• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.4 Pemasaran Fillet Ikan

Pada unit pengolahan fillet yang menjadi lokasi penelitian, pola pemasaran yang dilakukan dapat dikelompokan menjadi 3 jenis sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4, 5, dan 6.

Gambar 4. Pola 1 pemasaran fillet ikan

Gambar 4 memperlihatkan pola pemasaran fillet dari produsen langsung kepada konsumen. Pola ini dilakukan oleh unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok BM dan LM. Pada kelompok BM, 15 responden melalukuan pemasaran fillet secara langsung kepada konsumen industri olahan ikan lanjutan di dalam negeri, seperti industri pengolahan kerupuk, baso, otak-otak, nugget dan lain-lain. Pada kelompok LM, 11 responden memasarkan langsung produk fillet

kepada konsumen industri seperti jaringan katering dan supermarket serta importir luar negeri.

Konsumen Produsen

36 Gambar 5. Pola 2 pemasaran fillet ikan

Gambar 5 memperlihatkan pola pemasaran fillet yang dilakukan melalui perantara (supplier). Pola pemasaran fillet seperti ini dilakukan oleh satu responden kelompok BM. Responden memasarkan produk filletnya tidak langsung ke konsumen rumah tangga maupun industri melainkan melalui perantara pemasok/supplier. Pemasok yang berhubungan secara langsung kepada konsumen yang terdiri atas industri maupun pengecer di pasar.

Gambar 6. Pola 3 pemasaran fillet

Gambar 6 memperlihatkan pola pemasaran fillet yang menggunakan agen penjualan atau melalui sistem keagenan. Model pemasaran melalui sistem keagenan tersebut dilakukan satu responden kelompok LM. Responden memasarkan fillet ikan melalui agen-agen perusahaan yang ada di beberapa kota seperti Jakarta dan Bandung. Agen-agen perusahaan kelompok LM tersebut yang kemudian akan meneruskan produk fillet ikan kepada konsumen rumah tangga maupun hotel, restoran dan rumah makan.

Berdasarkan diskusi dengan responden, harga jual fillet yang berasal dari ikan kuniran, swangi dan coklatan di dalam negeri antara Rp. 7.000 – 8.000/kg, sedangkan yang berasal dari ikan mata goyang antara Rp. 17.000 – 18.000/kg.

Fillet tersebut di jual sebagai bahan baku industri makanan berbahan baku ikan di dalam negeri seperti otak-otak, baso ikan, kaki naga, siomay dan kerupuk.

Harga jual fillet ikan kakap dengan kulit di pasar dalam negeri berkisar Rp. 30.000/kg dan tanpa kulit Rp. 32.000/kg. Untuk pasar ekspor, harga fillet

kakap merah antara US $ 7,8 – 8/kg.

Konsumen

Produsen Agen

Produsen Supplier

Konsumen I

37 Seluruh unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM memasarkan produknya di pasar dalam negeri pada konsumen industri. Hanya satu responden kelompok BM yang memasarkan fillet ke konsumen industri dan pasar retail melalui perantara. Sedangkan responden kelompok LM memasarkan produknya di pasar dalam negeri dan mayoritas di pasar luar negeri (ekspor).

4.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan

Responden kelompok BM mengolah fillet tanpa memperhatikan persyaratan dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Standar Nasional Indonesia SNI 01- 2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Secara rinci, perbandingan proses pengolahan fillet ikan yang dilakukan di unit pengolahan fillet kelompok BM dengan LM dalam kaitannya dengan pemenuhan persyaratan dan ketentuan pengolahan fillet seperti diatur dalam SNI 01-2696.3- 2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan jumlah unit pengolahan fillet dalam memenuhi ketentuan proses pengolahan sesuai SNI berdasarkan penerapan CPB dan SPOS.

Urutan Proses BM LM Unit % Unit % Penerimaan 0 0% 11 100% Sortasi I 0 0% 11 100% Penyiangan 0 0% 11 100% Pencucian I 0 0% 11 100% Pemfilletan 0 0% 11 100% Perapihan 0 0% 11 100% Pencucian II 0 0% 11 100% Sortasi II 0 0% 11 100% Penimbangan 0 0% 11 100% Pengepakan 8 53,33% 11 100%

Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS

38 Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pada umumnya unit pengolahan

fillet ikan yang termasuk dalam Kelompok BM melaksanakan proses pengolahan

fillet tidak sesuai dengan yang diatur dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Sedangkan pada unit pengolahan

fillet ikan kelompok LM, proses pengolahan fillet ikan yang dilakukan telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang ditetapkan dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku.

Bentuk tidak dipenuhinya persyaratan pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok BM dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penerimaan

Pada proses penerimaan, tidak dilaksanakan dalam kondisi saniter, tidak dilaksanakan pengujian bahan baku secara organoleptik ataupun melihat riwayat perlakuan bahan baku yang diterima apakah ditangani dengan sistem rantai dingin sejak dari atas kapal hingga ke tangan supplier/pemasok. Apabila terjadi penundaan proses, bahan baku ikan tidak diberikan es sehingga suhunya tidak dipertahankan agar tetap dingin.

2. Sortasi I

Proses sortasi tidak dilaksanakan. Seluruh bahan baku fillet yang ada dikeranjang selalu diproses lebih lanjut tanpa memperhatikan ukuran dan mutunya.

3. Penyiangan

Proses penyiangan tidak dilakukan dalam kondisi yang saniter dan bersih. Ikan yang menunggu untuk disiangi tidak diberikan es dengan jumlah yang cukup untuk menjaga suhunya tetap dingin agar tidak mendorong berkembangnya bakteri.

4. Pencucian I

Pencucian dilakukan dengan air yang tidak dingin. Air untuk mencuci seringkali tidak diganti apabila sudah menjadi keruh dan terkadang dicampur dengan air yang baru. Hal ini rentan mengakibatkan terjadinya kontaminasi pada ikan. Selain itu, Ikan yang telah dicuci diletakan pada keranjang berlubang yang bersentuhan langsung dengan lantai.

39 5. Pemfilletan

Proses pemfilletan dilakukan pada kondisi yang tidak saniter dan bersih. Kondisi yang tidak saniter dan bersih ini berasal dari sarana pengolahan yang digunakan maupun lingkungan tempat mengolah fillet. Sarana pemfilletan terbuat dari kayu. Adapun pisau yang digunakan untuk memfillet ikan tidak rutin dicuci dengan air bersih. Hal tersebut menyebabkan resiko fillet terkontaminasi oleh bakteri dan serpihan kayu menjadi lebih besar. Fillet yang dihasilkan tidak diberikan es agar suhunya tetap dingin.

6. Perapihan

Proses perapihan fillet dilakukan pada kondisi yang tidak saniter dan higienis. Sarana yang digunakan untuk proses perapihan fillet seperti meja terbuat dari bahan kayu. Hal tersebut memungkinkan ikan terkontaminasi oleh bakteri, serpihan kayu, sisa sisik yang menempel dan sumber kontaminan lainnya. Fillet

ikan yang sudah dirapihkan bentuknya tidak segera dipertahankan suhunya agar tetap dingin.

7. Pencucian II

Pencucian dilakukan dengan air tanah atau PDAM yang tidak dingin dan belum terukur kualitasnya. Air untuk mencuci sering tidak diganti apabila sudah keruh atau air yang sudah keruh tersebut hanya ditambahkan dengan air yang baru. Fillet ikan yang telah dicuci diletakan dalam keranjang berlubang yang bersentukan langsung dengan lantai. Perlakuan tersebut memungkinkan fillet

terkontaminasi oleh bakteri dan kontaminan lainnya. 8. Sortasi II

Proses sortasi pada umumnya tidak dilakukan dalam proses pengolahan

fillet. Apabila dilakukan, ikan yang telah disortir tidak dipertahankan suhunya agar tetap dingin.

9. Penimbangan

Penimbangan tidak dilakukan secara cepat, saniter dan dalam kondisi dingin. Hal ini ditunjukan dari seringnya fillet ikan yang akan ditimbang atau menunggu untuk ditimbang diletakan di atas meja yang terbuat dari kayu dan tidak diberi es.

40 10. Pengepakan

Hanya delapan responden kelompok BM yang melakukan proses pengepakan sebagaimana yang disyaratkan, yaitu ikan yang telah ditimbang di dalam plastik seberat 1 kg secepat mungkin diletakan dalam blong/tong plastik besar yang bersisi air dingin.

Proses pengepakan yang dilakukan di unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok BM mengindikasikan bahwa dalam menjaga mutu fillet ikan, para pengolah fillet masih berorientasi pada produk akhir (end product orientation). Hal ini dapat dilihat dari pemberian es yang hanya dilakukan pada tahapan pengepakan dan menyampingkan kemungkinan berkembangnya bakteri selama proses pengolahan sebagai akibat tidak diterapkannya rantai dingin secara berkesinambungan selama proses pengolahan fillet. Hal tersebut mencerminkan rendahnya tingkat pengetahuan responden kelompok BM tentang CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

Berdasarkan pengamatan di unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM, tidak dipenuhinya ketentuan dalam mengolah fillet

sebagaimana diatur dalam SNI menyebabkan fillet ikan rentan terkontaminasi selama proses pengolahan. Kontaminasi dapat berasal dari lingkungan unit pengolahan, sarana dan prasarana yang digunakan dalam mengolah, dan ketidakdisiplinan karyawan dalam menerapkan prinsip-prinsip higiene selama melakukan proses pengolahan.

Beberapa hal yang memungkinkan fillet rentan terkontaminasi antara lain masih digunakannya sarana pengolahan yang terbuat dari bahan kayu, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dan rantai dingin (cold chain) selama proses pengolahan fillet ikan, banyaknya karyawan yang tidak menggunakan perlengkapan kerja sebagaimana yang dipersyaratkan serta masih adanya karyawan yang merokok, makan dan minum selama proses pengolahan fillet ikan berlangsung.

Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa seluruh responden kelompok LM melakukan proses pengolahan fillet sesuai dengan ketentuan dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Hal tersebut ditunjukan dengan dipenuhinya persyaratan CPB dan SPOS pengolahan

41

fillet ikan seperti menerapkan rantai dingin selama proses pengolahan, mencegah terjadinya kontaminasi silang, menjaga kebiasaan karyawan agar tidak mengontaminasi produk, menjaga kebersihan peralatan dan ruangan proses, menggunakan air dan es yang memenuhi persyaratan dalam melaksanakan proses pengolahan, memenuhi persyaratan lokasi dan konstruksi bangunan sebagaimana yang dipersyaratkan, membuat prosedur pencatatan dan pemantauan, dan lain sebagainya .

Berdasarkan uraian di atas, penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet

ikan sangat perlu dilakukan oleh responden kelompok BM untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk fillet yang dihasilkan. Hal ini mengingat CPB dan SPOS merupakan persyaratan kelayakan dasar (pre requisite) yang apabila dilaksanakan secara konsisten oleh responden maka akan dapat menjamin mutu dan kemanan produk fillet yang diproduksi.

CPB dan SPOS berbeda dengan sistem manajemen mutu Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) maupun ISO. CPB bersisi minimum standar sanitasi dan proses pengolahan yang diperlukan untuk menjamin proses pengolahan pangan secara utuh (Luning et al 2002). Adapun SPOS adalah prosedur memelihara kondisi sanitasi yang berhubungan dengan seluruh fasilitas produksi dan tidak terbatas pada tahap tertentu atau critical control point (Surono 2007). Artinya melalui penerapan CPB, diharapkan responden kelompok BM akan memenuhi standar minimum sanitasi dan proses pengolahan fillet ikan. Pada saat yang bersamaan, dengan penerapan SPOS, para pengolah fillet kelompok BM akan dapat mengendalikan penerapan CPB pengolahan fillet ikan melalui prosedur pemantauan yang teratur. Implementasi CPB dan SPOS pengolahan

fillet ikan secara konsisten akan menjamin mutu dan keamanan produk fillet yang dihasilkan oleh responden pengolah fillet ikan kelompok BM.

HACCP adalah sistem manajemen keamanan pangan yang didasarkan pada kesadaran bahwa bahaya dapat timbul pada setiap titik pada proses produksi, namun dapat dikendalikan dengan tindakan pencegahan dan pengendalian bahaya tersebut pada titik kritis (Ditjen P2HP 2008). Hal itu berarti sebagai sistem jaminan mutu dan keamanan pangan, HACCP menekankan tindakan pencegahan dan pengendalian pada titik kritis tertentu dan tidak terhadap keseluruhan hal-hal

42 yang diatur dalam CPB dan SPOS. Oleh karena itu, agar implementasi HACCP dapat berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan persyaratan CPB dan SPOS secara konsisten terlebih dahulu.

ISO adalah sistem manajemen mutu yang pada awalnya diterapkan di pabrik-pabrik. Namun saat ini, ISO telah diterapkan di organisasi, perusahaan bahkan perguruan tinggi serta universitas. ISO adalah badan penetap standar internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standardisasi nasional setiap negara.

ISO 9000 adalah kumpulan standar untuk sistem manajemen mutu. Penerapan ISO di suatu perusahaan berguna untuk meningkatkan citra perusahaan, meningkatkan kinerja lingkungan perusahaan, meningkatkan efisiensi kegiatan, memperbaiki manajemen organisasi dengan menerapkan perencanaan, pelaksanaan, pengukuran dan tindakan perbaikan (plan, do, check, action), meningkatkan penataan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan lingkungan, mengurangi risiko usaha, meningkatkan daya saing, meningkatkan komunikasi internal dan hubungan baik dengan berbagai pihak yang berkepentingan dan mendapat kepercayaan dari konsumen/mitra kerja/pemodal. Hal tersebut menunjukan bahwa sertifikasi atas penerapan salah satu ISO 9000 tidak sepenuhnya menjamin kualitas dan kemanan dari barang yang dihasilkan melainkan hanya menerangkan bahwa suatu perusahaan atau organisasi telah melaksanakan bisnis proses yang berkualitas secara konsisten (http://id.wikipedia.org/wiki/ISO 9000. 2010).

4.3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Penerapan CPB dan SPOS

Dokumen terkait