; (2) musyawarah desa; (3) BPD dan perangkatnya; dan (4) pembangunan desa. Unsur berikutnya yang juga hampir diketahui oleh sebagian besar responden (90-97 persen) adalah: (1) asset desa; (2) peraturan desa; (3) pemberdayaan masyarakat desa; dan (4) keuangan desa. Sedangkan hal yang nampaknya masih belum banyak diketahui oleh beberapa responden adalah tentang BUMDES (17 persen).

Tabel 7: Pengetahuan Tentang Unsur-Unsur yang ada pada UU Desa

Unsur dalam UU Desa Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Ya Tidak Ya Tidak

Pemerintah Desa dan Perangkatnya 65 0 65 100 % 0% 100 % BPD dan Perangkatnya 64 1 65 98,5% 1,5% 100 % Musyawarah Desa 65 0 65 100 % 0% 100 %

BUMDES 54 11 65 83,1% 17% 100 %

Peraturan Desa 61 4 65 93,8% 6,2% 100 % Pembangunan Desa 64 1 65 98,5% 1,5% 100 % Keuangan Desa 60 5 65 92,3% 7,7% 100 % Aset Desa 63 2 65 96,9% 3,1% 100 % Pemberdayaan Masyarakat Desa 61 4 65 93,8% 6,2% 100 %

2. Tingkat Pemahaman Unsur-Unsur di dalan UU Desa

Meskipun hampir seluruh responden mengetahui unsur-unsur di dalam UU Desa, namun ketika diukur tingkat pemahaman mereka tentang unsur-unsur tersebut nampak bahwa pemahaman mereka cukup bervariasi.

(26)

Tabel 8: Tingkat Pemahaman Unsur-Unsur Di Dalam Undang-Undang Desa

3. Unsur-Unsur dalam UU Desa Yang Sudah Dijalankan oleh Pemerintah Desa

(27)

Tabel 9: Unsur-Unsur Dalam UU Desa Yang Sudah Dijalankan

Unsur dalam UU Desa Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Sudah Belum Sudah Belum

Pembentukan pemerintah

Desa dan Perangkatnya 64 1

65

98,5% 1,5% 100 % Pembentukan BPD dan

Perangkatnya

65 0 65 100% 0% 100 %

Menyelenggarakan Musyawarah Desa

65 0 65 100% 0% 100 %

Memiliki BUMDES 27 38 65 41,54% 58,46% 100 % Menetapkan dan melaKurang

Setujuanakan Peraturan Desa

61 4 65 93,8% 6,2% 100 %

Menyelenggarakan Pembangunan Desa

65 0 65 100% 0% 100 %

Mengatur dan Membukukan Keuangan Desa

64 1 65 98,5% 1,5% 100 %

Mendata dan Memelihara Aset Desa

64 1 65 98,5% 1,5% 100 %

Menjalankan Program Pemberdayaan Masyarakat Desa

60 5 65 90,3% 9,7% 100 %

4. Simpulan

Bila memperhatikan uraian yang berkaitan dengan Pemahaman Aparatur Birokrasi Desa terhadap UU Desa No. 6 Tahun 2014, maka dapat disimpulkan bahwa para responden pada umumnya sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang unsur-unsur yang tercantum di dalam UU Desa tersebut, di mana unsur-unsur yang sudah diketahui dan dipahami tersebut adalah mengenai: (1) pemerintah desa beserta perangkatnya; (2) musyawarah desa; (3) BPD dan perangkatnya; dan (4) pembangunan desa serta (5) peratauran desa. Sedangkan unsur yang nampaknya masih belum banyak diketahui oleh responden dan tingkat pemahamannya juga masih rendah adalah tentang: (1) Badan Usaha Milik Desa (BUMDES); (2) Pemberdayaan Masyarakat Desa; (3) asset desa; dan (4) keuangan desa.

(28)

masih baru dan belum dikenal adalah tentang BUMDES dan program pemberdayaan masyarakat desa.

C.

Implementasi Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (

Good

Governance

)

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) antara lain adalah: (1) memberikan pelayanan terbaik untuk public dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat; (2) melibatkan partisipasi masyarakat; (3) menjalankan prinsip-prinsip transparansi dalam melayani kebutuhan masyarakat; (4) mempertangungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada masyarakat; (5) menjalankan pemerintahan desa dengan adil dan menaati aturan hukum yang berlaku.

Berikut ini pengalaman para responden dalam upaya mereka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik berdasarkan unsur-unsur kegiatan yang terdapat di dalam UU Desa.

1. Upaya Memberikan Pelayan Terbaik untuk Kepentingan Publik/Masyarakat

Aktivitas pemerintah desa berdasarkan UU Desa meliputi kesembilan unsur yang telah disebutkan pada subbab di atas. Berikut ini dapat dilihat pendapat responden tentang kinerja pemerintahan desa dalam memberikan pelayanannya kepada masyarakat.

(29)

Tabel 10: Memberikan Pelayanan Terbaik untuk Publik Dan Berorientasi Kepada Kebutuhan Masyarakat

Unsur dalam UU Desa Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Sudah Belum Sudah Belum

Menetapkan dan

melaksanakan peraturan desa

64 1 65 98,5% 1.5% 100 %

Menyelenggarakan musyawarah Desa

65 0 65 100% 0% 100 %

Mengelola BUMDES 35 30 65 53,85% 46,15% 100 % Melaksanakan

Pembangunan Desa

60 5 65 90,3% 9,7% 100 %

Mengatur Keuangan Desa 63 2 65 96,9% 3,1% 100 % Memelihara Aset Desa 64 1 65 98,5% 1,5% 100 % Mendata dan memelihara

Aset Desa

63 2 65 96,9% 3,1% 100 %

Menjalankan Program Pemberdayaan Masyarakat Desa

60 6 65 90,3% 9,7% 100 %

Ketika responden diminta untuk menyebutkan apa saja bentuk pelayanan publik yang telah dilakukan oleh pemerintah desa dan dianggap telah berorientasi pada kepentingan masyarakat, seluruh responden (100 persen) menjawab dalam bentuk pelayanan kependudukan. Terdapat satu kegiatan yang diharapkan oleh seluruh responden di mana kegiatan tersebut dapat dianggap dapat memenuhi kepentingan atau kebutuhan masyarakat, yaitu mengadakan atau memberikan pelatihan bagi masyarakat. Namun berdasarkan pengakuan sebagian besar responden (63 persen) kegiatan tersebut belum dijalankan oleh pemerintahan desa dan kebutuhan tersebut belum terlayani dengan baik.

Tabel 11: Bentuk Pelayanan Publik Yang Dilakukan Atas Dasar Kepentingan Masyarakat

Bentuk pelayanan Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Ya Tidak Ya Tidak

Pelayanan Kependudukan 65 0 65 100% 0% 100 % Mengadakan/memberi pelatihan

masyarakat

24 41 65 36,9% 63,1% 100 %

2. Kegiatan Pemerintah Desa yang Melibatkan Partisipasi Masyarakat

(30)

masyarakat. Sedangkan pada kegiatan lain, seperti: (1) pembentukan pemerintahan desa dan perangkatnya; (2) menyelenggarakan musyawarah desa; (3) menyelenggarakan pembangunan desa; (4) menetapkan dan melaksanakan peraturan desa; (5) mengatur dan membukukan keuangan desa; (6) mendata dan memelihara asset desa dianggap oleh sebagian besar responden sudah melibatkan partisipasi masyarakat. Adapun kegiatan atau aktivitas yang oleh sebagian responden masih dianggap belum melibatkan partisipasi masyarakat adalah pada bidang: (1) pendirian BUMDES (56,9 persen mengatakan demikain), dan (2) upaya mejalankan program pemberdayaan masyarakat desa.

Tabel: 12

Unsur-Unsur Dalam UU Desa Yang Sudah Dijalankan Dan Melibatkan Partisipasi Masyarakat

Unsur dalam UU Desa Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Sudah Belum Sudah Belum

Pembentukan pemerintah Desa dan Perangkatnya

64 1 65 98,5% 1,5% 100 %

Pembentukan BPD dan Perangkatnya

65 0 65 100% 0% 100 %

Menyelenggarakan Musyawarah Desa

64 1 65 98,5% 1,5% 100 %

Memiliki BUMDES 28 37 65 43,1% 56,9% 100 % Menetapkan dan melaksanakan

peraturan desa

63 2 65 96,9% 3,1% 100 %

Menyelenggarakan Pembangunan Desa

64 1 65 98,5% 1,5% 100 %

Mengatur dan Membukukan Keuangan Desa

63 2 65 96,9% 3,1% 100 %

Mendata dan Memelihara Aset Desa

63 2 65 96,9% 3,1% 100 %

Menjalankan Program Pemberdayaan Masyarakat Desa

62 3 65 95,4% 4,6% 100 %

(31)

Tabel 13: Bentuk Keterlibatan Masyarakat Desa

Bentuk keterlibatan Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Ya Tidak Ya Tidak

Menyumbang Tenaga dalam kegiatan desa

28 37 65 43,1% 56,9% 100 %

Menyumbang uang dalam kegiatan desa

25 40 65 38,5% 61,5% 100 %

Ikut dan terlibat dalam Musyawarah desa

23 42 65 35,4% 65,6% 100 %

Aspirasi disampaikan melalui BPD/perwakilan masyarakat

18 47 65 27,7% 72,3% 100 %

3. Menjalani Prinsip-Prinsip Transparansi dalam Melayani Kebutuhan Masyarakat

Subbab ini ingin mengetahui sejauh mana para aparatur birokrasi pemerintahan desa telah menjalankan prinsip-prinsip transparansi dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Tabel 14: Menjalankan Prinsip-Prinsip Transaparansi Dalam Melayani Kebutuhan Masyarakat

Unsur dalam UU Desa Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Ya Tidak Ya Tidak

Pemerintah Desa dan Perangkatnya 63 2 65 96,9% 3,1% 100 % BPD dan Perangkatnya 62 3 65 95,4% 4,6% 100 % Musyawarah Desa 63 2 65 96,9% 3,1% 100 %

BUMDES 31 34 65 47,7% 52,3% 100 %

Peraturan Desa 62 3 65 95,4% 4,6% 100 % Pembangunan Desa 64 1 65 98,5% 1,5% 100 % Keuangan Desa 63 2 65 96,9% 3,1% 100 % Aset Desa 63 2 65 96,9% 3,1% 100 % Pemberdayaan Masyarakat Desa 60 5 65 90,3% 9,7% 100 %

(32)

Adapun bentuk-bentuk ketidaktransparanan apparatur pemerintah desa yang cukup banyak diketahui oleh responden antara lain adalah: (1) tidak membuat Laporan Pertanggungjawaban Keuangan dana desa (25 persen); (2) tidsak melaporan LPJ tahunan desa (62 persen); (3) tidak melaksanakan musyawarah desa setidaknya satu bulan sekali (65 persen); dan (4) tidak mensosialisasikan kepada masyarakat tentang rencana kegiatan desa (79 persen).

Tabel 15: Bentuk Transparansi Yang Dilakukan Oleh Aparat Pemerintah Desa

Bentuk Kegiatan Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Ya Tidak Ya Tidak

Membuat LPJ pada setiap kegiatan

desa 49

16 65 75,4% 24,6% 100 %

LPJ Tahunan desa 25 40 65 38,5% 61,5% 100 % Musyawarah 1x /bulan 23 42 65 35,4% 64,6% 100 % Transparansi rencana kegiatan desa 14 51 65 21,5% 78,5% 100 %

4. Mempertanggungjawabkan Tugas dan Wewenang kepada Masyarakat

Salah satu prinsip good governance adalah dalah kemampuan aparatur birokrasi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada masyarakat. Berdasarkan jawaban responden, terlihat bahwa di semua unsur dalam UU desa yang sudah diimplementasikan, pada umumnya pernah dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Namun ada beberapa unsur yang menurut responden tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, yaitu: peraturan desa (10 persen) dan musyawarah desa serta asset desa (masing-masing dijawab oleh 3 persen responden). BUMDES dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah hal baru dalam pemerintahan desa sehingga respon responden juga negatif terhadap kedua unsur tersebut.

Tabel 16: Mempertangungjawabkan Tugas Dan Kewenangan Kepada Masyarakat

(33)

Ketika responden ditanya tentang cara aparatur birokrasi pemerintah desa mempertanggungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada masyarakat, maka cukup banyak di antara mereka yang tidak mengetahui mekanismenya. Beberapa mekanisme yang dapat dilakukan untuk pertanggungjawaban tugas tersebut antara lain adalah: membuat LPJ di setiap kegiatan (26 persen responden menjawab tidak melakukan itu), membuat LPJ Tahunan (65 persen responden menjawab tidak melakukan itu), dan bekerja sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi (sebanyak 59 persen menjawab tidak melakukan itu).

Tabel 17: Cara Aparat Pemerintahan Desa Mempertanggungjawabkan Tugas Dan Kewenangan

Cara Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Ya Tidak Ya Tidak

Membuat LPJ setiap Kegiatan desa

48 17 65 73,85% 26,15% 100 %

Membuat LPJ Tahunan 23 42 65 35,6% 64,6% 100 % Bekerja sesuai Tupoksi 27 38 65 41,5% 58,5% 100 %

5. Menyampaikan informasi kepada Masyarakat tentang berbagai program dari

pemerintah

Inisiatif untuk menyampaikan informasi yang dapat dipercaya kepada masyarakat tentang berbagai program pemerintah, baik yang datang dari pusat, kabupaten/kota maupun rencana kerja pemerintah desa kepada masyarakat, merupakan itikad baik bagi birokrasi pemerintah yang mengedepankan prinsip good governance.

(34)

Tabel 18: Cara Aparat Menyampaikan Informasi Terhadap Masyarakat

Adapun jenis-jenis informasi yang pernah disampaikan kepada masyarakat dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota maupun desa sendiri meliputi: (1) dana bantuan/program desa; (2) kebijakan atau program pemerintah untuk desa; (3) rencana pembangunan desa; (4) Anggaran Pembangunan Desa; dan (5) hasil rapat desa.

Tabel 19: Jenis Informasi Yang Diberikan/Disampaikan Ke Masyarakat

Sumber Macam Informasi Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

(35)

misalnya informasi tentang dana bantuan (65 persen dan 59 persen responden mengatakan disampaikan kepada masyarakat); serta kebijakan/program pemerintah untuk desa (51 persen dan 45 persen). Namun ketika sumber informasi itu berasal dari pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa sendiri, cukup banyak responden yang mengatakan bahwa informasinya tidak sampai kepada masyarakat. Sebagai contoh: informasi mengenai dana bantuan dari pemerintah kabupaten/kota dan bantuan program untuk desa, sebanyak 51 persen dan 72 persen responden mengatakan tidak pernah menginformasikan atau mendapat informasi tentang hal itu. Begitu juga informasi tentang rencana pembangunan dan pelaksanaan pembangunan desa, sekitar 69 persen dan 83 persen responden mengatakan tidak pernah menginformasikan atau mendapat informasi tentang hal itu. Hasil rapat di tingkat desa, menurut sebagian besar responden (88 persen) juga tidak diinformasikan kepada masyarakat.

Media penyampaian informasi kepada masyarakat sesungguhnya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti melalui papan pengumuman, musyawarah desa, tokoh masyarakat atau mekanisme Badan Permusyawarahan Desa (BPD). Namun menurut sebagian besar responden cara menyampaikan informasi yang dilakukan oleh aparat birokrasi pemerintah desa kepada masyarakat pada umumnya adalah melalui musyawarah desa dan tokoh masyarakat di tingkat desa (lihat pada tabel 20).

Tabel 20: Cara menyampaikan informasi kepada Masyarakat

Sumber Cara

Memberikan

Frekuensi

Jumlah Persentase Jumlah

(36)

Sumber Cara

Memberikan

Frekuensi Persentase Total

Ya Tidak Jumlah Ya Tidak

6.Bertindak Adil kepada Masyarakat dan Menaati Aturan-Aturan Hukum Yang Berlaku

Prinsip lain yang menjadi penanda dilaksanakannya good governance adalah kemampuan aparat birokrasi pemerintah untuk bertindak adil kepada masyarakat dan selalu menaati aturan-aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan pengakuan responden, sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa pemerintah desa di wilayah mereka masing-masing sudah menerapkan prinsip keadilan di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menaati aturan hukum yang berlaku (94 persen).

Tabel 21: Menjalankan Pemerintahan Desa Dengan Adil Dan Menaati Aturan Hukum Yang Berlaku

Jawaban Frekuensi Persentase

Ya 61 93,8 %

Tidak Tahu 4 6,2 %

Jumlah 65 100 %

(37)

Tabel 22: Contoh Kepala Desa Dan Perangkat Sudah Bertindak Adil Kepada Masyarakat Dan Menaati Aturan Hukum Yang Berlaku

Contoh Perilaku Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Ya Tidak Ya Tidak

Tidak pilih kasih dalam memberikan pelayanan

38 27 65 58,5% 41,5% 100 %

Tidak mendahulukan keluarga 29 36 65 44,6% 55,4% 100 % Selalu memberikan informasi

kepada masyarakat

15 50 65 23,1% 76,9% 100 %

Tidak menerima suap 12 53 65 18,5% 81,5% 100 % Mendahulukan prosedur 20 45 65 30,8% 69,2% 100 %

Simpulan

Pengalaman para responden dalam upaya mereka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik berdasarkan unsur-unsur kegiatan yang terdapat di dalam UU Desa antara lain adalah:

(1) Pelayanan terbaik yang dilakukan oleh aparat birokrasi pemerintah desa untuk publik/masyarakat ada pada kegiatan: (1) penyelenggaraan musyawarah desa; (2) menetapkan dan melaksanakan peraturan desa; dan (3) memelihara asset desa.

(2) Sedangkan bidang kerja yang masih belum memenuhi prinsip pelayanan terbaik untuk publik/masyarakat adalah: (1) melaksanakan pembangunan desa; (2) menjalankan program pemberdayaan masyarakat desa; dan (3) mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

(3) bentuk pelayanan publik yang telah dilakukan oleh pemerintah desa dan dianggap telah berorientasi pada kepentingan masyarakat adalah dalam bentuk pelayanan administrasi kependudukan.

(38)

menyumbangkan uang; (3) ikut dan terlibat dalam musyawarah desa; serta menyampaikan aspirasi melalui BPD atau perwakilan rakyat setempat.

(5) Adapun kegiatan atau aktivitas yang oleh sebagian responden masih dianggap belum melibatkan partisipasi masyarakat adalah pada bidang: (1) pendirian BUMDes dan (2) mejalankan program pemberdayaan masyarakat desa.

(6) prinsip transparansi belum sepenuhnya dijalankan oleh para aparat birokrasi pemerintahan desa di dalam menjalankan tugas dan kewenanngnya. Adapun unsur-unsur yang dinilai responden cukup besar ketidaktransparannya, antara lain adalah: (1) Penyelenggaraan BUMDes; (2) pemberdayaan masyarakat desa; (3) pembuatan dan penegakkan peraturan desa; dan (4) BPD dan perangkatnya. BUMDES dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dianggap tidak transparan karena kedua hal tersebut adalah unsur baru dalam pemerintahan desa.

(7) Salah satu prinsip good governance adalah kemampuan aparatur birokrasi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada masyarakat. Berdasarkan jawaban responden, terlihat bahwa di semua unsur dalam UU desa yang sudah diimplementasikan, pada umumnya para aparatur birokrasi pemerintahan desa pernah mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Namun ada beberapa unsur yang menurut responden tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, yaitu: proses pembentukan peraturan desa dan hasil musyawarah desa serta asset desa. BUMDes dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah hal baru dalam pemerintahan desa sehingga kebanyakan responden tidak bisa memberi penilaian terhadap kinerja pemerintah desa pada kedua hal tersebut.

(8) Cukup banyak aparatur birokrasi pemerintah desa tidak mengetahui cara mempertanggungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada masyarakat termasuk tidak mengetahui mekanismenya. Beberapa mekanisme yang dapat dilakukan untuk mempertanggungjawabkan tugas tersebut antara lain adalah: membuat LPJ di setiap kegiatan, membuat LPJ tahunan, dan bekerja sesuai dengan tugas, pokok dan fungsinya. Namun dari ketiga hal tersebut sebagian besar responden menjawab bahwa aparat pemerintahan desa tidak melakukan itu.

(39)

kabupaten/kota, maupun pemerintah desa kepada masyarakat, merupakan itikad baik bagi birokrasi pemerintah yang mengedepankan prinsip good governance. Berdasarkan pengakuan beberapa responden bahwa masih ada informasi yang tidak secara rutin disampaikan kepada masyarakat, yaitu informasi yang berkaitan dengan: (1) kebijakan dari pemerintah propinsi; dan (2) kebijakan dari pemerintah pusat. Kendala yang mungkin dihadapi aparatur birokrasi pemerintah desa ketika mereka tidak bisa secara rutin menyampaikan informasi dari pemerintah propinsi dan pusat kepada masyarakat adalah karena: (a) keterbatasan akses informasi (tidak tersedianya media komunikasi yang cepat, seperti email, internet, dan sebagainya); (b) pemerintah propinsi dan pusat terlambat menyampaikan informasi tersebut sampai ke tingkat desa karena harus melalui berbagai hirarki dan jalur birokrasi yang cukup panjang mata rantainya. (10)Prinsip lain yang menjadi penanda dilaksanakannya good governance adalah

kemampuan aparat birokrasi pemerintah untuk bertindak adil kepada masyarakat dan selalu menaati aturan-aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan pengakuan responden, sebagian besar aparat pemerintahan desa di wilayah mereka sudah menerapkan prinsip keadilan di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menaati aturan hukum yang berlaku. Namun demikian, ketika para responden diminta memberikan contoh perilaku mana saja dari para aparat pemerintah desa yang sudah menunjukkan keadilan, kebanyakan dari mereka menunjuk pada pelayanan kependudukan. Sedangkan sikap aparat birokrasi pemerintah desa yang menurut responden masih belum menunjukkan visi keadilan dan ketaaatan pada aturan hukum antara lain adalah: (1) mendahulukan keluarga; (2) tidak selalu memberikan informasi kepada masyarakat; menerima suap; dan tidak mendahulukan prosedur.

D. Pemahaman Aparat Desa tentang UU/Hukum yang Berkaitan

dengan Tindak Korupsi dan Tindak/Perilaku yang Diangap Koruptif

(40)

1. Pemahaman Aparat Desa terhadap UU Tindak Pidana Korupsi

Tabel 23: Pernah Membaca/Mempelajari/Mendapatkan Informasi Tentang UU Tindak Pidana Korupsi

Jawaban Frekuensi Persentase

Belum Pernah 42 64,6 %

Sudah Pernah 23 35,4 %

Jumlah 65 100 %

Berdasarkan tabel 23 di atas terlihat bahwa masih cukup banyak responden yang belum pernah mempelajari atau mendapatkan informasi tentang UU Anti Korupsi (64,6 persen). Sedangkan yang sudah mendapatkan informasi tentang hal itu baru sekitar 35,4 persen.

Bagi 23 responden yang sudah pernah mendapatkan informasi tentang UU Anti Korupsi, 18 orang di antaranya pernah membaca langsung UU tersebut, sedangkan 5 orang sisanya belum pernah membaca secara langsung. Dengan memperhatikan data pada tabel 24 di bawah, terlihat bahwa para aparat pemerintah desa masih belum banyak yang mengetahui aturan atau rambu-rambu yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

Tabel 24: Pernah Membaca/Mempelajari/Mendapat Informasi Tentang Uu No 31 Tahun 1999, Jo to, Uu No,20 Tahun 2001 Tentang Korupsi

Jawaban Frekuensi Persentase

Tidak 5 21,7 %

Ya 18 78,3 %

Jumlah 23 100 %

2. Pengetahuan Tentang Jenis Tindakan Korupsi

(41)

Tabel 25: Pengetahuan Tentang Jenis Tindakan Korupsi

Jenis Tindakan Korupsi

Frekuensi

Jumlah

Persentase

Jumlah Paham Tidak

Paham Paham

Tidak Paham

Kerugian Keuangan Negara

18 5 23 78,3% 21,7% 100 %

Suap-Menyuap 19 4 23 82,6% 17,4% 100 % Penggelapan dalam

Jabatan

14 9 23 60,9% 39,1% 100 %

Pemerasan 13 10 23 56,5% 43,5% 100 % Perbuatan Curang 12 11 23 52,2% 47,8% 100 % Benturan Kepentingan

dalam Pengadaan

9 14 23 39,1% 60,9% 100 %

Gratifikasi 16 7 23 69,7% 30,3% 100 %

Berdasarkan tabel 25 di atas, terlihat bahwa hal-hal yang dipahami oleh kebanyakan responden dari UU anti korupsi adalah berkaitan dengan: (1) suap-menyuap (82,6 persen); (2) kerugian keungan negara (78,3 persen); (3); gratifikasi (69,7 persen); (4) penggelapan dalam jabatan (60,9 persen); (5) pemerasan (56,5 persen); dan perbuatan curang (52,2 persen). Pemahaman yang paling rendah dari para responden tentang jenis tindakan korupsi adalah pada benturan kepentingan dalam pengaadaan (39,1 persen). Ini artinya, masih banyak aparat desa yang belum memahami bahwa dalam hal pengadaan barang untuk kepentingan lembaga pemerintah ada rambu-rambu yang harus dipatuhi agar tidak terjadi benturan kepentingan antara pemberi pekerjaan (instansi yang menawarkan pengadaan barang) dengan pihak-pihak yang mengerjakan pengadaan barang (perusahaan swasta yang menerima pekerjaan pengadaan barang).

3. Pernah-Tidaknya Responden Menemukan/Mengalami Tindakan Korupsi

Berdasarkan pengakuan responden, sebagian besar di antara mereka (84,6 persen) mengatakan tidak pernah menemukan atau mengalami kejadian yang berkaitan dengan tindakan korupsi. Sebanyak 13,8 persen mengaku tidak tahu atau tidak bisa mengindikasikan bahwa suatu tindakan termasuk korupsi atau bukan, dan hanya 1 responden yang mengaku pernah menemukan tindakan korupsi. Namun dari pengakuan responden yang pernah mengetahui tindak korupsi itu, kasus yang pernah ditemukannya tidak sampai di bawah ke ranah hukum.

(42)

Tabel 26: Pernah Menemukan/Mengalami Kejadian Yang Termasuk Dalam Korupsi Di Lingkungan Responden

Pernah-tidak Frekuensi Persentase

Ya 1 1,5 %

Tidak Pernah 55 84,6 %

Tidak Tahu 9 13,8 %

Jumlah 65 100 %

Meskipun sebagian besar responden mengaku tidak pernah menemukan atau mengalami peristiwa tindak korupsi, pengakuan mereka tersebut masih perlu diuji paling tidak berdasakan pemamahan atau sikap mereka ketika dihadapkan pada beberapa kasus yang dapat dikategorikan tindak koruptif.

4. Sikap Responden Ketika Dihadapkan pada Kasus-Kasus Korupsi

Beberapa kasus yang berkaitan dengan tindakan korupsi ditanyakan kepada responden dan responden kemudian memberikan penilaian atas dasar sikap mereka terhadap kasus-kasus tersebut. Beberapa tindakan atau kasus korupsi yang ditanyakan kepada responden meliputi: (1) kolusi dan nepotisme; (2) suap-menyuap; (3) penipuan/pemalsuan/penggelapan untuk tujuan memperkaya diri; (4) pemerasan; (5) penyalahgunaan wewenang/kekuasaan.

a. Kolusi dan Nepotisme

(43)

Tabel 27: Sikap terhadap Kolusi/Nepotisme

Kasus Setuju

(%)

Cukup setuju (%)

Kurang setuju

(%)

Tidak setuju (%)

Total (%)

Pemimpin/Pejabat berhak

menentukan tender dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan kantor atas dasar hubungan

kedekatan/pertemanan/persaudaraan (nepotisme).

1,5 9,2 24,6 64,6 100

Boleh menerima tender/pekerjaan dari suatu lembaga pemerintahan selama bersedia menyisihkan sebagian dari dana proyek untuk para pejabat di dalam birokrasi pemerintahan tersebut

(kolusi).

4,6 13,8 20 61,5 100

Membaca data pada tabel 27 di atas, terlihat bahwa nepotisme (hubungan kedekatan/pertemanan/persaudaraan/atasan) oleh para responden nampaknya sudah mulai dianggap sebagai perilaku yang tidak terpuji. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sekitar 10,7 persen responden bersikap setuju atau cukup setuju dan sebesar 64,6 persen responden tidak setuju ketika pemimpin/pejabat berhak menentukan tender dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan kantor atas dasar hubungan kedekatan/pertemanan/persaudaraan.

Namun ketika kasus kolusi (bersekongkol dengan pejabat berwenang untuk menyisihkan sebagian dana proyek untuk pejabat tersebut) disampaikan kepada responden masih ada responden yang menyetujui sikap tersebut (18,4 persen). Sedangkan responden yang tidak menyetujui sistem atau mekanisme kick back

semacam itu (pelaksana proyek memberikan prosentase atau sebagian nilai proyek/tender kepada pemberi pekerjaan dalam hal ini pejabat pembuat keputusan) jumlahnya sebesar 61,5 persen. Ini artinya, sistem kick back yang dilakukan oleh

(44)

b. Suap-Menyuap

Suap-meyuap adalah tindakan memberi/menjanjikan sesuatu kepada petugas atau pejabat yang berwenang atau menerima pemberian/janji/hadiah oleh petugas atau pejabat yang berwenang di mana pemberian atau penerimaan tersebut ditujukan untuk kepentingan atau keuntungan kedua belah pihak.

Tabel 28: Sikap terhadap Tindakan Suap-Menyuap

Kasus Setuju

(%)

Cukup setuju (%)

Kurang setuju

(%)

Tidak setuju (%)

Total (%)

Pemimpin/Pejabat Menerima (atas dasar permintaannya) uang lelah atau jasa dari masyarakat sebagai pelayan publik (menerima suap).

3,1 10,8 29,2 56,9 100

Kebiasaan Masyarakat Memberikan Dana Untuk Mempercepat

Pengurusan Perijinan Yang Berkaitan Dengan Birokrasi Pemerintahan (memberikan suap).

3,1 % 13,8 21,5 61,6 100

Ketika responden diminta pendapatnya tentang kasus suap-menyuap, khususnya dalam pengurusan perizinan atau pemberian pelayanan kepada masyarakat, ternyata untuk kasus menerima suap sebanyak 13,9 persen responden masih menyetujui (setuju atau cukup setuju), dan kasus memberikan suap sebanyak 16,9 persen respoden masih menyetujui (setuju atau cukup setuju). Sedangkan yang tidak menyetujui kasus memberi suap ada sebanyak 56,9 persen responden dan yang tidak menyetujui kasus menerima suap sebesar 61,6 persen responden. Realitas ini nampaknya masih terus berlangsung di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, karena tindakan suap-menyuap dianggap sudah menjadi bagian dari upaya mempercepat urusan dengan pihak birokrasi pemerintahan dan di pihak para pejabat atau pemilik kewenangan, cara ini dianggap sebagai salah satu modus untuk mendapatkan ‘penghasilan tambahan’ di luar gaji resmi yang diterima dari negara.

c. Penipuan/Pemalsuan/Penggelapan

(45)

memudahkan orang lain atau dirinya sendiri agar mendapatkan keuntungan, maka tindakan-tindakan semacam itu dapat dikategorikan sebagai penipuan / pemalsuan / penggelapan untuk memperkaya diri sendiri.

Tabel 29: Penggelapan uang/barang/surat berharga untuk kepentingan pribadi

Kasus Setuju Selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan boleh dan berhak untuk mengatur pembukuan/laporannya agar laporan yang masih cukup ditoleransi oleh responden adalah kasus penggelapan, karena sekitar 16,9 persen responden setuju atau cukup setuju dan 60 persen tidak setuju dengan tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah bagian pengadaan barang dalam melakukan penggelapan uang/ barang/surat untuk kepentingan pribadinya. Sedangkan pada kasus penipuan dan pemalsuan sebagian besar responden (masing-masing sebanyak 63,1 persen) tidak setuju dengan tindakan penipuan dan pemalsuan. Ini artinya, modus untuk memperkaya diri sendiri melalui cara-cara di atas dianggap tidak baik oleh sebagian besar responden.

d. Pemerasan

(46)

meminta/menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolah-olah hal itu merupakan utang kepadanya atau hak yang dimilikinya.

Tabel 30: Pemerasan Yang Ditujukan untuk Menguntungkan Diri Sendiri

Kasus Setuju adalah hutang bagi dirinya padahal bukan hutang

3 7,7 24,6 63,6 100

Menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai sehingga pihak yang memiliki hak pakai harus melepaskan haknya

7,7 6,2 32,3 53,8 100

Seorang pegawai negeri/aparat birokrasi boleh memaksa atau mengintimidasi orang lain untuk memberikan sesuatu dengan tujuan agar urusan orang lain tersebut dipermudah

1,5 10,8 21,5 66,2 100

(47)

e. Gratifikasi dan Perbuatan yang Berkaitan dengan Benturan Kepentingan

Gratifikasi adalah salah satu bentuk tindakan koruptif di mana pejabat yang memiliki wewenang atau kekuasaan menerima pemberian barang atau jasa dari seseorang tanpa ada pertalian langsung pada kepentingan utama. Pemberian itu bisa ditujukan untuk modal atau investasi atau untuk mendapatkan keuntungan lain yang akan diperoleh pada masa yang akan datang. Sedangkan benturan kepentingan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah atau penyelenggara negara yang secara langsung atau tidak, atau sengaja maupun tidak, ikut dalam suatu kegiatan bisnis (misalnya pemborongan atau pengadaan/persewaan barang atau jasa yang sedang dibutuhkan oleh negara) sedangkan yang bersangkutan bertugas sebagai pejabat atau pemberi kewenangan dalam pengadaan barang/jasa tersebut.

Tabel 31: Gratifikasi dan Benturan Kepentingan

Kasus Setuju Kado Ulang Tahun, Dari Orang Yang Berhubungan Dengan Jabatan Dalam Sebuah Proyek Yang Di Saat Bersamaan Ditugaskan Untuk Mengawasi Proyek Tersebut (benturan kepentingan).

3,1 12,3 33,8 50,8 100

(48)

seseorang bila seseorang aparat atau pegawai pemerintah memiliki pekerjaan sampingan di luar pekerjaan pokoknya.

Simpulan

Pemahaman Aparat Desa tentang UU/Hukum yang Berkaitan dengan Tindak Korupsi dan Tindak/Perilaku yang Diangap Koruptif nampaknya masih perlu ditingkatkan. Hal itu dapat ditunjukkan dengan bukti-bukti berikut ini:

a) bahwa masih cukup banyak responden yang belum pernah mempelajari atau mendapatkan informasi tentang UU Anti Korupsi (64,6 persen). Sedangkan yang sudah mendapatkan informasi tentang hal itu baru sekitar 35,4 persen.

b) Bagi responden yang sudah pernah mendapatkan informasi tentang UU Anti Korupsi, sebagian ada yang pernah membaca langsung UU tersebut, namun sebagian kecil sisanya belum pernah membaca secara langsung.

c) Jenis-jenis tindakan yang terkategori korupsi yang diketahui oleh para responden berdasarkan skor pemahaman tertinggi hingga terendah adalah: (1) suap-menyuap; (2) kerugian keungan negara; (3); gratifikasi; (4) penggelapan dalam jabatan; (5) pemerasan; dan perbuatan curang; dan (6) pemahaman yang paling rendah adalah pada jenis tindakan korupsi berupa benturan kepentingan dalam pengaadaan.

d) Berdasarkan pengakuan para responden, sebagian besar di antara mereka mengatakan tidak pernah menemukan atau mengalami kejadian yang berkaitan dengan tindakan korupsi. Namun ada pula responden yang tidak tahu atau tidak bisa mengindikasikan bahwa suatu tindakan termasuk korupsi atau bukan, dan hanya 1 responden yang mengaku pernah menemukan tindakan korupsi. Namun dari pengakuan responden yang pernah mengetahui tindak korupsi itu, kasus yang pernah ditemukannya tidak sampai di bawah ke ranah hukum.

Gambar

Tabel 2: Responden dengan Jabatan/Posisi dalam Pemerintahan Desa
Tabel 4: Tahun Mulai Menjabat Sebagai Perangkat
Tabel 6: Pendidikan Responden
Tabel 8: Tingkat Pemahaman Unsur-Unsur Di Dalam Undang-Undang Desa
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Penurunan suhu pada saat berkumur dengan es terjadi karena tubuh kehilangan panas melalui konduksi ke udara sekeliling yang lebih dingin, sedangkan pada mulut yang

Oleh karena itu penanganan terhadap perilaku destruktif pemakai dalam pemanfaatan bahan pustaka harus mendapatkan prioritas dalam program perpustakaan perguruan tinggi sehingga

Merupakan wilayah dengan pertumbuhan tinggi, merupakan kawasan yang masih berkembang. Kecenderungan pertumbuahan bersifat spasial, dengan pola bloking. Wilayah

Pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi dan merupakan bagian dari pendidikan yang menyangkut

7 Praktikum Peradilan Semu Mampu menyusun draft kontrak dan dokumen-dokumen litigasi, Mampu menyelesaikan permasalahan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi.. 8

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah “Bagaimana

Keteguhan tarik ini mempunyai hubungan dengan ketahanan kayu terhadap pembelahan (Dumanauw,2001). Ini berarti bahwa contoh uji ketiga memiliki daya tahan terhadap gaya

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan konflik batin yang dialami oleh tokoh utama dalam novel Assalamualaikum Beijing karya Asma Nadia.. HASIL