• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove

Pemanfaatan hutan mangrove bergantung sepenuhnya pada perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove (Dahuri, 2001). Kawasan hutan menurut fungsinya dibagi menjadi beberapa peruntukkan, yaitu hutan produksi, hutan lindung, hutan wisata dan hutan suaka alam (Alikodra, 1999). Kegiatan penataan hutan ini berdasarkan pedoman pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 dengan memperhatikan usulan dan pertimbangan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Selain tipe-tipe hutan di atas, hutan mangrove di Indonesia juga ada yang tumbuh di kawasan non kehutanan yaitu rakyat.

Hutan mangrove yang terletak di hutan produksi digunakan untuk menghasilkan keperluan masyarakat pada umumnya dan untuk kepentingan pembangunan industri serta ekspor. Hasil hutan mangrove di hutan produksi dapat berupa kayu bahan bangunan, kayu bakar, arang dan kulit kayu yang mengandung zat penyamak atua tanin.

Di Indonesia, hutan mangrove ini dapat dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan sifat pengelolaannya, yaitu IUPHHK, IUPHHT, dan Perum Perhutani. Pengelolaan oleh IUPHHK dan IUPHHT biasanya diterapkan pada hutan mangrove yang terletak di luar Pulau Jawa yang masuk dalam areal konsesi pemegang IUPHHK dan IUPHHT. Sedangkan di Pulau Jawa, pengelolaan hutan mangrove diserahkan pada Perum Perhutani.

Sistem silvikultural yang digunakan dalam pengelolaan hutan ini adalah sistem pohon induk (seed trees method). Sistem ini berdasarkan pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 yang mengatur cara penebangan dan pemeliharaan hutan mangrove sebagai suatu keterpaduan pekerjaan.

Hutan mangrove yang boleh ditebang harus terletak mulai dari jarak 50 m dari tepi hutan yang menghadap ke arah pantai dan 10 m dari tepi hutan yang menghadap ke tepi sungai, alur air dan jalan raya. Penebangan dilakukan dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha setelah itu areal ditutup terhadap penebangan. Pohon yang ditebang berdiameter minimal 10 cm pada ketinggian 20 cm di atas pangkal akar tunjang atau banir. Pada umur 15-20 tahun setelah penebangan dilakukan penjarangan, kemudian ditutup kembali terhadap penebangan sampai hutan tersebut berumur 30 tahun.

Pembangunan hutan tanaman industri hutan mangrove dapat dilaksanakan di lahan non produktif, namun masih layak atau cocok untuk ditanami dengan jenis pohon mangrove dan terletak tidak jauh dari tepi sungai yang masih digenangi oleh air laut saat pasang. Kegiatan dalam IUPHHK dan IUPHHT ini meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.

Luas hutan mangrove di Pulau Jawa adalah 70.502 ha yang tersebar di Unit I Jawa Tengah sebesar 16.513 ha, Unit II Jawa Timur sebesar 20.994 ha dan Unit III Jawa Barat seluas 32.995 ha (Perhutani, 1996). Pola pengelolaan hutan mangrove di ketiga unit tersebut berbeda-beda tergantung pada kondisi setempat. Hutan mangrove di Unit I dan II sedikit terpengaruh oleh pasang surut, sedangkan di Unit III Jawa Barat umumnya dipengaruhi oleh pasang surut. Sehingga pengelolaan hutan mangrove di Unit III dilakukan dengan model empang parit (sylvofishery).

Model empang parit ini pada intinya melibatkan masyarakat secara langsung berperan serta dalam pembangunan hutan, dimana 20% dari luas lahan digunakan untuk tambak dan sisanya (80%) ditanami dengan vegetasi mangrove. Perbandingan luas antara tegakan mangrove dengan empang adalah 4:1. Penanaman dilakukan dengan jarak 5 x 2 meter. Jenis-jenis vegetasi yang ditanam adalah Sonneratia sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops sp., Avicenia sp., dan Xylocarpus sp.

Dalam sistem ini, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang terdiri atas 16-25 KK tiap KTH. Tiap KK diberi lahan garapan seluas + 5 ha dan pada tahap awal Perum Perhutani memberi bantuan gratis berupa pupuk 450 kg/ha dan kredit tanpa bunga berupa benih ikan sesuai dengan kebutuhan. Biaya pengolahan tanah sepenuhnya tanggungan petani, sedangkan biaya penanaman vegetasi mangrove ditanggung oleh Perum Perhutani.

Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah (Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990). Hutan mangrove yang terletak dalam kawasan lindung adalah hutan yang mangrove yang tumbuh di sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan pantai berhutan bakau.

Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Kriteria sempadan sungai adalah sekurang-kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak sungai yang berada di luar permukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman berupa jalan inspeksi selebar 10-15 meter. Kriteria kawasan pantai perhutani bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

Di dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Kegiatan budidaya yang sudah ada harus mematuhi ketentuan-ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung maka harus dicegah perkembangannya dan fungsi kawasan dikembalikan secara bertahap. Kegiatan yang diperbolehkan di kawasan ini adalah penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.

Hutan suaka alam adalah hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk melindungi alam hayati dan manfaat-manfaat lainnya (UU No. 5 tahun 1967). Hutan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Sedangkan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam cagar alam adalah untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam cagar alam untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran. Sedangkan kegiatan boleh yang dilakukan di suaka margasatwa hampir sama dengan cagar alam dengan tambahan diperbolehkannya kegiatan wisata secara terbatas yaitu kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam di suaka margasatwa dengan persyaratan tertentu.

Hutan ini berfungsi sebagai hutan yang dapat memenuhi kepentingan rekreasi dan kebudayaan. Dalam fungsi ini terdapat unsur komersial, sehingga dalam pengelolaannya termasuk kegiatan bidang pengusahaan. Prinsipnya adalah mencari manfaat yang sebesar-besarnya, keserbagunaan manfaat secara lestari baik spiritual dan material tanpa mengganggu kelestarian hutannya.

Selain hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata, hutan mangrove juga tumbuh di kawasan budidaya non kehutanan. Kawasan ini dapat berupa hutan produksi yang dikonversi atau areal dengan tujuan penggunaan lain. Hutan mangrove di kawasan ini biasanya dijadikan sebagai daerah permukiman, industri, areal persawahan pasang surut, areal pertambakan dan sebagainya. Pola pengelolaan di kawasan ini cenderung merusak dan menurunkan fungsi serta luas hutan mangrove, termasuk meniadakan jalur hijau mangrove. Hal ini disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan pemilik hutan mangrove tersebut.

Bagi petani tambak yang memelihara ikan dan udang secara intensif, keberadaan hutan mangrove sangat mengganggu karena dijadikan sebagai tempat persembunyian hama dan penyakit. Sehingga mereka menebang habis vegetasi mangrove di tambaknya. Selain itu, adanya perbedaan persepsi dan konflik kepentingan mengenai status serta pemanfaatan hutan mangrove diantara berbagai sektor pemerintahan mengakibatkan pengelolaan yang serampangan, tidak terpadu dan tidak memperhatikan kelestarian hasil.