METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI
KOTA MEDAN
TESIS
Oleh NURISMILIDA 087009027/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI
KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh NURISMILIDA 087009027/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI
KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Nurismilida
Nomor Pokok : 087009027 Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S) (Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed TESP) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B., M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 03 September 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP
ABSTRAK
Judul tesis ini adalah METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN. Ada tiga aspek bahasan yang diungkap dalam tesis ini, yaitu (1) struktur metafora, (2) fungsi metafora, dan (3) makna metafora bedasarkan strukturnya. Berkaitan dengan struktur metafora, analisis yang dilakukan menggunakan diagram pohon (Alwi, 2003 dan Verhaar, 1991). Analisis ini dilakukan demikian dengan maksud untuk memperoleh unsur-unsur yang membentuk metafora tersebut secara rinci. Unsur-unsur terbanding (identified) A:B yang membentuk struktur metafora terdiri atas (A) sebagai unsur teridentifikasi terdiri atas (1) isi metafora dapat dikelompokkan berdasarkan pola dan posisinya disetiap tindak tutur. Berkaitan dengan bentuk metafora, diperoleh lima bentuk yakni (1) metafora yang diawali dengan kata ‘bak’ (seperti), (2) metafora yang dibentuk dengan frasa, (3) kata majemuk (4) metafora yang dibentuk dengan kalimat (klausa). Fungsi metafora dikelompokkan ke dalam (1) ekspresif, (2) direktif, (3) fatik, dan (4) estetik. Pengelompokkan ini didasari oleh teori Leech (1997).Dan hasil analisis menunjukkan fungsi informasi yang paling berperan (47,05%). Bertalian dengan makna metafora, analisisnya juga menggunakan Leech (1997). Makna metafora dikategorikan menjadi (1) konotatif, (2) stilistik, (3) afektif, (4) reflektif, dan (5) kolokatif. Dan seluruh jenis makna dapat dijumpai dari hasil analisis ini.
ABSTRACT
The title of this thesis is METAPHOR OF MINANGKABAUNES
PARIAMAN DIALECT IN BANJAI VILLAGE MEDAN DENAI DISTRICT MEDAN REGENCY. It deals with three aspects, i.e. (1) the structure of the
metaphor, (2) the function of metaphor, and (3) the meaning of the metaphor based on the its structure. Related to the structure of metaphor, the analysis is done by using tree diagram (Alwi, 2003 and Verhaar, 1981). It is done in order to identify the detail contents of each metaphor. Identified elements A:B which construct the structure of the metaphor consists of subject (A) as the identified subject. The forming structure of identified elements is classified into (1) the use of the word bak- ‘be like’, (2)phrase form non-noun or event categories, (3) complex (4) sentence form, (clause form) The contents of metaphor can be classified based on their patterns and the its positions in each act. The function of metaphor can be classified into (1) informative (2) expressive, (3)directive (4)phatic, and (5) aesthetic. The functions are dominated by informative functions, i.e. 47,05% These classifications are based on Leech (1997). Related to the meaning of metaphor, the analysis also used Leech (1997). The meaning of metaphor are categorized into (1) connotative, (2) stylistic, (3) affective, (4) reflective, and (5) colocative.All these types of meanings are exists in the results of the analysis.
KATA PENGANTAR
Tesis ini berjudul “ Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan
Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti sebagai
bahan rujukan penelitian teks selanjutnya khususnya yang berhubungan dengan
metafora bahasa Minangkabau Dialek Pariaman. Penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi pakar dan pendidik bahasa dalam hal memperkaya khasanah
kepustakaan linguistik bahasa Minangkabau sebagai salah satu bahasa daerah di
Indonesia. Serta dapat bermanfaat bagi pihak – pihak tertentu sebagai bahan
pertimbangan dalam rangka upaya pembinaan dan pelestarian bahasa
Minangkabau.
Penulis menyadari Tesis penelitian ini belum sempurna. Oleh sebab itu,
penulis mengharapkan kritik konstruktif dari pembaca demi penyempurnaannya.
Medan, 03 September 2010
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang
Maha Pengasih dan Penyayang, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Salawat dan salam kepada
junjungan umat Islam, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam
kepada jalan yang terang benderang.
Penelitian ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S selaku Pembimbing I dan Dr. Drs. Eddy
Setia, M.Ed TESP yang telah banyak berperan khususnya dalam mengoreksi dan
mengarahkan penulis pada penulisan tesis yang baik dan benar. Di samping itu
juga mereka senantiasa berbaik hati dalam memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan dan saran-saran yang membangun sehingga terciptanya komunikasi
ilmiah dan memperkaya informasi untuk penulisan tesis ini.
Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D selaku Ketua Program S2 Linguistik
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang dalam kesempatan ini
beliau juga sebagai penguji dalam setiap tahapan ujian, atas segala bantuan berupa
kitikan, koreksi, dan saran.
Rektor Universitas Sumatera Utara dan Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara yang telah menerima penulis dan memberi
terselenggaranya pendidikan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan S2 di tempat ini.
Seluruh staf pengajar program S2 Linguistik yang telah memberikan ilmu
dan pengalaman akademik yang berkualitas. Sekretaris dan staf administratif
program yang telah banyak membantu segala persyaratan akademik sehingga
melancarkan jalannya proses akademik dengan sangat memuaskan.
Keluarga besar penulis, suami dan anak-anak tercinta yang telah banyak
berkorban material dan spiritual. Atas bantuan, perhatian, dan kasih sayang yang
mereka berikan diucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.
Semua teman sejawat penulis yang telah banyak membantu selama dalam
masa perkuliahan hingga sampai pada tahapan akhir proses penulisan tesis dan
tahapan ujian. Jasa kalian tidak akan pernah penulis lupakan.
Akhirnya, penulis sangat mengharapkan sumbangan pemikiran, kritikan,
dan saran untuk kesempurnaan tesis ini. Sekali lagi atas bantuan semua pihak,
penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Semoga
Allah SWT membalas kebaikan, bantuan, dan kritikan yang telah diberikan.
Medan, 03 September 2010
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : NURISMILIDA
Tempat/ Tgl. Lahir : P. Brandan / 20 Agustus 1958
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat Tempat Tinggal : Jl. Sempurna No. 40 Medan
Status : Kawin
Nomor Ponsel : 081264909358
Alamat Email
PENDIDIKAN FORMAL
SD : SD Negeri 6 Pangkalan Brandan
SLTP : SLTP Negeri 1 Pangkalan Brandan
SMU : SMU Negeri 1 Pangkalan Brandan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……….. i
ABSTRACT ………... ii
KATA PENGANTAR ……….. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ………. iv
RIWAYAT HIDUP ……… vi
DAFTAR ISI ……….. vii
DAFTAR TABEL ……….. xiv
DAFTAR BAGAN ………. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………... xvi
DAFTAR LAMBANG, SIMBOL, DAN SINGKATAN ……… xvii
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar Belakang ………...……….. 1
1.2 Perumusan Masalah ……… 7
1.3 Tujuan Penelitian .………... 8
1.4 Manfaat Penelitian ……….……….. 9
1.4.1 Manfaat Teoritis .………... 9
1.4.2 Manfaat Praktis ……….. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK ... 11
2.1 Teori-teori yang Relevan ... 11
2.2.1 Fungsi Metafora ... 19
2.2.2 Makna Metafora ... 20
2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan ... 23
2.3.1 Kajian Metafora (Dalam Bentuk Buku) ... 23
2.3.1.1 Sinonim (Badudu, 1983) ………. 23
2.3.1.2 Pengantar Linguistik (Verhaar, 1983)...………. 24
2.3.1.3 Kembara Bahasa (Moeliono, 1989)... 25
2.3.1.4 Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra (Wahab, 1995)... 26
2.3.2 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu (Tesis) ... 28
2.3.2.1 Metafora dalam Surat Keputusan (Rahmah, 2002) ... 28
2.3.2.2 Metafora dalam Teks Keuangan dan Perbankan: Suatu Kajian Teks Surat Kabar Medan Bisnis (Ermyna Seri, 2005)... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32
3.1.1 Lokasi Penelitian ……….... 32
3.1.2 Waktu Penelitian ………... 32
3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 33
3.2.1 Pendekatan Penelitian ………... 33
3.2.2 Metode Penelitian ………... 34
3.3 Data dan Sumber Data ………. 37
3.3.1 Data Penelitian ……….... 37
3.3.2 Sumber Data ... 38
3.5 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data ... 39
BAB IV. TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41
4.1 Temuan Penelitian ... 41
4.1.1 Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah ... 42
4.1.2 Bentuk Metafora ... 46
4.1.2.1 Bentuk Metafora BMDP 1 ... 46
4.1.2.2 Bentuk Metafora BMDP 2 ... 46
4.1.2.3 Bentuk Metafora BMDP 3 ... ... 47
4.1.2.4 Bentuk Metafora BMDP 4 ... 48
4.1.2.5 Bentuk Metafora BMDP 5 ... 48
4.1.2.6 Bentuk Metafora BMDP 6 ... 49
4.1.2.7 Bentuk Metafora BMDP 7 ... 49
4.1.2.8 Bentuk Metafora BMDP 8 ... 50
4.1.2.9 Bentuk Metafora BMDP 9 ... 50
4.1.2.10 Bentuk Metafora BMDP 10 ... 51
4.1.2.11 Bentuk Metafora BMDP 11 ... 51
4.1.2.12 Bentuk Metafora BMDP 12 ... 52
4.1.2.13 Bentuk Metafora BMDP 13 ... 52
4.1.2.14 Bentuk Metafora BMDP 14 ... 53
4.1.2.15 Bentuk Metafora BMDP 15 ... 53
4.1.2.16 Bentuk Metafora BMDP 16 ... 54
4.1.2.17 Bentuk Metafora BMDP 17 ... 54
4.1.2.19 Bentuk Metafora BMDP 19 ... 55
4.1.2.20 Bentuk Metafora BMDP 20 ... 56
4.1.2.21 Bentuk Metafora BMDP 21 ... 56
4.1.2.22 Bentuk Metafora BMDP 22 ... 57
4.1.2.23 Bentuk Metafora BMDP 23 ... 57
4.1.2.24 Bentuk Metafora BMDP 24 ... 58
4.1.2.25 Bentuk Metafora BMDP 25 ... 58
4.1.2.26 Bentuk Metafora BMDP 26 ... 59
4.1.2.27 Bentuk Metafora BMDP 27 ... 59
4.1.2.28 Bentuk Metafora BMDP 28 ... 60
4.1.2.29 Bentuk Metafora BMDP 29 ... 60
4.1.2.30 Bentuk Metafora BMDP 30 ... 61
4.1.2.31 Bentuk Metafora BMDP 31 ... 61
4.1.2.32 Bentuk Metafora BMDP 32 ... 62
4.1.2.33 Bentuk Metafora BMDP 33 ... 62
4.1.2.34 Bentuk Metafora BMDP 34 ... 63
4.2 Pembahasan ... 63
4.2.1 Struktur yang Membangun Metafora BMDP dan Pola Strukturnya ... 64
4.2.1.1 Struktur yang Membangun Metafora BMDP ... 64
4.2.1.1.1 Struktur Metafora BMDP 1 ... 67
4.2.1.1.2 Struktur Metafora BMDP 2 ... 69
4.2.1.1.4 Struktur Metafora BMDP 4 ... 73
4.2.1.1.5 Struktur Metafora BMDP 5 ... 74
4.2.1.1.6 Struktur Metafora BMDP 6 ... 76
4.2.1.1.7 Struktur Metafora BMDP 7 ... 77
4.2.1.1.8 Struktur Metafora BMDP 8 ... 79
4.2.1.1.9 Struktur Metafora BMDP 9 ... 81
4.2.1.1.10 Struktur Metafora BMDP 10 ... 82
4.2.1.1.11 Struktur Metafora BMDP 11 ... 84
4.2.1.1.12 Struktur Metafora BMDP 12 ... 85
4.2.1.1.13 Struktur Metafora BMDP 13 ... 87
4.2.1.1.14 Struktur Metafora BMDP 14 ... 89
4.2.1.1.15 Struktur Metafora BMDP 15 ... 90
4.2.1.1.16 Struktur Metafora BMDP 16 ... 91
4.2.1.1.17 Struktur Metafora BMDP 17 ... 92
4.2.1.1.18 Struktur Metafora BMDP 18 ... 94
4.2.1.1.19 Struktur Metafora BMDP 19 ... 95
4.2.1.1.20 Struktur Metafora BMDP 20 ... 96
4.2.1.1.21 Struktur Metafora BMDP 21 ... 97
4.2.1.1.22 Struktur Metafora BMDP 22 ... 98
4.2.1.1.23 Struktur Metafora BMDP 23 ... 100
4.2.1.1.24 Struktur Metafora BMDP 24 ... 100
4.2.1.1.25 Struktur Metafora BMDP 25 ... 100
4.2.1.1.27 Struktur Metafora BMDP 27 ... 101
4.2.1.1.28 Struktur Metafora BMDP 28 ... 102
4.2.1.1.29 Struktur Metafora BMDP 29 ... 102
4.2.1.1.30 Struktur Metafora BMDP 30 ... 103
4.2.1.1.31 Struktur Metafora BMDP 31 ... 103
4.2.1.1.32 Struktur Metafora BMDP 32 ... 104
4.2.1.1.33 Struktur Metafora BMDP 33 ... 105
4.2.1.1.34 Struktur Metafora BMDP 34 ... 105
4.2.1.2 Pola Struktur Metafora BMDP ... 107
4.2.3 Fungsi Metafora BMDP ... 111
4.2.3.1 Fungs Informasi Metafora BMDP ... 111
4.2.3.2 Fungsi Ekspresif Metafora BMDP ... 114
4.2.3.3 Fungsi Direktif Metafora BMDP ... 115
4.2.3.4 Fungsi Fatik Metafora BMDP ... 116
4.2.4 Makna yang Tersirat dari Bentuk Metafora BMDP ... 121
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 128
5.1 Simpulan ... 128
5.2 Saran ... 130
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 Terjemahan Tuturan Metafora BMDP secara Harafiah ... 43
2 Macam-macam Fungsi Metafora BMDP ... 48
DAFTAR BAGAN
Nomor Judul Halaman
1. Metafora ... 19
2. Pembagian Majas dalam Bahasa Indonesia ... 26
3. Penerapan Metode Penelitian (Teori Ekletik) ... 40
4. Unsur Morfem dalam BMDP ... 66
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data Percakapan – 1 ... 138
2. Data Percakapan – 2 ... 142
3. Data Metafora Lepas ... 148
4. Terjemahan Tuturan Metafora BMDP
secara Harafiah ... 150
5. Peta Lokasi Penelitian ... 153
DAFTAR LAMBANG, SIMBOL, DAN SINGKATAN
BMDP = Bahasa Minang Dialek Pariaman BM = Bahasa Minangkabau
ABSTRAK
Judul tesis ini adalah METAFORA BAHASA MINANGKABAU DIALEK PARIAMAN DI KELURAHAN BANJAI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN. Ada tiga aspek bahasan yang diungkap dalam tesis ini, yaitu (1) struktur metafora, (2) fungsi metafora, dan (3) makna metafora bedasarkan strukturnya. Berkaitan dengan struktur metafora, analisis yang dilakukan menggunakan diagram pohon (Alwi, 2003 dan Verhaar, 1991). Analisis ini dilakukan demikian dengan maksud untuk memperoleh unsur-unsur yang membentuk metafora tersebut secara rinci. Unsur-unsur terbanding (identified) A:B yang membentuk struktur metafora terdiri atas (A) sebagai unsur teridentifikasi terdiri atas (1) isi metafora dapat dikelompokkan berdasarkan pola dan posisinya disetiap tindak tutur. Berkaitan dengan bentuk metafora, diperoleh lima bentuk yakni (1) metafora yang diawali dengan kata ‘bak’ (seperti), (2) metafora yang dibentuk dengan frasa, (3) kata majemuk (4) metafora yang dibentuk dengan kalimat (klausa). Fungsi metafora dikelompokkan ke dalam (1) ekspresif, (2) direktif, (3) fatik, dan (4) estetik. Pengelompokkan ini didasari oleh teori Leech (1997).Dan hasil analisis menunjukkan fungsi informasi yang paling berperan (47,05%). Bertalian dengan makna metafora, analisisnya juga menggunakan Leech (1997). Makna metafora dikategorikan menjadi (1) konotatif, (2) stilistik, (3) afektif, (4) reflektif, dan (5) kolokatif. Dan seluruh jenis makna dapat dijumpai dari hasil analisis ini.
ABSTRACT
The title of this thesis is METAPHOR OF MINANGKABAUNES
PARIAMAN DIALECT IN BANJAI VILLAGE MEDAN DENAI DISTRICT MEDAN REGENCY. It deals with three aspects, i.e. (1) the structure of the
metaphor, (2) the function of metaphor, and (3) the meaning of the metaphor based on the its structure. Related to the structure of metaphor, the analysis is done by using tree diagram (Alwi, 2003 and Verhaar, 1981). It is done in order to identify the detail contents of each metaphor. Identified elements A:B which construct the structure of the metaphor consists of subject (A) as the identified subject. The forming structure of identified elements is classified into (1) the use of the word bak- ‘be like’, (2)phrase form non-noun or event categories, (3) complex (4) sentence form, (clause form) The contents of metaphor can be classified based on their patterns and the its positions in each act. The function of metaphor can be classified into (1) informative (2) expressive, (3)directive (4)phatic, and (5) aesthetic. The functions are dominated by informative functions, i.e. 47,05% These classifications are based on Leech (1997). Related to the meaning of metaphor, the analysis also used Leech (1997). The meaning of metaphor are categorized into (1) connotative, (2) stylistic, (3) affective, (4) reflective, and (5) colocative.All these types of meanings are exists in the results of the analysis.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan manusia kerap
menjadi pilihan penutur suatu bahasa dalam berinteraksi sehari-hari. Ungkapan
digunakan sebagai pengayaan variasi komunikasi agar situasi tutur tidak monoton.
Ungkapan dapat diidentifikasi mirip dengan bahasa figuratif, metafora atau
analogi, berbeda dari bahasa biasa.
Spesifikasi makna ungkapan sangat ditentukan oleh faktor-faktor etnografi
komunikasi. Artinya, makna sebuah ungkapan sangat ditentukan oleh konteks
situasi dan konteks sosial budaya penuturnya. Oleh sebab itu, pemahamannya
memerlukan pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan. Ungkapan bahasa disebut
juga ekspresi linguistik (Wahab (1986:11) yang berfungsi untuk menandai tuturan
yang bermakna metafora. Salah satu bahasa daerah di Indonesia yang kaya dengan
bahasa metaforis adalah bahasa Minangkabau (BM).
Minangkabau berasal dari gabungan dua kata, yaitu minang yang berarti
’menang’ dan kabau yang berati ’kerbau’. Menurut legenda, nama ini diperoleh
dari peristiwa perselisihan antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera
dari negara berjiran mengenai isu tanah. Agar di keduabelah tidak terjadi
pertumpahan darah, maka persengketaan itu dilambangkan dengan pertandingan
adu kerbau. Putera tersebut menyetujuinya dan menghadirkan seekor kerbau
sapi yang lapar dengan tanduk yang sudah ditajamkan. Sebegitu pertarungan
dimulai, sapi yang lapar tersebut dengan tanduk yang sudah ditajamkan dengan
tidak sengaja menyeruduk perut kerbau yang besar, sehat dan ganas itu karena
ingin mencari puting susu untuk menghilangkan rasa laparnya. Akhirnya kerbau
tersebut mati dan rakyat setempat menang dan sekaligus memenangkan sengketa
tanah tersebut.
Masyarakat Minangkabau (biasanya disingkat menjadi masyarakat
Minang) dikenal sebagai masyarakat perantau. Oleh sebab itu tidak heran kalau di
hampir seluruh pelosok penjuru tanah air dapat dijumpai masyarakat suku ini.
Biasanya mereka menetap dan membaur dengan masyarakat setempat. Dalam
berkomunikasi dengan sesama sukunya, masyarakat Minangkabau dikenal dengan
masyarakat yang kukuh mempertahankan bahasanya. Dalam kondisi dan situasi
tutur apapun mereka cenderung menggunakan bahasanya. Hal demikian juga
terjadi juga bagi masyarakat Minangkabau yang menetap di kota Medan,
khususnya di kelurahan Banjai Medan Denai. Dipilihnya lokasi penelitian tersebut
didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat penutur bahasa Minangkabau di
wilayah ini menempati jumlah kedua terbanyak dari lima sukubangsa yang
mendiami wilayah ini (Batak = 49,18%, Melayu = 6,35%’, Jawa = 22,17%,
Keturunan = 0%, dan Minang = 22,28%, dari total jumlah penduduk 51054 jiwa)
(Sensus 2009). Masyarakat Minangkabau yang berdomisili di wilayah ini berasal
dari Padang Pariaman dan hidup secara turun-temurun di wilayah ini. Bahasa
Minangkabau (BM) merupakan rumpun bahasa Austronesia dan Melayu
dalam bidang struktur kalimat, leksikon, maupun morfemnya (Ayub dkk., 1993:2;
dan Jufrizal, 1996:3 dalam Antara, 2007). Sebagai bahasa daerah, fungsi BM
adalah sebagai bahasa pertama dan utama dalam komunikasi sehari-hari
masyarakat Minangkabau. Isman, dkk., (1978:45) menjelaskan bahwa dalam
pembicaraan yang bersifat intra etnis sesama masyarakat Minangkabau, BM
dipakai oleh 96,02% penduduk Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau juga
dikenal dengan kesetiaannya dengan bahasa ibunya.
BM berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan daerah. Sebagai
bahasa pertama di daerah asalnya, BM juga dipergunakan secara aktif oleh
masyarakat Minangkabau di perantauan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Mengingat begitu luasnya dan begitu penting fungsi BM ini diberbagai aspek
kehidupan masyarakat Minangkabau di daerah asal dan daerah-daerah lainnya itu,
maka sudah selayaknya itu menjadi salah satu alasan pemilihan permasalahan
bahasa untuk diteliti secara mendalam.
Fenomena bahasa BM yang akan diteliti adalah metafora. Lebih
lengkapnya adalah metafora bahasa BM dialek Pariaman (BMDP) yang dipakai
oleh masyarakat penutur dialek tersebut di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan
Denai Kota Medan. Dalam bertutur sehari-hari, masyarakat tutur BM kerap
menggunakan metafora. Misalnya untuk menyatakan (1) ’belajar dari pengalaman
sebelumnya’ metafora yang selalu digunakan adalah basiang ateh tumbuah,
batimbang ateh nen lalu (bersiang atas tumbuh, bertimbang atas yang lewat). (2) ’terjadi perselisihan’ metafora yang digunakan basilang kaie (bersilang kail). (3)
maminjam jari kuruih dengan sarat mengembalikan jari gapuak (meminjam jari kurus dengan sarat mengembalikan jari gemuk).
Penggunaan bahasa sebagai sarana berkomunikasi sehari-hari pada
masyarakat Minangkabau di wilayah penelitian tidak terlepas dari penggunaan
metafora. Dari pengamatan sepintas, diperoleh kekerapan penggunaan tuturan
yang bermakna metaforis dalam percakapan sehari-hari. Bentuk metafora
bahasaMinangkabau dialek Pariaman dengan berbagai bentuk strukturnya yaitu
merupakan penyampaian maksud dengan cara tidak langsung.
Bahasa (termasuk BMDP) adalah sarana untuk menyampaikan perasaan
dan pikiran penuturnya (Pateda, 2001:53). Penyampaian maksud dan tujuan
tuturan BMDP dapat dinyatakan dengan makna yang disampaikan secara kias
dan disampaikan secara tidak langsung. Penggunaan kias ini (dalam bahasa
Indonesia) dikenal dengan istilah majas.
Pemahaman makna metafora secara tepat perlu ditekankan unsur
semantiknya dengan lingkungan tempat peristiwa berbahasa itu terjadi. Penutur
dan pendengar biasanya telah memahami sebuah bentuk tuturan yang
menggunakan metafora karena mereka telah mengetahui penerapan dan
penggunaan makna simbol bahasa pada suatu rujukan BMDP. Sebagai contoh
makna frasa buayo gadang /buayo gadaη/ ’penipu’ sudah merupakan bentuk
metafora yang melekat dalam tuturan sehari-hari. Arti denotatif frasa buayo
gadang /buayo gadaη/ adalah ’buaya ukuran besar’. Tetapi frasa ini di kalangan
masyarakat Minangkabau yang mayoritas pedagang memiliki makna konotatif
Pemahaman makna metafora secara tepat perlu ditekankan unsur
semantiknya dengan lingkungan tempat peristiwa berbahasa itu terjadi. Pendengar
dapat memahami sebuah bentuk tuturan dalam bentuk metafora karena yang
bersangkutan telah mengetahui penerapan makna simbol bahasa pada sebuah
rujukan (referent) BMDP telah menyimpang dari makna leksikalnya.
Penyimpangan penerapan makna leksikal terhadap rujukan tersebut ditandai oleh
penerapan makna simbol bahasanya, baik dalam bentuk kata, frasa, maupun
kalimat. Artinya, kata, frasa, atau kalimat yang digunakan untuk membentuk
metafora dicirikan oleh penerapan makna yang menyimpang dari makna
leksikalnya.
Metafora, dalam pengertian sempit dapat dijelaskan sebagai bagian majas
atau khususnya diklasifikasikan sebagai kategori perbandingan yang sejajar
dengan simile dan personifikasi (Moeliono, 1989:32; Keraf, 1986:24; dan Murray
dalam Sack (ed.) 1979:36). Moeliono (1997:15) menyebutkan bahwa pengertian
sempit ini dapat dikategorikan pada pengertian umum dalam bahasa Indonesia
karena istilah metafora dinyatakan sebagai bagian dari majae, sebagai subkategori
perbandingan. Keraf (1986:23—26) memberikan contoh majas meliputi metafora,
personifikasi, simile (perumpamaan), pars pro toto, totem pro parte, sinekdoke,
sarkasme, litotes, dan eufimisme. Dalam hal ini Keraf menegaskan bahwa
metafora bukan dalam pengertian luas, tetapi metafora dalam pengertian sempit
atau sebagai salah sati bagian dari istilah subkategori majas.
Dalam pengertian luas, metafora menduduki posisi payung untuk semua
Sacks (ed.) 1979:181). Ortony (ed.), 1979:v—vi (dalam Antara, 2007)
menjelaskan bahwa masalah perbandingan yang terdapat dalam istilah metafor
sangatlah kompleks dan bersifat multidisiplin.
Penelitian yang dilakasanakan berfokus pada metafora yang digunakan
pada wacana lisan. Posisi metafora dalam penelitian ini didasarkan pada
pengertian secara luas atau yang memayungi semua tuturan BMDP secara lisan
yang bermakna kias. Dasar teori yang digunakan adalah linguistik sehingga acuan
analisisnya berkisar pada unsur morfologi, sintaksis, fungsi, dan semantiknya.
Berkaitan dengan masalah yang diteliti, digunakan beberapa teori linguistik yang
terkait dengan masalah yang diteliti sehingga penerapan teorinya disebut ekletik.
Teori ekletik dipakai sebagai kerangka kerja untuk menganalisis masalah bentuk
BMDP, sedangkan analisis fungsi dan makna ditentukan dengan menggunakan
teori dan fungsi bahasa dan teori makna asosiasi (Konsep Leech 1997).
Penentuan analisis bentuk, fungsi, dan makna BMDP dikaitkan dengan
situasi tuturannya, seperti di mana dan bagaimana peristiwa tutur itu berlangsung.
Dalam kegiatan menganalisis metafora akan melibatkan antara masyarakat
penutur dan budayanya. Penelitian metafora ini juga tidak terlepas dengan
kehidupan dan latar budaya masyarakat pendukung bahasa tersebut. Ekspresi
berbahasa bermakna metaforis terdapat juga dalam kegiatan berbahasa dalam
masyarakat di lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai
1.2 Perumusan Masalah
Ada tiga masalah pokok yang akan diungkap dalam penelitian tentang
metafora BMDP. Ketiga masalah itu antara lain:
1) Bagaimanakah bentuk struktur metafora BMDP pada masyarakat
Minangkabau di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota
Medan?
2) Apakah fungsi metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai
Kecamatan Medan Denai Kota Medan?
3) Makna apakah yang tersirat dari bentuk metafora BMDP pada
masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota
Medan?
Dilihat dari perumusan masalah di atas, penelitian ini terbatas hanya pada
bidang linguistik untuk dapat mengungkapkan bentuk (pola) struktur, fungsi, dan
arti semantis tuturan metafora dalam BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai
Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Pelaksanaan analisis linguistik BMDP
meliputi uraian sebagai berikut.
(1) Analisis bentuk setiap data metafora BMDP didasarkan atas
ketatabahasaan yang meliputi bidang morfologi dan sintaksis. Analisis
morfologi meliputi morfem, yang terdiri atas morfem bebas dan morfem
terikat. Analisis sintaksis meliputi fungsi sintaksis seperti subjek, objek,
dan predikat dengan mengacu pada tata bahasa tradisional seperti yang
dikemukakan oleh buku Alisjahbana (1965) dan Alwi, dkk. (2003). Uraian
konstituen simbol lingual yang digunakan sebagai pembanding dan
sebagai terbanding dalam analisisnya.
(2) Analisis fungsi setiap BMDP yang merupakan bentuk metafora dirujuk
dengan pembagian fungsi bahasa, seperti yang dikemukakan Leech
(1997:52 – 54).
(3) Analisis makna setiap data BMDP dilakukan dengan menerapkan teori
komparasi (Henle, 1958:174), yang menekankan analisis komponen
(Mooij, 1976:18—28). Maksud yang tersirat diinterpretasikan dengan
konsep Ogden dan Richards (1976:15) dan klasifikasi maksudnya dirujuk
dengan konsep makna asosiasi dari Leech (1997:12—30).
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab persoalan yang dituangkan
dalam perusan maslah, yaitu antara lain:
1) Mendeskripsikan bentuk struktur metafora BMDP pada masyarakat
Minangkabau di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota
Medan.
2) Mendeskripsikan fungsi metafora BMDP pada masyarakat Kelurahan
Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan.
3) Mendeskrisikan makna apa saja yang tersirat dari bentuk metafora
BMDP pada masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai
1.4 Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang sekaligus akan diperoleh dalam penelitian ini yaitu
manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk:
(1) memberikan informasi mengenai temuan penelitian tentang metafora
khususnya metafora BMDP yang ada di wilayah penelitian dalam tesis
ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan teori atas
dasar data yang terekam dalam penelitian ini akan dapat dijadikan
bahan bandingan untuk kajian lebih lanjut atas fenomena kebahasan
yang serupa dalam setiap bahasa daerah di wilayah Indonesia,
(2) menambah jumlah dokumentasi penelitian BMDP yang sudah ada
yang berkaitan dengan bahasa yang bermakna kias.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini akan sangat berguna khususnya
(1) bagi pemahaman berbahasa masyarakat Kelurahan Banjai Kecamatan
Medan Denai Kota Medan khususnya dan masyarakat Minangkabau
pada umumnya, mengingat penutur di Kelurahan Banjai Kecamatan
Medan Denai Kota Medan ini selalu menggunakan bermacam bentuk
metafora.
(2) penelitian ini juga bermanfaat khususnya yang berkaitan dengan
penggunaan BMDP yang bermakna metaforis sehingga perlu ada
pensosialisasikan tentang penafsiran maksud yang diperoleh secara
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK
2.2 Teori-teori yang Relevan
Konsep kata ‘metafora’ atau ‘metaphor’ berasal dari meta dan sphere
(metasphere). Meta berarti ‘berhubungan dengan’ seperti dalam kata
metalanguages, metaphysics, metathesis, metabolism, metallurgy. Sphere berarti ruang, lingkungan, bola. Jadi metafora (metaphor) berarti ‘hal-hal yang
berhubungan dengan sekitar’.
Hester, 1976:16—17 (dalam Antara, 2007) menyebutkan metafora
merujuk pada dua komplemen yang sejajar yakni epiphor dan diaphor. Epiphor
berarti metafora yang mengimplikasikan makna (semantik) konteks
seluas-luasnya. Diaphor berarti ‘tipe yang ada dalam batin’. Keterangan ini dikutip oleh
Hester dari tulisan Wheelwright dalam bukunya “Metaphor and Reality”
(Bloomington, 1962:35—36) yang ditulis kembali oleh Hester dalam bukunya
“The Meaning of Poetic Metaphor (1967:17). Hester juga menyebutkan bahwa
metafor sangat baik karena memiliki kekuatan untuk menyatakan suatu hal,
khususnya untuk menciptakan karya sastra, seperti yang dinyatakan dalam kalimat
The best metaphors display a fision of diaphor and epiphor... gives the metaphor its power.
Foss, 1976:61 (dalam Antara, 2007) menambahkan bahwa penggunaan
metafor dalam bentuk tuturan kalimat lebih memiliki kekuatan dibandingkan
dalam bentuk sebuah kata. Mooij (1976:14) berpendapat bahwa dalam kalimat
Kekejaman Napoleon diibaratkan dengan kekejaman serigala. Fitur srigala yang
paling tepat untuk melukiskan kekejaman yang dimiliki Napoleon. Unsur-unsur
yang membangun metafora disusun dari beberapa identitas simbol, di antaranya
berupa kelas kata, seperti nomina, adjektifa, dan verba. Simbol lingual
metaforanya dapat berupa sesuatu (the things), seseorang (person), ide (ideas),
periode (periods), wilayah (areas), kualitas (quality), disposisi (dispositions),
hubungan (relations) dan lain-lain.
Konsep metafora menurut Aristoteles (dikutip Hester 1976:14) bahwa
metafora dinyatakan sebagai pemberian nama yang berasal dari bidang lain. Cara
pemindahan nama itu dapat dilaksanakan dari hal-hal yang umum ke khusus, dari
yang khusus ke umum, dari yang khusus ke khusus atau atas dasar analogi. Cara
tersebut dimungkinkan bilamana ada empat syarat demikian (A, B, C, dan D)
yang berkaitan. Cara tersebut dimungkinkan belamana ada empat syarat demikian
yang berkaitan, yaitu yang ke (B) berkaitan dengan yang pertama (A), dan yang
keempat (D) dengan yang ketiga (C). Yang dianggap sebagai makna metafora
dalam perbandingan ini adalah (D). Hal ini berarti A:B = C:D yakni unsur yang
kedua (B) berbanding dengan yang pertama (A) dan juga seperti unsur yang
ketiga (C) dengan yang keempat (D) sehingga pemahaman makna pada (D)
mengacu pada (A).
Konsep metafora menurut Searle (1979) yang menyebutkan bahwa
kedudukan metafora dalam keseluruhan bahasa kias atau figuratif dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu (1) metafora yang diposisikan dalam
dalam arti yang sempit. Posisi sebagai payung tersirat dalam pandangan yang
dikonsepkan Searle (dalam Ortony, ed. 1979:92—123). Di sini Searle menyatakan
istilah metafora sebagai sebuah ekspresi kebahasaan yang bermakna figuratif. Dia
juga mengemukakan bahwa dua tipe teori metafora, yaitu teori perbandingan
(comparison theories) dan teori interaksi semantik (semantic interaction teories).
Kedua teori ini menekankan bahwa konteks yang terdapat dalam ungkapan
metafora mengandung dua sisi makna, yaitu sisi yang satu bermakna metaforis
dan sisi yang lainnya bermakna harafiah. Hakikat metafora menurutnya adalah
membandingkan dua hal, yakni yang dibandingkan/terbanding (Tb) dengan yang
dipakai untuk membandingkan/pembanding (Pb). Hakikat pembicaraan metafora
merujuk pada semua tuturan yang bermakna kias.
Konsep metafora menurut Saussure (1988) dikaitkan dengan istilah sign
berarti tanda, simbul, atau lambang. Teori tanda banyak dikembangkan oleh
Pierce, dalam bidang linguistik oleh Saussure (1988:63—69).
Beragam pendapat dan penjelasan tentang metafora telah banyak dijumpai.
Salah satu di antaranya adalah pendapat dan penjelasan yang diungkapkan oleh
Beardsley (1981:134—135) yang menyebutkan bahwa ada tiga jenis teori yang
perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan metafora, yaitu: (a) teori emotif,
(b) teori supervenience, dan (c) teori literal.
Teori pertama, sebagai akibat intensitas emosi, memandang metafora dan
bentuk-bentuk kias pada umumnya merupakan dislokasi dan disfungsi bahasa.
Dilihat dari struktur bahasa formal metafora seolah-olah salah tempat, salah
Sebaliknya, dengan pertimbangan bahwa metafora dan penyusunan bahasa sastra
pada umumnya dimaksudkan untuk memperoleh makna karya secara maksimal,
maka penyimpangan seperti ini justru merupakan keunggulan penggunan bahasa.
‘Pisau bedah’ misalnya, yang semula mengacu pada pengertian benda konkret
kemudian menjadi ‘dasar teori’ yang digunakan untuk mengungkap suatu
fenomena secara ilmiah. Ketajaman pisau bedah dirujuk sebagai ketajaman dan
ketepatan pemilihan sebuah teori untuk mengungkap fenomena keilmuan secara
tepat agar hasil yang diperoleh juga tepat. Ketajaman teori dalam mengungkap
suatu fenomena jelas mengevokasi emosi untuk memahaminya. Di samping itu,
pisau bedah bermakna ketelitian yang tinggi karena salah pisau bedah yang dipilih
akan berakibat menghilangkan nyawa seseorang.
Teori kedua, teori supervenience mencoba memahami kemampuan
sekaligus kelebihan bahasa sastra, khususnya metafora dibandingkan dengan
bahasa secara harafiah. Dalam metafora makna tidak lahir secara literal, makna
tidak ada dalam kamus, sehingga seolah-olah tidak ada hubungan atara kata-kata
dengan acuan, masing-masing unsur berdiri secara independen. Makna lahir
secara tak terduga, seolah-olah tidak diharapkan. Metafora lebih sebagai semacam
pemecahan teka-teki. Makna literal yang terkandung lenyap, digantikan oleh
makna metaforis. Foss (1949:61—62) menyebutkan bahwa makna metaforis
terkandung di dalam proses bukan kata-kata tunggal. Teori ini memandang
metafora sebagai jenis bahasa khas.
Teori ketiga, teori literal merupakan teori harafiah dan sekaligus
pada umumnya. ’Mobilnya seperti mobilku’ misalnya, dianggap sebagai
perbandingan langsung, simile, sedangkan metafora adalah kiasan (simile)
tersembunyi. Beardsley, 1981:138 (dalam Antara, 2007) menjelaskan bahwa
simile terdiri atas dua jenis yaitu simile terbuka dan simile tertutup. Metafora
dikategorikan pada simile tertutup karena memiliki cara kerja yang sama. Makna
perbandingan langsung dan simile terbuka terkandung dalam konteks. Sebaliknya
konteks dalam metafora secara terus menerus dihilangkan sebab kehadirannya
mengurangi terjadinya produksi makna. Metafora dengan demikian bukan
perbandingan tak langsung melainkan perbandingan itu sendiri. Berbeda debgan
teori pertama, sebagai teori emotif, teori kedua dan ketiga bersifat kognitif.
Lakoff dan Mark (1980) berfokus pada dua hal utama. Yang pertama
adalah metafora sebagai proses kognitif dan merupakan hasil pengalaman. Oleh
sebab itu mereka menyebutkan bahwa metafora adalah sebagai proses kognitif
eksperimental. Atas dasar proses kognitif ini, tuturan dapat dianalisis
tema-temanya yang tersirat yang mempunyai makna metafora.
Metafora juga dinyatakan sebagai ekspresi linguistik. Artinya adalah
bahwa metafora memiliki karakteristik bahasa dan merupakan sebuah perspektif.
Di samping itu juga metafora adalah merupakan masalah imajinasi rasionalitas.
Dalam hal ini, konsep itu tidak hanya menyangkut masalah intelektualitas tetapi
juga di dalamnya memuat semua pengalaman yang alami sehingga pemahaman
makna metafora didasarkan atas aspek pengalaman, di antaranya pengalaman
pengungkapan jenis dari sesuatu yang bermakna figuratif dan metafora dikaitkan
dengan jenis bahasa figuratif lainnya sepertipersonifikasi dan metonimi.
Lakoff dan Mark (1980:53) juga menyebutkan bahwa metafora didapati
dalam kehidupan sehari-hari. Ditambahkan bahwa berdasarkan pengalaman
konsep metafora meliputi tiga hal, yaitu (1) ide (makna) untuk menandaai sesuatu
yang berupa objek, (2) ekspresi linguistik yaitu berupa kata-kata sebagai
wadahnya (kontainer), dan (3) cara komunikasi atau cara penutur menyampaikan
maksud secara figuratif.
Sebagai salah satu kajian linguistik, metafora dapat dianalisis berdasarkan
atas unsur-unsur kalimat atau struktur kalimat. Melalui kajian linguistik dapat
diketahui bahwa unsur yang terdapat dalam metafora berupa ekspresi harafiah dan
ekspresi imajinasi metaforis. Esensi konsep metafora berupa pemahaman dan
pengungkapan jenis sesuatu yang bermakna metaforis. Untuk memahaminya
sangat diperlukan penerapan dasar teori perbandingan. Dicontohkan, kalimat A
adalah B akan dianggap sama maknanya dengan kalimat A sama seperti B.
Pengertian ini menunjukkan bahwa metafora menduduki posisi yang lebih luas
untuksemua pengertian yang mengandung makna perbandingan. Ini didasarkan
atas pemahaman tentang metafora melalui proses kognitif.
Berbeda dengan teori di atas, Luxemburgh, dkk., 1984:187 (dalam Antara,
2007) mengutarakan bahwa untuk memberikan intensitas terhadap metafora itu,
gaya bahasa dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu metafora
(perumpamaan) dan metonimia (sinekdoke). Sinekdoke yang paling kerap
totalitas atau sebaliknya. Meskipun metafora dan perumpamaan dianggap sama
tetapi keduanya pada dasarnya juga memiliki perbedaan. Perbandingan dalam
metafora terjadi secara implisit, dalam perumpamaan secara eksplisit, biasanya
dengan menggunakan kata-kata penghubung, di antaranya adalah ’seperti’,
’umpama’, ’laksana’, ’bak’. Dalam kalimat ’Ayahku mendidikku sebagai
seorang guru’ adalah perumpamaan, sedangkan ’Ayahku guruku’ adalah metafora. Dalam perumpamaan, dengan perbandingan secara eksplisit maka motif
lebih terbatas, misalnya, sebagai guru dengan unsur pendidik. Sedangkan dalam
metafora dengan tidak adanya kata penghubung ’sebagai’, maka interpretasi
terjadi secara lebih bebas sehingga dimungkinkan untuk menunjukkan motif-motif
secara terbatas. Seorang ayah di samping mampu mendidik anaknya secara moral
spiritual, ia harus mampu pula mengajarkan ilmu pengetahuan. Dengan kalimat
lain, makin singkat baris yang digunakan untuk melukiskan suatu objek, maka
makin kayalah penafsiran yang dihasilkan. Urutan baris di bawah ini
menunjukkan terjadinya perbandingan terbalik antara panjang pendek baris
dengan perkembangan makna tersebut.
’Ayahku mendidikku bagaikan seorang guru ’Ayahku bagaikan seorang guru’
’Ayahku guruku’ ’Guruku’
Teori lain tentang metafora digagas oleh Cormac (1985) dalam bukunya
berjudul A Cognitive Theory of Metaphor. Pembahasannya berkisar tentang
dipandang menduduki posisi kunci atau sebagai payung dari semua tuturan yang
metaforis, baik metafora yang konvensional maupun metafora yang berbentuk
struktur dari hasil imajinasi atau kreativitas. Dengan kreasiberbahasatelah tercipta
keragaman bentuk metafora dengan arti yang baru.
Dari uraian konsep metafora di atas (Beardsley,1981; Lakoff dan Mark,
1980; Luxemburgh, dkk., 1984; dan Cormac, 1985) dapat disimpulkan bahwa
metafora merupakan payung bagi semua jenis ungkapan yang mengandung
konsep perbandingan. Anggapan yang mendudukkan posisi metafora BM sebagai
payung didasarkan pada konsep perbandingan antara yang ditandai (terbanding)
dengan yang menandai (pembanding).
Hal-hal inti yang diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa:
(1) pengertian metafora mengacu pada semua bahasa yang bermakna figuratif,
(2) anggapan yang mendudukkan posisi metafora sebagai payung, didasarkan
atas paham kognitif, dan
(3) konsep perbandingan antara yang ditandai dengan yang menandai.
Ketiga hal inti di atas sangat tepat diterapkan pada penelitian metafora
BMDP ini. Istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah ’petanda’ untuk
terbanding dan ’penanda’ untuk pembanding.
Intisari pendapat para ahli yang diutarakan di atas dapat digambarkan
Bagan 1: Metafora
2.2 Fungsi dan Makna Metafora 2.2.1 Fungsi Metafora
Menurut Leech (1997) Fungsi penggunaan metafora bentuk lisan
dikelompokkan ke dalam beberapa jenis fungsi, di antaranya adalah.
1. Fungsi Informasi
Yang dimaksud dengan funsi informasi di sini adalah penggunaan
tuturan bahasa secara metaforis yang fungsinya adalah sebagai sarana
guna menyampaikan informasi tentang pikiran dan perasaan dari
penutur kepada lawan tuturnya. Ciri-ciri fungsi ini adalah adanya
pencirian yang tersirat dalam pesan yang disampaikannya. Ciri-ciri
fungsi tersebut biasanya yang mengandung ide, keyakinan, kepastian,
kemarahan, kekhawatiran, kegelisahan, dan keberanian. Bahasa yang bermakna kias (majas)
dengan unsur mengandung perbandingan
2. Fungsi ekspresif
Yang dimaksud dengan metafora berfungsi ekspresif adalah
penyampaian penggunaan tuturan bahasanya secara metaforis
mengandung suatu harapan sesuai dengan harapan dan keinginan
penutur kepada lawan tuturnya. Ciri-ciri fungsi ini dengan tersiratnya
maksud yang menandai adanya pengarahan, anjuran, atau harapan.
3. Fungsi direktif
Yang dimaksud dengan fungsi direktif apabila tuturan bahasanya
secara metaforis mengandung unsur-unsur yang dapat mempengaruhi
sikap,kemandirian. Biasanya ciri fungsi direktif ini ditandai dengan
adanya perintah, instruksi, ancaman, atau pertanyaan.
4. Fungsi fatik
Yang dimaksud dengan fungsi fatik apabila tuturan bahasanya secara
metaforis mengandung unsur-unsur yang dapat menginformasikan
pesan dengan tujuan untuk menjaga hubungan agak tetap harmonis.
Ciri-cirinya antara lain penggunaan bahasa yang bermakna hubungan
baik dan buruk, kedekatan hubungan sosial, hubungan keakraban,
hubungan kekerabatan antara penutur dan lawan tuturnya.
2.2.2 Makna Metafora
Makna yang tersirat dari bentuk metafora didasarkan pada makna asosiatif
sejalan dengan yang disarankan Leech (1997:12-30). Ada tujuh tipe makna
makna reflektif, (5) makna kolokatif, (6) makna tematik, (7) makna stilistik. Lima
dari tujuh tipe makna itu diklasifikasikan sebagai rujukan makna asosiatif.
(1) Tuturan metafora yang bermakna konotatif apabila maksud
yang dikomunikasikan secara metaforis sesuai dengan apa
yang diacu dalam bahasa itu. Dengan kata lain makna
konotatif adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata
yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau
ditimbulkan pada pembicaraan dan pendengar.
(2) Tuturan metafora bermakna stilistik apabila tuturannya
bermaksud mengkomunikasikan gambaran atau keadaan
sosial. Misalnya penggambaran sifat, kepribadian dan
keadaan.
(3) Tuturan metafora bermakna afektif biasanya untuk
mengutarakan perasaan tingkah laku atau keadaan pribadi
penutur. Misalnya ketidakmampuan secara ekonomi,
pengetahuan, dan fisik.
(4) Tuturan metafora bermakna reflektif biasanya tuturan yang
dimaksudkan untuk menunjukkan simbol lingual bermakna
ganda dan makna ekspresi tersebut telah ada sebelumnya.
(5) Tuturan metafora yang bermakna kolokatif apabila tuturan
disampaikan dengan maksud untuk hal-hal yang berkonteks
kultural dan sosial. Ada dua hal pokok yang perlu
pesan, (2) penafsiran maksud (Leech, 1997:12-30). Makna
metafora jenis ini lebih ditekankan pada penentuan maksud
yang dituturkan oleh penutur. Orientasinya adalah pada
pesan apa yang ditransfer secara metaforis oleh penutur
kepada lawan tuturnya, sesuai dengan situasi,peristiwa, dan
lokasi tutur dimaksud. Dasar pemahaman metafora
didasarkan atas tuturan kalimat penutur dan interpretasi
didasarkan atas maksud metafora yang disampaikan. Dalam
hal ini ada kaitannya antara penutur (encoder) dengan
lawan tutur (decoder).
Makna metafora sangat berkaitan antara makna harafiah dan makna
figuratifnya. Hubungan antara makna harafiah dan makna figuratif yang terdapat
di metafora merupakan versi yang disingkat dalam satu kalimat, dan maknanya
saling berpengarus secara kompleks. Alur gerak makna metafora BMDP dimulai
dari semantik kata ke semantik kalimat karena tuturan metafora BMDP adalah
kalimat (Lihat Recoeur, 1979:50-51).
Teknik merumuskan makna metafora dalam penelitian ini dilakukan
sesuai dengan maksud dasar semantik. Di sini ditentukan makna metaforanya
dengan memperbandingkan simbol lingual sebagai pembanding yang dikenakan
pada unsur yang terbanding. Kemudian ditentukan salah satu komponen (fitur)
pembanding yang disesuaikan dengan teori komparasi sehingga dipahami
dimaksudkan oleh penutur sesuai dengan konsep makna asosiatif yang disarankan
Leech (1997:21-24).
2.3 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Pada subbagian ini diuraikan beberapa pustaka yang mengetengahkan
hasil-hasil kajian dan penelitian mengenai metafora khususnya metafora yang
terdapat dalam bahasa Indonesia. Hasil kajian dan penelitian yang akan disitir
sebagai bahan dasar rujukan penelitian ini terdiri atas dua jenis. Jenis pertama
dalam bentuk buku, di antaranya Badudu (1983), Verhaar (1983), Moeliono
(1989), dan Wahab (1995), dan jenis kedua dalam bentuk tesis.
2.3.1 Kajian Metáfora (Dalam bentuk Buku) 2.3.1.1 Sinonim (Badudu, 1983)
Badudu (1983) mengemukakan bahwa metafora sebagai salah satu alat
gaya bahasa Indonesia. Metafora juga sebagai sesuatu yang dibicarakan dan
terdapat sesuatu yang digunakan sebagai pembanding. Artinya metafora dilihat
dari sudut penggunaan sesuatu untuk membandingkan satu hal dengan hal-hal
lainnya.
Selain itu, Badudu juga menjelaskan bahwa metafora dibentuk dari
simbol-simbol dalambentuk unsur-unsur frasa dan klausa. Misalnya, dalam
tuturan metaforis Pemuda adalah tulang punggung negara terdapat frasa tulang
punggung negara sebagai penanda metaforanya. Keadaan fisik manusia dan hewan sebagai sesuatu untuk memperkuat tubuh manusia atau hewan dengan
pembanding (Pb). Perbandingan yang didasari pada persamaan fungsi tersebut
dimaksudkan untuk lebih memperkuat hal yang dibandingkan pada negara dengan
mengambil simbol yang ada pada manusia dan hewan. Pengertian metafora yang
digagas Badudu terbukti sangat cocok dan sesuai untuk diacu dalam penelitian
BMDP yang akan dilaksanakan ini.
2.3.1.2 Pengantar Linguistik (Verhaar, 1983)
Verhaar (1983) menggambarkan metafora sebagai bagian dari
pembicaraan semantik, yaitu dengan membedakan pengertian makna yang
dimaksud. Makna diterangkan sebagai sesuatu yang berada di dalam ujaran itu
sendiri atau sebagai gejala dalam ujaran, sedangkan maksud diterangkan sebagai
sesuatu di luar ujaran atau berada di pihak si penutur.
Sebagai ilustrasi untuk menguatkan pernyataannya, diberi contoh ujaran
kaki gunung berarti bahwa penerapan kata kaki dianggap tidak sesuai dan tidak cocokatau menyeleweng dari pemakaian kata yang sebenarnya. Hal yang
menyeleweng dalam metafora bukanlah makna kata yang dipakai secara
metaforis, melainkan penerapan makna yang bersangkutan. Artinya, makna
tersebut diterapkan pada suatu rujukan (referen) yang tidak sesuai dengan makna
leksikalnya. Kaki gunung bermakna bagian bawah dari gunung yang sejalan
dengan kaki manusia, yang mengacu pada bagian tubuh paling bawah (Verhaar,
1983:129).
Perbincangan metafora juga dikaitkan dengan semantik bahasa khususnya
samping itu juga dibahas tentang bahasa bermakna metaforis yang dikaitkan
dengan analisis berdasarkan kategori kata dan fungsi sintaksis.
Deskripsi yang dipaparkan Verhaar khususnya yang berkenaan dengan
makna simbol bahasa dalam tuturan metafora dapat dijadikan landasan dan acuan
dalam penelitian BMDP ini. Artinya, pengertian makna kata atau frasa yang
menyimpang dari makna yang sebenarnya sangat tepat untuk menganalisis makna
tuturan BMDP.
2.3.1.3 Kembara Bahasa (Moeliono, 1989)
Moeliono (1989:22—23) menggunakan istilah majas untuk
menerjemahkan istilah bahasa Inggris figure of speech. Majas tidak sama dengan
gaya bahasa. Majas dapat digunakan untuk memperkuat gaya bahasa. Majas dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yakni: (1) majas perbandingan; (2) majas
pertentangan; dan (3) majas pertautan. Metafora dianggap sebagai subkategori
majas perbandingan. Bagan di bawah ini menjelaskan kategorisasi metafora
Bagan 2: Pembagian Majas dalam Bahasa Indonesia
Dari Gambar 2 diperoleh keterangan bahwa pembagian setiap majas dapat
dijelaskan susunannya: (1) majas perbandingan meliputi (a) perumpamaan, (b)
metafora, dan (c) personifikasi; (2) majas pertentangan meliputi (a) hiperbola, (b) litotes,
dan (c) ironi; (3) majas pertautan meliputi (a) metonimia, (b) sinekdoke, (c) kilatan, dan
(c) eufimisme.
Dari uraian di atas dapat dilihat kedudukan metafora bukan sebagai payung untuk
semua sugkategori majas, melainkan sebagai subbagian majas perbandingan yang sejajar
dengan simile dan personifikasi. Oleh karenanya, apabila dikaitkan dengan penelitian
yang akan dilakukan ini, yaitu metafora BMDP, maka gagasan Moeliono tidak dapat
diterapkan. Unsur yang bersesuaian dengan penelitian ini terdapat pada aneka struktur
perbandingan.
2.3.1.4 Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra (Wahab, 1995)
Istilah yang digunakan untuk menandai tuturan metaforis dalam karyanya
adalah ungkapan bahasa (ekspresi linguistik). Pengertian metáfora didasarkan atas
penelitian bahasa Jawa dengan mengetengahkan definisi sebagai berikut: MAJAS
1. majas perbandingan 2. majas pertentangan 3. majas pertautan
a. perumpamaan b.metafora c.personifikasi
a.hiperbol b.litotes c. ironi
“….metaphor is defined as a linguistic expresión which signifies a concept which
in its literal meaning it does not signify and which, normally, is signified by some other words or expressions”…. (Wahab, 1986:11, dalam Antara, 2007).
Definisi di atas menggambarkan pengertian bahwa ‘metafora adalah
ungkapan bahasa yang menandai sebuah konsep, yang di dalam makna
harafiahnya belum menandakan kejelasan secara umum, dan untuk kejelasannya
digunakan kata-kata atau dengan ungkapan bahasa yang lain’. Dengan kalimat
lain, sebuah konsep yang biasanya diungkap secara lugas dapat dikemukakan
dengan menggunakan bahasa metaforis atau penyampaian maksud dilakukan
dengan cara tidak langsung atau nonlinier. Selain sebagai alat dalam konteks
retorika, metáfora juga terkait dengan konteks budaya dan diistilahkan dengan
bahasa bermakna nonlinier Wahab, 1995:54—46 (dalam Antara, 2007).
Dalam menganalisis bahasa Jawa konsep yang digunakan Wahab adalah
konsep struktur kebahasaan yang digagas oleh Miller (1979:323—330). Dalam
penjelasannya, metáfora dibedakan menjadi: (1) struktur metáfora, (2) susunan
kategori ruang persepsi untuk menyusun metáfora berdasarkan konsep Haley, dan
(3) metáfora sebagai ungkapan bahasa yang nonlinier. Struktur metáfora sendiri
dibedakan menjadi empat bagian; (a) metafora nominatif subjektif (MNS), (b)
metáfora nominatif objektif (MNO), (3) metáfora predikatif (MP), dan metáfora
2.3.2 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu (Tesis)
2.3.2.1 Metafora dalam Surat Keputusan (Rahmah, 2002)
Dalam judul tesis di atas, Rahmah (2002) menelaah metafora dalam Surat
Keputusan (SK) yang terdiri atas SK Pemerintah dan Non-pemerintah. Landasan
teori yang digunakan dalam analisisnya adalah teori Linguistik Fungsional
Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleeh Halliday. Fokus utamanya adalah pada
tataran gramatika khususnya metafora gramatikal yang terdapat pada kedua jenis
SK tersebut di atas. Yang dimaksudkan dengan metafora gramatika di sini adalah
berupa fenomena bahasa yang menghadirkan realisasi tidak lazim dalam
mengungkapkan pengalaman nyata. Atau dengan kalimat lain, makna bahasa yang
direalisasikan dengan pilihan leksikogramatika tidak lazim.
Metafora dalam kajian ini dibedakan atas beberapa jenis. Di antaranya
adalah (1) metafora ideasional, termasuk di dalamnya metafora logis dan
eksperiensial (metafora pemaparan pengalaman), (2) metafora antar persona
(metafora pertukaran pengalaman), dan (3) metafora tekstual (metafora
pengorganisasian pengalaman).
Dengan menggunakan teknik sampling non-random (teknik sampling
kebetulan – accidental sampling) diperoleh 15 buah SK dari lembaga pemerintah
dan 15 buah SK dari lembaga non-pemerintah. Analisis metafora gramatikal dari
ketigapuluh SK yang diteliti, diperoleh hasil sebagai berikut.
(6) Tipe metafora gramatika yang terdapat dalam SK pemerintah dan
non-pemerintah meliputi metafora pemaparan yang terdiri atas relokasi
atas metafora vokatif, metafora modus, dan metafora modalitas serta
metafora pengorganisasian pengalaman terdiri atas metafora rujukan,
metafora konjungsi dan tematisasi.
(7) Tipe metafora gramatikal yang dominan digunakan pada SK pemerintah
dan non-pemerintah adalah metafora pengorganisasian pengalaman
tekstual.
(8) Dari bandingan kedua jenis SK itu, ditemukan bahwa SK pemerintas
mengimplikasikan birokrasi yang secara tidak langsung merefleksikan
kekuasaan dan jarak. Sementara SK non-pemerintah memberi implikasi
keterbukaan, bebas, dan tidak kaku dengan peraturan dan memperhatikan
persamaan hak dan solidaritas.
(9) Dari temuan 1,2,3 di atas disimpulkan bahwa pembuatan SK pemerintah
dipengaruhi oleh sistem kolonial yang membedakan adanya jarak antara
atasan – bawahan.
Kontribusi yang diperoleh dari tesis ini berkaitan dengan analisis metafora
yang akan dilakukan dalam tesis ini adalah berupa gambaran bahwa metafora
dapat dikaji dan dianalisis dengan berbagai teori. Hal ini menunjukkan bahwa
teori yang digunakan oleh Rahmah tidak berkaitan sama sekali dengan penelitian
yang akan dilakukan ini.
2.3.2.2 Metafora dalam Teks Keuangan dan Perbankan: Suatu Kajian Teks Surat Kabar Medan Bisnis (Ermyna Seri, 2005)
Dalam tesisnya, Seri (2005) menggunakan teori relevansi dan teori
(1986) dan dikembangkan oleh Goalty (1997). Tujuan utama teori ini adalah
untuk menganalisis hubungan antar makna yang digunakan penutur berdasarkan
interpretasi konsep tentang realitas menurut keinginan, pengalaman, dan pikiran
penutur.
Pemahaman metafora dalam interpretasi teks, menurut teori ini,
bergantung pada proses mental dan sumber pengetahuan. Dalam menginterpretasi
teks ada tiga sumber pengetahuan yang harus dimiliki penutur, yaitu (1)
pengetahuan tentang sistem bahasa, (2) pengetahuan tentang konteks: situasi dan
ko-teks yang diperoleh dari teks yang menyertai proposisi berdasarkan situasional,
dan (3) latar belakang skematik pengetahuan: bersifat faktual yang ada di
sekeliling kita, dan berdasarkan atas bahasa yang dipakai masyarakat dengan
mempertimbangkan faktor sosial budaya.
Dari penelitian itu dihasilkan interpretasi metafora terbagi atas tiga
kategori yaitu (1) berdasarkan substitusi, (2) interaksi, dan (3) perbandingan.
Kategori berdasarkan substitusi diperoleh dari hasil analisis wahana yang dapat
disubstitusikan berdasarkan makna yang terdapat di dalam kamus. Kategori
berdasarkan interaksi diperoleh dari hasil analisis wahana dan topik. Wahana
dikiaskan seperti topik sehingga ada hubungan atau relevansi antara fitur-fitur
yang terdapat di dalam wahana dan topik. Kategori perbandingan diperoleh dari
hasil antara wahana dan topik dengan mempertimbangkan fitur-fitur yang terdapat
di dalam wahana dan topik, sehingga diperoleh persamaan fitur. Kemudian,
dengan menggunakan metode dekriptif dengan sumber data yang berasal dari teks
28 Pebruari 2005 diperoleh hasil penelitian sebagai berikut. Dari ketiga kategori
interpretasi metafora menunjukkan bahwa frekuensi pemakaian metafora
berdasarkan kategori substitusi merupakan pemakaian metafora yang paling
dominan yakni sebesar 44%. Sementara kategori interaksi dan kategori
perbandingan masing-masing 41% dan 15%.
Kontribusi yang dapat dijadikan bahan acuan terkait dengan penelitian
yang akan dilakukan ini adalah sama dengan penelitian pertama di atas, yaitu
adanya perbedaan teori dan pendekatan yang digunakan. Dengan kalimat lain
dapat dikatakan bahwa perbedaan teori dan pendekatan perlu untuk diutarakan
mengingat perlunya adanya ketegasan dalam menentukan penelitian. Di samping
BAB III
METODE PENELITIAN
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.6.1 Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul dalam tesis ini bahwa lokasi yang dipilih adalah
Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan khususnya Lingkungan
20. Dipilihnya lokasi penelitian ini dikarenakan tiga hal. Pertama, lokasi
penelitian dikenal dengan lokasi yang padat huni oleh masyarakat penutur BMDP
(total populasi 51034 jiwa (masyarakat penutur BMDP = 11377 jiwa (22,28%) –
sensus 2009). Karena populasi penutur BMDP yang padat di wilayah ini
kemudian lokasi penelitian tersebut dikenal dengan kampung Padang. Kedua,
masyarakat penutur BMDP dikenal taat dalam menggunakan bahasa ibunya
meskipun sudah lama merantau. Ketiga, peneliti berdomisili di wilayah ini
sehingga mengetahui fenomena penggunaan metafora di kalangan penutur bahasa
tersebut. (lihat Peta Lokasi pada Lampiran 1).
3.6.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan selama dua bulan, dimulai dengan pengamatan
sepintas berkaitan dengan penyusunan proposal tesis ini (Desember 2009).
Kemudian setelah disetujui proposal ini melalui ujian seminar proposal maka
penelitian yang sebenarnya dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Februari dan
3.7 Pendekatan dan Metode Penelitian 3.7.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang metafora bahasa Minang Dialek Pariaman oleh penutur
Minang yang berdomisili di wilayah penelitian (di Kelurahan Banjai Kecamatan
Medan Denai Kota Medan) didasarkan pada teori linguistik. Kridalaksana
(1993:130) mengatakan bahwa bidang penelitian bahasa dilakukan untuk
mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa manusia pada umumnya.
Teori linguistik digunakan untuk menganalisis perihal bentuk, fungsi, dan makna
metafora BMDP oleh penutur Minang yang berdomisili di wilayah penelitian (di
Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan) disesuaikan dengan
penerapannya. Penerapan yang dimaksudkan di sini adalah penerapan linguistik
struktural, pengertian morfologi secara umum, fungsi sintaksis, komponen
konstituen, fungsi bahasa, dan semantik struktural, kelas kata, yang secara
keseluruhan dihubungkan dengan kegiatan dalam menganalisis metafora BMDP
dimaksud.
Van Dijk (dalam Ching, ed. 1980:120—121) memberikan arahan
mengenai kondisi kerja penelitian metafora. Pelaksanaan penelitian metafora
dapat dirinci sebagai berikut:
1) Semua tuturan berupa kalimat metafora yang diperoleh di lapangan
dikumpulkan sebagai data untuk dianalisis.
2) Tidak semua temuan data kalimat yang digunakan penutur dapat
diklasifikasikan sebagai bentuk metafora, tetapi dipilah daan
3) Data kalimat metafora harus tetap memperhatikan situasi konteksnya.
4) Tuturan kalimat diinterpretasikan sebagai tuturan yang bermakna
metaforis.
5) Setiap data metafora diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya, bukan
dengan konteks yang lain.
6) Penerjemahan bahasa sumber (BS) yang bermakna metaforis ke bahasa
target (BT) mempunyai makna yang tetap sama.
Ciri-ciri kalimat metaforis tidak hanya bergantung pada pengertian makna yang
tersirat di dalamkalimat (intension), tetapi bergantung pada unsur luar
(ekstension), antara lain, maksud tutura
3.7.2 Metode Penelitian
Penelitian metafora BMDP ini dapat dikategorisasikan pada jenis
penelitian kualitatif sehingga dari proses pelaksanaan penelitiannya diperoleh
hasil yang sesuai dengan perencanaan penerapan metode kualitatif (Aminnuddin,
ed., 1990:12—13). Data dalam penelitian jenis ini bersifat soft data yang kaya
dengan deskripsi, memperhatikan tempat dan uraian percakapan yang terjadi,
sehingga tidak mudah dilakukan dengan prosedur statistik.
Moleong (1989:3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif dapat juga
berupa pengamatan langsung oleh manusia di lingkungan hidup mereka yang
nyata. Sumarsono dan Paina (1999:9—10) menambahkan perolehan data yang
dilakukan dan dikumpulkan melalui kontak atau juga dilakukan pengamatan
bersifat alami dalam waktu yang lama. Penelitian kualitatif pada umumnya
mengumpulkan data bahasa yang bersifat apa adanya. Semi (1993:24—27)
menyebutnya bersifat ilmiah.
Berkaitan dengan laporan hasil penelitian, Moloeng (1989:14—16)
menyatakan laporan hasil penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan
untaian kata-kata secara rinci yang diistilahkan deskriptif naratif. Alwi (1990:16)
menambahkan bahwa analisis data dilakukan dengan bentuk deskripsi fenomena,
bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antara variabel atau
tidak berupa gambar. Hasil peneltian kualitatif dilengkapi dengan kutipan-kutipan
dari kumpulan data untuk memberikan ilustrasi dan mengisi materi laporan.
Sudaryanto (1992:24—25) menjelaskan bahwa pelaksanaan penelitian
meliputi dua hal, yakni metode dan teknik, yang masing-masing dilengkapi
dengaan langkah kerja. Data metafora BMDP lisan harus diperoleh di lapangan
melalui mendengarkan dan mencatat pembicaraan atau dialog seseorang dengan
orang lain. Catatan data yang telang diperoleh dan dikumpulkan kemudian
datanya dipilih kembali sesuai dengan analisis permasalahan. Data metafora
BMDP dapat dikatakan sifatnya seperti potret atau paparan apa adanya. Hal itu
berarti penekanan hasil penelitian untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna
metafora BMDP merujuk bagaimana cara memandang atau melihat temuan data
dan tidak mempertimbangkan benar atau kurang tepat sebagai ciri utamanya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini. (1)
bagaimana menentukan jenis penelitian BMDP ini. (2) bagaimana menentukan