• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman Di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman Di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI

KOTA MEDAN

TESIS

Oleh NURISMILIDA 087009027/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI

KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh NURISMILIDA 087009027/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI

KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Nurismilida

Nomor Pokok : 087009027 Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S) (Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed TESP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B., M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 03 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP

(5)

ABSTRAK

Judul tesis ini adalah METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN. Ada tiga aspek bahasan yang diungkap dalam tesis ini, yaitu (1) struktur metafora, (2) fungsi metafora, dan (3) makna metafora bedasarkan strukturnya. Berkaitan dengan struktur metafora, analisis yang dilakukan menggunakan diagram pohon (Alwi, 2003 dan Verhaar, 1991). Analisis ini dilakukan demikian dengan maksud untuk memperoleh unsur-unsur yang membentuk metafora tersebut secara rinci. Unsur-unsur terbanding (identified) A:B yang membentuk struktur metafora terdiri atas (A) sebagai unsur teridentifikasi terdiri atas (1) isi metafora dapat dikelompokkan berdasarkan pola dan posisinya disetiap tindak tutur. Berkaitan dengan bentuk metafora, diperoleh lima bentuk yakni (1) metafora yang diawali dengan kata ‘bak’ (seperti), (2) metafora yang dibentuk dengan frasa, (3) kata majemuk (4) metafora yang dibentuk dengan kalimat (klausa). Fungsi metafora dikelompokkan ke dalam (1) ekspresif, (2) direktif, (3) fatik, dan (4) estetik. Pengelompokkan ini didasari oleh teori Leech (1997).Dan hasil analisis menunjukkan fungsi informasi yang paling berperan (47,05%). Bertalian dengan makna metafora, analisisnya juga menggunakan Leech (1997). Makna metafora dikategorikan menjadi (1) konotatif, (2) stilistik, (3) afektif, (4) reflektif, dan (5) kolokatif. Dan seluruh jenis makna dapat dijumpai dari hasil analisis ini.

(6)

ABSTRACT

The title of this thesis is METAPHOR OF MINANGKABAUNES

PARIAMAN DIALECT IN BANJAI VILLAGE MEDAN DENAI DISTRICT MEDAN REGENCY. It deals with three aspects, i.e. (1) the structure of the

metaphor, (2) the function of metaphor, and (3) the meaning of the metaphor based on the its structure. Related to the structure of metaphor, the analysis is done by using tree diagram (Alwi, 2003 and Verhaar, 1981). It is done in order to identify the detail contents of each metaphor. Identified elements A:B which construct the structure of the metaphor consists of subject (A) as the identified subject. The forming structure of identified elements is classified into (1) the use of the word bak- ‘be like’, (2)phrase form non-noun or event categories, (3) complex (4) sentence form, (clause form) The contents of metaphor can be classified based on their patterns and the its positions in each act. The function of metaphor can be classified into (1) informative (2) expressive, (3)directive (4)phatic, and (5) aesthetic. The functions are dominated by informative functions, i.e. 47,05% These classifications are based on Leech (1997). Related to the meaning of metaphor, the analysis also used Leech (1997). The meaning of metaphor are categorized into (1) connotative, (2) stylistic, (3) affective, (4) reflective, and (5) colocative.All these types of meanings are exists in the results of the analysis.

(7)

KATA PENGANTAR

Tesis ini berjudul “ Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan

Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti sebagai

bahan rujukan penelitian teks selanjutnya khususnya yang berhubungan dengan

metafora bahasa Minangkabau Dialek Pariaman. Penelitian ini diharapkan

bermanfaat bagi pakar dan pendidik bahasa dalam hal memperkaya khasanah

kepustakaan linguistik bahasa Minangkabau sebagai salah satu bahasa daerah di

Indonesia. Serta dapat bermanfaat bagi pihak – pihak tertentu sebagai bahan

pertimbangan dalam rangka upaya pembinaan dan pelestarian bahasa

Minangkabau.

Penulis menyadari Tesis penelitian ini belum sempurna. Oleh sebab itu,

penulis mengharapkan kritik konstruktif dari pembaca demi penyempurnaannya.

Medan, 03 September 2010

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang

Maha Pengasih dan Penyayang, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Salawat dan salam kepada

junjungan umat Islam, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam

kepada jalan yang terang benderang.

Penelitian ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dari

berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S selaku Pembimbing I dan Dr. Drs. Eddy

Setia, M.Ed TESP yang telah banyak berperan khususnya dalam mengoreksi dan

mengarahkan penulis pada penulisan tesis yang baik dan benar. Di samping itu

juga mereka senantiasa berbaik hati dalam memberikan sumbangan ilmu

pengetahuan dan saran-saran yang membangun sehingga terciptanya komunikasi

ilmiah dan memperkaya informasi untuk penulisan tesis ini.

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D selaku Ketua Program S2 Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang dalam kesempatan ini

beliau juga sebagai penguji dalam setiap tahapan ujian, atas segala bantuan berupa

kitikan, koreksi, dan saran.

Rektor Universitas Sumatera Utara dan Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara yang telah menerima penulis dan memberi

(9)

terselenggaranya pendidikan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

pendidikan S2 di tempat ini.

Seluruh staf pengajar program S2 Linguistik yang telah memberikan ilmu

dan pengalaman akademik yang berkualitas. Sekretaris dan staf administratif

program yang telah banyak membantu segala persyaratan akademik sehingga

melancarkan jalannya proses akademik dengan sangat memuaskan.

Keluarga besar penulis, suami dan anak-anak tercinta yang telah banyak

berkorban material dan spiritual. Atas bantuan, perhatian, dan kasih sayang yang

mereka berikan diucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.

Semua teman sejawat penulis yang telah banyak membantu selama dalam

masa perkuliahan hingga sampai pada tahapan akhir proses penulisan tesis dan

tahapan ujian. Jasa kalian tidak akan pernah penulis lupakan.

Akhirnya, penulis sangat mengharapkan sumbangan pemikiran, kritikan,

dan saran untuk kesempurnaan tesis ini. Sekali lagi atas bantuan semua pihak,

penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Semoga

Allah SWT membalas kebaikan, bantuan, dan kritikan yang telah diberikan.

Medan, 03 September 2010

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : NURISMILIDA

Tempat/ Tgl. Lahir : P. Brandan / 20 Agustus 1958

Jenis Kelamin : Wanita

Alamat Tempat Tinggal : Jl. Sempurna No. 40 Medan

Status : Kawin

Nomor Ponsel : 081264909358

Alamat Email

PENDIDIKAN FORMAL

SD : SD Negeri 6 Pangkalan Brandan

SLTP : SLTP Negeri 1 Pangkalan Brandan

SMU : SMU Negeri 1 Pangkalan Brandan

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……….. i

ABSTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

UCAPAN TERIMA KASIH ………. iv

RIWAYAT HIDUP ……… vi

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR TABEL ……….. xiv

DAFTAR BAGAN ………. xv

DAFTAR LAMPIRAN ………... xvi

DAFTAR LAMBANG, SIMBOL, DAN SINGKATAN ……… xvii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………...……….. 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 7

1.3 Tujuan Penelitian .………... 8

1.4 Manfaat Penelitian ……….……….. 9

1.4.1 Manfaat Teoritis .………... 9

1.4.2 Manfaat Praktis ……….. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK ... 11

2.1 Teori-teori yang Relevan ... 11

(12)

2.2.1 Fungsi Metafora ... 19

2.2.2 Makna Metafora ... 20

2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan ... 23

2.3.1 Kajian Metafora (Dalam Bentuk Buku) ... 23

2.3.1.1 Sinonim (Badudu, 1983) ………. 23

2.3.1.2 Pengantar Linguistik (Verhaar, 1983)...………. 24

2.3.1.3 Kembara Bahasa (Moeliono, 1989)... 25

2.3.1.4 Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra (Wahab, 1995)... 26

2.3.2 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu (Tesis) ... 28

2.3.2.1 Metafora dalam Surat Keputusan (Rahmah, 2002) ... 28

2.3.2.2 Metafora dalam Teks Keuangan dan Perbankan: Suatu Kajian Teks Surat Kabar Medan Bisnis (Ermyna Seri, 2005)... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

3.1.1 Lokasi Penelitian ……….... 32

3.1.2 Waktu Penelitian ………... 32

3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 33

3.2.1 Pendekatan Penelitian ………... 33

3.2.2 Metode Penelitian ………... 34

3.3 Data dan Sumber Data ………. 37

3.3.1 Data Penelitian ……….... 37

3.3.2 Sumber Data ... 38

(13)

3.5 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data ... 39

BAB IV. TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 Temuan Penelitian ... 41

4.1.1 Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah ... 42

4.1.2 Bentuk Metafora ... 46

4.1.2.1 Bentuk Metafora BMDP 1 ... 46

4.1.2.2 Bentuk Metafora BMDP 2 ... 46

4.1.2.3 Bentuk Metafora BMDP 3 ... ... 47

4.1.2.4 Bentuk Metafora BMDP 4 ... 48

4.1.2.5 Bentuk Metafora BMDP 5 ... 48

4.1.2.6 Bentuk Metafora BMDP 6 ... 49

4.1.2.7 Bentuk Metafora BMDP 7 ... 49

4.1.2.8 Bentuk Metafora BMDP 8 ... 50

4.1.2.9 Bentuk Metafora BMDP 9 ... 50

4.1.2.10 Bentuk Metafora BMDP 10 ... 51

4.1.2.11 Bentuk Metafora BMDP 11 ... 51

4.1.2.12 Bentuk Metafora BMDP 12 ... 52

4.1.2.13 Bentuk Metafora BMDP 13 ... 52

4.1.2.14 Bentuk Metafora BMDP 14 ... 53

4.1.2.15 Bentuk Metafora BMDP 15 ... 53

4.1.2.16 Bentuk Metafora BMDP 16 ... 54

4.1.2.17 Bentuk Metafora BMDP 17 ... 54

(14)

4.1.2.19 Bentuk Metafora BMDP 19 ... 55

4.1.2.20 Bentuk Metafora BMDP 20 ... 56

4.1.2.21 Bentuk Metafora BMDP 21 ... 56

4.1.2.22 Bentuk Metafora BMDP 22 ... 57

4.1.2.23 Bentuk Metafora BMDP 23 ... 57

4.1.2.24 Bentuk Metafora BMDP 24 ... 58

4.1.2.25 Bentuk Metafora BMDP 25 ... 58

4.1.2.26 Bentuk Metafora BMDP 26 ... 59

4.1.2.27 Bentuk Metafora BMDP 27 ... 59

4.1.2.28 Bentuk Metafora BMDP 28 ... 60

4.1.2.29 Bentuk Metafora BMDP 29 ... 60

4.1.2.30 Bentuk Metafora BMDP 30 ... 61

4.1.2.31 Bentuk Metafora BMDP 31 ... 61

4.1.2.32 Bentuk Metafora BMDP 32 ... 62

4.1.2.33 Bentuk Metafora BMDP 33 ... 62

4.1.2.34 Bentuk Metafora BMDP 34 ... 63

4.2 Pembahasan ... 63

4.2.1 Struktur yang Membangun Metafora BMDP dan Pola Strukturnya ... 64

4.2.1.1 Struktur yang Membangun Metafora BMDP ... 64

4.2.1.1.1 Struktur Metafora BMDP 1 ... 67

4.2.1.1.2 Struktur Metafora BMDP 2 ... 69

(15)

4.2.1.1.4 Struktur Metafora BMDP 4 ... 73

4.2.1.1.5 Struktur Metafora BMDP 5 ... 74

4.2.1.1.6 Struktur Metafora BMDP 6 ... 76

4.2.1.1.7 Struktur Metafora BMDP 7 ... 77

4.2.1.1.8 Struktur Metafora BMDP 8 ... 79

4.2.1.1.9 Struktur Metafora BMDP 9 ... 81

4.2.1.1.10 Struktur Metafora BMDP 10 ... 82

4.2.1.1.11 Struktur Metafora BMDP 11 ... 84

4.2.1.1.12 Struktur Metafora BMDP 12 ... 85

4.2.1.1.13 Struktur Metafora BMDP 13 ... 87

4.2.1.1.14 Struktur Metafora BMDP 14 ... 89

4.2.1.1.15 Struktur Metafora BMDP 15 ... 90

4.2.1.1.16 Struktur Metafora BMDP 16 ... 91

4.2.1.1.17 Struktur Metafora BMDP 17 ... 92

4.2.1.1.18 Struktur Metafora BMDP 18 ... 94

4.2.1.1.19 Struktur Metafora BMDP 19 ... 95

4.2.1.1.20 Struktur Metafora BMDP 20 ... 96

4.2.1.1.21 Struktur Metafora BMDP 21 ... 97

4.2.1.1.22 Struktur Metafora BMDP 22 ... 98

4.2.1.1.23 Struktur Metafora BMDP 23 ... 100

4.2.1.1.24 Struktur Metafora BMDP 24 ... 100

4.2.1.1.25 Struktur Metafora BMDP 25 ... 100

(16)

4.2.1.1.27 Struktur Metafora BMDP 27 ... 101

4.2.1.1.28 Struktur Metafora BMDP 28 ... 102

4.2.1.1.29 Struktur Metafora BMDP 29 ... 102

4.2.1.1.30 Struktur Metafora BMDP 30 ... 103

4.2.1.1.31 Struktur Metafora BMDP 31 ... 103

4.2.1.1.32 Struktur Metafora BMDP 32 ... 104

4.2.1.1.33 Struktur Metafora BMDP 33 ... 105

4.2.1.1.34 Struktur Metafora BMDP 34 ... 105

4.2.1.2 Pola Struktur Metafora BMDP ... 107

4.2.3 Fungsi Metafora BMDP ... 111

4.2.3.1 Fungs Informasi Metafora BMDP ... 111

4.2.3.2 Fungsi Ekspresif Metafora BMDP ... 114

4.2.3.3 Fungsi Direktif Metafora BMDP ... 115

4.2.3.4 Fungsi Fatik Metafora BMDP ... 116

4.2.4 Makna yang Tersirat dari Bentuk Metafora BMDP ... 121

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 128

5.1 Simpulan ... 128

5.2 Saran ... 130

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah ... 43

2 Macam-macam Fungsi Metafora BMDP ... 48

(18)

DAFTAR BAGAN

Nomor Judul Halaman

1. Metafora ... 19

2. Pembagian Majas dalam Bahasa Indonesia ... 26

3. Penerapan Metode Penelitian (Teori Ekletik) ... 40

4. Unsur Morfem dalam BMDP ... 66

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Percakapan – 1 ... 138

2. Data Percakapan – 2 ... 142

3. Data Metafora Lepas ... 148

4. Terjemahan Tuturan Metafora BMDP

secara Harafiah ... 150

5. Peta Lokasi Penelitian ... 153

(20)

DAFTAR LAMBANG, SIMBOL, DAN SINGKATAN

BMDP = Bahasa Minang Dialek Pariaman BM = Bahasa Minangkabau

(21)

ABSTRAK

Judul tesis ini adalah METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN. Ada tiga aspek bahasan yang diungkap dalam tesis ini, yaitu (1) struktur metafora, (2) fungsi metafora, dan (3) makna metafora bedasarkan strukturnya. Berkaitan dengan struktur metafora, analisis yang dilakukan menggunakan diagram pohon (Alwi, 2003 dan Verhaar, 1991). Analisis ini dilakukan demikian dengan maksud untuk memperoleh unsur-unsur yang membentuk metafora tersebut secara rinci. Unsur-unsur terbanding (identified) A:B yang membentuk struktur metafora terdiri atas (A) sebagai unsur teridentifikasi terdiri atas (1) isi metafora dapat dikelompokkan berdasarkan pola dan posisinya disetiap tindak tutur. Berkaitan dengan bentuk metafora, diperoleh lima bentuk yakni (1) metafora yang diawali dengan kata ‘bak’ (seperti), (2) metafora yang dibentuk dengan frasa, (3) kata majemuk (4) metafora yang dibentuk dengan kalimat (klausa). Fungsi metafora dikelompokkan ke dalam (1) ekspresif, (2) direktif, (3) fatik, dan (4) estetik. Pengelompokkan ini didasari oleh teori Leech (1997).Dan hasil analisis menunjukkan fungsi informasi yang paling berperan (47,05%). Bertalian dengan makna metafora, analisisnya juga menggunakan Leech (1997). Makna metafora dikategorikan menjadi (1) konotatif, (2) stilistik, (3) afektif, (4) reflektif, dan (5) kolokatif. Dan seluruh jenis makna dapat dijumpai dari hasil analisis ini.

(22)

ABSTRACT

The title of this thesis is METAPHOR OF MINANGKABAUNES

PARIAMAN DIALECT IN BANJAI VILLAGE MEDAN DENAI DISTRICT MEDAN REGENCY. It deals with three aspects, i.e. (1) the structure of the

metaphor, (2) the function of metaphor, and (3) the meaning of the metaphor based on the its structure. Related to the structure of metaphor, the analysis is done by using tree diagram (Alwi, 2003 and Verhaar, 1981). It is done in order to identify the detail contents of each metaphor. Identified elements A:B which construct the structure of the metaphor consists of subject (A) as the identified subject. The forming structure of identified elements is classified into (1) the use of the word bak- ‘be like’, (2)phrase form non-noun or event categories, (3) complex (4) sentence form, (clause form) The contents of metaphor can be classified based on their patterns and the its positions in each act. The function of metaphor can be classified into (1) informative (2) expressive, (3)directive (4)phatic, and (5) aesthetic. The functions are dominated by informative functions, i.e. 47,05% These classifications are based on Leech (1997). Related to the meaning of metaphor, the analysis also used Leech (1997). The meaning of metaphor are categorized into (1) connotative, (2) stylistic, (3) affective, (4) reflective, and (5) colocative.All these types of meanings are exists in the results of the analysis.

(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan manusia kerap

menjadi pilihan penutur suatu bahasa dalam berinteraksi sehari-hari. Ungkapan

digunakan sebagai pengayaan variasi komunikasi agar situasi tutur tidak monoton.

Ungkapan dapat diidentifikasi mirip dengan bahasa figuratif, metafora atau

analogi, berbeda dari bahasa biasa.

Spesifikasi makna ungkapan sangat ditentukan oleh faktor-faktor etnografi

komunikasi. Artinya, makna sebuah ungkapan sangat ditentukan oleh konteks

situasi dan konteks sosial budaya penuturnya. Oleh sebab itu, pemahamannya

memerlukan pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan. Ungkapan bahasa disebut

juga ekspresi linguistik (Wahab (1986:11) yang berfungsi untuk menandai tuturan

yang bermakna metafora. Salah satu bahasa daerah di Indonesia yang kaya dengan

bahasa metaforis adalah bahasa Minangkabau (BM).

Minangkabau berasal dari gabungan dua kata, yaitu minang yang berarti

’menang’ dan kabau yang berati ’kerbau’. Menurut legenda, nama ini diperoleh

dari peristiwa perselisihan antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera

dari negara berjiran mengenai isu tanah. Agar di keduabelah tidak terjadi

pertumpahan darah, maka persengketaan itu dilambangkan dengan pertandingan

adu kerbau. Putera tersebut menyetujuinya dan menghadirkan seekor kerbau

(24)

sapi yang lapar dengan tanduk yang sudah ditajamkan. Sebegitu pertarungan

dimulai, sapi yang lapar tersebut dengan tanduk yang sudah ditajamkan dengan

tidak sengaja menyeruduk perut kerbau yang besar, sehat dan ganas itu karena

ingin mencari puting susu untuk menghilangkan rasa laparnya. Akhirnya kerbau

tersebut mati dan rakyat setempat menang dan sekaligus memenangkan sengketa

tanah tersebut.

Masyarakat Minangkabau (biasanya disingkat menjadi masyarakat

Minang) dikenal sebagai masyarakat perantau. Oleh sebab itu tidak heran kalau di

hampir seluruh pelosok penjuru tanah air dapat dijumpai masyarakat suku ini.

Biasanya mereka menetap dan membaur dengan masyarakat setempat. Dalam

berkomunikasi dengan sesama sukunya, masyarakat Minangkabau dikenal dengan

masyarakat yang kukuh mempertahankan bahasanya. Dalam kondisi dan situasi

tutur apapun mereka cenderung menggunakan bahasanya. Hal demikian juga

terjadi juga bagi masyarakat Minangkabau yang menetap di kota Medan,

khususnya di kelurahan Banjai Medan Denai. Dipilihnya lokasi penelitian tersebut

didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat penutur bahasa Minangkabau di

wilayah ini menempati jumlah kedua terbanyak dari lima sukubangsa yang

mendiami wilayah ini (Batak = 49,18%, Melayu = 6,35%’, Jawa = 22,17%,

Keturunan = 0%, dan Minang = 22,28%, dari total jumlah penduduk 51054 jiwa)

(Sensus 2009). Masyarakat Minangkabau yang berdomisili di wilayah ini berasal

dari Padang Pariaman dan hidup secara turun-temurun di wilayah ini. Bahasa

Minangkabau (BM) merupakan rumpun bahasa Austronesia dan Melayu

(25)

dalam bidang struktur kalimat, leksikon, maupun morfemnya (Ayub dkk., 1993:2;

dan Jufrizal, 1996:3 dalam Antara, 2007). Sebagai bahasa daerah, fungsi BM

adalah sebagai bahasa pertama dan utama dalam komunikasi sehari-hari

masyarakat Minangkabau. Isman, dkk., (1978:45) menjelaskan bahwa dalam

pembicaraan yang bersifat intra etnis sesama masyarakat Minangkabau, BM

dipakai oleh 96,02% penduduk Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau juga

dikenal dengan kesetiaannya dengan bahasa ibunya.

BM berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan daerah. Sebagai

bahasa pertama di daerah asalnya, BM juga dipergunakan secara aktif oleh

masyarakat Minangkabau di perantauan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Mengingat begitu luasnya dan begitu penting fungsi BM ini diberbagai aspek

kehidupan masyarakat Minangkabau di daerah asal dan daerah-daerah lainnya itu,

maka sudah selayaknya itu menjadi salah satu alasan pemilihan permasalahan

bahasa untuk diteliti secara mendalam.

Fenomena bahasa BM yang akan diteliti adalah metafora. Lebih

lengkapnya adalah metafora bahasa BM dialek Pariaman (BMDP) yang dipakai

oleh masyarakat penutur dialek tersebut di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan

Denai Kota Medan. Dalam bertutur sehari-hari, masyarakat tutur BM kerap

menggunakan metafora. Misalnya untuk menyatakan (1) ’belajar dari pengalaman

sebelumnya’ metafora yang selalu digunakan adalah basiang ateh tumbuah,

batimbang ateh nen lalu (bersiang atas tumbuh, bertimbang atas yang lewat). (2) ’terjadi perselisihan’ metafora yang digunakan basilang kaie (bersilang kail). (3)

(26)

maminjam jari kuruih dengan sarat mengembalikan jari gapuak (meminjam jari kurus dengan sarat mengembalikan jari gemuk).

Penggunaan bahasa sebagai sarana berkomunikasi sehari-hari pada

masyarakat Minangkabau di wilayah penelitian tidak terlepas dari penggunaan

metafora. Dari pengamatan sepintas, diperoleh kekerapan penggunaan tuturan

yang bermakna metaforis dalam percakapan sehari-hari. Bentuk metafora

bahasaMinangkabau dialek Pariaman dengan berbagai bentuk strukturnya yaitu

merupakan penyampaian maksud dengan cara tidak langsung.

Bahasa (termasuk BMDP) adalah sarana untuk menyampaikan perasaan

dan pikiran penuturnya (Pateda, 2001:53). Penyampaian maksud dan tujuan

tuturan BMDP dapat dinyatakan dengan makna yang disampaikan secara kias

dan disampaikan secara tidak langsung. Penggunaan kias ini (dalam bahasa

Indonesia) dikenal dengan istilah majas.

Pemahaman makna metafora secara tepat perlu ditekankan unsur

semantiknya dengan lingkungan tempat peristiwa berbahasa itu terjadi. Penutur

dan pendengar biasanya telah memahami sebuah bentuk tuturan yang

menggunakan metafora karena mereka telah mengetahui penerapan dan

penggunaan makna simbol bahasa pada suatu rujukan BMDP. Sebagai contoh

makna frasa buayo gadang /buayo gadaη/ ’penipu’ sudah merupakan bentuk

metafora yang melekat dalam tuturan sehari-hari. Arti denotatif frasa buayo

gadang /buayo gadaη/ adalah ’buaya ukuran besar’. Tetapi frasa ini di kalangan

masyarakat Minangkabau yang mayoritas pedagang memiliki makna konotatif

(27)

Pemahaman makna metafora secara tepat perlu ditekankan unsur

semantiknya dengan lingkungan tempat peristiwa berbahasa itu terjadi. Pendengar

dapat memahami sebuah bentuk tuturan dalam bentuk metafora karena yang

bersangkutan telah mengetahui penerapan makna simbol bahasa pada sebuah

rujukan (referent) BMDP telah menyimpang dari makna leksikalnya.

Penyimpangan penerapan makna leksikal terhadap rujukan tersebut ditandai oleh

penerapan makna simbol bahasanya, baik dalam bentuk kata, frasa, maupun

kalimat. Artinya, kata, frasa, atau kalimat yang digunakan untuk membentuk

metafora dicirikan oleh penerapan makna yang menyimpang dari makna

leksikalnya.

Metafora, dalam pengertian sempit dapat dijelaskan sebagai bagian majas

atau khususnya diklasifikasikan sebagai kategori perbandingan yang sejajar

dengan simile dan personifikasi (Moeliono, 1989:32; Keraf, 1986:24; dan Murray

dalam Sack (ed.) 1979:36). Moeliono (1997:15) menyebutkan bahwa pengertian

sempit ini dapat dikategorikan pada pengertian umum dalam bahasa Indonesia

karena istilah metafora dinyatakan sebagai bagian dari majae, sebagai subkategori

perbandingan. Keraf (1986:23—26) memberikan contoh majas meliputi metafora,

personifikasi, simile (perumpamaan), pars pro toto, totem pro parte, sinekdoke,

sarkasme, litotes, dan eufimisme. Dalam hal ini Keraf menegaskan bahwa

metafora bukan dalam pengertian luas, tetapi metafora dalam pengertian sempit

atau sebagai salah sati bagian dari istilah subkategori majas.

Dalam pengertian luas, metafora menduduki posisi payung untuk semua

(28)

Sacks (ed.) 1979:181). Ortony (ed.), 1979:v—vi (dalam Antara, 2007)

menjelaskan bahwa masalah perbandingan yang terdapat dalam istilah metafor

sangatlah kompleks dan bersifat multidisiplin.

Penelitian yang dilakasanakan berfokus pada metafora yang digunakan

pada wacana lisan. Posisi metafora dalam penelitian ini didasarkan pada

pengertian secara luas atau yang memayungi semua tuturan BMDP secara lisan

yang bermakna kias. Dasar teori yang digunakan adalah linguistik sehingga acuan

analisisnya berkisar pada unsur morfologi, sintaksis, fungsi, dan semantiknya.

Berkaitan dengan masalah yang diteliti, digunakan beberapa teori linguistik yang

terkait dengan masalah yang diteliti sehingga penerapan teorinya disebut ekletik.

Teori ekletik dipakai sebagai kerangka kerja untuk menganalisis masalah bentuk

BMDP, sedangkan analisis fungsi dan makna ditentukan dengan menggunakan

teori dan fungsi bahasa dan teori makna asosiasi (Konsep Leech 1997).

Penentuan analisis bentuk, fungsi, dan makna BMDP dikaitkan dengan

situasi tuturannya, seperti di mana dan bagaimana peristiwa tutur itu berlangsung.

Dalam kegiatan menganalisis metafora akan melibatkan antara masyarakat

penutur dan budayanya. Penelitian metafora ini juga tidak terlepas dengan

kehidupan dan latar budaya masyarakat pendukung bahasa tersebut. Ekspresi

berbahasa bermakna metaforis terdapat juga dalam kegiatan berbahasa dalam

masyarakat di lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai

(29)

1.2 Perumusan Masalah

Ada tiga masalah pokok yang akan diungkap dalam penelitian tentang

metafora BMDP. Ketiga masalah itu antara lain:

1) Bagaimanakah bentuk struktur metafora BMDP pada masyarakat

Minangkabau di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota

Medan?

2) Apakah fungsi metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai

Kecamatan Medan Denai Kota Medan?

3) Makna apakah yang tersirat dari bentuk metafora BMDP pada

masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota

Medan?

Dilihat dari perumusan masalah di atas, penelitian ini terbatas hanya pada

bidang linguistik untuk dapat mengungkapkan bentuk (pola) struktur, fungsi, dan

arti semantis tuturan metafora dalam BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai

Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Pelaksanaan analisis linguistik BMDP

meliputi uraian sebagai berikut.

(1) Analisis bentuk setiap data metafora BMDP didasarkan atas

ketatabahasaan yang meliputi bidang morfologi dan sintaksis. Analisis

morfologi meliputi morfem, yang terdiri atas morfem bebas dan morfem

terikat. Analisis sintaksis meliputi fungsi sintaksis seperti subjek, objek,

dan predikat dengan mengacu pada tata bahasa tradisional seperti yang

dikemukakan oleh buku Alisjahbana (1965) dan Alwi, dkk. (2003). Uraian

(30)

konstituen simbol lingual yang digunakan sebagai pembanding dan

sebagai terbanding dalam analisisnya.

(2) Analisis fungsi setiap BMDP yang merupakan bentuk metafora dirujuk

dengan pembagian fungsi bahasa, seperti yang dikemukakan Leech

(1997:52 – 54).

(3) Analisis makna setiap data BMDP dilakukan dengan menerapkan teori

komparasi (Henle, 1958:174), yang menekankan analisis komponen

(Mooij, 1976:18—28). Maksud yang tersirat diinterpretasikan dengan

konsep Ogden dan Richards (1976:15) dan klasifikasi maksudnya dirujuk

dengan konsep makna asosiasi dari Leech (1997:12—30).

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab persoalan yang dituangkan

dalam perusan maslah, yaitu antara lain:

1) Mendeskripsikan bentuk struktur metafora BMDP pada masyarakat

Minangkabau di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota

Medan.

2) Mendeskripsikan fungsi metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan

Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

3) Mendeskrisikan makna apa saja yang tersirat dari bentuk metafora

BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai

(31)

1.4 Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang sekaligus akan diperoleh dalam penelitian ini yaitu

manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk:

(1) memberikan informasi mengenai temuan penelitian tentang metafora

khususnya metafora BMDP yang ada di wilayah penelitian dalam tesis

ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan teori atas

dasar data yang terekam dalam penelitian ini akan dapat dijadikan

bahan bandingan untuk kajian lebih lanjut atas fenomena kebahasan

yang serupa dalam setiap bahasa daerah di wilayah Indonesia,

(2) menambah jumlah dokumentasi penelitian BMDP yang sudah ada

yang berkaitan dengan bahasa yang bermakna kias.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini akan sangat berguna khususnya

(1) bagi pemahaman berbahasa masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan

Medan Denai Kota Medan khususnya dan masyarakat Minangkabau

pada umumnya, mengingat penutur di Kelurahan Banjai Kecamatan

Medan Denai Kota Medan ini selalu menggunakan bermacam bentuk

metafora.

(2) penelitian ini juga bermanfaat khususnya yang berkaitan dengan

(32)

penggunaan BMDP yang bermakna metaforis sehingga perlu ada

pensosialisasikan tentang penafsiran maksud yang diperoleh secara

(33)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

2.2 Teori-teori yang Relevan

Konsep kata ‘metafora’ atau ‘metaphor’ berasal dari meta dan sphere

(metasphere). Meta berarti ‘berhubungan dengan’ seperti dalam kata

metalanguages, metaphysics, metathesis, metabolism, metallurgy. Sphere berarti ruang, lingkungan, bola. Jadi metafora (metaphor) berarti ‘hal-hal yang

berhubungan dengan sekitar’.

Hester, 1976:16—17 (dalam Antara, 2007) menyebutkan metafora

merujuk pada dua komplemen yang sejajar yakni epiphor dan diaphor. Epiphor

berarti metafora yang mengimplikasikan makna (semantik) konteks

seluas-luasnya. Diaphor berarti ‘tipe yang ada dalam batin’. Keterangan ini dikutip oleh

Hester dari tulisan Wheelwright dalam bukunya “Metaphor and Reality”

(Bloomington, 1962:35—36) yang ditulis kembali oleh Hester dalam bukunya

“The Meaning of Poetic Metaphor (1967:17). Hester juga menyebutkan bahwa

metafor sangat baik karena memiliki kekuatan untuk menyatakan suatu hal,

khususnya untuk menciptakan karya sastra, seperti yang dinyatakan dalam kalimat

The best metaphors display a fision of diaphor and epiphor... gives the metaphor its power.

Foss, 1976:61 (dalam Antara, 2007) menambahkan bahwa penggunaan

metafor dalam bentuk tuturan kalimat lebih memiliki kekuatan dibandingkan

dalam bentuk sebuah kata. Mooij (1976:14) berpendapat bahwa dalam kalimat

(34)

Kekejaman Napoleon diibaratkan dengan kekejaman serigala. Fitur srigala yang

paling tepat untuk melukiskan kekejaman yang dimiliki Napoleon. Unsur-unsur

yang membangun metafora disusun dari beberapa identitas simbol, di antaranya

berupa kelas kata, seperti nomina, adjektifa, dan verba. Simbol lingual

metaforanya dapat berupa sesuatu (the things), seseorang (person), ide (ideas),

periode (periods), wilayah (areas), kualitas (quality), disposisi (dispositions),

hubungan (relations) dan lain-lain.

Konsep metafora menurut Aristoteles (dikutip Hester 1976:14) bahwa

metafora dinyatakan sebagai pemberian nama yang berasal dari bidang lain. Cara

pemindahan nama itu dapat dilaksanakan dari hal-hal yang umum ke khusus, dari

yang khusus ke umum, dari yang khusus ke khusus atau atas dasar analogi. Cara

tersebut dimungkinkan bilamana ada empat syarat demikian (A, B, C, dan D)

yang berkaitan. Cara tersebut dimungkinkan belamana ada empat syarat demikian

yang berkaitan, yaitu yang ke (B) berkaitan dengan yang pertama (A), dan yang

keempat (D) dengan yang ketiga (C). Yang dianggap sebagai makna metafora

dalam perbandingan ini adalah (D). Hal ini berarti A:B = C:D yakni unsur yang

kedua (B) berbanding dengan yang pertama (A) dan juga seperti unsur yang

ketiga (C) dengan yang keempat (D) sehingga pemahaman makna pada (D)

mengacu pada (A).

Konsep metafora menurut Searle (1979) yang menyebutkan bahwa

kedudukan metafora dalam keseluruhan bahasa kias atau figuratif dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu (1) metafora yang diposisikan dalam

(35)

dalam arti yang sempit. Posisi sebagai payung tersirat dalam pandangan yang

dikonsepkan Searle (dalam Ortony, ed. 1979:92—123). Di sini Searle menyatakan

istilah metafora sebagai sebuah ekspresi kebahasaan yang bermakna figuratif. Dia

juga mengemukakan bahwa dua tipe teori metafora, yaitu teori perbandingan

(comparison theories) dan teori interaksi semantik (semantic interaction teories).

Kedua teori ini menekankan bahwa konteks yang terdapat dalam ungkapan

metafora mengandung dua sisi makna, yaitu sisi yang satu bermakna metaforis

dan sisi yang lainnya bermakna harafiah. Hakikat metafora menurutnya adalah

membandingkan dua hal, yakni yang dibandingkan/terbanding (Tb) dengan yang

dipakai untuk membandingkan/pembanding (Pb). Hakikat pembicaraan metafora

merujuk pada semua tuturan yang bermakna kias.

Konsep metafora menurut Saussure (1988) dikaitkan dengan istilah sign

berarti tanda, simbul, atau lambang. Teori tanda banyak dikembangkan oleh

Pierce, dalam bidang linguistik oleh Saussure (1988:63—69).

Beragam pendapat dan penjelasan tentang metafora telah banyak dijumpai.

Salah satu di antaranya adalah pendapat dan penjelasan yang diungkapkan oleh

Beardsley (1981:134—135) yang menyebutkan bahwa ada tiga jenis teori yang

perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan metafora, yaitu: (a) teori emotif,

(b) teori supervenience, dan (c) teori literal.

Teori pertama, sebagai akibat intensitas emosi, memandang metafora dan

bentuk-bentuk kias pada umumnya merupakan dislokasi dan disfungsi bahasa.

Dilihat dari struktur bahasa formal metafora seolah-olah salah tempat, salah

(36)

Sebaliknya, dengan pertimbangan bahwa metafora dan penyusunan bahasa sastra

pada umumnya dimaksudkan untuk memperoleh makna karya secara maksimal,

maka penyimpangan seperti ini justru merupakan keunggulan penggunan bahasa.

‘Pisau bedah’ misalnya, yang semula mengacu pada pengertian benda konkret

kemudian menjadi ‘dasar teori’ yang digunakan untuk mengungkap suatu

fenomena secara ilmiah. Ketajaman pisau bedah dirujuk sebagai ketajaman dan

ketepatan pemilihan sebuah teori untuk mengungkap fenomena keilmuan secara

tepat agar hasil yang diperoleh juga tepat. Ketajaman teori dalam mengungkap

suatu fenomena jelas mengevokasi emosi untuk memahaminya. Di samping itu,

pisau bedah bermakna ketelitian yang tinggi karena salah pisau bedah yang dipilih

akan berakibat menghilangkan nyawa seseorang.

Teori kedua, teori supervenience mencoba memahami kemampuan

sekaligus kelebihan bahasa sastra, khususnya metafora dibandingkan dengan

bahasa secara harafiah. Dalam metafora makna tidak lahir secara literal, makna

tidak ada dalam kamus, sehingga seolah-olah tidak ada hubungan atara kata-kata

dengan acuan, masing-masing unsur berdiri secara independen. Makna lahir

secara tak terduga, seolah-olah tidak diharapkan. Metafora lebih sebagai semacam

pemecahan teka-teki. Makna literal yang terkandung lenyap, digantikan oleh

makna metaforis. Foss (1949:61—62) menyebutkan bahwa makna metaforis

terkandung di dalam proses bukan kata-kata tunggal. Teori ini memandang

metafora sebagai jenis bahasa khas.

Teori ketiga, teori literal merupakan teori harafiah dan sekaligus

(37)

pada umumnya. ’Mobilnya seperti mobilku’ misalnya, dianggap sebagai

perbandingan langsung, simile, sedangkan metafora adalah kiasan (simile)

tersembunyi. Beardsley, 1981:138 (dalam Antara, 2007) menjelaskan bahwa

simile terdiri atas dua jenis yaitu simile terbuka dan simile tertutup. Metafora

dikategorikan pada simile tertutup karena memiliki cara kerja yang sama. Makna

perbandingan langsung dan simile terbuka terkandung dalam konteks. Sebaliknya

konteks dalam metafora secara terus menerus dihilangkan sebab kehadirannya

mengurangi terjadinya produksi makna. Metafora dengan demikian bukan

perbandingan tak langsung melainkan perbandingan itu sendiri. Berbeda debgan

teori pertama, sebagai teori emotif, teori kedua dan ketiga bersifat kognitif.

Lakoff dan Mark (1980) berfokus pada dua hal utama. Yang pertama

adalah metafora sebagai proses kognitif dan merupakan hasil pengalaman. Oleh

sebab itu mereka menyebutkan bahwa metafora adalah sebagai proses kognitif

eksperimental. Atas dasar proses kognitif ini, tuturan dapat dianalisis

tema-temanya yang tersirat yang mempunyai makna metafora.

Metafora juga dinyatakan sebagai ekspresi linguistik. Artinya adalah

bahwa metafora memiliki karakteristik bahasa dan merupakan sebuah perspektif.

Di samping itu juga metafora adalah merupakan masalah imajinasi rasionalitas.

Dalam hal ini, konsep itu tidak hanya menyangkut masalah intelektualitas tetapi

juga di dalamnya memuat semua pengalaman yang alami sehingga pemahaman

makna metafora didasarkan atas aspek pengalaman, di antaranya pengalaman

(38)

pengungkapan jenis dari sesuatu yang bermakna figuratif dan metafora dikaitkan

dengan jenis bahasa figuratif lainnya sepertipersonifikasi dan metonimi.

Lakoff dan Mark (1980:53) juga menyebutkan bahwa metafora didapati

dalam kehidupan sehari-hari. Ditambahkan bahwa berdasarkan pengalaman

konsep metafora meliputi tiga hal, yaitu (1) ide (makna) untuk menandaai sesuatu

yang berupa objek, (2) ekspresi linguistik yaitu berupa kata-kata sebagai

wadahnya (kontainer), dan (3) cara komunikasi atau cara penutur menyampaikan

maksud secara figuratif.

Sebagai salah satu kajian linguistik, metafora dapat dianalisis berdasarkan

atas unsur-unsur kalimat atau struktur kalimat. Melalui kajian linguistik dapat

diketahui bahwa unsur yang terdapat dalam metafora berupa ekspresi harafiah dan

ekspresi imajinasi metaforis. Esensi konsep metafora berupa pemahaman dan

pengungkapan jenis sesuatu yang bermakna metaforis. Untuk memahaminya

sangat diperlukan penerapan dasar teori perbandingan. Dicontohkan, kalimat A

adalah B akan dianggap sama maknanya dengan kalimat A sama seperti B.

Pengertian ini menunjukkan bahwa metafora menduduki posisi yang lebih luas

untuksemua pengertian yang mengandung makna perbandingan. Ini didasarkan

atas pemahaman tentang metafora melalui proses kognitif.

Berbeda dengan teori di atas, Luxemburgh, dkk., 1984:187 (dalam Antara,

2007) mengutarakan bahwa untuk memberikan intensitas terhadap metafora itu,

gaya bahasa dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu metafora

(perumpamaan) dan metonimia (sinekdoke). Sinekdoke yang paling kerap

(39)

totalitas atau sebaliknya. Meskipun metafora dan perumpamaan dianggap sama

tetapi keduanya pada dasarnya juga memiliki perbedaan. Perbandingan dalam

metafora terjadi secara implisit, dalam perumpamaan secara eksplisit, biasanya

dengan menggunakan kata-kata penghubung, di antaranya adalah ’seperti’,

’umpama’, ’laksana’, ’bak’. Dalam kalimat ’Ayahku mendidikku sebagai

seorang guru’ adalah perumpamaan, sedangkan ’Ayahku guruku’ adalah metafora. Dalam perumpamaan, dengan perbandingan secara eksplisit maka motif

lebih terbatas, misalnya, sebagai guru dengan unsur pendidik. Sedangkan dalam

metafora dengan tidak adanya kata penghubung ’sebagai’, maka interpretasi

terjadi secara lebih bebas sehingga dimungkinkan untuk menunjukkan motif-motif

secara terbatas. Seorang ayah di samping mampu mendidik anaknya secara moral

spiritual, ia harus mampu pula mengajarkan ilmu pengetahuan. Dengan kalimat

lain, makin singkat baris yang digunakan untuk melukiskan suatu objek, maka

makin kayalah penafsiran yang dihasilkan. Urutan baris di bawah ini

menunjukkan terjadinya perbandingan terbalik antara panjang pendek baris

dengan perkembangan makna tersebut.

’Ayahku mendidikku bagaikan seorang guru ’Ayahku bagaikan seorang guru’

’Ayahku guruku’ ’Guruku’

Teori lain tentang metafora digagas oleh Cormac (1985) dalam bukunya

berjudul A Cognitive Theory of Metaphor. Pembahasannya berkisar tentang

(40)

dipandang menduduki posisi kunci atau sebagai payung dari semua tuturan yang

metaforis, baik metafora yang konvensional maupun metafora yang berbentuk

struktur dari hasil imajinasi atau kreativitas. Dengan kreasiberbahasatelah tercipta

keragaman bentuk metafora dengan arti yang baru.

Dari uraian konsep metafora di atas (Beardsley,1981; Lakoff dan Mark,

1980; Luxemburgh, dkk., 1984; dan Cormac, 1985) dapat disimpulkan bahwa

metafora merupakan payung bagi semua jenis ungkapan yang mengandung

konsep perbandingan. Anggapan yang mendudukkan posisi metafora BM sebagai

payung didasarkan pada konsep perbandingan antara yang ditandai (terbanding)

dengan yang menandai (pembanding).

Hal-hal inti yang diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa:

(1) pengertian metafora mengacu pada semua bahasa yang bermakna figuratif,

(2) anggapan yang mendudukkan posisi metafora sebagai payung, didasarkan

atas paham kognitif, dan

(3) konsep perbandingan antara yang ditandai dengan yang menandai.

Ketiga hal inti di atas sangat tepat diterapkan pada penelitian metafora

BMDP ini. Istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah ’petanda’ untuk

terbanding dan ’penanda’ untuk pembanding.

Intisari pendapat para ahli yang diutarakan di atas dapat digambarkan

(41)

Bagan 1: Metafora

2.2 Fungsi dan Makna Metafora 2.2.1 Fungsi Metafora

Menurut Leech (1997) Fungsi penggunaan metafora bentuk lisan

dikelompokkan ke dalam beberapa jenis fungsi, di antaranya adalah.

1. Fungsi Informasi

Yang dimaksud dengan funsi informasi di sini adalah penggunaan

tuturan bahasa secara metaforis yang fungsinya adalah sebagai sarana

guna menyampaikan informasi tentang pikiran dan perasaan dari

penutur kepada lawan tuturnya. Ciri-ciri fungsi ini adalah adanya

pencirian yang tersirat dalam pesan yang disampaikannya. Ciri-ciri

fungsi tersebut biasanya yang mengandung ide, keyakinan, kepastian,

kemarahan, kekhawatiran, kegelisahan, dan keberanian. Bahasa yang bermakna kias (majas)

dengan unsur mengandung perbandingan

(42)

2. Fungsi ekspresif

Yang dimaksud dengan metafora berfungsi ekspresif adalah

penyampaian penggunaan tuturan bahasanya secara metaforis

mengandung suatu harapan sesuai dengan harapan dan keinginan

penutur kepada lawan tuturnya. Ciri-ciri fungsi ini dengan tersiratnya

maksud yang menandai adanya pengarahan, anjuran, atau harapan.

3. Fungsi direktif

Yang dimaksud dengan fungsi direktif apabila tuturan bahasanya

secara metaforis mengandung unsur-unsur yang dapat mempengaruhi

sikap,kemandirian. Biasanya ciri fungsi direktif ini ditandai dengan

adanya perintah, instruksi, ancaman, atau pertanyaan.

4. Fungsi fatik

Yang dimaksud dengan fungsi fatik apabila tuturan bahasanya secara

metaforis mengandung unsur-unsur yang dapat menginformasikan

pesan dengan tujuan untuk menjaga hubungan agak tetap harmonis.

Ciri-cirinya antara lain penggunaan bahasa yang bermakna hubungan

baik dan buruk, kedekatan hubungan sosial, hubungan keakraban,

hubungan kekerabatan antara penutur dan lawan tuturnya.

2.2.2 Makna Metafora

Makna yang tersirat dari bentuk metafora didasarkan pada makna asosiatif

sejalan dengan yang disarankan Leech (1997:12-30). Ada tujuh tipe makna

(43)

makna reflektif, (5) makna kolokatif, (6) makna tematik, (7) makna stilistik. Lima

dari tujuh tipe makna itu diklasifikasikan sebagai rujukan makna asosiatif.

(1) Tuturan metafora yang bermakna konotatif apabila maksud

yang dikomunikasikan secara metaforis sesuai dengan apa

yang diacu dalam bahasa itu. Dengan kata lain makna

konotatif adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata

yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau

ditimbulkan pada pembicaraan dan pendengar.

(2) Tuturan metafora bermakna stilistik apabila tuturannya

bermaksud mengkomunikasikan gambaran atau keadaan

sosial. Misalnya penggambaran sifat, kepribadian dan

keadaan.

(3) Tuturan metafora bermakna afektif biasanya untuk

mengutarakan perasaan tingkah laku atau keadaan pribadi

penutur. Misalnya ketidakmampuan secara ekonomi,

pengetahuan, dan fisik.

(4) Tuturan metafora bermakna reflektif biasanya tuturan yang

dimaksudkan untuk menunjukkan simbol lingual bermakna

ganda dan makna ekspresi tersebut telah ada sebelumnya.

(5) Tuturan metafora yang bermakna kolokatif apabila tuturan

disampaikan dengan maksud untuk hal-hal yang berkonteks

kultural dan sosial. Ada dua hal pokok yang perlu

(44)

pesan, (2) penafsiran maksud (Leech, 1997:12-30). Makna

metafora jenis ini lebih ditekankan pada penentuan maksud

yang dituturkan oleh penutur. Orientasinya adalah pada

pesan apa yang ditransfer secara metaforis oleh penutur

kepada lawan tuturnya, sesuai dengan situasi,peristiwa, dan

lokasi tutur dimaksud. Dasar pemahaman metafora

didasarkan atas tuturan kalimat penutur dan interpretasi

didasarkan atas maksud metafora yang disampaikan. Dalam

hal ini ada kaitannya antara penutur (encoder) dengan

lawan tutur (decoder).

Makna metafora sangat berkaitan antara makna harafiah dan makna

figuratifnya. Hubungan antara makna harafiah dan makna figuratif yang terdapat

di metafora merupakan versi yang disingkat dalam satu kalimat, dan maknanya

saling berpengarus secara kompleks. Alur gerak makna metafora BMDP dimulai

dari semantik kata ke semantik kalimat karena tuturan metafora BMDP adalah

kalimat (Lihat Recoeur, 1979:50-51).

Teknik merumuskan makna metafora dalam penelitian ini dilakukan

sesuai dengan maksud dasar semantik. Di sini ditentukan makna metaforanya

dengan memperbandingkan simbol lingual sebagai pembanding yang dikenakan

pada unsur yang terbanding. Kemudian ditentukan salah satu komponen (fitur)

pembanding yang disesuaikan dengan teori komparasi sehingga dipahami

(45)

dimaksudkan oleh penutur sesuai dengan konsep makna asosiatif yang disarankan

Leech (1997:21-24).

2.3 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Pada subbagian ini diuraikan beberapa pustaka yang mengetengahkan

hasil-hasil kajian dan penelitian mengenai metafora khususnya metafora yang

terdapat dalam bahasa Indonesia. Hasil kajian dan penelitian yang akan disitir

sebagai bahan dasar rujukan penelitian ini terdiri atas dua jenis. Jenis pertama

dalam bentuk buku, di antaranya Badudu (1983), Verhaar (1983), Moeliono

(1989), dan Wahab (1995), dan jenis kedua dalam bentuk tesis.

2.3.1 Kajian Metáfora (Dalam bentuk Buku) 2.3.1.1 Sinonim (Badudu, 1983)

Badudu (1983) mengemukakan bahwa metafora sebagai salah satu alat

gaya bahasa Indonesia. Metafora juga sebagai sesuatu yang dibicarakan dan

terdapat sesuatu yang digunakan sebagai pembanding. Artinya metafora dilihat

dari sudut penggunaan sesuatu untuk membandingkan satu hal dengan hal-hal

lainnya.

Selain itu, Badudu juga menjelaskan bahwa metafora dibentuk dari

simbol-simbol dalambentuk unsur-unsur frasa dan klausa. Misalnya, dalam

tuturan metaforis Pemuda adalah tulang punggung negara terdapat frasa tulang

punggung negara sebagai penanda metaforanya. Keadaan fisik manusia dan hewan sebagai sesuatu untuk memperkuat tubuh manusia atau hewan dengan

(46)

pembanding (Pb). Perbandingan yang didasari pada persamaan fungsi tersebut

dimaksudkan untuk lebih memperkuat hal yang dibandingkan pada negara dengan

mengambil simbol yang ada pada manusia dan hewan. Pengertian metafora yang

digagas Badudu terbukti sangat cocok dan sesuai untuk diacu dalam penelitian

BMDP yang akan dilaksanakan ini.

2.3.1.2 Pengantar Linguistik (Verhaar, 1983)

Verhaar (1983) menggambarkan metafora sebagai bagian dari

pembicaraan semantik, yaitu dengan membedakan pengertian makna yang

dimaksud. Makna diterangkan sebagai sesuatu yang berada di dalam ujaran itu

sendiri atau sebagai gejala dalam ujaran, sedangkan maksud diterangkan sebagai

sesuatu di luar ujaran atau berada di pihak si penutur.

Sebagai ilustrasi untuk menguatkan pernyataannya, diberi contoh ujaran

kaki gunung berarti bahwa penerapan kata kaki dianggap tidak sesuai dan tidak cocokatau menyeleweng dari pemakaian kata yang sebenarnya. Hal yang

menyeleweng dalam metafora bukanlah makna kata yang dipakai secara

metaforis, melainkan penerapan makna yang bersangkutan. Artinya, makna

tersebut diterapkan pada suatu rujukan (referen) yang tidak sesuai dengan makna

leksikalnya. Kaki gunung bermakna bagian bawah dari gunung yang sejalan

dengan kaki manusia, yang mengacu pada bagian tubuh paling bawah (Verhaar,

1983:129).

Perbincangan metafora juga dikaitkan dengan semantik bahasa khususnya

(47)

samping itu juga dibahas tentang bahasa bermakna metaforis yang dikaitkan

dengan analisis berdasarkan kategori kata dan fungsi sintaksis.

Deskripsi yang dipaparkan Verhaar khususnya yang berkenaan dengan

makna simbol bahasa dalam tuturan metafora dapat dijadikan landasan dan acuan

dalam penelitian BMDP ini. Artinya, pengertian makna kata atau frasa yang

menyimpang dari makna yang sebenarnya sangat tepat untuk menganalisis makna

tuturan BMDP.

2.3.1.3 Kembara Bahasa (Moeliono, 1989)

Moeliono (1989:22—23) menggunakan istilah majas untuk

menerjemahkan istilah bahasa Inggris figure of speech. Majas tidak sama dengan

gaya bahasa. Majas dapat digunakan untuk memperkuat gaya bahasa. Majas dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yakni: (1) majas perbandingan; (2) majas

pertentangan; dan (3) majas pertautan. Metafora dianggap sebagai subkategori

majas perbandingan. Bagan di bawah ini menjelaskan kategorisasi metafora

(48)

Bagan 2: Pembagian Majas dalam Bahasa Indonesia

Dari Gambar 2 diperoleh keterangan bahwa pembagian setiap majas dapat

dijelaskan susunannya: (1) majas perbandingan meliputi (a) perumpamaan, (b)

metafora, dan (c) personifikasi; (2) majas pertentangan meliputi (a) hiperbola, (b) litotes,

dan (c) ironi; (3) majas pertautan meliputi (a) metonimia, (b) sinekdoke, (c) kilatan, dan

(c) eufimisme.

Dari uraian di atas dapat dilihat kedudukan metafora bukan sebagai payung untuk

semua sugkategori majas, melainkan sebagai subbagian majas perbandingan yang sejajar

dengan simile dan personifikasi. Oleh karenanya, apabila dikaitkan dengan penelitian

yang akan dilakukan ini, yaitu metafora BMDP, maka gagasan Moeliono tidak dapat

diterapkan. Unsur yang bersesuaian dengan penelitian ini terdapat pada aneka struktur

perbandingan.

2.3.1.4 Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra (Wahab, 1995)

Istilah yang digunakan untuk menandai tuturan metaforis dalam karyanya

adalah ungkapan bahasa (ekspresi linguistik). Pengertian metáfora didasarkan atas

penelitian bahasa Jawa dengan mengetengahkan definisi sebagai berikut: MAJAS

1. majas perbandingan 2. majas pertentangan 3. majas pertautan

a. perumpamaan b.metafora c.personifikasi

a.hiperbol b.litotes c. ironi

(49)

“….metaphor is defined as a linguistic expresión which signifies a concept which

in its literal meaning it does not signify and which, normally, is signified by some other words or expressions”…. (Wahab, 1986:11, dalam Antara, 2007).

Definisi di atas menggambarkan pengertian bahwa ‘metafora adalah

ungkapan bahasa yang menandai sebuah konsep, yang di dalam makna

harafiahnya belum menandakan kejelasan secara umum, dan untuk kejelasannya

digunakan kata-kata atau dengan ungkapan bahasa yang lain’. Dengan kalimat

lain, sebuah konsep yang biasanya diungkap secara lugas dapat dikemukakan

dengan menggunakan bahasa metaforis atau penyampaian maksud dilakukan

dengan cara tidak langsung atau nonlinier. Selain sebagai alat dalam konteks

retorika, metáfora juga terkait dengan konteks budaya dan diistilahkan dengan

bahasa bermakna nonlinier Wahab, 1995:54—46 (dalam Antara, 2007).

Dalam menganalisis bahasa Jawa konsep yang digunakan Wahab adalah

konsep struktur kebahasaan yang digagas oleh Miller (1979:323—330). Dalam

penjelasannya, metáfora dibedakan menjadi: (1) struktur metáfora, (2) susunan

kategori ruang persepsi untuk menyusun metáfora berdasarkan konsep Haley, dan

(3) metáfora sebagai ungkapan bahasa yang nonlinier. Struktur metáfora sendiri

dibedakan menjadi empat bagian; (a) metafora nominatif subjektif (MNS), (b)

metáfora nominatif objektif (MNO), (3) metáfora predikatif (MP), dan metáfora

(50)

2.3.2 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu (Tesis)

2.3.2.1 Metafora dalam Surat Keputusan (Rahmah, 2002)

Dalam judul tesis di atas, Rahmah (2002) menelaah metafora dalam Surat

Keputusan (SK) yang terdiri atas SK Pemerintah dan Non-pemerintah. Landasan

teori yang digunakan dalam analisisnya adalah teori Linguistik Fungsional

Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleeh Halliday. Fokus utamanya adalah pada

tataran gramatika khususnya metafora gramatikal yang terdapat pada kedua jenis

SK tersebut di atas. Yang dimaksudkan dengan metafora gramatika di sini adalah

berupa fenomena bahasa yang menghadirkan realisasi tidak lazim dalam

mengungkapkan pengalaman nyata. Atau dengan kalimat lain, makna bahasa yang

direalisasikan dengan pilihan leksikogramatika tidak lazim.

Metafora dalam kajian ini dibedakan atas beberapa jenis. Di antaranya

adalah (1) metafora ideasional, termasuk di dalamnya metafora logis dan

eksperiensial (metafora pemaparan pengalaman), (2) metafora antar persona

(metafora pertukaran pengalaman), dan (3) metafora tekstual (metafora

pengorganisasian pengalaman).

Dengan menggunakan teknik sampling non-random (teknik sampling

kebetulan – accidental sampling) diperoleh 15 buah SK dari lembaga pemerintah

dan 15 buah SK dari lembaga non-pemerintah. Analisis metafora gramatikal dari

ketigapuluh SK yang diteliti, diperoleh hasil sebagai berikut.

(6) Tipe metafora gramatika yang terdapat dalam SK pemerintah dan

non-pemerintah meliputi metafora pemaparan yang terdiri atas relokasi

(51)

atas metafora vokatif, metafora modus, dan metafora modalitas serta

metafora pengorganisasian pengalaman terdiri atas metafora rujukan,

metafora konjungsi dan tematisasi.

(7) Tipe metafora gramatikal yang dominan digunakan pada SK pemerintah

dan non-pemerintah adalah metafora pengorganisasian pengalaman

tekstual.

(8) Dari bandingan kedua jenis SK itu, ditemukan bahwa SK pemerintas

mengimplikasikan birokrasi yang secara tidak langsung merefleksikan

kekuasaan dan jarak. Sementara SK non-pemerintah memberi implikasi

keterbukaan, bebas, dan tidak kaku dengan peraturan dan memperhatikan

persamaan hak dan solidaritas.

(9) Dari temuan 1,2,3 di atas disimpulkan bahwa pembuatan SK pemerintah

dipengaruhi oleh sistem kolonial yang membedakan adanya jarak antara

atasan – bawahan.

Kontribusi yang diperoleh dari tesis ini berkaitan dengan analisis metafora

yang akan dilakukan dalam tesis ini adalah berupa gambaran bahwa metafora

dapat dikaji dan dianalisis dengan berbagai teori. Hal ini menunjukkan bahwa

teori yang digunakan oleh Rahmah tidak berkaitan sama sekali dengan penelitian

yang akan dilakukan ini.

2.3.2.2 Metafora dalam Teks Keuangan dan Perbankan: Suatu Kajian Teks Surat Kabar Medan Bisnis (Ermyna Seri, 2005)

Dalam tesisnya, Seri (2005) menggunakan teori relevansi dan teori

(52)

(1986) dan dikembangkan oleh Goalty (1997). Tujuan utama teori ini adalah

untuk menganalisis hubungan antar makna yang digunakan penutur berdasarkan

interpretasi konsep tentang realitas menurut keinginan, pengalaman, dan pikiran

penutur.

Pemahaman metafora dalam interpretasi teks, menurut teori ini,

bergantung pada proses mental dan sumber pengetahuan. Dalam menginterpretasi

teks ada tiga sumber pengetahuan yang harus dimiliki penutur, yaitu (1)

pengetahuan tentang sistem bahasa, (2) pengetahuan tentang konteks: situasi dan

ko-teks yang diperoleh dari teks yang menyertai proposisi berdasarkan situasional,

dan (3) latar belakang skematik pengetahuan: bersifat faktual yang ada di

sekeliling kita, dan berdasarkan atas bahasa yang dipakai masyarakat dengan

mempertimbangkan faktor sosial budaya.

Dari penelitian itu dihasilkan interpretasi metafora terbagi atas tiga

kategori yaitu (1) berdasarkan substitusi, (2) interaksi, dan (3) perbandingan.

Kategori berdasarkan substitusi diperoleh dari hasil analisis wahana yang dapat

disubstitusikan berdasarkan makna yang terdapat di dalam kamus. Kategori

berdasarkan interaksi diperoleh dari hasil analisis wahana dan topik. Wahana

dikiaskan seperti topik sehingga ada hubungan atau relevansi antara fitur-fitur

yang terdapat di dalam wahana dan topik. Kategori perbandingan diperoleh dari

hasil antara wahana dan topik dengan mempertimbangkan fitur-fitur yang terdapat

di dalam wahana dan topik, sehingga diperoleh persamaan fitur. Kemudian,

dengan menggunakan metode dekriptif dengan sumber data yang berasal dari teks

(53)

28 Pebruari 2005 diperoleh hasil penelitian sebagai berikut. Dari ketiga kategori

interpretasi metafora menunjukkan bahwa frekuensi pemakaian metafora

berdasarkan kategori substitusi merupakan pemakaian metafora yang paling

dominan yakni sebesar 44%. Sementara kategori interaksi dan kategori

perbandingan masing-masing 41% dan 15%.

Kontribusi yang dapat dijadikan bahan acuan terkait dengan penelitian

yang akan dilakukan ini adalah sama dengan penelitian pertama di atas, yaitu

adanya perbedaan teori dan pendekatan yang digunakan. Dengan kalimat lain

dapat dikatakan bahwa perbedaan teori dan pendekatan perlu untuk diutarakan

mengingat perlunya adanya ketegasan dalam menentukan penelitian. Di samping

(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.6.1 Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul dalam tesis ini bahwa lokasi yang dipilih adalah

Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan khususnya Lingkungan

20. Dipilihnya lokasi penelitian ini dikarenakan tiga hal. Pertama, lokasi

penelitian dikenal dengan lokasi yang padat huni oleh masyarakat penutur BMDP

(total populasi 51034 jiwa (masyarakat penutur BMDP = 11377 jiwa (22,28%) –

sensus 2009). Karena populasi penutur BMDP yang padat di wilayah ini

kemudian lokasi penelitian tersebut dikenal dengan kampung Padang. Kedua,

masyarakat penutur BMDP dikenal taat dalam menggunakan bahasa ibunya

meskipun sudah lama merantau. Ketiga, peneliti berdomisili di wilayah ini

sehingga mengetahui fenomena penggunaan metafora di kalangan penutur bahasa

tersebut. (lihat Peta Lokasi pada Lampiran 1).

3.6.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan selama dua bulan, dimulai dengan pengamatan

sepintas berkaitan dengan penyusunan proposal tesis ini (Desember 2009).

Kemudian setelah disetujui proposal ini melalui ujian seminar proposal maka

penelitian yang sebenarnya dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Februari dan

(55)

3.7 Pendekatan dan Metode Penelitian 3.7.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian tentang metafora bahasa Minang Dialek Pariaman oleh penutur

Minang yang berdomisili di wilayah penelitian (di Kelurahan Banjai Kecamatan

Medan Denai Kota Medan) didasarkan pada teori linguistik. Kridalaksana

(1993:130) mengatakan bahwa bidang penelitian bahasa dilakukan untuk

mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa manusia pada umumnya.

Teori linguistik digunakan untuk menganalisis perihal bentuk, fungsi, dan makna

metafora BMDP oleh penutur Minang yang berdomisili di wilayah penelitian (di

Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan) disesuaikan dengan

penerapannya. Penerapan yang dimaksudkan di sini adalah penerapan linguistik

struktural, pengertian morfologi secara umum, fungsi sintaksis, komponen

konstituen, fungsi bahasa, dan semantik struktural, kelas kata, yang secara

keseluruhan dihubungkan dengan kegiatan dalam menganalisis metafora BMDP

dimaksud.

Van Dijk (dalam Ching, ed. 1980:120—121) memberikan arahan

mengenai kondisi kerja penelitian metafora. Pelaksanaan penelitian metafora

dapat dirinci sebagai berikut:

1) Semua tuturan berupa kalimat metafora yang diperoleh di lapangan

dikumpulkan sebagai data untuk dianalisis.

2) Tidak semua temuan data kalimat yang digunakan penutur dapat

diklasifikasikan sebagai bentuk metafora, tetapi dipilah daan

(56)

3) Data kalimat metafora harus tetap memperhatikan situasi konteksnya.

4) Tuturan kalimat diinterpretasikan sebagai tuturan yang bermakna

metaforis.

5) Setiap data metafora diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya, bukan

dengan konteks yang lain.

6) Penerjemahan bahasa sumber (BS) yang bermakna metaforis ke bahasa

target (BT) mempunyai makna yang tetap sama.

Ciri-ciri kalimat metaforis tidak hanya bergantung pada pengertian makna yang

tersirat di dalamkalimat (intension), tetapi bergantung pada unsur luar

(ekstension), antara lain, maksud tutura

3.7.2 Metode Penelitian

Penelitian metafora BMDP ini dapat dikategorisasikan pada jenis

penelitian kualitatif sehingga dari proses pelaksanaan penelitiannya diperoleh

hasil yang sesuai dengan perencanaan penerapan metode kualitatif (Aminnuddin,

ed., 1990:12—13). Data dalam penelitian jenis ini bersifat soft data yang kaya

dengan deskripsi, memperhatikan tempat dan uraian percakapan yang terjadi,

sehingga tidak mudah dilakukan dengan prosedur statistik.

Moleong (1989:3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif dapat juga

berupa pengamatan langsung oleh manusia di lingkungan hidup mereka yang

nyata. Sumarsono dan Paina (1999:9—10) menambahkan perolehan data yang

dilakukan dan dikumpulkan melalui kontak atau juga dilakukan pengamatan

(57)

bersifat alami dalam waktu yang lama. Penelitian kualitatif pada umumnya

mengumpulkan data bahasa yang bersifat apa adanya. Semi (1993:24—27)

menyebutnya bersifat ilmiah.

Berkaitan dengan laporan hasil penelitian, Moloeng (1989:14—16)

menyatakan laporan hasil penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan

untaian kata-kata secara rinci yang diistilahkan deskriptif naratif. Alwi (1990:16)

menambahkan bahwa analisis data dilakukan dengan bentuk deskripsi fenomena,

bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antara variabel atau

tidak berupa gambar. Hasil peneltian kualitatif dilengkapi dengan kutipan-kutipan

dari kumpulan data untuk memberikan ilustrasi dan mengisi materi laporan.

Sudaryanto (1992:24—25) menjelaskan bahwa pelaksanaan penelitian

meliputi dua hal, yakni metode dan teknik, yang masing-masing dilengkapi

dengaan langkah kerja. Data metafora BMDP lisan harus diperoleh di lapangan

melalui mendengarkan dan mencatat pembicaraan atau dialog seseorang dengan

orang lain. Catatan data yang telang diperoleh dan dikumpulkan kemudian

datanya dipilih kembali sesuai dengan analisis permasalahan. Data metafora

BMDP dapat dikatakan sifatnya seperti potret atau paparan apa adanya. Hal itu

berarti penekanan hasil penelitian untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna

metafora BMDP merujuk bagaimana cara memandang atau melihat temuan data

dan tidak mempertimbangkan benar atau kurang tepat sebagai ciri utamanya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini. (1)

bagaimana menentukan jenis penelitian BMDP ini. (2) bagaimana menentukan

Gambar

Tabel 1 : Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah
Tabel 2. Macam – macam Fungsi Metafora BMDP
Tabel 3. Jenis Makna yang Tersirat dari Bentuk Metafora BMDP

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data dilakukan dengan One-Way ANOVA untuk mengetahui perbedaan dari aktivitas enzim invertase yang didapatkan dari isolate yang didapatkan dari sumber yang

Dari contour plot super imposed pada level yang diteliti tidak diperoleh area komposisi optimum campuran natrium sitrat dan asam fumarat yang diprediksi sebagai formula optimum

Dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945 telah dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan dan yang berperan sebagai kekuatan utama serta

Dari penjelasan opini di atas, dapat disimpulkan bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum,

Hasil uji multikolinearitas yang pada tampilan tabel 1 terlihat bahwa pengaruh kapasitas sumber daya manusia, sistem pengendalian intern dan pengawasan keuangan

Orang tua sering kali menghadapi tantrum dengan strategi yang salah diantaranya yaitu dengan menyerah kepada tantrum anak karena orang tua merasa malu ketika

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan kadar besi (fe) berdasarkan variasi dosis M-Bio pada leachate di tempat pembuangan akhir Ciangir