BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Pemasok
Kemitraan JIT (JIT partnership) ada ketika pemasok dan pembeli
bekerja sama dengan sebuah sasaran bertimbal balik untuk menghilangkan
pemborosan dan menekan biaya. Ada empat sasaran kemitraan JIT
menurut Heizer dan Render (2005: 262), yaitu:
a. Penghilangan aktivitas yang tidak perlu
Jika ada pemasok yang baik, maka aktivitas penerimaan dan inspeksi
berikutnya tidak diperlukan.
b. Penghapusan persediaan di pabrik
Bagian atau komponen harus dikirimkan dalam lot kecil secara
langsung ke departemen yang akan menggunakannya ketika
dibutuhkan.
c. Penghapusan persediaan yang transit
Departemen pembelian modern saat ini menunjukkan pengurangan
persediaan dalam transit dengan cara memberikan harapan kepada para
pemasok dan calon pemasok untuk mengambil lokasi di dekat
bangunan pabrik dan melakukan pengiriman kecil yang sering.
d. Penghilangan para pemasok yang lemah
Ketika sebuah perusahaan mengurangi sejumlah pemasok, maka
berarti meningkatkan komitmen jangka panjang. Demi memperoleh
kualitas dan keandalan yang terus meningkat, penjual dan pembeli
2. Tata Letak JIT
Tata letak JIT (JIT layout) mengurangi bentuk lain pemborosan,
yaitu pergerakan dan perpindahan. Sebuah lini perakitan harus dirancang
dengan titik penyerahan didekat lini perakitan tersebut, sehingga material
tidak perlu dikirimkan terlebih dahulu ke departemen penerimaan di
tempat lain dalam pabrik, kemudian dipindahkan lagi. Penataan letak yang
baik akan mengurangi jarak, sehingga dapat menghemat ruang dan
menghapuskan area potensial untuk persediaan yang tidak dikehendaki.
Penataan letak yang baik juga akan mengurangi bergeraknya orang dan
material.Penanganan bahan baku tidak dipusatkan melainkan tersebar
dibeberapa titik pelayanan yang dekat dengan setiap sel manufaktur.
3. Persediaan
Heizer dan Render (2005: 266) menjelaskan, persediaan just-in-time
(just-in-timeinventory) adalah persediaan minimum yang diperlukan untuk
menjaga agar suatu sistem dapat berjalan dengan sempurna. Putra dan
Idayati (2014) menjelaskan, bahwa hanya dibutuhkan tempat yang kecil
untuk persediaan. Dengan persediaan just-in-time, barang tiba hanya pada
saat diperlukan dengan jumlah yang tepat. Kunci menuju JIT adalah
menghasilkan produk yang baik dalam ukuran lot kecil. Mengurangi
ukuran lot bisa menjadi bantuan utama dalam mengurangi persediaan dan
biaya persediaan. Pembelian persediaan dilakukan dalam jumlah yang
kecil, namun dengan frekuensi pemesaanan yang tinggi, Saputra et al.
4. Penjadwalan
Penjadwalan yang lebih baik meningkatkan kemampuan untuk
memenuhi pesanan pelanggan, menurunkan persediaan dengan
menjadikan ukuran lot yang lebih kecil, dan mengurangi barang setengah
jadi. Jadwal bertingkat (level schedules) memproses lot kecil yang sering,
dan bukan beberapa lot yang besar. Persediaan dipindahkan hanya pada
saat dibutuhkan, maka hal ini dikenal sebagai “sistem tarik”. Jepang menyebut sistem ini sebagai kanban. Kanban adalah kata dalam bahasa
Jepang yang berarti kartu. Kegunaan kartu kanban adalah untuk
memberikan isyarat akan kebutuhan kontainer berikutnya. Penjadwalan
yang tepat akan membuat produk siap sedia dan berjalan berantai sesuai
dengan jumlah yang dibutuhkan agar tidak terjadi oversupply dan produksi
hanya dilakukan sesuai kebutuhan berdasarkan jumlah pesanan pelanggan
(Lean Manufacturing-Lean Service, Konsep Kanban, 2016).
5. Kualitas
Heizer dan Render mengatakan hubungan antara JIT dan kualitas
sangat kuat. Keterkaitannya terdapat dalam tiga cara. Pertama, JIT
memotong biaya perolehan kualitas yang baik. Penghematan terjadi karena
sisa, pengerjaan ulang, investasi persediaan, dan biaya kerusakan terkubur
dalam persediaan.
Kedua, JIT meningkatkan kualitas karena JIT menyusutkan antrian
dalam lead time, maka JIT mempertahankan bukti kesalahan tetap segar
kualitas yang lebih baik berarti lebih sedikit penyangga yang diperlukan.
Oleh karena itu, bisa terdapat sistem JIT yang lebih baik, yang lebih
mudah dilaksanakan. Jika terdapat kualitas yang konsisten, maka JIT
memungkinkan perusahaan untuk mengurangi semua biaya yang
berhubungan dengan persediaan. Dalam menjaga kualitas barang hasil
produksi, bahan baku yang siap diproses tidak disimpan, tetapi langsung
diproses untuk menghindari dari kerusakan saat disimpan, dan termasuk
untuk meniadakan biaya penyimpanan.
6. Pemberdayaan Karyawan
Karyawan yang diberdayakan dapat membawa keterlibatan mereka
untuk menghadapi permasalahan operasional harian yang merupakan
filosofi just-in-time. Supriyono (2002: 68) memaparkan pada JIT produksi,
seluruh karyawan pada bagian produksi dituntut untuk mampu
mengoperasikan seluruh mesin yang ada. Perusahaan tidak hanya
memberikan pelatihan dan melakukan pelatihan secara bersilang, tetapi
juga dapat mengambil keuntungan yang berasal dari investasi dengan
memperkaya pekerjaan. Sebuah artikel dari Lean Manufacturing-Lean
Service yang berjudul “Sekilas tentang Just-in-time” menjelaskan, bahwa
karyawan cenderung bertahan dalam satu perusahaan dalam waktu yang
lama. Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk meningkatkan skill dan
kemampuan sambil menawarkan banyak keuntungan kepada perusahaan.
melibatkan kombinasi dari berbagai talent dan sharing pengetahuan, skill
problem solving, ide, dan pencapaian dari suatu tujuan.
C. Perbandingan Sistem Just-in-time dan Tradisional
Perbandingan antara pemanufakturan just-in-time dengan
pemanufakturan tradisional menurut Supriyono (2002: 68) adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1: Perbedaan Metode Just-in-time dan Tradisional
No Faktor Pembeda Just-In-Time Tradisional
1 Karakteristik Pull-through system Push-through system
2 Kuantitas persediaan Sedikit Banyak
3 Struktur manufaktur Sel manufaktur Struktur departemen
4 Kualifikasi tenaga kerja Multidisiplin Spesialis
5 Kebijakan kualitas Pengendalian mutu Toleransi produk
cacat
6 Fasilitas jasa Tersebar Terpusat
1. Karakteristik
Karakteristik pada sistem tradisional melakukan aktivitas pembuatan
produk berdasarkan ramalan penjualan (sales forecasting) yang
diperkirakan akan terjadi pada periode mendatang. Dengan dasar ini, maka
bagian produksi akan memiliki jadwal produksi yang sudah pasti. Jika
barang yang diproduksi belum dapat didistribusikan ke pasar, maka barang
tersebut akan disimpan di gudang. Dengan demikian, sistem tradisional ini
mendorong (push) aktivitas penjualan dan pemasaran. Sistem just-in-time
produksi hanya jika ada permintaan pasar/pelanggan yang sudah pasti. Jadi
aktivitas produksi dalam sistem ini ditarik (pull) oleh permintaan pasar.
2. Kuantitas Persediaan
Kuantitas Persediaan merupakan salah satu pengaruh sistem
just-in-time bagi perusahaan adalah mengurangi kuantitas persediaan secara
signifikan. Jadi kuantitas persediaan dalam sistem just-in-time tetap ada
namun jumlahnya sangat sedikit (insignificant). Dalam sistem tradisional,
perusahaan melakukan proses produksi tanpa memperhatikan struktur dan
kondisi permintaan.
3. Stuktur Manufaktur
Struktur manufaktur, dalam sistem ini manufaktur tradisional,
mesin-mesin produksi yang sejenis disatukan dalam sebuah departemen.
Just-in-time menggunakan struktur sel manufaktur (manufacturing cell). Mesin
yang diperlukan untuk membuat sebuah produk, dikelompokkan ke dalam
sebuah sel manufaktur.
4. Kualifikasi Tenaga Kerja
Dalam sistem konvensional, tenaga kerja biasanya berspesialisasi
dalam satu bidang keahlian tertentu. Para karyawan dilatih untuk
melaksanakan sebuah pekerjaan khusus, misalnya mengoperasikan sebuah
mesin. Tugas yang dibebankan kepada mereka relatif tidak berubah dari
waktu ke waktu. Mereka menjadi tenaga kerja spesialis. Dalam sistem
produksi dituntut untuk mampu mengoperasikan seluruh mesin yang ada
dalam sebuah sel (multidiciplinary).
5. Kebijakan Kualitas
Dalam sistem just-in-time, perusahaan memproduksi barang dalam
jumlah terbatas, yaitu sebanyak yang diminta oleh pasar/pelanggan dan
tidak memiliki kelebihan produksi sama sekali. Kualitas barang yang
dihasilkan harus sempurna, dan tidak ada toleransi sama sekali terhadap
produk cacat.
6. Fasilitas Jasa
Sebagian besar aktivitas untuk membuat produk tertentu tidak lagi
menggunakan fasilitas bersama. Dengan demikian, departemen jasa yang
semula dipusatkan dan melayani kebutuhan dalam rangka menghasilkan
berbagai jenis produk, sekarang mengalami perubahan yaitu tersebar di
berbagai sel manufaktur. Sebagai contoh, just-in-time menghendaki bahwa
pasokan bahan baku dilakukan secara tepat. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan tersebut jelas penanganan bahan baku tidak dapat lagi
dipusatkan, namun disebar di beberapa titik pelayanan yang dekat dengan
setiap sel manufaktur.
D. Tujuan Just-In-Time
Tujuan just-in-time menurut Heizer dan Render (2005: 259) adalah
mengurangi pemborosan dan mengurangi variabilitas. Produk yang disimpan,
dan produk cacat tidak memberi nilai tambah, dianggap pemborosan. Aktivitas
apapun yang tidak memberi nilai tambah dari suatu produk dari sisi pandang
pelanggan merupakan pemborosan. Variabilitas adalah segala penyimpangan
yang berasal dari proses optimal yang mengirimkan produk sempurna secara
tepat waktu setiap saat. Semakin sedikit variabilitas, semakin sedikit
pemborosan. Hilangnya variabilitas memungkinkan material yang baik
dipindahkan secara just-in-time pada saat digunakan.
E. Just-in-time dan Lean Production
Kegiatan memproduksi atau menghasilkan barang-barang atau jasa
merupakan kegiatan untuk menambah kegunaan dari masukan (input) menjadi
keluaran (output), Assauri, (2008: 1). Heizer dan Render (2009: 19)
menjelaskan, produksi yang tinggi dapat mencerminkan bahwa lebih banyak
orang yang bekerja dan tingkat ketenagakerjaan tinggi (tingkat pengangguran
rendah), tetapi belum tentu mencerminkan tingginya produktivitas.
Produktivitas merupakan perbandingan antara output (barang maupun jasa)
dibagi dengan input (sumber daya seperti tenaga kerja dan modal). Supriyono
(2002: 68) menjelaskan just-in-time production hanya memproduksi jika ada
permintaan pasar/pelanggan yang sudah pasti, aktivitas produksi ditarik (pull)
oleh permintaan pasar. Konsep “tarik” merupakan isyarat untuk dilakukannya
proses produksi. Ini juga berlaku untuk para pemasok, menarik material
dengan ukuran lot kecilpada saat diperlukan, maka tumpukan persediaan dapat
Jacobs and Chase (2014: 3) menjelaskan, lean production atau produksi
ramping merupakan suatu fokus terhadap penghapusan sebanyak mungkin
pemborosan. Dasar pemikiran perampingan berasal dari konsep just-in-time
yang dipelopori Negeri Matahari Terbit, Jepang, oleh Taichi Ohno. Dalam
konteks produk ramping, nilai pelanggan (customer value) didefinisikan
sebagai sesuatu yang membuat pelanggan bersedia untuk membayar. Aktivitas
bernilai tambah mentransformasikan bahan baku dan informasi menjadi
sesuatu yang diinginkan pelanggan. Aktivitas tak bernilai tambah akan
menghabiskan sumber daya dan secara tidak langsung berkontribusi terhadap
hasil akhir yang diinginkan pelanggan. Dengan demikian, pemborosan
merupakan sesuatu yang tidak bernilai tambah berdasarkan perspektif
pelanggan. Lean production memasok pelanggan sesuai dengan keinginan
pelanggan ketika pelanggan menginginkannya secara berkelanjutan, Heizer
dan Render (2005: 258).
F. Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE)
Salah satu metode yang dapat mengukur efektivitas pada proses produksi
yaitu manufacturing cycle effectiveness (MCE). Mulyadi (2007: 278) cycle
effectiveness adalah ukuran yang menunjukkan seberapa besar nilai suatu
aktivitas bagi pemenuhan kebutuhan customer. Saftiana et al. (2007)
mendefinisikan MCE adalah persentase value added activities yang ada dalam
aktivitas proses produksi yang digunakan oleh perusahaan untuk
Saftiana et al. (2007) juga mengatakan, MCE dihitung dengan
memanfaatkan data cycle time yang telah dikumpulkan. Cycle time ini terdiri
dari aktivitas bernilai tambah (value added activities)dan aktivitas tak bernilai
tambah (non value added activities). Value added activities yaitu waktu proses
(processing time) dan non value added activities terdiri dari waktu inspeksi
(inspection time), waktu pemindahan (moving time), waktu tunggu (waiting
time), dan waktu penyimpanan (storage time).
1. Waktu Proses (Processing Time)
Saftiana et al. (2007) menjabarkan waktu proses merupakan waktu yang
diperlukan dari setiap tahap yang ditempuh oleh bahan baku, produk
dalam proses hingga menjadi barang jadi. Tidak semua waktu yang
ditempuh bahan baku hingga menjadi barang jadi adalah waktu proses.
2. Waktu Inspeksi (Inspection Time)
Mulyadi (2001) dalam Saftiana et al. (2007) menjabarkan waktu inspeksi
merupakan waktu yang dikonsumsi oleh aktivitas yang bertujuan untuk
menjaga seluruh produk yang diproses tersebut agar dapat dihasilkan
sesuai dengan standar yang ditetapkan. Sedangkan menurut Hansen dan
Mowen (2009: 240), waktu inspeksi adalah waktu dan sumber daya yang
digunakan untuk memastikan bahwa produk memenuhi spesifikasinya.
Inspeksi dilakukan dengan tujuan menghindarkan barang cacat untuk
3. Waktu Pemindahan (Moving Time)
Hansen dan Mowen (2009: 239) menjelaskan bahwa waktu pemindahan
adalah aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya untuk
memindahkan bahan baku, produk dalam proses, dan produk jadi dari satu
departemen ke departemen lainnya.
4. Waktu Tunggu (Waiting Time)
Hansen dan Mowen (2009: 239) menjelaskan bahwa waktu tunggu adalah
aktivitas dimana bahan baku atau barang dalam proses menggunakan
waktu dan sumber daya untuk menunggu proses berikutnya.
5. Waktu Penyimpanan (Storage Time)
Saftiana et al. (2007) berpendapat bahwa waktu penyimpanan merupakan
aktivitas yang menggunakan waktu dan sumber daya, selama produk dan
bahan baku disimpan sebagai persediaan.
Proses produksi yang ideal akan menghasilkan cycle time sama dengan
processing time. Jika proses pembuatan produk menghasilkan cycle
effectiveness sebesar 100%, maka aktivitas bukan penambah nilai telah dapat
dihilangkan dalam proses pengolahan produk, sehingga customer produk
tersebut tidak dibebani dengan biaya-biaya untuk aktivitas bukan penambah
nilai. Sebaliknya, jika proses pembuatan produk menghasilkan cycle
effectiveness kurang dari 100%, berarti proses pengolahan produk masih
mengandung aktivitas bukan penambah nilai bagi customer, Saftiana et al.
G. Biaya Persediaan Bahan Baku
Putra dan Idayati (2014: 9), mengatakan efisiensi biaya adalah tidak
membuang waktu dan tenaga, tepat sesuai dengan rencana dan tujuan. Cara
meningkatkan efisiensi biaya yaitu dapat dilakukan melakukan dengan melalui
sistem perencanaan yang lebih baik, alat-alat produksi dan berbagai masukan
yang tersedia yang lebih baik dengan berhubungan kerja dan kinerja yang
lebih baik pula dengan menggunakan kebijakan-kebijakan diberbagai bidang
yang tepat. Assauri (2008: 171) menjelaskan, persediaan bahan baku (raw
material stock) adalah persediaan dari barang-barang berwujud yang
digunakan dalam proses produksi, barang mana dapat diperoleh dari
sumber-sumber alam ataupun dibeli dari supplier atau perusahaan yang menghasilkan
bahan baku bagi perusahaan pabrik yang menggunakannya. Handoko (1999:
336) mengatakan biaya persediaan terdiri dari:
1. Biaya penyimpanan (holding cost atau carrying cost)
Biaya penyimpanan terdiri atas biaya yang terlibat secara langsung dengan
kuantitas persediaan. Biaya-biaya yang termasuk biaya penyimpanan
adalah:
a. Biaya fasilitas penyimpanan (penerangan, pemanas, pendingin);
b. Biaya modal (opportunity cost of capital, yaitu alternative pendapatan
atas dana yang diinvestasikan dalam persediaan);
c. Biaya keusangan;
d. Biaya perhitungan fisik dan konsiliasi laporan;
f. Biaya pajak persediaan;
g. Biaya kerugian akibat pencurian, kerusakan, dan perampokan;
h. Biaya penanganan persediaan.
2. Biaya pemesanan atau pembelian (order cost atau procurement cost)
Setiap kali suatu barang dipesan, perusahaan menanggung biaya
pemesanan (order cost atau procurement cost). Biaya pemesanan atau
pembelian meliputi:
a. Biaya pemrosesan pesanan dan biaya ekspedisi;
b. Upah;
c. Biaya telepon;
d. Pengeluaran surat-menyurat;
e. Biaya pengepakan dan penimbangan;
f. Biaya inspeksi penerimaan;
g. Biaya pengiriman ke gudang.
3. Biaya penyiapan (setup)
Apabila barang-barang tidak dibeli, tetapi diproduksi sendiri dalam pabrik
perusahaan, perusahaan menghadapi biaya penyiapan untuk memproduksi
barang yang dimaksud. Biaya-biaya terdiri dari:
a. Biaya mesin menganggur;
b. Biaya persiapan tenaga kerja langsung;
c. Biaya scheduling;
4. Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (shortage cost)
Diantara semua biaya yang berhubungan dengan tingkat persediaan,
shortage cost adalah biaya yang paling sulit diperkirakan. Biaya ini akan
timbul ketika persediaan tidak mencukupi adanya permintaan. Biaya-biaya
yang termasuk didalamnya adalah:
a. Kehilangan penjualan;
b. Kehilangan pelanggan;
c. Biaya pemesanan khusus;
d. Biaya ekspedisi;
e. Selisih harga;
f. Terganggunya operasi dan tambahan pengeluaran kegiatan manajerial.
H. Just-In-TimePurchasing
Pembelian just-in-time (just-in-time purchasing) menurut Hansen dan
Mowen (2009: G-9) merupakan metode pembelian yang mensyaratkan
pemasok untuk mengirimkan suku cadang dan bahan baku tepat saat akan
digunakan dalam produksi. Pembelian just-in-time adalah sistem pembelian
penjadwalan pengadaan barang atau bahan yang tepat waktu sehingga dapat
dilakukan pengiriman atau penyerahan secara cepat dan tepat untuk memenuhi
permintaan, Putra dan Idayati (2014: 8). Just-in-time purchasing menekankan
pada pengurangan jumlah pemasok serta memperbaiki mutu bahan baku,
Carter (2009: 353). Just-in-time purchasing telah dikembangkan dengan baik
merupakan perjanjian dengan pemasok yang menyatakan jumlah yang
diperkirakan akan dibutuhkan selama tiga atau enam bulan ke depan.
I. Jidoka
Artikel dari Landingpress berjudul “Jidoka” (2013) menjelaskan jidoka merupakan salah satu pilar terpenting dalam sistem produksi Toyota atau
just-in-time. Jidoka dalam bahasa Jepang artinya adalah otomatisasi dan
otonomasi. Otomatisasi adalah mengubah proses manual yang dikerjakan oleh
manusia menjadi proses mesin. Dalam hal ini, yang diotomatisasi hanyalah
operasionalnya, tanpa adanya umpan balik yang dapat mendeteksi kesalahan
dan tidak ada sistem pemberhentian proses bila terjadi kesalahan. Sedangkan
otonomasi adalah mengubah proses manual menjadi proses mesin dengan
menambah pengendalian terhadap produk cacat secara otomatis. Selain
melibatkan beberapa jenis sistem otomatisasi dalam proses mesin, juga
melibatkan pengendalian mutu yang dapat menghentikan proses bila terjadi
cacat atau kesalahan pada proses produksi.
Pengertian jidoka jika dilihat dari sudut pandang sistem produksi Toyota
adalah suatu alat atau sistem yang digunakan untuk mengetahui atau
mendeteksi ketidaknormalan proses dan bisa dikatakan sebagai alat yang
berwenang untuk menghentikan proses produksi jika sesuatu yang abnormal.
Pada mulanya, jidoka dimulai dari sebuah mesin tenun yang dapat otomatis
produksi cacat yang terkirim ke proses berikutnya. Landingpress juga
memaparkan tujuan dari jidoka, yaitu:
1. Menjamin hasil produksi dan mencapai kualitas terbaik
2. Penyederhanaan man power pada proses produksi
3. Mencegah terjadinya down time (kehilangan produktivitas) akibat adanya
kelainan pada proses produksi.
J. Budaya Organisasi
Kreitner dan Kinicki (1995: 532), mengemukakan bahwa budaya
orgainsasi adalah perekat sosial yang mengikat anggota dalam organisasi,
artinya agar suatu karakteristik atau kepribadian yang berbeda-beda antara
orang yang satu dengan orang yang lain dapat disatukan dalam suatu kekuatan
organisasi maka perlu adanya perekat sosial. Kartono (1994: 138),
mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang muncul pada
kelompok-kelompok kerja di perusahaan-perusahaan berasal dari macam-macam sumber,
antara lain: dari stratifikasi kelas sosial asal buruh atau pegawai, dari
sumber-sumber teknis dan jenis pekerjaan, iklim psikologis perusahaan sendiri yang
diciptakan oleh majikan, para direktur dan manajer-manajer yang
melatarbelakangi iklim kultur buruh-buruh dalam kelom pok kecil-kecil yang
informal.
Pendapat lain oleh Beach (1993: 12), kebudayaan merupakan inti dari
apa yang penting dalam organisasi. Seperti aktivitas memberi perintah dan
yang mengatur perilaku anggota. Jadi budaya mengandung apa yang boleh
dilakukan atau tidak boleh dilakukan sehingga dapat dikatakan sebagai suatu
pedoman yang dipakai untuk menjalankan aktivitas organisasi. Pada dasarnya
Budaya organisasi dalam perusahaan merupakan alat untuk mempersatukan
setiap invidu yang melakukan aktivitas secara bersama-sama.
K. Penelitian Terdahulu
Penelitian oleh Riyanto (2004), peneliti meneliti kemungkinan
penerapan just-in-time pada Koperasi Tenun Mumbul Kulon Progo. Syarat
just-in-time yang dijadikan acuan oleh peneliti adalah mengenai layout pabrik,
karyawan, aliran produksi, kanban pull system, pengendalian produk cacat,
ukuran lot produksi, pemeliharaan mesin, pengendalian kualitas, hubungan
dengan pemasok, dan persediaan. Di antara sepuluh syarat yang digunakan
sebagai acuan kemungkinan penerapan just-in-time, hanya satu yang
memenuhi syarat, yaitu hubungan dengan pemasok.
Penelitian oleh Perdana (2006) pada PT Garudafood menghasilkan
bahwa PT Garudafood telah menerapkan metode just-in-time dengan maksud
mengurangi persediaan bahan baku yang rusak karena terlalu lama disimpan
dan diharapkan mampu bersaing secara kompetitif dengan perusahaan lain
yang serupa. Hasil penelitian menunjukan rata-rata biaya persediaan bahan
baku setelah penerapan metode just-in-time sebesar Rp13.532.031,79 dengan
rata-rata biaya persediaan bahan baku sebelum penerapannya sebesar
diterapkan diperusahaan, karena berpengaruh secara signifikan terhadap
efisiensi biaya persediaan bahan baku, meskipun ada keterbatasan dalam
memperoleh bahan baku.
Penelitian oleh Hou et al. (2011), terdapat lima titik kunci yang menjadi
sasaran penelitian, yaitu sistem informasi, perencanaan produksi, manajemen
persediaan, manajemen kualitas, dan manajemen pemasok. Hasil penelitian
tersebut memperlihatkan dalam manajemen persediaan tidak semua bahan
baku nol, ada beberapa bahan baku yang masih dalam persediaan. Sedangkan
hasil lainnya menunjukkan pada manajemen pemasok, sebanyak 40%
pemasok berada dekat dengan pabrik, sedangkan 60% berlokasi agak jauh dari
pabrik. Perusahaan menyeleksi 60% pemasok yang berpotensi menyediakan
bahan baku dengan standar yang baik (kualitas baik dan harga maupun biaya
angkut yang terjangkau).
Penelitian oleh Sari, et al. (2014) pada PT Malang Indah Genteng
Rajawali menghasilkan jumlah biaya yang dapat dihemat jika perusahaan
menerapkan metode just-in-time, yaitu biaya bahan baku langsung, biaya
tenaga kerja langsung, biaya pemakaian mesin langsung, dan biaya produksi.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti berharap perusahaan yang bersangkutan
dapat merapkan sistem produksi just-in-time untuk menghemat keempat biaya
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi kasus, peneliti turun langsung ke lokasi
perusahaan untuk mengamati kondisi perusahaan dan mengumpulkan data
mengenai kondisi dan situasi perusahaan untuk mendukung analisis mengenai
kemungkinan penerapan just-in-time, sesuai dengan kondisi dan situasi
perusahaan yang bersangkutan.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tempat dan waktu sebagai berikut:
Tempat : PT INDOHAMAFISH
Dusun Ketapang, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana, Bali
Waktu : 23 Januari - 3 Februari 2017
C. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah pada bagian produksi. Sedangkan objek