• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

2. Pembagian Majas dalam Bahasa Indonesia

Dari Gambar 2 diperoleh keterangan bahwa pembagian setiap majas dapat dijelaskan susunannya: (1) majas perbandingan meliputi (a) perumpamaan, (b) metafora, dan (c) personifikasi; (2) majas pertentangan meliputi (a) hiperbola, (b) litotes, dan (c) ironi; (3) majas pertautan meliputi (a) metonimia, (b) sinekdoke, (c) kilatan, dan (c) eufimisme.

Dari uraian di atas dapat dilihat kedudukan metafora bukan sebagai payung untuk semua sugkategori majas, melainkan sebagai subbagian majas perbandingan yang sejajar dengan simile dan personifikasi. Oleh karenanya, apabila dikaitkan dengan penelitian yang akan dilakukan ini, yaitu metafora BMDP, maka gagasan Moeliono tidak dapat diterapkan. Unsur yang bersesuaian dengan penelitian ini terdapat pada aneka struktur perbandingan.

2.3.1.4 Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra (Wahab, 1995)

Istilah yang digunakan untuk menandai tuturan metaforis dalam karyanya adalah ungkapan bahasa (ekspresi linguistik). Pengertian metáfora didasarkan atas penelitian bahasa Jawa dengan mengetengahkan definisi sebagai berikut:

MAJAS

1. majas perbandingan 2. majas pertentangan 3. majas pertautan

a. perumpamaan b.metafora c.personifikasi a.hiperbol b.litotes c. ironi a.metonimia b.sinekdoke c.kilatan d.eufisme

“….metaphor is defined as a linguistic expresión which signifies a concept which in its literal meaning it does not signify and which, normally, is signified by some other words or expressions”…. (Wahab, 1986:11, dalam Antara, 2007).

Definisi di atas menggambarkan pengertian bahwa ‘metafora adalah ungkapan bahasa yang menandai sebuah konsep, yang di dalam makna harafiahnya belum menandakan kejelasan secara umum, dan untuk kejelasannya digunakan kata-kata atau dengan ungkapan bahasa yang lain’. Dengan kalimat lain, sebuah konsep yang biasanya diungkap secara lugas dapat dikemukakan dengan menggunakan bahasa metaforis atau penyampaian maksud dilakukan dengan cara tidak langsung atau nonlinier. Selain sebagai alat dalam konteks retorika, metáfora juga terkait dengan konteks budaya dan diistilahkan dengan bahasa bermakna nonlinier Wahab, 1995:54—46 (dalam Antara, 2007).

Dalam menganalisis bahasa Jawa konsep yang digunakan Wahab adalah konsep struktur kebahasaan yang digagas oleh Miller (1979:323—330). Dalam penjelasannya, metáfora dibedakan menjadi: (1) struktur metáfora, (2) susunan kategori ruang persepsi untuk menyusun metáfora berdasarkan konsep Haley, dan (3) metáfora sebagai ungkapan bahasa yang nonlinier. Struktur metáfora sendiri dibedakan menjadi empat bagian; (a) metafora nominatif subjektif (MNS), (b) metáfora nominatif objektif (MNO), (3) metáfora predikatif (MP), dan metáfora kalimat (MK) (Wahab, 1986; 1995: 2998).

2.3.2 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu (Tesis)

2.3.2.1 Metafora dalam Surat Keputusan (Rahmah, 2002)

Dalam judul tesis di atas, Rahmah (2002) menelaah metafora dalam Surat Keputusan (SK) yang terdiri atas SK Pemerintah dan Non-pemerintah. Landasan teori yang digunakan dalam analisisnya adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleeh Halliday. Fokus utamanya adalah pada tataran gramatika khususnya metafora gramatikal yang terdapat pada kedua jenis SK tersebut di atas. Yang dimaksudkan dengan metafora gramatika di sini adalah berupa fenomena bahasa yang menghadirkan realisasi tidak lazim dalam mengungkapkan pengalaman nyata. Atau dengan kalimat lain, makna bahasa yang direalisasikan dengan pilihan leksikogramatika tidak lazim.

Metafora dalam kajian ini dibedakan atas beberapa jenis. Di antaranya adalah (1) metafora ideasional, termasuk di dalamnya metafora logis dan eksperiensial (metafora pemaparan pengalaman), (2) metafora antar persona (metafora pertukaran pengalaman), dan (3) metafora tekstual (metafora pengorganisasian pengalaman).

Dengan menggunakan teknik sampling non-random (teknik sampling kebetulan – accidental sampling) diperoleh 15 buah SK dari lembaga pemerintah dan 15 buah SK dari lembaga non-pemerintah. Analisis metafora gramatikal dari ketigapuluh SK yang diteliti, diperoleh hasil sebagai berikut.

(6) Tipe metafora gramatika yang terdapat dalam SK pemerintah dan non- pemerintah meliputi metafora pemaparan yang terdiri atas relokasi peringkat dan proses, kemudian metafora pertukaran pengalaman terdiri

atas metafora vokatif, metafora modus, dan metafora modalitas serta metafora pengorganisasian pengalaman terdiri atas metafora rujukan, metafora konjungsi dan tematisasi.

(7) Tipe metafora gramatikal yang dominan digunakan pada SK pemerintah dan non-pemerintah adalah metafora pengorganisasian pengalaman tekstual.

(8) Dari bandingan kedua jenis SK itu, ditemukan bahwa SK pemerintas mengimplikasikan birokrasi yang secara tidak langsung merefleksikan kekuasaan dan jarak. Sementara SK non-pemerintah memberi implikasi keterbukaan, bebas, dan tidak kaku dengan peraturan dan memperhatikan persamaan hak dan solidaritas.

(9) Dari temuan 1,2,3 di atas disimpulkan bahwa pembuatan SK pemerintah dipengaruhi oleh sistem kolonial yang membedakan adanya jarak antara atasan – bawahan.

Kontribusi yang diperoleh dari tesis ini berkaitan dengan analisis metafora yang akan dilakukan dalam tesis ini adalah berupa gambaran bahwa metafora dapat dikaji dan dianalisis dengan berbagai teori. Hal ini menunjukkan bahwa teori yang digunakan oleh Rahmah tidak berkaitan sama sekali dengan penelitian yang akan dilakukan ini.

2.3.2.2 Metafora dalam Teks Keuangan dan Perbankan: Suatu Kajian Teks Surat Kabar Medan Bisnis (Ermyna Seri, 2005)

Dalam tesisnya, Seri (2005) menggunakan teori relevansi dan teori interpretasi. Teori relevansi pertama sekali digagas oleh Sperber dan Wilson

(1986) dan dikembangkan oleh Goalty (1997). Tujuan utama teori ini adalah untuk menganalisis hubungan antar makna yang digunakan penutur berdasarkan interpretasi konsep tentang realitas menurut keinginan, pengalaman, dan pikiran penutur.

Pemahaman metafora dalam interpretasi teks, menurut teori ini, bergantung pada proses mental dan sumber pengetahuan. Dalam menginterpretasi teks ada tiga sumber pengetahuan yang harus dimiliki penutur, yaitu (1) pengetahuan tentang sistem bahasa, (2) pengetahuan tentang konteks: situasi dan ko-teks yang diperoleh dari teks yang menyertai proposisi berdasarkan situasional, dan (3) latar belakang skematik pengetahuan: bersifat faktual yang ada di sekeliling kita, dan berdasarkan atas bahasa yang dipakai masyarakat dengan mempertimbangkan faktor sosial budaya.

Dari penelitian itu dihasilkan interpretasi metafora terbagi atas tiga kategori yaitu (1) berdasarkan substitusi, (2) interaksi, dan (3) perbandingan. Kategori berdasarkan substitusi diperoleh dari hasil analisis wahana yang dapat disubstitusikan berdasarkan makna yang terdapat di dalam kamus. Kategori berdasarkan interaksi diperoleh dari hasil analisis wahana dan topik. Wahana dikiaskan seperti topik sehingga ada hubungan atau relevansi antara fitur-fitur yang terdapat di dalam wahana dan topik. Kategori perbandingan diperoleh dari hasil antara wahana dan topik dengan mempertimbangkan fitur-fitur yang terdapat di dalam wahana dan topik, sehingga diperoleh persamaan fitur. Kemudian, dengan menggunakan metode dekriptif dengan sumber data yang berasal dari teks Keuangan dan Perbankan yang terbit di antara 1 November 2004 sampai dengan

28 Pebruari 2005 diperoleh hasil penelitian sebagai berikut. Dari ketiga kategori interpretasi metafora menunjukkan bahwa frekuensi pemakaian metafora berdasarkan kategori substitusi merupakan pemakaian metafora yang paling dominan yakni sebesar 44%. Sementara kategori interaksi dan kategori perbandingan masing-masing 41% dan 15%.

Kontribusi yang dapat dijadikan bahan acuan terkait dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah sama dengan penelitian pertama di atas, yaitu adanya perbedaan teori dan pendekatan yang digunakan. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa perbedaan teori dan pendekatan perlu untuk diutarakan mengingat perlunya adanya ketegasan dalam menentukan penelitian. Di samping itu juga untuk menghindari kesimpangsiuran pendapat.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.6.1 Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul dalam tesis ini bahwa lokasi yang dipilih adalah Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan khususnya Lingkungan 20. Dipilihnya lokasi penelitian ini dikarenakan tiga hal. Pertama, lokasi penelitian dikenal dengan lokasi yang padat huni oleh masyarakat penutur BMDP (total populasi 51034 jiwa (masyarakat penutur BMDP = 11377 jiwa (22,28%) – sensus 2009). Karena populasi penutur BMDP yang padat di wilayah ini kemudian lokasi penelitian tersebut dikenal dengan kampung Padang. Kedua, masyarakat penutur BMDP dikenal taat dalam menggunakan bahasa ibunya meskipun sudah lama merantau. Ketiga, peneliti berdomisili di wilayah ini sehingga mengetahui fenomena penggunaan metafora di kalangan penutur bahasa tersebut. (lihat Peta Lokasi pada Lampiran 1).

3.6.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan selama dua bulan, dimulai dengan pengamatan sepintas berkaitan dengan penyusunan proposal tesis ini (Desember 2009). Kemudian setelah disetujui proposal ini melalui ujian seminar proposal maka penelitian yang sebenarnya dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Februari dan Maret 2010.

3.7 Pendekatan dan Metode Penelitian 3.7.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian tentang metafora bahasa Minang Dialek Pariaman oleh penutur Minang yang berdomisili di wilayah penelitian (di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan) didasarkan pada teori linguistik. Kridalaksana (1993:130) mengatakan bahwa bidang penelitian bahasa dilakukan untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa manusia pada umumnya. Teori linguistik digunakan untuk menganalisis perihal bentuk, fungsi, dan makna metafora BMDP oleh penutur Minang yang berdomisili di wilayah penelitian (di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan) disesuaikan dengan penerapannya. Penerapan yang dimaksudkan di sini adalah penerapan linguistik struktural, pengertian morfologi secara umum, fungsi sintaksis, komponen konstituen, fungsi bahasa, dan semantik struktural, kelas kata, yang secara keseluruhan dihubungkan dengan kegiatan dalam menganalisis metafora BMDP dimaksud.

Van Dijk (dalam Ching, ed. 1980:120—121) memberikan arahan mengenai kondisi kerja penelitian metafora. Pelaksanaan penelitian metafora dapat dirinci sebagai berikut:

1) Semua tuturan berupa kalimat metafora yang diperoleh di lapangan dikumpulkan sebagai data untuk dianalisis.

2) Tidak semua temuan data kalimat yang digunakan penutur dapat diklasifikasikan sebagai bentuk metafora, tetapi dipilah daan diklasifikasikan sesuai dengan tujuan analisis.

3) Data kalimat metafora harus tetap memperhatikan situasi konteksnya. 4) Tuturan kalimat diinterpretasikan sebagai tuturan yang bermakna

metaforis.

5) Setiap data metafora diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya, bukan dengan konteks yang lain.

6) Penerjemahan bahasa sumber (BS) yang bermakna metaforis ke bahasa target (BT) mempunyai makna yang tetap sama.

Ciri-ciri kalimat metaforis tidak hanya bergantung pada pengertian makna yang tersirat di dalamkalimat (intension), tetapi bergantung pada unsur luar (ekstension), antara lain, maksud tutura

3.7.2 Metode Penelitian

Penelitian metafora BMDP ini dapat dikategorisasikan pada jenis penelitian kualitatif sehingga dari proses pelaksanaan penelitiannya diperoleh hasil yang sesuai dengan perencanaan penerapan metode kualitatif (Aminnuddin, ed., 1990:12—13). Data dalam penelitian jenis ini bersifat soft data yang kaya dengan deskripsi, memperhatikan tempat dan uraian percakapan yang terjadi, sehingga tidak mudah dilakukan dengan prosedur statistik.

Moleong (1989:3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif dapat juga berupa pengamatan langsung oleh manusia di lingkungan hidup mereka yang nyata. Sumarsono dan Paina (1999:9—10) menambahkan perolehan data yang dilakukan dan dikumpulkan melalui kontak atau juga dilakukan pengamatan secara terus menerus dengan orang-orang di dalam konteks berbahasa yang

bersifat alami dalam waktu yang lama. Penelitian kualitatif pada umumnya mengumpulkan data bahasa yang bersifat apa adanya. Semi (1993:24—27) menyebutnya bersifat ilmiah.

Berkaitan dengan laporan hasil penelitian, Moloeng (1989:14—16) menyatakan laporan hasil penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan untaian kata-kata secara rinci yang diistilahkan deskriptif naratif. Alwi (1990:16) menambahkan bahwa analisis data dilakukan dengan bentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antara variabel atau tidak berupa gambar. Hasil peneltian kualitatif dilengkapi dengan kutipan-kutipan dari kumpulan data untuk memberikan ilustrasi dan mengisi materi laporan.

Sudaryanto (1992:24—25) menjelaskan bahwa pelaksanaan penelitian meliputi dua hal, yakni metode dan teknik, yang masing-masing dilengkapi dengaan langkah kerja. Data metafora BMDP lisan harus diperoleh di lapangan melalui mendengarkan dan mencatat pembicaraan atau dialog seseorang dengan orang lain. Catatan data yang telang diperoleh dan dikumpulkan kemudian datanya dipilih kembali sesuai dengan analisis permasalahan. Data metafora BMDP dapat dikatakan sifatnya seperti potret atau paparan apa adanya. Hal itu berarti penekanan hasil penelitian untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna metafora BMDP merujuk bagaimana cara memandang atau melihat temuan data dan tidak mempertimbangkan benar atau kurang tepat sebagai ciri utamanya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini. (1) bagaimana menentukan jenis penelitian BMDP ini. (2) bagaimana menentukan jenis data dan sumber data. (3) metode dan teknik apa yang digunakan untuk

mengumpulkan data, (4) bagaimana menentukan metode dan teknik untuk menganalisis data, (5) bagaimana teknik menyajikan hasil laporan penelitian, dan (6) bagaimana mengemukkan simpulan akhir.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara merekam atau mencatat kembali apa apa yang diucapkan penutur. Maksudnya adalah, ujaran tutur derekam dengan menggunakan daya dengar dari yang diucapkan sumber data sehingga tuturan tersebut dilanjutkan dengan mencatat sebagai data penelitian.

Pelaksanaan metode observasi meliputi metode obsevasi langsung (participant obeservation), yang dilaksanakan dengan teknik rekam dan tulis. Dalam pengamatan terbuka yang akan dilakukan adalah (mengingat penulis sendiri adalah penutur BMDP yang tingal di lingkungan terseut) berbaur dengan responden sasaran untuk menggali lebih dalam. Dalam kondisi itu, data akan diperoleh secara langsung dan dapat dikategorikan mudah dilakukan. Pada saat wawancara dengan responden yang akan dilakukan adalah dengan cara open- ended interviewing atau indepth interview artinya peneliti akan aktif mengadakan wawancara dan bahkab mengdakan triangulasi dengan sumber data. Penggunaan metode ini dilakukan dengan wawancara bebas dan tidak mengikat dengan tujuan untuk menambah kesahihan data.

Metode introspeksi—refleksi juga dilakukan dengan tujuan untuk menunjang perolehan pengujian perolehan data agar sahih dan benar. Dengan metode ini diharapkan peneliti akan mampu mengadakan pengevaluasian kembali tentang data-data yang telah diperoleh, proses penganalisisan, dan hasil-hasil data metafora yang telah dicapai. Teori pancingan ditujukan pada beberapa sumber

data tanpa mengikat. Tujuannya adalah agar data yang diperoleh menjadi lebih lengkap dan mengena sasaran, yang dalam pelaksanaannya tetap memperhitungkan keaslian perolehan data di lapangan.

3.8 Data dan Sumber Data 3.8.1 Data Penelitian

Jenis data penelitian metafora ini adalah data primer, yaitu data metafora BMDP yang dalam bentuk lisan yang diperoleh dari wawancara percakapan lisan penutur secara langsung dan alami, jadi bukan berupa data sekunder seperti yang terdapat dalam bentuk teks tulis. Data primer ini yang kemudian dipilah-pilah sebagai bahan analisis penelitian disesuaikan dengan analisis bentuk, fungsi, dan makna. Dalam kegiatan memproses analisis data kemungkinan sebuah data tertentu digunakan kembali pada bentuk, fungsi, atau makna metafora.

Data dalam penelitian ini diperoleh dari penggunaan bahasa sehari-hari oleh penutur masyarakat Minang yang berdomisili di lokasi yang disebutkan sebelumnya yang melibatkan banyak orang atau minimal dua orang. Jumlah data yang ingin diperoleh tidak ditentukan kriterianya, tetapi lebih dari pada didasarkan atas pengumpulan data secara acak yang disesuaikan dengan keperluan peneliti. Pengumpulan data dianggap selesai ketika data metafora yang diinginkan telah memenuhi sarat untuk dianalisis. Dari hasil seleksi seluruh percakapan yang didapatkan di lapangan, diperoleh data metafora sebanyak 34 buah metafora yang kemudian metafora tersebut dikelompokkan berdasarkan bentuknya.

3.8.2 Sumber Data

Populasi penelitian ini adalah masyarakat Minangkabau yang berdomisili di wilayah penelitian yang disasar yaitu di Lingkungan 20 Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Ditentukannya Lingkungan 20 berdasarkan atas kepadatan populasi masyarakat penutur BMDP dibanding lingkungan lain di kecamatan itu. Informan ditentukan secara acak selama masih berdomisili di lingkungan yang dimaksud. Dengan cara mendatangi secara langsung lokasi penelitian dan bersifat aksidental, rajin menyimak, mendengar, dan mencatat serta mengamati situasi peristiwa tutur.

3.9 Analisis Data

Sudaryanto (1992:24—25) menyatakan bahwa cara kerja metode penelitian meliputi dua hal, yaitu prosedur dan teknik, yang dilengkapi dengan tahapan. Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisis data, yang dianggap bersifat seperti potret atau paparan apa adanya. Hal itu berarti penekanan analisis bentuk, fungsi daan makna data metafora BMDP bertumpu pada cara memandang temuan data metafora BMDP sebagai ciri utamanya dan tidak mempertimbangkan benar atasu salah struktur bahasanya.

Langkah kedua adalah bahwa data yang telah diperoleh selanjutnya dicatat dalam bentuk kartu. Teknik pencatatan data dilakukan dengan sistem penulisan data yang pola kerjanya seperti sistem pengkartuan berupa (1) sistem catatan pinggir dan (2) sistem catatan refleksi (Miles & Huberman, 1992:108).

Penganalisisan data metafora yang telah dicatat di lokasi penelitian kemudian dilakukan dengan beberapa langkah kerja. Langkah kerja menganalisis

dilakukan dengan teknik (1) memilih dan menentukan data penelitian yang sesuai dari sejumlah data yang sudah dikumpulkan untuk dijadikan objek penelitian, (2) menentukan jumlah data metafora BMDP untuk dianalisis, (3) mentranskripsikan data, (4) menerjemahkan BS ke BT secara harafiah, (5) menemukan identifikasi fitur simbol lingual metafora BMDP yang dijadikan pembanding (Pb) metafora, (6) menentukan data metafora untuk bahan analisisnya, data manakah untuk analisis bentuk, fungsi, dan makna, (7) menganalisis data sesuai dengan tujuan, serta (8) menyimpulkan hasil temuan. Bilamana jumlah data sumber terbatas dimungkinkan sebuah data digunakan sebagai objek pada dua analisis, baik pada bentuk, fungsi, dan makna maupun untuk analisis makna.

3.10 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data

Data mentah berupa hasil perekaman percakapan bebas oleh penutur BMDP, pencatatan, dan wawancara langsung akan diperiksa untuk menentukan kebenaran data. Data tersebut diklasifikasi sesuai dengan jenisnya agar memudahkan penulis dalam menganalisisnya. Keabsahan data juga akan dicek ulang agar keabsahannya tidak diragukan lagi. Dengan cara pemeriksaan dan pengecekan keabsahan data dengan seksama dan ilmiah maka hasil penelitian yang dilakukan ini akan memperoleh hasil penelitian yang memenuhi klasifikasi standard ilmiah.

Dari uraian kerangka teori dan metodologi penelitian di atas, dapat dibuat ancangan kerangka kerja analisis penelitian dan pelaksanaannya yang digambarkan sebagai berikut:

1. Teori Terjemahan 2. Teori morfologi (morfem) (kategori) 3. Teori sintaksis (komponen konstituen) 4. Teori komparasi 5. Teori fungsi Bahasa 6. Teori makna asosiasi

Dokumen terkait