• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Hasil analisis kualitas air

4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove

Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi yaitu Muara Angke Muara Gembong dan Teluk Naga dan berdasarkan hasil data sekunder yang relevan dengan topik penelitian, ditemukan beberapa permasalahan pokok yang dapat mengancam kelestarian hutan Mangrove.

1. Degradasi hutan mangrove

Hutan mangrove di kawasan Muara Angke yang berstatus hutan lindung tahun 1995 seluas 50,80 ha dan tahun 1999 luasan menyusut menjadi 44,76 ha atau berkurang 6,04 ha selama 5 tahun atau 1,21 ha per tahun. Demikian juga hutan wisata Muara Kamal dari 101,60 ha berkurang 99,82 ha atau menyusut 1,78 ha atau 0,36 ha per tahun. Hutan mangrove cagar alam Muara Angke relatif tetap yaitu 25,25 ha. Di Muara Gembong luasan hutan mangrove dari 9.749,9 ha menjadi 3.320 ha berarti menyusut menjadi 6.429,90 ha.

Rusaknya hutan mangrove berarti terganggunya penyediaan serasah dalam perairan yang sangat dibutuhkan untuk tumbuhnya mikroorganisme. Disamping itu terganggunya daerah pengasuhan (nursery ground), daerah

mencari pakan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spanning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya.

Lokasi Muara Angke, Muara Gembong dan Teluk Naga yang memiliki hutan mangrove menjadi sangat rentan terhadap meningkatnya jumlah penduduk, terutama untuk pemukiman dan pemenuhan kebutuhan hidupnya misalnya untuk tambak. Akibatnya pantai terancam terjadi abrasi dan sedimentasi, bahkan pencemaran dari sampah rumah tangga dan domestik tidak dapat dikendalikan. Hal ini akan mengganggu kelestarian lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi dapat dilacak, ditemukan permasalahan lingkungan hutan mangrove sebagaimana tertera pada Tabel 14.

Tabel 14. Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga

- Dikonversi menjadi permukiman. - Di sebelah timur ada

pemukiman nelayan dan di selatan pantai indah kapuk, - Abrasi dan

sedimentasi - Pencemaran dari

sampah dan limbah industri.

- Luas hutan mangrove menyusut

- Kawasan pantai yang berhadapan dengan ombak dan gelombang besar sehingga terjadi abrasi dan sedimentasi - Eksploitasi hutan

mangrove untuk kepentingan ekonomi sesaat.

- Hutan mangrove telah rusak - Terjadi abrasi dan sedimentasi - Pencemaran air, akumulasi

sampah dan limbah

- Wilayah pesisir dari utara ke selatan tidak ada hutan mangrove

- Kualitas air rendah, kotor, warna hitam dan bau - Penambangan pasir laut. - Pembangunan fasilitas wisata

Sumber: Hasil survey lapangan (2006)

2. Permasalahan sosial ekonomi

Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove, yang menilai mangrove tidak memiliki nilai berharga, sehingga keberadaan pohon mangrove dibabat untuk kepentingan kayu bakar, bahan bangunan, bahan arang dan bahan kertas (pulp). Pada umumnya hutan mangrove seperti di Muara Gembong dan Teluk Naga digunakan usaha tambak, bahkan ada anggapan dengan semakin luas membabat mangrove, areal tambak menjadi luas dan produksinya meningkat. Hutan mangrove sangat rentan terhadap kegiatan manusia untuk tambak, persawahan dan pemukiman.

Faktor sosial lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah aspek kepemilikan lahan. Di Muara Gembong, sebagian besar lahan budidaya telah menjadi milik pengusaha dari luar Muara Gembong untuk

dijadikan lahan budidaya perikanan. Tenaga kerja di usaha budidaya perikanan tersebut adalah masyarakat Muara Gembong yang belum memiliki lahan. Petani juga menggarap lahan hutan milik Perum Perhutani dengan sistem sewa lahan. Pendapatan petani masih relatif rendah. Keuntungan lebih banyak diperoleh pedagang dan pemilik lahan.

Dukungan pendanaan untuk melestarikan hutan mangrove relatif kurang karena apresiasi penentu kebijakan terhadap pelestarian hutan mangove masih rendah. Pada umumnya pertimbangan pendanaan lebih diarahkan pada sektor-sektor yang memberikan hasil ekonomi secara langsung. Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi ditemukan permasalahan sosial ekonomi masyarakat hutan mangrove secara rinci sebagaimana tertera pada Tabel 15. Tabel 15. Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta

Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga

- Tingginya permintaan sumber daya lahan untuk pemukiman. - Pembabatan mangrove untuk

kayu bakar, konstruksi, dan pembuatan arang.

- Partisipasi masyarakat rendah. - Belum memiliki data dan

informasi mangrove yang lengkap

- Keterbatasan wawasan terhadap manfaat dan fungsi hutan mangrove - Tidak taatnya petambak terhadap kontrak dengan Perum Perhutani - Tingginya kebutuhan masyarakat untuk lahan tambak. - Kesenjangan ekonomi antara penduduk Jakarta dengan penduduk Muara Gembong. - Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi - Keinginan Pemda guna meningkatkan PAD sehingga mengkonversi hutan mangrove - Tekanan jumlah penduduk mengganggu lahan hutan mangrove

Sumber: Hasil survey lapangan (2006) 3 Konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan

Pengelolaan hutan mangrove terdiri atas dua fungsi utama yaitu pertama sebagai fungsi lindung yang diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi pengaturan tata air, pencegahan intrusi air laut, polusi, perlindungan terhadap angin, abrasi pantai dan mempertahankan habitat biota akuatik dan terrestrial. Kedua, pengelolaan hutan mangrove dengan fungsi pelestarian diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian, keunikan keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem hutan mangrove. Dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian hutan mangrove diupayakan dapat terintegrasi dengan kepentingan dan hak masyarakat sekitarnya.

Permasalahan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yang berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya adalah perambahan hutan mangrove dalam bentuk perubahan status kawasan untuk keperluan perluasan tambak yang dilakukan secara besar-besaran oleh pihak swasta atau secara sporadis oleh masyarakat untuk keperluan permukiman, kawasan industri dan keperluan lain serta pengambilan kayu oleh masyarakat. Luas kawasan hutan mangrove di Muara Angke, kondisinya banyak mengalami tekanan berupa pencemaran dan perambahan. Selain itu belum ditemukan formula yang cukup memadai untuk menghentikan atau menghambat upaya perambahan yang dilakukan secara sistematis dan sporadis.

Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Teluk Jakarta mengalami konflik antar stakeholder. Konflik pemanfaatan terjadi secara horisontal antar masyarakat dan pengusaha, dan konflik vertikal antar pemerintah daerah. Konflik di Muara Gembong dan di Teluk Naga akibat belum memiliki status hutan yang jelas. Sosialisasi kebijakan bagi para petambak dan masyarakat kurang efektif sehingga tetap menimbulkan pola pemanfaatan yang berlebihan.

Pantai Utara Jakarta yang terbentang sepanjang 32 km, akan direklamasi dengan mengambil lebar dari bibir pantai ke arah laut sejauh 1,5 km dan kedalaman maksimal 8 m. Artinya seluruh lahan reklamasi akan menghabiskan lahan seluas 2.500 ha. Rencananya, diatas lahan reklamasi itu, selain untuk pembangunan kegiatan industri, juga untuk fasilitas kegiatan pariwisata, perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi dan perumahan penduduk untuk 750. 000 jiwa. Kawasan ini meliputi Kabupaten Bekasi di timur hingga Kabupaten Tangerang di sebelah barat.

Kawasan reklamasi tersebut diapit dua sungai besar yang berpotensi sebagai sumberdaya air, yakni sungai Citarum di timur dan sungai Cisadane di barat. Juga terdapat 13 sungai kecil lainnya yang bermuara ke teluk Jakarta. Untuk mereklamasinya dibutuhkan 335 juta meter kubik bahan urukan, termasuk pasir. Untuk pemenuhan deposit pasir laut ini, berdasarkan studi terdapat di Tanjung Burung, pulau Tidung, TanjungKait,TanjungPontang, pantai Cemara, pasir Putih, serta bekas pertambangan timah di pulau Bangka dan Belitung.

Kawasan reklamasi tengah diperuntukkan sebagai pusat bisnis, perkantoran, industri, pergudangan dan apartemen yang akan dimulai dari sekarang hingga 2010, dan untuk perumahan dan pariwisata, lahan reklamasi

yang disediakan adalah bagian barat dan timur, yang akan dibangun mulai 2005 sampai 2015.

Pemda DKI Jakarta belum menilai biaya kerusakan ekosistem seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang, ikan dan ekosistem laut yang akan hilang dari kawasan ini. Hilangnya cagar alam Muara Angke yang selama ini berfungsi ekologis strategis bagi Jakarta. Hilangnya mata pencarian pembudidaya ikan yang memanfaatkan teluk Jakarta selama ini, tidak menjadi bahan pertimbangan. Sementara keahlian mayoritas di kawasan itu adalah budidaya dan menangkap ikan.

Dalam peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) 1960 - 1985 maupun RUTR 1985 – 2005 tidak terdapat rencana reklamasi pantura. Landasan hukum reklamasi Pantura adalah Keppres No. 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantura. Dalam Peraturan Daerah No. 6 tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan tentang reklamasi pantura.

Alih fungsi lahan terjadi karena tidak tegasnya penegakan hukum mengenai ketaatan terhadap rencana tata ruang yang telah disusun. Alih fungsi lahan terjadi khususnya untuk hutan mangrove di Muara Angke untuk permukiman dan pedagangan, di Muara Gembong untuk kegiatan pertambakan, dan di Teluk Naga untuk kegiatan pertambakan dan industri. Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta

Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga

- Konflik pemanfatan untuk permukiman dan kawasan lindung - Reklamasi kawasan Pantura Jakarta

- Terjadi konflik pemanfaatan kepentingan lahan antar petambak dengan Perum Perhutani, dan Perum Perhutani dengan Pemda. - Belum ditetapkan status dan

fungsi hutan mangrove

- Dikonversi menjadi lahan tambak dan penambangan pasir laut

- Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi

4. Permasalahan kelembagaan dan kebijakan

Penentu dan pembuat kebijakan yang kurang mempertimbangkan nilai dan fungsi hutan mangrove merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerusakan mangrove di Teluk Jakarta. Salah satu indikasi dari hal tersebut

adalah pemanfaatan ruang yang tidak konsisten dengan RTRW. Disamping itu sosialisasi kebijakan dalam pelestarian hutan mangrove belum diimplementasikan secara tepat sehingga masyarakat belum sepenuhnya mengetahui adanya kebijakan tersebut.

Kelembagaan pemerintah di Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk Naga belum berperan secara tepat, untuk itu perlu ditingkatkan kapasitasnya. Sampai saat ini belum ada kelembagaan yang memiliki kewenangan dan tugas pokok dalam mengelola dan melestarikan hutan mangrove pada wilayah Teluk Jakarta secara terpadu. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih kegiatan di tingkat lapangan dan tidak jelasnya penanggung jawab jika terjadi permasalahan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan permasalahan kelembagaan hutan mangrove di Teluk Jakarta sebagai berikut: (1) Belum ada lembaga yang terpadu mengelola Teluk Jakarta; (2) Lembaga sosial ekonomi belum berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (3) Belum didukung data dan informasi tentang hutan mangrove; (4) Belum ada kebijakan mendorong pemanfaatan lahan secara optimal dan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove; (5) Adanya egoisme sektoral, tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi terkait; (6) Peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik antar instansi, pengusaha, dan masyarakat belum optimal; dan (7) Rencana tata ruang wilayah pesisir yang disepakati oleh tiga wilayah administrasi di Teluk Jakarta belum ada.

Peraturan berfungsi sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku

stakeholder dalam melakukan pemanfaatan hutan mangrove. Kinerja pengelolaan hutan mangrove merupakan output dari peraturan. Terdapat 67 peraturan yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan pengelolaan hutan mangrove. Hirarki peraturan mulai dari UU hingga peraturan desa, yang berdasarkan pengaturannya terdiri atas: pengalokasian distribusi kewenangan pengelolaan hutan mangrove; pengaturan substansi penentuan kawasan hutan mangrove dan konversi mangrove; pengaturan pemanfaatan hutan mangrove; pengaturan rehabilitasi hutan mangrove; dan perlindungan serta pengamanan hutan mangrove. Secara garis besar pengaruh berbagai peraturan terhadap kinerja pengelolaan hutan mangrove disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar Teluk Jakarta

Peraturan Bidang isi Pelaksanaan Kinerja

PP Nomor 69 Tahun 1996

Pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta

masyarakat dalam penataan ruang

PERDA No. 5 tahun 2003 tidak

melibatkan masyarakat sekitar hutan mangrove,

Menimbulkan keraguan status hutan mangrove dan peluang bagi free rider untuk

memperjualbelikan lahan garapan. Kawasan ini termasuk dalam daerah lingkungan kepentingan pelabuhan.

PP Nomor 70 Tahun 1996

Pelabuhan Relokasi pelabuhan Tanjung Priok ke wilayah pantai utara Kab. Bekasi PP Nomor 15 Tahun

1990 jo. No. 141/2000

Usaha perikanan Diimplementasikan pada areal garapan dan penggarap memperoleh insentif

Perubahan pola

pemanfaatan dari tambak tumpangsari menjadi tambak intensif. Kuota pemanfaatan melewati 4 kali lebih besar dari 2.156,71 ha menjadi 8.431,55 ha. Keputusan Menteri

Kelautan dan Perikanan No. 45/2000

Perijinan usaha perikanan Keputusan Menteri

Kelautan dan Perikanan No. 09/Men/2001

Intensifikasi budidaya udang pada rawa dan payau Dalam tataruang mangrove dialokasikansebagai kawasan pelabuhan Keputusan Menteri Keuangan No 174/KMK. 04/1993 Penentuan klasifikasi dan besarnya nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan PBB

Mangrove dikategorikan sebagai tanah yang tidak terlalu produktif,nilai jualnya sdh sama dengan kelas terendah. Mangrove dianggap bernilai apabila

bermanfaat dalam jangka pendek

Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 593/Kep 518/Huk/1988 Penguasaan, peruntukkan dan penggunaan tanah timbul di Provinsi Jawa Barat Duplikasi pengaturan kawasan mangrove terutama yang tidak ada tanamannya karena dianggap sebagai tanah timbul

Tanah timbul yang berbatasan dengan lahan objek land reform. Terjadi dualisme lembaga hak pemilikan dan tidak bisa

diekslusinya 530 penggarap illegal SK Dirut Perum Perhutani Pengelolaan hutan bersama masyarakat Diterapkan pada kegiatan pengelolaan hutan mangrove

Hutan mangrove yang tersisa antara 330,24 – 1.195,28 ha, karena hak kepemilikan

menimbulkan ketidakpastian Perda Kabupaten No.44

Bekasi No5 2003.

Tata ruang kawasan khususnya Pantura

Mangrove tidak dijadikan sebagai kawasan lindung

Penggarap tidak taat aturan main kontrak SK Kepala Unit III No.

2201/Kpts/III/1997 Petunjuk kerja GRPKH Dilaksanakannya sejak tahun 1999. Hasil reboisasi 21,68 ha/tahun dengan laju pemanfaatan mangrove 255,44 ha/tahun. Hutan yang tersisa 386,21 ha. SKB Bupati Bekasi, dan

KKPH Bogor No.5 /SPK/Ek/236.3/VIII19 85 dan No. 059.7/Bgr/Ill.

Kerjasama pelestarian mangrove Merehabilitasi 5.700 ha lahan kritis di kawasan hutan mangrove PERDES Harapan Jaya,

Panti Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Mekar dan Pantai Sederhana Penolakan program pengelolaan hutan mangrove yang diinisiasi Perhutani Penebangan mangrove pada lahan garapan dan penggarap tidak menanam mangrove pada lahan garapan

Tanaman mangrove hanya disisakan pada pematang tambak berkisar antara 5 – 10 pohon/lahan garapan

Permasalahan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta yaitu: (a) adanya interaksi yang tinggi dari masyarakat karena kebutuhan akan lahan menyebabkan alih fungsi lahan hutan menjadi tambak, sawah, pemukiman, dan kebun; (b) lebih dominannya pertimbangan ekonomi sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan; (c) kurangnya dukungan Pemda dalam hal penegakan hukum; (d) belum samanya persepsi tentang eksistensi hutan mangrove, baik status maupun fungsi; dan (e) rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan mangrove.