• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan cara produksi yang baik (CPB) dan standar prosedur operasi sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan di Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan cara produksi yang baik (CPB) dan standar prosedur operasi sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan di Jawa"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP PENERAPAN CARA PRODUKSI YANG BAIK

(CPB) DAN STANDAR PROSEDUR OPERASI SANITASI (SPOS)

PENGOLAHAN FILLET IKAN DI JAWA

BUDI YUWONO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam laporan akhir saya yang berjudul:

“Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi Yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) Pengolahan

FilletIkan di Jawa”

merupakan gagasan atau hasil penelitian laporan akhir saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Laporan akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2011

(3)

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP PENERAPAN CARA PRODUKSI YANG BAIK

(CPB) DAN STANDAR PROSEDUR OPERASI SANITASI (SPOS)

PENGOLAHAN FILLET IKAN DI JAWA

BUDI YUWONO

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

ABSTRACT

Budi Yuwono. Study of the Factors that Influence the Continuity of Good Manufacturing Practices (GMP) and Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) Application in Processing of Fish Fillet in Java. Supervised by FRANSISKA R. ZAKARIA as a chief and NURMALA K. PANDJAITAN as a member.

In order to increase quality and safety of fish fillet products, Directorate General of Fisheries Product Processing and Marketing, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, introduced Good Manufacturing Practices (GMP) and Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) of fish fillet to the industry in Indonesia, including in Java. Recently, some processor who already applied GMP and SSOP do not continue the application of GMP and SSOP.

Due this situation, this report is to find all factors that influence continuity application of GMP and SSOP processes of fish fillet and to see the recent condition of application of GMP and SSOP in fillet processing plants which do not continue (BM). Processing and analyzing the data using description method and pre-requisite analysis. The respondents of this research are 26 fish fillet processing plants in Java which are divided into 15 fish fillet processing plants that do not continue the application of GMP and SSOP (BM) and 11 fish fillet processing plants that are still continuing the application (LM).

The factors that influence continuity application of GMP and SSOP in fish fillet processing plants that do not continue the application (BM) can be divided into internal factors which are lack of education (73%), and lack of experience (100%), external factors which are lack of government policies in socialization (66,66%), lack of portable water (87%) and ice supply (67%), lack of cold chain system facility (74%), lack of government policies in training (60%), monitoring (80%), lack of low enforcement (86%), no market requirement (100%), and characteristic of innovation factors which are no relative advantages in implementing GMP and SSOP (86,67%), no compatibility (80%), and the complexity of GMP and SSOP (73,33%). Base on pre requisite analysis, the status of GMP and SSOP in 15 fish fillet processing plants that do not continue (BM) the application is very bad as shown in high minor and mayor failure, and also serious and critical failure more than tolerance level.

In order to support the application of GMP and SSOP in 15 fish fillet processing plants that do not continue the application (BM), it is suggested to increase the frequency of socialization, training, monitoring and technical counseling in special locus, facilitating water and ice supply, enforce the GMP and SSOP label in fisheries products in domestic market, and increasing education regarding the importance of GMP and SSOP application in fish fillet industry to the public.

(5)

RINGKASAN

BUDI YUWONO. Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) Pengolahan Fillet Ikan di Jawa. Di bawah Bimbingan Fransiska R. Zakaria sebagai ketua dan Nurmala K. Pandjaitan sebagai anggota.

Dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, khususnya fillet ikan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkenalkan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan kepada para pengolah, termasuk yang ada di Jawa. Saat ini, beberapa pengolah yang sebelumnya menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan berhenti menerapkannya.

Tugas akhir ini memiliki tujuan: (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet di unit pengolahan fillet yang berhenti menerapkannya, (2) mengetahui kondisi terakhir penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan yang saat ini berhenti menerapkannya.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa pada 26 unit pengolahan fillet ikan yang terdiri atas 15 unit pengolahan fillet ikan yang saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS (Kelompok BM) dan 11 unit pengolahan fillet ikan yang melanjutkan penerapan CPB dan SPOS (Kelompok LM). Data dikumpulkan dengan kuesioner, wawancara dan observasi yang mendalam tentang penerapan CPB dan SPOS. Proses pengolahan dan analisa data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan analisis kelayakan pengolahan fillet ikan untuk melihat penerapan CPB dan SPOS pengolahan

fillet ikan.

Hasil penelitian menunjukan faktor-faktor yang mempengaruhi responden kelompok BM dalam melanjutkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terdiri atas faktor internal, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan (73%) dan minimnya pengalaman (100%). Faktor eksternal yaitu kurangnya sosialisasi (66,66%), kurangnya sumber air bersih (87%), kurangnya es (67%) dan sarana rantai dingin (74%), kurangnya pembinaan (60%), lemahnya pengawasan (80%) dan penegakan hukum (86%), serta tidak adanya permintaan pasar (100%). Faktor karateristik inovasi, yaitu tidak dirasakannya keuntungan relatif (86,67%), tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut (80%) dan rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan (73,33%).

(6)

tingginya pengawasan (100%) dan penegakan hukum (81,82%) dan adanya permintaan pasar (100%). Faktor karateristik inovasi, yaitu dirasakannya keuntungan relatif (90,91%), sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut (72,73%) dan tidak rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan (100%).

Saat ini, 15 responden kelompok BM, memiliki penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang sangat buruk. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet ikan tersebut, yaitu 10,28 penyimpangan minor, 27,00 penyimpangan mayor, 28,33 penyimpangan serius dan 3,06 penyimpangan kritis. Sedangkan 11 responden pengolah fillet ikan kelompok LM memiliki penerapan CPB dan SPOS yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya rata-rata jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet

kelompok LM, yaitu 1,27 penyimpangan minor, 3,45 penyimpangan mayor, 0,63 penyimpangan serius dan tidak ada penyimpangan kritis.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok BM adalah faktor internal, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan dan kurangnya pengalaman. Faktor eksternal, yaitu kurangnya sosialisasi, kurangnya fasilitas sumber air bersih, es dan rantai dingin, kurangnya pembinaan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta tidak adanya permintaan pasar, dan faktor karateristik inovasi, yaitu tidak dirasakannya keuntungan relatif, tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut dan rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Saat ini, 15 responden kelompok BM, memiliki penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang sangat buruk. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah penyimpangan minor dan mayor yang terjadi serta masih adanya penyimpangan serius dan kritis melebihi dari batas yang ditentukan.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(8)

Judul Penelitian : Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitai (SPOS) Pengolahan Fillet Ikan di Jawa

Nama Mahasiswa : Budi Yuwono Nomor Pokok : F352074115

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc Ketua

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Industri Kecil Menengah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing Prof.Dr.Ir.H. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1978 di Jakarta sebagai anak pertama

dari pasangan Drs. H.S. Haryono dan Hj. Sriyati, S.Pd. Saat ini, penulis bertempat

tinggal di Griya Cempaka No 18 Poris Plawad Tangerang.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak Mardi Siswi,

Jelambar Jakarta Barat, Sekolah Dasar Negeri 09 Petang Jelambar Jakarta Barat,

Sekolah Menengah Pertama Negeri 82 Jakarta Barat, Sekolah Menengah Atas 65

Jakarta Barat dan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta pada Program Studi Teknologi

Pengolahan Hasil Perikanan.

Pengalaman kerja penulis dimulai sejak tahun 2000 dengan menjadi staf

Bagian Value Added Product PT. Bonecom Jakarta, sebuah perusahaan yang

bergerak di bidang pengolahan dan ekspor hasil perikanan. Pada tahun 2001 hingga

2002, penulis berkesempatan menjadi Staf Bagian Trucking PT. Bonecom Servistama

Compindo (BOSCO), sebuah perusahaan pergudangan dan distribusi hasil perikanan.

Sejak tahun 2003 hingga 2005, penulis berkerja di Direktorat Jenderal Peningkatan

Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, Departemen Kelautan dan Perikanan. Tahun

2005 hingga saat ini penulis berkerja di Direktorat Jenderal Pengolahan dan

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini dapat tersusun atas bantuan moril dan

materil, baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Fransiska R. Zakaria, M.Sc dan Dr. Nurmala K. Pandjaitan, DEA,

selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dan memberikan

masukan, saran, bimbingan dan arahan yang berguna dalam penyusunan Tugas

Akhir ini.

2. Ir. Darwin Kadarisman, MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran

dan masukan untuk penyempurnaan Tugas Akhir ini.

3. Seluruh dosen pada Program Megister Profesional Industri Kecil Menengah, atas

seluruh ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

4. Staf sekretariat MPI dan rekan-rekan MPI angkatan X atas dukungannya selama

penulis menempuh pendidikan hingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

5. Ibu dan bapak tercinta, Hj. Sriyati, S.Pd dan Drs.H.S Haryono serta istri dan

putriku tercinta, Nur Hidayati, SKM dan Rania Nur Faizah atas doa dan

dukungannya.

Penulis menyadari Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna akibat

keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, namun penulis berharap agar tugas akhir

ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan bermanfaat bagi semua pihak yang

berkepentingan.

Bogor, Maret 2011

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

RINGKASAN ... iii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR GAMBAR... .. xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... .... xiii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Kegunaan Penelitian... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Fillet Ikan ... 4

2.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan ... 4

2.3 Jaminan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Perikanan ... 7

2.4 Good Manufacturing Practice (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) 9 2.5 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) ... 16

2.6 Pembinaan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan ... 17

2.7 Pengawasan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan ... 18

2.8 Teori Komunikasi Inovasi ... 19

III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 24

(12)

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 29

3.5 Teknik Pegolahan dan Analisis Data ... 30

3.6 Analisis Kelayakan Pengolahan Fillet Ikan ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Unit Pengolahan Fillet Ikan ... 32

4.1.1 Lokasi Unit Pengolahan Fillet ... 32

4.1.2 Kapasitas Produksi dan Tingkat Utilisasi ... 33

4.1.3 Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan ... 34

4.1.4 Pemasaran Fillet Ikan ... 35

4.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan ... 37

4.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Penerapan CPB dan SPOS Pengolahan Fillet Ikan ... 42

4.3.1 Faktor Internal ... 43

4.3.1.1 Tingkat Pengetahuan ... 43

4.3.1.2 Pengalaman ... 44

4.3.2 Faktor Eksternal ... 46

4.3.2.1 Kebijakan Pemerintah di Bidang Sosial ... 46

4.3.2.2 Kebijakan Pemerintah di Bidang Fisik ... 49

4.3.2.3 Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah ... 51

4.3.2.4 Permintaan Pasar ... 54

4.3.3 Faktor Karateristik Inovasi ... 57

4.4 Kondisi Penerapan CPB dan SPOS ... 60

V.KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 67

5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(13)

DAFTAR GAMBAR

1. Alur proses pengolahan fillet ikan beku ... 5

2. Tahapan proses adopsi inovasi ... 22

3. Kerangka pemikiran penelitian ... 26

4. Pola 1 pemasaran fillet ikan ... 35

5. Pola 2 pemasaran fillet ikan ... 36

(14)

DAFTAR TABEL

1. Kriteria tingkat pengetahuan responden atas aspek teknis penerapan CPB

dan SPOS pengolahan fillet ikan ... 28

2. Kriteria pengalaman responden dalam menerapkan CPB dan SPOS

pengolahan fillet ikan ... 28

3. Kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan ... 31

4. Sebaran lokasi unit pengolahan fillet berdasarkan provinsi dan status

penerapan CPB dan SPOS ... 32

5. Perbandingan jumlah unit pengolahan fillet dalam memenuhi ketentuan

pengolahan fillet sesuai SNI berdasarkan penerapan CPB dan SPOS ... 37

6. Perbandingan tingkat pengetahuan responden kelompok BM dan LM ... 43

7. Perbandingan lama pengalaman penerapan CPB dan SPOS pengolahan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah

di bidang sosial ... 72

2. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang sosial ... 73

3. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang fisik ... 74

4. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang fisik ... 75

5. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor pembinaan dan pengawasan pemerintah ... 76

6. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor pembinaan dan pengawasan pemerintah ... 77

7. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor karateristik inovasi ... 78

8. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor karateristik inovasi ... 79

9. Tingkat Utilitas Unit Pengolahan Fillet ... 80

10. Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan ... 81

11. Tingkat Pengetahuan Responden ... 82

(16)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah mutu dan keamanan pangan tidak dapat dipisahkan ketika

berbicara tentang produk perikanan. Hal ini didasari oleh fakta bahwa ikan

termasuk produk pangan yang sangat mudah rusak (perishable food), sehingga

upaya-upaya untuk mempertahankan mutu dan keamanannya menjadi hal yang

harus diperhatikan. Poernomo (2007) menyatakan, seperti bahan pangan lainnya,

ikan dan produknya disyaratkan untuk memenuhi berbagai ketentuan-ketentuan

sebelum dikonsumsi. Persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi itu dapat

dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu kualitas dan keamanan konsumen.

Selain karena sifat teknis ikan yang mudah rusak (perishable food),

perlunya perhatian yang serius terhadap masalah mutu dan keamanan pangan

produk perikanan disebabkan oleh adanya tuntutan konsumen di dalam maupun

luar negeri yang semakin meningkat. Rokhman (2008) menyatakan justifikasi

mengenai jaminan mutu dan keamanan produk perikanan adalah dalam rangka

merespon tuntutan konsumen yang semakin meningkat dewasa ini sebagai

konsekuensi meningkatnya peradaban masyarakat dunia.

Dalam kaitannya dengan perdagangan bebas, terwujudnya jaminan mutu

dan keamanan pangan produk perikanan akan meningkatkan daya saing produk

perikanan Indonesia di pasar global. Rokhman (2008) menyatakan daya saing

produk perikanan yang tinggi diperlukan untuk meningkatkan dan

mempertahankan akses pasar domestik dan internasional yang semakin kompetitif

sehubungan dengan munculnya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan seperti

Vietnam dan RRC serta terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas,

seperti AFTA, NAFTA, Uni Eropa dan adanya beberapa perjanjian perdagangan

bebas (Free Trade Agreement).

Dari berbagai macam produk perikanan, fillet ikan merupakan salah satu

yang populer. Tidak hanya dikonsumsi langsung, fillet ikan juga banyak

(17)

2 baso ikan, otak-otak ikan, kerupuk ikan, tempura ikan, keong mas ikan, kaki naga

ikan, nuget ikan dan lain sebagainya.

Dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan produk

fillet ikan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan

(P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkenalkan penerapan

Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan

Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi

Sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan kepada para pengolah, termasuk yang ada

di Jawa. Upaya memperkenalkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet

ikan di Jawa dilakukan antara lain melalui pengembangan sistem sentra

pengolahan fillet, pembangunan Unit Pengolahan Ikan (UPI) sesuai dengan

persyaratan CPB, melakukan bimbingan teknis pengolahan fillet ikan dengan

materi tentang CPB dan SPOS, Sistem Manajemen Mutu Berdasarkan sistem

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Sanitasi dan Higiene, teknik

pengolahan fillet ikan serta uji coba dan pendampingan penerapan CPB dan SPOS

pengolahan fillet ikan.

Pada awal diperkenalkan, para pengolah fillet ikan di Jawa sudah

menerapkan CPB dan SPOS saat melakukan proses pengolahan, seperti

menggunakan es selama proses penanganan dan pengolahan, mengolah fillet

secara saniter dan higienis, memisahkan fillet dengan isi perut sesegara mungkin,

melakukan proses pembersihan dan sanitasi alat dan ruangan, menggunakan air

dan es yang sesuai standar, melakukan pencegahan kontaminasi, mencegah

masuknya binatang penggangu, melakukan penyimpanan secara terpisah bahan

yang dinilai membahayakan kesehatan, menggunakan perlengkapan kerja sesuai

ketentuan, melaksanakan pengawasan kesehatan para pengolah fillet, membuat

pencacatan penerapan prinsip-prinsip sanitasi dan lain-lain.

Namun saat ini, beberapa pengolah fillet ikan yang telah menerapkan CPB

dan SPOS tersebut tidak melanjutkan atau berhenti menerapkan CPB dan SPOS

dalam proses pengolahan fillet ikan. Masengi dan Damayanti (2008) menyatakan

penyebab tidak dilanjutkannya penerapan CPB dan SPOS oleh para pengolah fillet

yaitu karena kurangnya sumber air bersih dan kesadaran pengolah yang rendah

(18)

3 Berdasarkan hal di atas, maka pada penulisan tugas akhir, akan

mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan CPB dan SPOS

pengolahan fillet ikan di Jawa.

1.2 Tujuan

Tujuan kajian ini adalah :

1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan

CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan fillet yang saat

ini berhenti menerapkannya.

2. Mengetahui kondisi terkini penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet

ikan di unit pengolah fillet yang berhenti menerapkannya.

1.3 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi

berbagai pihak, antara lain :

1. Para pengolah fillet ikan dalam meningkatkan jaminan mutu dan

kemanan pangan produk perikanan.

2. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dalam mengembangkan

(19)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Fillet Ikan

Ditjen P2HP (2006) meyatakan, fillet ikan sebagai suatu produk olahan

hasil perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan

penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa pembuangan kulit, perapihan,

pencucian, dengan atau tanpa pembekuan, pengepakan dan penyimpanan segar

atau beku.

Bentuk fillet ikan terbagi dalam dua jenis yaitu fillet ikan dengan kulit

(skin-on) dan fillet ikan tanpa kulit (skin-less). Pada setiap jenis fillet tersebut

dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu fillet yang masih memiliki bagian

dinding perut (belly-on) dan fillet yang tidak memiliki bagian dinding perut

(belly-off).

Berdasarkan bahan bakunya, fillet dapat dikategorikan ke dalam dua

golongan yaitu fillet yang berasal dari ikan ekonomis tinggi seperti fillet kakap

merah (Lutjanus argentimaculatus), fillet kerapu (Serranidae), fillet ikan nila

(Oreochromis niloticus) dan fillet ikan patin (Pangasius pangasius) serta fillet

yang berasal dari ikan tidak bernilai ekonomis tinggi seperti fillet ikan kurisi

(Nemiptterus nemathoporus), fillet ikan swangi (Priyacanthus tayenus), fillet ikan

kuniran (Upenus sulphereus), fillet ikan paperek (Leiognathus sp) dan fillet ikan

gerot-gerot (Pomadasys sp) (Ditjen P2HP 2007).

2.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan

Dalam proses pengolahan ikan, kesegaran adalah mutlak. Jika ikan

sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, maka sebaik apapun proses

pengolahannya tidak akan menghasilkan produk yang baik. Bahan mentah yang

tidak segar memberikan pengaruh negatif terhadap rendemen, kualitas produk,

produktivitas tenaga kerja dan biaya pengolahannya. Poernomo (2009)

menyatakan, bahwa kesegaran ikan berpengaruh terhadap keamanan

(20)

5 Badan Standardisasi Nasional (2006) menyatakan proses pengolahan fillet

beku dimulai dari tahap penerimaan, sortasi 1, penyiangan, pencucian 1,

pemfilletan, perapihan, pencucian 2, sortasi, penimbangan, penyusunan dalam

pan, pembekuan, penggelasan dan pengepakan. Secara detail, alur proses

pengolahan fillet ikan beku baik tanpa kulit maupun dengan kulit dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur proses pengolahan fillet ikan beku Penerimaan

Sortasi 1

Penyiangan

Pencucian 1

Pengepakan Penggelasan Pembekuan Penyusunan dalam pan

Penimbangan Sortasi Pencucian 2

(21)

6 Lebih lanjut, Badan Standardisasi Nasional (2006) menjelaskan

masing-masing tahapan proses pengolahan fillet ikan beku sebagai berikut:

1. Penerimaan

Bahan baku yang diterima di unit pengolahan fillet ikan diuji secara

organoleptik dan harus ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan

suhu pusat produk maksimal 5°C dan selanjutnya dilakukan penimbangan untuk

mengetahui berat totalnya.

2. Sortasi 1

Ikan dipisahkan berdasarkan jenis, mutu dan ukuran. Sortasi harus

dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal

5°C.

3. Penyiangan

Ikan disiangi untuk dibuang sisik dan isi perut. Penyiangan harus

dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal

5°C. Blow (2001) menyatakan pembuangan sisik sangat penting untuk

minimalkan bakteri dan mengurangi resiko terdapatnya sisik pada fillet yang telah

dipaking.

4. Pencucian 1

Ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus dilakukan

dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk

maksimal 5°C.

5. Pemfilletan

Ikan difillet secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu

pusat produk maksimal 5°C.

6. Perapihan

Fillet ikan dirapihkan dengan memotong daging perut dan membuang

tulang yang masih tersisa secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga

suhu pusat produk maksimal 5°C.

7. Pencucian 2

Fillet ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus

dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat

(22)

7 8. Sortasi 2

Fillet ikan dipisahkan berdasarkan ukuran. Sortasi harus dilakukan

dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk

maksimal 5°C.

9. Penimbangan

Fillet ikan ditimbang satu per satu untuk mengetahui beratnya dengan

menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan

dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk

maksimal 5°C.

10. Penyusunan dalam Pan

Fillet ikan disusun dalam pan yang telah dilapisi plastik satu per satu.

Proses penyusunan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap

menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C.

11. Pembekuan

Fillet ikan dibekukan dengan metode pembekuan cepat hingga suhu pusat

ikan maksimal -18°C.

12. Penggelasan

Fillet ikan yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin

pada suhu 0-1°C. Proses penggelasan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan

saniter.

13. Pengepakan

Fillet ikan beku dibungkus plastik secara individual dan dimasukan dalam

master karton sesuai dengan label. Pengepakan harus dilakukan dengan cepat,

cermat dan saniter.

2.3 Jaminan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Perikanan

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan menyatakan

bahwa setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi,

penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang

tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas

(23)

8 proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan

kelayakan pengolahan ikan dan sistem jaminan mutu hasil perikanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan

Gizi Pangan menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk

diperdagangkan bertanggung jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu

sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007

tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Kemanan Produk Perikanan

menyatakan bahwa sistem jaminan mutu dan keamanan adalah upaya pencegahan

yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra produksi sampai dengan

pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan yang bermutu dan aman bagi

kesehatan manusia.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002

tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan menyatakan bahwa

Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsepsi Hazard

Analysis Critical Control Point (HACCP) dianggap sesuai untuk ditetapkan

sebagai sistem manajemen mutu terpadu hasil perikanan.

Dalam implementasinya, agar sistem manajemen mutu terpadu hasil

perikanan dapat berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan kelayakan

pengolahan yang terdiri atas Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) dan Cara

Produksi yang Baik (CPB).

Lebih lanjut, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan

Produk Perikanan menyatakan bahwa setiap unit usaha yang berdasarkan hasil

pengendalian dinyatakan telah memenuhi sistem jaminan mutu dan keamanan

hasil perikanan dapat diberikan sertifikat, antara lain Sertifikat Kelayakan

Pengolahan (SKP).

Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan

selaku Otoritas Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di

Indonesia Nomor PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur

Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER

(24)

9 Keamanan Hasil Perikanan menyatakan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)

adalah sertifikat yang diberikan kepada UPI yang telah memiliki dan menerapkan

program persyaratan dasar yaitu Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara

Produksi yang Baik (CPB) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)

atau Prosedur Standar Operasi Sanitasi (SPOS) dan atau sistem HACCP secara

konsisten.

2.4 Good Manufaturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik

(CPB)

Pada awalnya, Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi

yang Baik (CPB) adalah suatu peraturan yang dicetuskan oleh pemerintah

Amerika Serikat (US-FDA) yang menuntut sistem manajemen mutu dan

keamanan pangan, penentuan kriteria yang mampu memenuhi the Code of

Federal Regulation (21 CFR parts 110) guna memperoleh produk pangan yang

bebas dari penyimpangan mutu.

Dalam industri pangan, CPB berperan dalam menentukan apakah fasilitas,

metode, pelaksanaan dan pengontrolan yang diterapkan pada proses pengolahan

pangan adalah aman, dan apakah pangan diolah dalam kondisi sanitasi yang

memadai.

Berdasarkan definisinya, CPB adalah minimum standar sanitasi dan

proses pengolahan yang diperlukan untuk menjamin produksi pangan secara utuh

(Luning et al 2002). Lebih lanjut Luning et al (2002) menjelaskan tentang

unsur-unsur CPB yang terkandung antara lain dokumentasi dan pencatatan

(recordkeeping), kualifikasi personal/SDM (personnel qualification), sanitasi dan

higiene (Hygienee and Sanitation), verifikasi alat dan peralatan (equipment

verification), validasi proses (process validation) dan penanganan bahan

(complaint handling).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

23/MEN.KES/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk

Pengolahan Makanan menyatakan 13 aspek terkait dengan cara produksi

(25)

10 1. Lokasi

Bangunan harus berada ditempat yang bebas dari pencemaran seperti

daerah persawahan atau rawa, daerah pembuangan kotoran dan sampah, daerah

kering dan berdebu, daerah kotor, daerah berpenduduk padat, daerah penumpukan

barang bekas, dan daerah lain yang diduga dapat mengakibatkan pencemaran.

2. Bangunan

Secara umum bangunan dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi

persyaratan teknik dan higiene sesuai dengan jenis makanan yang diproduksi

sehingga mudah dibersihkan, mudah dilaksanakan tindakan sanitasi dan mudah

dipelihara. Bangunan unit produksi harus terdiri atas ruangan pokok dan ruangan

pelengkap yang harus terpisah sehingga tidak menyebabkan pencemaran terhadap

makanan yang diproduksi. Ruang pokok yang digunakan untuk memproduksi

makanan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan jenis dan kapasitas

produksi, ukuran alat produksi serta jumlah karyawan yang berkerja. Susunan

ruangan diatur berdasarkan urutan proses produksi sehingga tidak menimbulkan

lalu lintas pekerja yang simpang siur dan tidak mengakibatkan pencemaran

makanan yang diproduksi. Ruang pelengkap harus memenuhi syarat luasnya

sesuai dengan jumlah karyawan yang berkerja dan susunannya diatur berdasarkan

urutan kegiatan yang dilakukan.

Lantai ruangan pokok harus memenuhi syarat rapat air, tahan terhadap air,

garam, basa, asam dan atau bahan kimia lainnya, permukaannya rata, tidak licin

dan mudah dibersihkan, memiliki kelandaian cukup ke arah saluran pembuangan

air dan mempunyai saluran tempat air mengalir atau lubang pengeluaran serta

pertemuan antara lantai dan dinding tidak boleh membentuk sudut mati, harus

melengkung dan rapat air. Lantai ruang pelengkap harus memenuhi syarat rapat

air, tahan terhadap air, permukaanya datar, rata serta halus, tidak licin dan mudah

dibersihkan. Ruang untuk mandi, cuci dan sarana toilet harus mempunyai

kelandaian secukupnya ke arah saluran pembuangan.

Dinding ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan

sekurang-kuranya 20 cm di bawah dan 20 cm di atas permukaan lantai harus

rapat air. Permukaan bagian dalam harus halus, rata, berwarna terang, tahan

(26)

11 setinggi 2 meter dari lantai harus rapat air, tahan terhadap air, basa asam dan

bahan kimia lainnya. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan dinding

dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung dan rapat air.

Atap ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan terbuat

dari bahan tahan lama, tahan terhadap air dan tidak bocor. Langit-langit ruangan

pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan dibuat dari bahan yang tidak

mudah melepaskan bagiannya, tidak terdapat lubang dan tidak retak, tahan lama

dan mudah dibersihkan, tinggi dari lantai sekurang-kuranya 3 meter, permukaan

rata, berwarna terang. Khusus ruangan pokok ditambahkan syarat tidak mudah

mengelupas, rapat air bagi tempat pengolahan yang menimbulkan atau

menggunakan uap air.

Pintu ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi syarat dibuat dari

bahan yang tahan lama, permukaannya rata, halus, berwarna terang dan mudah

dibersihkan, dapat ditutup dengan baik dan membuka ke luar.

Jendela harus memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama,

permukaannya rata, halus, mudah dibersihkan dan berwarna terang,

sekurang-kurangnya setinggi 1 meter dari lantai, luasnya sesuai dengan besarnya bangunan.

Penerangan di ruangan pokok dan pelengkap harus terang sesuai dengan

keperluan dan persyaratan kesehatan.

Ventilasi dan pengatur suhu pada ruang pokok maupun pelengkap baik

secara alami maupun buatan harus memenuhi persyaratan cukup menjamin

peredaran udara dengan baik dan dapat menghilangkan uap, gas, debu, asap dan

panas yang dapat merugikan kesehatan, dapat mengatur suhu yang diperlukan,

tidak boleh mencemari hasil produksi melalui udara yang dialirkan serta lubang

ventilasi harus dilengkapi dengan alat yang dapat mencegah masuknya serangga

dan mengurangi masuknya kotoran ke dalam ruangan serta mudah dibersihkan.

3. Fasilitas Sanitasi

Bangunan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang dibuat

berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene.

Bangunan harus dilengkapi dengan sarana penyediaan air yang pada pokoknya

terbagi atas sumber air, perpipaan pembawa, tempat persediaan air dan perpipaan

(27)

12 sesuai dengan kebutuhan produksi pada khususnya dan kebutuhan perusahaan

pada umumnya.

Bangunan harus dilengkapi dengan sarana pembuangan yang pada

pokoknya terdiri atas saluran dan tempat pembuangan buangan akhir, tempat

buangan padat, sarana pengolahan buangan dan saluran pembuangan buangan

terolah. Sarana pembuangan harus dapat mengolah dan membuang buangan

padat, cair dan atau gas yang dapat mencemari lingkungan.

Sarana toilet letaknya tidak langsung ke ruang proses pengolahan,

dilengkapi dengan bak cuci tangan, diberi tanda pemberitahuan bahwa setiap

karyawan harus mencuci tangan dengan sabun dan atau ditergen sesudah

menggunakan toilet dan disediakan dalam jumlah cukup sesuai dengan jumlah

karyawan.

Sarana cuci tangan harus diletakan di tempat yang diperlukan, dilengkapi

dengan air mengalir yang tidak boleh dipakai berulang kali, dilengkapi dengan

sabun atau ditergen, handuk atau alat lain untuk mengeringkan tangan dan tempat

sampah berpenutup serta disediakan dengan jumlah yang sesuai dengan jumlah

karyawan.

4. Alat Produksi

Alat dan perlengkapan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan

harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan

higiene. Alat dan perlengkapan harus memenuhi syarat sesuai dengan jenis

produksi, permukaan yang berhubungan dengan makanan harus halus, tidak

berlubang atau bercelah, tidak mengelupas dan tidak berkarat, tidak mencemari

hasil produksi dengan jasad renik, unsur atau fragmen logam yang lepas, minyak

pelumas, bahan bakar dan lain-lain serta mudah dibersihkan.

5. Bahan

Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan untuk

memproduksi makanan tidak boleh merugikan atau membahayakan kesehatan

manusia dan harus memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan.

Terhadap bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong sebelum digunakan

harus dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau

(28)

13 6. Proses Pengolahan

Untuk setiap jenis produk harus ada formula dasar yang menyebutkan

jenis bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta

persyaratan mutunya, jumlah bahan untuk satu kali pengolahan, tahap-tahap

proses pengolahan, langkah yang diperlukan dalam proses pengolahan dengan

mengingat faktor waktu, suhu, kelembaban, tekanan dan sebagainya sehingga

tidak menyebabkan peruraian, pembusukan, kerusakan dan pencemaran produk

akhir, jumlah hasil yang diperoleh untuk satu kali pengolahan, uraian mengenai

wadah, label, serta cara perwadahan dan pembungkusan, cara pemeriksaan bahan,

produk antara dan produk akhir.

Untuk setiap satuan pengolahan harus ada instruksi tertulis dalam bentuk

protokol pembuatan yang menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan dan

nomor kode, tahapan pengolahan dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama

proses pengolahan, jumlah hasil pengolahan dan hal lain yang dianggap perlu.

7. Produk Akhir

Produk akhir harus memenui standar mutu atau persyaratan yang

ditetapkan dan tidak boleh merugikan dan membahayakan kesehatan. Sebelum

produk akhir diedarkan harus dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika,

kimia, biologi dan atau mikrobiologi.

8. Laboratorium

Perusahaan yang memproduksi jenis makanan tertentu yang ditetapkan

menteri harus mempunyai laboratorium untuk melakukan pemeriksaan terhadap

bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta produk

akhir. Untuk setiap pemeriksaan harus ada protokol perusahaan yang

menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan, tanggal pengambilan contoh,

jumlah contoh yang diambil, kode produksi, jenis pemeriksaan yang dilakukan,

kesimpulan pemeriksaan, nama pemeriksa dan hal lain yang diperlukan.

9. Karyawan

Karyawan yang berhubungan dengan produksi makanan harus dalam

keadaan sehat, bebas dari luka, penyakit kulit, dan atau hal lain yang diduga dapat

mencemari hasil produksi, diteliti dan diawasi kesehatannya secara berkala,

(29)

14 sesuai, mencuci tangan dibak cuci sebelum melakukan pekerjaan, menahan diri

untuk tidak makan, minum, merokok, meludah atau melakukan tidakan lain

selama pekerjaan yang dapat mengakibatkan pencemaran terhadap produk

makanan dan tidak merugikan karyawan lain.

Perusahaan yang memproduksi makanan harus menunjuk dan menetapkan

penanggung jawab untuk bidang produksi dan pengawasan mutu yang memiliki

kualifikasi sesuai tugas dan tanggung jawabnya.

10. Wadah dan Pembungkus

Wadah dan pembungkus makanan harus memenuhi syarat dapat

melindungi dan mempertahankan mutu isinya terhadap pengaruh luar, tidak

berpengaruh terhadap isi, dibuat dari bahan yang tidak melepaskan bagian atau

unsur yang dapat menggangu kesehatan atau mempengaruhi mutu makanan,

menjamin keutuhan dan keaslian isinya, tahan terhadap perlakuan selama

pengolahan, pengangkutan dan peredaran dan tidak boleh merugikan atau

membahayakan konsumen. Sebelum digunakan wadah harus dibersihkan

dikenakan tindakan sanitasi, steril bagi jenis produk yang akan diisi secara

aseptik.

11. Label

Label makanan harus memenuhi ketentuan, dibuat dengan ukuran,

kombinasi warna dan atau bentuk yang berbeda untuk tiap jenis makanan agar

mudah dibedakan.

12. Penyimpanan

Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta produk akhir harus

disimpan terpisah dalam masing-masing ruangan yang bersih, bebas serangga,

binatang pengerat dan atau binatang lain, terjamin peredaran udara dan suhu yang

sesuai. Bahan baku, bahan pembantu, bahan penolong serta produk akhir harus

ditandai dan ditempatkan sedemikian rupa hingga jelas dapat dibedakan antara

yang belum dan sudah diperiksa, memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat,

bahan yang terdahulu diterima diproses lebih dahulu dan produk akhir yang

terdahulu dibuat diedarkan lebih dahulu.

Bahan berbahaya seperti insektisida, rodentisida, desinfektan dan lain-lain

(30)

15 tidak membahayakan atau mencemari bahan baku, bahan tambahan, bahan

penolong dan produk akhir.

Wadah dan pembungkus harus disimpan secara rapi ditempat bersih dan

terlindung dari pencemaran. Label harus disimpan secara baik dan diatur

sedemikian rupa hingga tidak terjadi kesalahan penggunaan. Alat dan

perlengkapan produksi yang telah dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi

yang belum digunakan harus disimpan sedemikian rupa hingga terlindung dari

debu dan pencemaran lain.

13. Pemeliharaan

Bangunan dan bagian-bagiannya harus dipelihara dan dikenakan tindakan

sanitasi secara teratur dan berkala, hingga selalu dalam keadaan bersih dan

berfungsi baik.

Harus dilakukan usaha pencegahan masuknya serangga, binatang

pengerat, unggas dan binatang lain ke dalam bangunan. Pembasmian jasad renik,

serangga dan binatang pengerat dengan menggunakan desinfektan, insektisida,

atau rodentisida harus dilakukan dengan hati-hati dan harus dijaga serta dibatasi

sedemikian rupa hingga tidak menyebabkan gangguan kesehatan manusia dan

tidak menimbulkan pencemaran terhadap bahan baku, bahan tambahan, bahan

penolong serta produk akhir.

Buangan padat harus dikumpulkan untuk dikubur, dibakar atau diolah

sehingga aman. Buangan air harus diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke

luar. Buangan gas harus diatur atau diolah sedemikian rupa hingga tidak

mengganggu kesehatan karyawan dan tidak menimbulkan pencemaran

lingkungan.

Alat dan perlengkapan yang digunakan untuk memproduksi makanan

harus dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi secara teratur sehingga tidak

menimbulkan pencemaran terhadap produk akhir. Alat dan perlengkapan yang

tidak berhubungan dengan makanan harus selalu dalam keadaan bersih.

Alat pengangkutan dan alat pemindahan barang dalam bangunan unit

pengolahan harus bersih dan tidak boleh merusak barang yang diangkut atau

(31)

16 akhir. Alat pengangkutan untuk mengedarkan produk akhir harus bersih, dapat

melindungi produk baik fisik maupun mutunya sampai ke tempat tujuan.

Dalam implementasinya, CPB dapat berperan untuk menghasilkan suatu

produk pangan yang bermutu dan aman bagi kesehatan. Sebelumnya,

baik-buruknya mutu produk ditentukan dengan mengandalkan pengujian akhir di

laboratorium. Namun hal itu ternyata tidak efektif, sehingga diperlukan adanya

penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, dan sistem

produksi pangan yang baik (Cara Produksi yang Baik). Dengan menerapkan CPB

diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu,

aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen

lokal tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997).

Direktorat Jenderal Perikanan (2000) menyatakan penerapan CPB

dimaksudkan untuk lebih meningkatkan jaminan dan konsistensi mutu dari

produk yang dihasilkan. Oleh karena itu dalam menyusun CPB maka perlu

dirinci hal-hal yang menyangkut fungsi atau tujuan dari suatu tahapan proses

pengolahan dan perlakuan/kondisi yang dipersyaratkan dalam proses pengolahan

ikan, yang pada umumnya terkait dengan waktu dan temperatur, pemakaian klor

atau bahan untuk mencapai tujuan dari proses pengolahan yang dilakukan.

2.5 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur

Operasi Sanitasi (SPOS)

Direktorat Jenderal Perikanan (2000) menyatakan Sanitation Standard

Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS)

merupakan salah satu persyaratan kelayakan yang dimaksudkan untuk melakukan

pengawasan terhadap kondisi lingkungan agar tidak menjadi sumber kontaminasi

terhadap produk yang dihasilkan. Lingkungan yang dimaksud meliputi ruangan,

peralatan, pekerja, air dan sebagainya.

Surono (2007), menyatakan bahwa SPOS adalah prosedur untuk

memelihara kondisi sanitasi yang biasanya berhubungan dengan seluruh fasilitas

produksi/bisnis pangan atau area dan tidak terbatas pada tahap tertentu atau

(32)

17 menyatakan SPOS menjelaskan setiap prosedur atau cara pembersihan dan

sanitasi yang digunakan di unit pengolahan ikan secara lengkap.

SPOS diperlukan untuk menjelaskan prosedur sanitasi di unit pengolahan

ikan, memberikan jadwal sanitasi, memberikan landasan monitoring secara rutin,

mendorong perencanaan untuk menjamin pelaksanaan tindakan koreksi,

mengidentifikasi trend dan mencegah terulang kembali, menjamin setiap orang

dari level manajemen hingga pekerja memahami sanitasi, memberikan materi

yang konsisten untuk pelatihan karyawan, menunjukan komitmen kepada pembeli

dan inspektor dan membawa perbaikan berkelanjutan pada industri.

Lebih lanjut Surono (2007) menyatakan 8 kunci persyaratan sanitasi yaitu

keamanan air, kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan

pangan, pencegahan kontaminasi silang, menjaga fasilitas pencucian tangan,

sanitasi dan toilet, proteksi dari bahan-bahan kontaminan, pelabelan,

penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar, pengawasan kondisi

kesehatan personil dan menghilangkan pest dari unit pengolahan.

Swarasangi (2000) menyatakan SPOS dilaksanakan untuk mengawasi

tahapan kritis dalam proses sanitasi unit pengolahan ikan yang meliputi

perawatan konstruksi, peralatan dan fasilitas higiene, kondisi kebersihan

permukaan yang kontak dengan produk, pengawasan kontaminasi terhadap

makanan, permukaan yang kontak dengan makanan dan pengemas, kualitas air

dan es, pencegahan kontaminasi silang kepada produk, bahan pengemas produk,

dan permukaan yang kontak dengan makanan, pengawasan bahan kimia, bahan

tambahan makanan, pembersih dan bahan beracun, pengawasan terhadap pest dan

pengawasan terhadap tindakan dan kondisi kesehatan karyawan.

2.6 Pembinaan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan

undang No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa pemerintah

pusat dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha

perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan. Lebih lanjut dijelaskan

dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002

(33)

18 penerapan sistem manajemen mutu hasil perikanan dimaksudkan untuk menjamin

mutu dan keamanan hasil perikanan, mendorong pengembangan usaha di bidang

perikanan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hasil

perikanan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan hasil perikanan,

mewujudkan kepatuhan setiap orang yang memproduksi, mengedarkan dan atau

memperdagangkan hasil perikanan, meningkatkan pemahaman dan kesadaran

konsumen terhadap pentingnya mutu dan keamanan hasil perikanan.

Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penerapan sistem

manajemen mutu hasil perikanan meliputi kegiatan pengembangan sumber daya

manusia dan kegiatan yang menangani usaha perikanan melalui kegiatan

pendidikan dan pelatihan, peningkatan peran serta masyarakat dan kegiatan

penyuluhan tentang mutu hasil perikanan, peningkatan peran serta asosiasi dan

organisasi profesi dalam peningkatan mutu hasil perikanan, peningkatan

penganekaragaman hasil perikanan, peningkatan kegiatan penelitian dan atau

pengembangan ilmu dan teknologi dalam peningkatan mutu hasil perikanan,

penyebarluasan peraturan perundang-undangan dan pengetahuan tentang mutu

hasil perikanan dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai peraturan

perundang-undangan di bidang mutu hasil perikanan.

2.7 Pengawasan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002

tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan menyatakan bahwa

pengawasan sistem manajemen mutu hasil perikanan dilakukan oleh pengawas

mutu hasil perikanan. Pengawas mutu hasil perikanan dalam melakukan

pengawasan berwenang untuk:

a. Memasuki setiap tempat yang digunakan untuk kegiatan atau proses produksi,

penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan hasil perikanan untuk

memeriksa, meneliti dan mengambil contoh dan segala sesuatu yang

digunakan atau diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan,

(34)

19 b. Meminta informasi dalam bentuk apapun yang diperlukan baik berbentuk

tulisan, gambar, foto, film, video, rekaman suara atau bentuk lainnya yang

berkaitan dengan pemeriksaan.

c. Menghentikan, memeriksa dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga

atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan hasil perikanan serta

memeriksa contoh hasil perikanan.

d. Membuka dan meneliti setiap kemasan hasil perikanan.

e. Memeriksa setiap buku, dokumen atau catatan lain yang memuat atau diduga

memuat keterangan mengenai kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,

pengangkutan dan atau perdagangan hasil perikanan, termasuk

menggandakan atau mengutip keterangan tersebut.

f. Menahan segala sesuatu, termasuk buku, dokumen, catatan, bahan pengemas,

label atau bahan pembuat label, bahan untuk iklan, yang diduga atau patut

diduga berkaitan dengan pelanggaran.

g. Memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dan atau dokumen lain

yang dipandang perlu.

h. Menandai, mengamankan, menimbang, menghitung atau mengukur hasil

perikanan atau peralatan yang digunakan untuk kegiatan atau proses produksi,

penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan hasil perikanan yang tidak

memenuhi atau diduga tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan.

i. Mengirim contoh yang diambil pada waktu pemeriksaan untuk dilakukan

pengujian di laboratorium.

j. Melakukan pengujian contoh dan monitoring sanitasi unit pengolahan.

2.8 Teori Komunikasi Inovasi

Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang diperkenalkan oleh

Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan

sebuah inovasi cara pengolahan fillet ikan yang baru bagi para pengolah.

Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkenalkan

penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet untuk meningkatkan kualitas dan

(35)

20 Adams (1988) mendefinisikan inovasi sebagai ide atau objek yang

dipersepsikan baru oleh individu. Simamora (2003) menyatakan, inovasi

sebagai ide, praktek atau produk yang dianggap baru oleh individu atau group

yang relevan. Van Den Ban dan Hawkins (1996) menyatakan, inovasi adalah ide,

metode, atau objek yang dianggap baru oleh sesorang tetapi tidak selalu hasil riset

terbaru.

Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu

inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada

sekelompok anggota dari sistem sosial. Rogers (1983) menyatakan, bahwa difusi

inovasi adalah proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui saluran

tertentu selama jangka waktu diantara anggota kelompok sosial. Lebih lanjut

Rogers (1983) menyatakan, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen

pokok, yaitu:

a. Inovasi; gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.

Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan

individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang

maka itu adalah inovasi untuk orang itu. Konsep “baru” dalam ide yang

inovatif tidak harus baru sama sekali.

b. Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari

sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling

tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b)

karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan

suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran

komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi

jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima

secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran

interpersonal.

c. Jangka waktu; proses keputusan inovasi dari mulai seseorang mengetahui

sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya dan pengukuhan

terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak

(36)

21 keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima

inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

d. Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat

dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan

bersama

Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi yang

mempengaruhi kecepatan adopsi yaitu: 1) keunggulan relatif (relative advantage),

2) kompatibilitas (compatibility), 3) kerumitan (complexity), 4) kemampuan diuji

cobakan (trialability) dan 5) kemampuan diamati (observability).

Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih

baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari

beberapa segi seperti segi ekonomi, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin

besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi

tersebut dapat diadopsi.

Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten

dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi.

Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai

dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah

sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).

Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang

sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan

mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang

sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka

semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.

Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat

diuji coba dalam batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat diujicobakan dalam

kondisi sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat

dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan

keunggulannya.

Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat

terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu

(37)

22 mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif;

kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan

untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat

kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi

Selain hal di atas, Subagyo (2005) menyatakan, adopsi suatu inovasi

dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang

mempengaruhi adopsi suatu inovasi adalah motivasi, keterlibatan dalam

organisasi, komunikasi interpersonal, tingkat kosmopolitan dan terpaan media

masa. Faktor eksternal yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi adalah

kebijakan pemerintah, peran tokoh, sistem sosial dan nilai-nilai atau

norma-norma.

Seseorang yang telah memutuskan untuk menerima inovasi ada

kemungkinan untuk meneruskan ataupun untuk menghentikan penggunaannya.

Menghentikan penggunaan diartikan sebagai tidak meneruskan untuk menerima

atau mengadopsi, hal ini dapat terjadi karena seseorang telah menemukan ide-ide

lain ataupun kecewa terhadap hasil yang diperolehnya.

Rogers (1983) menyatakan tahapan proses adopsi suatu inovasi seperti

Gambar 2.

Gambar 2. Tahapan proses adopsi inovasi Inovasi

Kesadaran

(awareness)

Perhatian (Interest)

Penaksiran (Evaluation)

Percobaan (Trial)

Adopsi (Adoption)

Konfirmasi (Confirmation)

(38)

23 Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa setelah dilakukan percobaan

terhadap sebuah inovasi (trial) terdapat tiga kemungkinan yang akan dilakukan

yaitu memutuskan untuk mengadopsi inovasi (adoption), menolak inovasi

(rejection) atau mengadopsi inovasi kemudian menolaknya karena telah

menemukan ide-ide baru atau inovasi tersebut dinilai mengecewakan. Namun

demikian, tidak menutup kemungkinan terjadi proses adopsi inovasi kembali

(39)

24 III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa pada 15 unit pengolahan fillet ikan

yang saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS dan 11 unit pengolahan fillet

ikan yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS. Penelitian dilakukan mulai Bulan

Desember 2009 sampai dengan Maret 2010. Alasan dipilihnya 15 unit

pengolahan fillet ikan yang saat ini berhenti menerapkan serta 11 unit pengolahan

fillet ikan yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah

karena penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terkait dengan mutu dan

keamanan pangan yang perlu mendapatkan perhatian serius mengingat fillet ikan

tersebut akan dikonsumsi oleh manusia. Perhatian yang serius terhadap masalah

mutu dan keamanan pangan akan meminimalkan terjadinya keracunan pangan

pada manusia.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, data yang diperlukan diperoleh melalui pengisian

kuesioner dan wawancara dengan responden serta pengamatan terhadap kondisi

unit pengolahan fillet ikan. Data dikumpulkan melalui:

1. Survey dengan menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS

pengolahan fillet ikan.

2. Wawancara dengan responden

3. Observasi dengan cara mengamati langsung proses pengolahan fillet ikan

dan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.

Paket kuesioner yang dibagikan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama

dari kuesioner berkaitan dengan data umum responden. Bagian kedua paket

kuesioner berisi daftar pertanyaan yang terkait dengan penerapan CPB dan SPOS

pengolahan fillet ikan. Bagian ketiga kuesioner terkait dengan status penerapan

(40)

25 Responden dalam penelitian ini adalah pemilik usaha fillet yang saat ini

berhenti menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan yang lanjut

menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan jumlah total 26

responden.

Jenis pertanyaan yang dibuat dalam kuesioner adalah pertanyaan tertutup

berupa pertanyaan yang alternatif jawabannya sudah tersedia, sehingga responden

hanya memilih satu dari alternatif jawaban yang sudah ada. Pada faktor

eksternal, jawaban terdiri atas Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K) dan Sangat

Kurang (SK) dan pada faktor karateristik inovasi, jawaban terdiri atas Sangat

Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).

3.3 Kerangka Pemikiran Operasional

CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan merupakan inovasi yang

diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan

Perikanan kepada para pengolah fillet ikan dalam rangka meningkatkan kualitas

produk fillet. Melalui pengenalan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan

diharapkan produk fillet yang dihasilkan mampu memenuhi harapan konsumen

sekaligus meningkat daya saingnya.

Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dipengaruhi oleh 3 faktor

yaitu faktor internal, eksternal dan karateristik inovasi. Dalam penelitian ini,

faktor internal yaitu tingkat pengetahuan dan pengalaman pengolah dalam

menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Faktor eksternal yaitu

kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, kebijakan pemerintah dalam bidang

fisik, pembinaan dan pengawasan pemerintah, serta permintaan pasar. Faktor

karateristik inovasi yaitu keunggulan relatif (relative advantage), kompatibilitas

(compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan diuji cobakan (trialability)

dan kemampuan diamati (observability).

Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan ditandai dengan

pemenuhan persyaratan 30 aspek CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, yaitu

lingkungan/konstruksi dan layout, ventilasi, fasilitas karyawan, penerangan,

saluran pembuangan, tempat penyimpanan bahan kimia, lantai, dinding,

(41)

26 peralatan kerja, fasilitas pencucian produk, konstruksi dan pemeliharaan peralatan,

proses penerimaan, bahan pembungkus atau pengemas, air, es, penanganan

limbah, penyimpanan bahan kimia berbahaya serta tidak untuk dikonsumsi,

pengendalian binatang pengganggu, kebersihan karyawan, kesehatan karyawan,

sanitasi, pemeliharaan suhu dan rantai dingin, prosedur penarikan kembali,

prosedur untuk melindungi produk pada setiap tahan proses hingga distribusi,

penanganan bahan baku dan produk segar, serta proses pengolahan fillet.

Untuk memperjelas kerangka pemikiran penelitian, dapat dilihat pada

Gambar 3.

CPB dan SPOS pengolahan fillet

pemenuhan persyaratan

21.penyimpanan bahan kimia berbahaya serta tidak untuk dikonsumsi

22.pengendalian binatang pengganggu 23.kebersihan karyawan

24.kesehatan karyawan 25.sanitasi

26.pemeliharaan suhu dan rantai dingin selama penyimpanan

27.prosedur penarikan kembali

Gambar

Gambar 1.  Alur proses pengolahan fillet ikan beku
Gambar 3.
Tabel 3. Kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan
Tabel 4.  Sebaran lokasi unit pengolahan ikan (UPI) berbentuk fillet berdasarkan provinsi dan status penerapan CPB dan SPOS
+7

Referensi

Dokumen terkait

HHO generator adalah suatu alat yang berfungsi sebagai pembangkit berbasis motor bakar menjadi hybrid hydrogen , dengan memproduksi dan menyuntikkan gas hidroksi (HHO)

Peminum akan mengalami sensasi positif, seperti perasaan rileks dan kegembiraan (euforia). Pada kadar ini peminum alkohol masih terlihat normal-normal saja. Mulai

Pemanfaatan sisa imbangan air dapat digunakan untuk memaksimalkan produktivitas dan keuntungan pertanian.Hal tersebut dapat diatasi salah satunya dengan teknik

Peradaban Śriwijaya merupakan sebuah penelitian kawasan yang tidak dapat dipisah-pisah secara parsial, baik di dalam wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, karena satu

Setelah disetujui maka akan diberikan ke bagian engineering materials, dengan adanya engineer maka perusahaan dapat menduga bagaimana bentuk project yang akan

“Fairness reduces the negative effects of organizational politics on turnover intentions, citizenship behavior and job performance”, Journal of Business and

Kaliorang sebagian besar merupakan lahan yang sudah tergarap dengan sistem Tadah Hujan maupun irigasi desa yang diusahakan sendiri oleh petani setempat (panen 1

Selain menggunakan pemain – pemain baru yang paling menarik perhatian adalah adanya salah satu pemain wanita dalam sinetron Anak Jalanan yang merupakan pembalap