• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.7 Pemantauan Anestesi

Pemberian anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan pasien akan tetap merasakan nyeri, masih dalam keadaan sadar, masih adanya refleks dan masih ada pergerakan. Apabila dosis anestetikum yang diberikan dalam keadaan cukup atau berlebihan, mengancam terjadinya kematian. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemantauan yang baik selama teranestesi. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi respirasi, fungsi sirkulasi, dan temperatur tubuh serta tetap mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan Hollingshead 2003).

Kedalaman anestesi tidak dapat diberikan batasan yang tegas seperti terjaga, tertidur, maupun meninggal. Tetapi secara umum berdasarkan pengalaman, dapat digambarkan bahwa anestesi mempunyai empat tahap (4 stages) dimana tahap 3 (tahap anestesi untuk pembedahan) dibagi dalam 4 plane. Sedangkan pada binatang mempunyai banyak spesies, biasanya digunakan balanced anesthetic dengan kombinasi beberapa obat sehingga tahap-tahap anestesi tidak menjadi jelas. Anestesi pada hewan memerlukan pengawasan yang lebih sering dan lebih teliti untuk mengetahui tercapainya kedalaman anestesi, sehingga kedalaman anestesi tetap dapat

30"

"

diawasi serta dipertahankan, dan tidak berpengaruh buruk terhadap sistem vital.

Lebih dari satu tanda harus digunakan untuk mengetahui kedalaman anestesi, karena kedalaman anestesi tidak dapat ditentukan hanya dari satu tanda saja. Selama teranestesi harus tetap terjaga penyediaan oksigen yang cukup ke jaringan dan terbuangnya karbondioksida hasil respirasi. Jumlah oksigen yang cukup menuju jaringan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti cardiac output, nilai saturasi aoksigen, dan Hb (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).Pada kondisi teranestesi, sistem fisiologi hewan akan mengalami penurunan terutama cardiac output dan penurunan efisiensi paru-paru (saturasi arteri), sehingga akan menyebabkan penurunan ketersediaaan O2 ke jaringan dan ditambah dengan kondisi sakit dapat menyebabkan hipoksia serta kematian.

Penggunaaan anestesi harus tetap mempertahankan kedalaman anestesi tetapi tetap juga menjaga agar tidak terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler dan respirasinya. Dua hal tersebut dapat dijaga hanya dengan memperhatikan refleks dan mengawasi tanda-tanda vital hewan. Refleks pedal, menjepit ekor dan telinga dapat digunakan untuk melihat bahwa anestesi sudah dalam dan anestesi tahap pembedahan sudah tercapai, tetapi tidak dapat digunakan untuk memantau bahwa anestesi terlalu dalam dan sudah membahayakan. Pada keadaan tahap anestesi yang terlalu dalam, hewan dapat dalam keadaan bahaya terhadap gagalnya respirasi dan kardiovaskuler.

Tanda-tanda vital pada aktivitas kardiovaskuler dan respirasi yang menunjukkan kegagalan atau bahaya harus diamati dengan baik seperti mata terbuka, nafas sangat

lambat dan dangkal, nafas sangat dalam, warna membrana mukosa membiru, dan tekanan darah yang sangat menurun (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003).

32"

"

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Anestesi merupakan tahapan yang paling penting dalam tindakan pembedahan, karena tindakan pembedahan belum dapat dilakukan bila anestesi belum diberikan (Pretto, 2002). Anestesi memiliki resiko yang jauh lebih besar dari prosedur tindakan pembedahan karena nyawa pasien yang dianestesi dapat terancam.

Untuk pemilihan anestesi yang ideal dibutuhkan dalam menghasilkan sifat analgesi, sedasi, relaksasi, unconsciousness, keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital, ekonomis dan mudah dalam aplikasi baik di lapangan ataupun di ruang operasi.

Sampai saat ini anestesi yang memenuhi kriteria yang ideal belum ada (Fossum 1997).

Anestetikum yang ideal harus memenuhi kriteria anestesi, yaitu sedasi, analgesi, relaksasi, ketidak sadaran, aman untuk sistem vital tubuh, ekonomis, dan mudah diaplikasikan. Anestesi umum secara parenteral merupakan anestesi yang lebih ekonomis dan praktis untuk penanganan hewan di lapangan, tetapi menghasilkan anestesi yang kurang stabil dan sering memerlukan penambahan dosis jika tindakan medis memerlukan waktu yang lebih lama. Pemberian secara subkutan memiliki waktu penyerapan obat yang agak lambat sehingga diharapkan untuk dalam menambah waktu teranestesi, aman dan meliki kestabilan fisiologis tubuh pasien saat teranestesi.

"

"

"

32"

Berdasarkan hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian untuk menemukan alternatif anestesi umum yang mendekati ideal untuk mengganti pemelihara status teranestesi dari inhalasi menggunakan metode penyuntikan ketamin-xilasin secara subkutan.

3.2 Konsep

Gambar : 3.2 Kerangka Konsep Penelitian

Anestesi"Umum"

34"

"

3.3 Hipotesis

1. Pemberian anestesi injeksi Xilasin-Ketamin secara subkutan untuk pemeliharaan status teranestesi pada anjing dapat menghasilkan durasi anestesi yang lebih lama.

2. Kombinasi anestesi injeksi Xilasin-Ketamin secara Subkutan menghasilkan pengaruh perubahan yang lebih rendah terhadap aspek fisiologis anjing (EKG, Denyut jantung, frekuensi respirasi, tekanan gas O2 respirasi, dan suhu rektal).

BAB IV

METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah experimental, dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Telah dilakukan penelitian sebelumnya untuk mendapatkan waktu injeksi pemeliharaan status teranestesi yaitu 10 menit. Dengan masing-masing perlakuan dibagi acak menjadi lima kelompok dengan 5 kali ulangan. Untuk kombinasi perlakuan jenis anestesi pemeliharaan yang akan dilakukan rancangan penelitian :

1. Perlakuan 1 (Kontrol) : Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin (0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian dilakukan pemeliharaan status teranestesi menggunakan metode inhalasi dengan isofluran (1-2%).

2. Perlakuan 2: Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin (0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian dilakukan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan menggunakan kombinasi Xilasin (2 mg/KgBB) – Ketamin ( 12,5 mg/KgBB).

36"

"

3. Perlakuan 3: Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin (0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian dilakukan pemeliharaan status teranestesi secara subkutan menggunakan kombinasi kombinasi Xilasin (2 mg/KgBB) – Ketamin ( 15 mg/KgBB).

4. Perlakuan 4: Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin (0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian dilakukan pemeliharaan status teranestesi menggunakan Xilasin (2 mg/KgBB) secara subkutan 10 menit kemudian dilanjutkan dengan Ketamin (12,5 mg/KgBB).

5. Perlakuan 5 : Pemberian perlakuan premedikasi dengan menggunakan atropin (0,03 mg/kgBB) yang disuntikan secara subkutan dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara intramuscular menggunakan kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – ketamin (12,5 mg/KgBB), 10 menit kemudian dilakukan pemeliharaan status teranestesi menggunakan Xilasin (2 mg/KgBB) secara subkutan 10 menit kemudian dilanjutkan dengan Ketamin (15 mg/KgBB).

Setelah 10 menit induksi

Setelah 10 menit pemeliharaan status teranestesi

Setelah 10 menit

Keterangan : X-K : kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – Ketamin (12,5 mg/KgBB), X: xilasin (2mg/KgBB), X-K12,5 :

kombinasi xilasin (2mg/KgBB) – Ketamin (12,5mg/KgBB), X-K15 : kombinasi xilasin (2mg/KgBB) –

Ketamin (15mg/KgBB), X : xilasin (2mg/KgBB), Keta12,5: Ketamin (12,5mg/KgBB), Keta15 : Ketamin (15mg/KgBB)

38"

"

4.2 Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Udayana. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Desember 2014

4.3 Penentuan Sumber Data

Dalam penelitian ini menggunakan 25 ekor anjing lokal dengan berat anjing rata-rata 10-15 kg, dengan kisaran umur 1-2 tahun. Anjing dikarantina, diadaptasikan selama 10 hari sebelum dilakukan perlakuan. Dilakukan perlakuan evaluasi status pasien dan penentuan status pasien sebelum dilakukan anesthesia.

Sebelum dilakukan perlakuan, pasien dipuasakan 12 jam dan dipuasakan minum 3 jam sebelum perlakuan. Pasien masing-masing dibagi acak menjadi lima kelompok dengan 5 kali ulangan.

Besar Sampel

Jumlah anjing (ulangan) untuk setiap kelompok (perlakuan) ditentukan berdasarkan rumus Federer. Yaitu: (t-1) (n-1) ≥15, dimana t adalah jumlah perlakuan (t=5), sedangkan n adalah ulangan. Sehingga didapatkan ulangan sebanyak 5 kali pada setiap kelompok. Dengan jumlah anjing sebanyak 25 ekor.

4.4 Variabel Penelitian

Variabel Tergantung : Parameter yang diukur (Waktu Induksi, Durasi dan pemulihan anesthesia, Perubahan fisiologis sistem kardiovaskuler dan respirasi)

Variabel Bebas : Dosis dan kombinasi

Variabel Kendali : Prosedur yang ditetapkan, umur, berat badan, Jenis Kelamin 4.5 Definisi operasional variabel

Waktu induksi adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan sampai awal terjadinya anestesia. Durasi anestesi adalah waktu yang diukur dari mulai kejadian anesthesia sampai hewan mulai sadar (ada gerakan), ada respon rasa sakit, dan ada suara dari hewan, ada reflek. Waktu pemulihan adalah waktu yang diukur dari hewan mulai sadar sampai hewan bisa berdiri.

Dosis adalah takaran obat yang menimbulkan efek farmakologi yang tepat dan aman bila diberikan kepada pasien. Dosis aman ketamin untuk anjing adalah 10-15mg/KgBB, dosis aman xilasin untuk anjing adalah 1-3 mg/KgBB. Kombinasi xilasin diperlukan untuk mengurangi efek dari ketamin. Kombinasi ini menghasilkan relaksasi muskulus yang baik tanpa konfulsi.

4.6 Bahan Penelitian

Ketamin, Xilasin, atropin sulfat, alkohol, spuite, gel, kapas, glove, masker, dan kertas monitor.

4.7 Alat Penelitian

Mesin Fisiograf, thermometer, dan stetoskop 4.8 Prosedur Penelitian

Kegiatan utama dalam penelitian ini adalah persiapan dan pengadaan hewan coba yaitu anjing ras lokal dengan berat 10-15 kg dengan usia minimal 1 tahun, perekaman elektrokardiogram,dan pengukuran suhu rektal.

40"

"

4.9.1 Parameter

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Parameter Waktu Anestesi:

3. Parameter Suhu Rektal (Rectal Temperatur) 4. Parameter Kardiovaskular :

4.1 Frekuensi Denyut Jantung

4.2 Elektrokardiogram (EKG, Lead II) yaitu : 4.2.1 Amplitudo Gelombang P

Waktu induksi adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan sampai awal terjadinya anestesia, yaitu hilangnya rasa sakit (dijepit pada telinga,ekor, dan interdigitti), hilang reflek (palperbral, pupil dan pedal), dan bola mata menuju ventrocantus). Durasi anestesi adalah waktu yang diukur dari mulai kejadian anesthesia sampai hewan mulai sadar (ada gerakan (ekor,kaki, telinga atau kepala), ada respon rasa sakit (dijepit dengan pinset pada telinga, ekor dan interdigitti), ada

suara dari hewan, ada reflek(palpebral, pupil, dan pedal). Waktu pemulihan adalah waktu yang diukur dari hewan mulai sadar sampai hewan bisa berdiri.

4.9.1.2 Pengukuran Respirasi

Frekuensi respirasi adalah faktor penting dalam ventilasi pulmonum, udara alveolar diperbaharui oleh udara atmosfir. Pengamatan frekuensi respirasi dilakukan dengan menghitung jumlah ekspirasi atau inspirasi yang terjadi dalam satu menit dengan mempergunakan alat fisiograf.

4.9.1.3 Pengukuran Elektrokardiogram (EKG)

Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu rekam keadaan yang mengambarkan konduksi listrik jantung (Cunningham 2002). Dari hasil perekam elektrokardiogram, diamati terhadap gelombang P, QRS dan gelombang T, P-R interval, QRS interval, QT interval dan frekuensi jantung.

Setiap anjing yang telah diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat, dilakukan persiapan untuk pemasangan alat dengan mencukur rambut di daerah pemasangan elektroda. Setelah itu dibersihkan dengan kapas beralkohol pada daerah pemasangan elektroda sebelum dipasangkan elektroda.

4.9.1.4 Pengukuran Suhu Rektal

Suhu tubuh adalah variable fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk diamati selama anesthesia menggunakan alat fisiograf.

4.9.2 Protokol dan Pelaksanaan Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan alat fisiograf yang merupakan alat pemantuan (monitoring) Pemeriksaan seluruh parameter fisiologis dilakukan

42"

"

sebelum perlakuan (menit ke-0) kemudian selama dilakukan perlakuan mulai dilaksanakan pencatatan setiap 10 menit dihitung mulai dari penyuntikan anestikum pertama sampai pasien telah memasuki masa pemulihan anestesi. Hewan dinyatakan teranestesi apabila telah memenuhi tiga syarat yaitu analgesi, sedasi dan relaksasi.

Hewan dinyatakan sadar ditandai dengan adanya gerakan, suara hewan, munculnya respon hewan dapat berdiri.

4.10 Analisis data

Data hasil penelitian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) menggunakan program SPSS ver.17 for window dan bila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan (Heath,2000).

BAB V HASIL

5.1 Waktu anestesi

Waktu induksi pada kelompok perlakuan pemeliharaan status anestesi inhalasi dengan pemeliharaan status teranestesi menggunakan metode inhalasi dengan isofluran (1-2%) perlakuan 1 menunjukan sekitar 10 ± 0.83 menit, durasi 123.4 ± 1.14 menit, dan waktu pemulihan 9 ± 1.58 menit. Waktu induksi pada kelompok perlakuan 2 pemeliharaan status teranestesi secara subkutan adalah 10.6 ± 1.34 menit, durasi anestesi 111.4 ± 1.94 menit, dan waktu pemulihan 62 ± 4.47 menit. Perlakuan 3 pemeliharaan status teranestesi secara subkutan menunjukan waktu induksi 10.8±1.09 Menit, durasi anestesi 140.2 ± 2.28 menit, dan waktu pemulihan 74.6 ± 4.56 menit. Perlakuan 4 menunjukan waktu induksi sekitar 10.4 ± 1.51 menit, durasi anestesi 113.8 ± 5.4 menit, dan waktu pemulihan 54.8 ± 3.96 menit. Waktu induksi perlakuan 5 adalah 10.8 ± 1.48 Menit, durasi anestesi 145 ± 3.60 menit, dan waktu pemulihan 82.2 ± 4.08 menit. Data setiap Kelompok ditunjukan pada Tabel 5.1

44#

#

Tabel 5.1 Nilai rata-rata ± simpangan baku waktu induksi, durasi dan waktu pemulihan pemeliharaan status teranestesi dengan Xilasin-Ketamin secara subkutan pada anjing.

menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01). Perlakuan 1 : Penggunaan pemeliharaan status teranestesi inhalasi,

Perlakuan 2 : penggunaan pemeliharaan status teranestesi dosis ketamin 12,5 mg/KgBB, Perlakuan 3:

penggunaan pemeliharaan status teranestesi dosis ketamin 15 mg/KgBB, Perlakuan 4: penggunaan pemeliharaan status anestesi xilasin kemudian dilanjutkan dengan ketamin dosis 12,5 mg/KgBB, Perlakuan 5: penggunaan

pemeliharaan status anestesi xilasin kemudian dilanjutkan dengan ketamin dosis 15mg/KgBB.

Perlakuan 1 merupakan perlakuan pemeliharaan status teranestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi dengan isofluran dan juga sebagai kontrol. Perlakuan 2, perlakuan 3, perlakuan 4, dan perlakuan 5 menunjukan waktu induksi yang tidak berbeda nyata dengan Kelompok perlakuan 1 sebagai kontrol karena induksi seluruh perlakuan sama.

Durasi perlakuan 1 sekitar 123.4 ± 1.14 menit karena pada menit ke 130 dilakukan pencabutan selang endothakheal tube. Perlakuan 2 menunjukan waktu durasi sekitar 111.4 ± 1.94 menit. Perlakuan 3 waktu durasi sekitar 140.2 ± 2.28 menit. Perlakuan 4 waktu durasi sekitar 113.8 ± 5.4 menit. Perlakuan 5 waktu durasi sekitar 145 ± 3.60 menit. Durasi anestesi perlakuan 3 dan perlakuan 5, berbeda nyata (P<0,05) lebih lama dibandingkan Perlakuan 1, bahkan berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih lama dibandingkan durasi anestesi kelompok Perlakuan 2 dan perlakuan 4.

Waktu (menit)

Pemulihan Perlakuan 1 sekitar 9 ± 1.58 menit. Perlakuan 2 menunjukan waktu pemulihan sekitar 62 ± 4.47 menit. Perlakuan 3 waktu pemulihan sekitar 74.6 ± 4.56 menit. Perlakuan 4 waktu pemulihan sekitar 54.8 ± 3.96 menit. perlakuan 5 waktu pemulihan sekitar 82.2 ± 4.08 menit. Waktu pemulihan anestesi perlakuan 3 dan perlakuan 5, sangat nyata (P<0,01) lebih lama dibandingkan kelompok Perlakuan 1, Perlakuan 2 dan perlakuan 4.

5.2 Respirasi

Perlakuan 1 nilai respirasi pada menit ke-0 sebelum dilakukan induksi anestesi adalah 23.6 ± 0.5 x/menit kemudian terjadi penurunan respirasi dari menit ke-10 dan semakin menurun sampai menit ke-80 dan pada menit ke-60 mendapatkan hasil terendah yaitu 13 ± 2 x/menit, dari hasil statistik penurunan respirasi pada menit ke-30 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal, namun pada menit ke-40,50 dan 60 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal, seperti pada gambar 5.2

Gambar 5.2 Perubahan rata-rata respirasi selama pemberian induksi anestesi dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing.

Respirasi (x/menit)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160

Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Perlakuan 5

46#

#

Gambar 5.2 juga memperlihatkan bahwa nilai respirasi perlakuan 2 menit ke-0 adalah 23.6 ± ke-0.8 x/menit, penurunan nilai respirasi terjadi dari menit ke-1ke-0 hingga menit ke-80 dan kembali meningkat pada menit ke-90 sampai pasien tersadar pada menit ke-120 dengan nilai 24±1.2 x/menit, dari hasil statistik penurunan respirasi pada menit ke-20,30,40, 50, 60, 70, 80 dan 90 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal.

Perlakuan 3 nilai awal respirasi menit ke-0 sebelum induksi anestesi adalah 24.8±1.3x/menit, terjadi penurunan nilai respirasi dari menit ke-10 hingga akhir pasien tersadar pada menit ke-150 dengan nilai 21.6±2 x/menit, dari hasil statistik penurunan respirasi pada menit ke-10, ke-30 dan ke-150 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal, sedangkan pada menit yang lain berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal.

Perlakuan 4 nilai respirasi pada menit ke-0 adalah 22.2 ± 1.4 x/menit, penurunan nilai respirasi terjadi dari menit ke-10 hingga menit ke-100. Hasil statistik penurunan respirasi pada menit ke-40, 50, 60, 70, dan 80 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal.

Perlakuan 5 pada menit ke-0 nilai respirasi adalah 24.8 ± 2.1x/menit, penurunan nilai respirasi terjadi dari menit ke-10 hingga menit ke-120 dari hasil statistik penurunan respirasi pada menit ke-30 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal, sedangkan pada menit ke-40 sampai menit ke-120 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal. Data masing-masing Kelompok disajikan pada lampiran 1.

Saturasi O2 (%)

5.3 Saturasi Oksigen (O2)

Nilai saturasi oksigen perlakuan 1 menit ke-0 sebelum dilakukan induksi anestesi 79.8 ± 1.4 %, setelah dilakukan induksi terjadi peningkatan saturasi oksigen mulai dari menit ke-10 sampai menit ke-50 dengan nilai 91.6 ± 4% dan mengalami penurunan menit ke-60 sampai menit ke-130, hasil statistik menunjukan nilai saturasi oksigen pada menit ke-20 dan menit ke-110 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal, sedangkan pada menit ke-30 sampai pada menit ke-100 berbeda sangat nyata (P<0.01). Seperti pada gambar 5.3

Gambar 5.3 Perubahan rata-rata nilai saturasi oksigen selama pemberian induksi anestesi dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing

Perlakuan 2 nilai saturasi oksigen pada menit ke-0 82.6 ± 3.4 %, pada menit ke-50, menit ke-100, 110 dan 120 terjadi penurunan nilai saturasi oksigen yang berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal.

Waktu (menit)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160

Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Perlakuan 5

48#

#

Perlakuan 3 dan Perlakuan 4 tidak terdapat perbedaan nyata penurunan dan peningkatan nilai saturasi oksigen dari nilai awal sampai akhir pasien kembali tersadar. Pada perlakuan 5 terjadi penurunan berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal pada menit ke-150, dan pada menit ke-130 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal. Data masing-masing Kelompok disajikan pada lampiran 1.

5.4 Suhu Rektal

Nilai suhu rektal perlakuan 1 menit ke-0 sebelum dilakukan induksi anestesi 38.8 ± 0.1oC setelah dilakukan induksi terjadi penurunan nilai suhu rektal secara bertahap sampai pasien tersadar, hasil statistik menyatakan nilai suhu rektal tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan nilai awal. Seperti pada gambar 5.4

Gambar 5.4 Perubahan rata-rata suhu rektal selama pemberian induksi anestesi dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing

Waktu (menit)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160

Perlakuan!1 Perlakuan!2 Perlakuan!3 Perlakuan!4 Perlakuan!5

Perlakuan 2 nilai suhu rektal menit ke-0 adalah 38.5 ± 0.08 oC. Terjadi penurunan nilai suhu rektal, namun nilai tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan nilai awal. Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5 nilai suhu rektal kelompok tidak adanya perbedaan nyata penurunan dan peningkatan suhu rektal dengan nilai awal. Data masing-masing Kelompok disajikan pada lampiran 1.

5.5 Frekuensi Denyut Jantung

Perlakuan 1 nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-0 sebelum dilakukan induksi anestesi adalah 102.4 ± 5 x/menit kemudian terjadi peningkatan denyut jantung yang tinggi dari menit ke-10 dan semakin meningkat sampai menit ke-40 dengan nilai 126.6 ± 22 x/menit, pada menit ke-50 nilai frekuansi denyut jantung mengalami penurunan sampai menit ke-130, dari hasil statistik peningkatan frekuensi denyut jantung pada menit ke-20, 30, 40 dan 130 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal. Seperti pada gambar 5.5

Gambar 5.5 Perubahan rata-rata denyut jantung selama pemberian induksi anestesi dan pemeliharaan status anestesi secara subkutan pada anjing

!

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100110120130140150160

Perlakuan!1

50#

#

Frekuensi denyut jantung Perlakuan 2 menit ke-0 sebelum induksi anestesi adalah 97.2 ± 8.2 x/menit, setelah di induksi terjadi peningkatan denyut jantung dari menit 10 sampai menit 20 dengan nilai 103.6 ± 8.6 x/menit, setelah menit 30 nilai frekuansi denyut jantung mengalami penurunan bertahap sampai menit ke-120, dari hasil statistik penurunan nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-70 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal dan pada menit ke-80 sampai menit ke-120 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal.

Nilai frekuensi denyut jantung menit ke-0 Perlakuan 2 sebelum induksi anestesi adalah 96.8 ± 2.3 x/menit terjadi peningkatan setelah dilakukan induksi anestesi pada menit ke-10 sampai menit ke-30 dengan nilai 103.6 ± 12.5 x/menit, setelah menit ke-40 nilai frekuansi denyut jantung mengalami penurunan bertahap sampai menit ke-150 dengan nilai 85.6 ± 6.8 x/menit, dari hasil statistik penurunan nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-120, ke-140 dan ke-150 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal, sedangkan pada menit ke-100, 110 dan 130 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal.

Frekuensi denyut jantung Perlakuan 4 menit ke-0 sebelum induksi anestesi adalah 96.2 ± 5.9 x/menit, setelah di induksi terjadi penurunan frekuensi denyut jantung dari menit ke-10 sampai menit ke-120 dengan nilai 82.8 ± 6.8 x/menit. Hasil statistik penurunan nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-80 dan ke-90 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal. Sedangkan pada menit ke-100 sampai menit ke-120 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal.

Perlakuan 5 nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-0 sebelum dilakukan induksi anestesi adalah 97.8 ± 4.9 x/menit, setelah di induksi terjadi penurunan frekuensi denyut jantung dari menit ke-10 sampai menit ke-150 dengan nilai akhir 88.8 ± 3.4 x/menit. Hasil statistik penurunan nilai frekuensi denyut jantung pada menit ke-60, 70, 140 dan 150 berbeda nyata (P<0.05) dengan nilai awal.

Sedangkan pada menit ke-80 sampai menit ke-130 berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan nilai awal. Data hasil nilai frekuensi denyut jantung ditunjukan pada lampiran 2.

5.6 Elektrokardiogram 5.6.1 Amplitude gelombang P

Perlakuan 1 selama teranestesi menunjukan perubahan nilai gelombang P tidak berbeda nyata dengan nilai sebelum dilakukan anestesi dengan nilai awal gelombang P adalah 0.15± 0.01 mV, nilai tertinggi pada kelompok satu terjadi pada menit ke-70 dengan nilai 0.21±0.02mV namun nilai ini tidak berbeda nyata (P>0.05) dari nilai awal. Perubahan gelombang P juga tidak berbeda sebelum dan sesudah dilakukan anestesi pada Perlakuan 2, Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5 dengan nilai awal berurutan 0.14±0.02 mV, 0.16±0.02 mV, 0.14±0.04 mV, dan 0.13±0.02mV. Hasil statistik menunjukan semua nilai tidak berbeda nyata dari nilai awal seluruh gelombang P. Nilai Gelombang P tiap kelompok dengan penyajian pada lampiran 2.

52#

#

5.6.2 Amplitude gelombang R

Perubahan Amplitude pada perlakuan 1 selama teranestesi menunjukan perubahan nilai gelombang R tidak berbeda nyata dengan nilai sebelum dilakukan anestesi dengan nilai awal gelombang P adalah 1.62±0.08 mV. Perubahan Amplitude gelombang R juga tidak berbeda sebelum dan sesudah dilakukan anestesi pada Perlakuan 2, Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5 dengan nilai berurutan 1.16±0.44 mV# 1.28±0.53 mV, 1.04±0.55 mV, dan 1.32±0.52 mV. Hasil statistik menunjukan semua nilai tidak berbeda nyata dari nilai awal seluruh gelombang R.

Semua Kelompok menunjukan perubahan Amplitude gelombang R selama teranestesi berbeda dengan nilai awal, ini menggambarkan depolarisasi yang terjadi pada ventrikel jantung tidak dipengaruhi oleh semua kombinasi anestesi yang diberikan. Nilai Amplitude Gelombang R tiap kelompok disajikan dalam lampiran 2.

5.6.3 Interval PR

Interval PR merupakan rekaman hantaran impuls listrik jantung melalui atrium saat mengalami depolarisasi kemudian menjalar ke nodus AV sehingga terjadi garis isoelektrik pada hasil rekaman. Perlakuan 1 selama teranestesi menunjukan perubahan nilai Interval PR tidak berbeda dengan nilai sebelum dilakukan anestesi dengan nilai awal Interval PR adalah 0.15 ± 0.00 detik. Perubahan Interval PR juga tidak berbeda sebelum dan sesudah dilakukan anestesi pada Perlakuan 2, Perlakuan 3, Perlakuan 4 dan Perlakuan 5dengan nilai awal berurutan 0.1 ± 0.01 detik, 0.09 ± 0.00 detik, 0.09 ± 0.01 detik, dan 0.08 ± 0.01 detik.

Nilai durasi interval PR selama teranestesi ditunjukan oleh semua kelompok tidak berbeda nyata dengan nilai awalnya yang menunjukan perlakuan kombinasi seluruh perlakuan anestesi belum menyebabkan perubahan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan atrio-ventrikel sehingga tidak menunjukan

Nilai durasi interval PR selama teranestesi ditunjukan oleh semua kelompok tidak berbeda nyata dengan nilai awalnya yang menunjukan perlakuan kombinasi seluruh perlakuan anestesi belum menyebabkan perubahan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan atrio-ventrikel sehingga tidak menunjukan

Dokumen terkait