• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODOLOG

4.2 Pembahasan

Data produksi ikan selama 6 tahun terakhir, menunjukkan telah terjadi penurunan produksi untuk semua alat tangkap yang dioperasikan di Pandeglang. Diduga penyebab utama dari penurunan tersebut adalah peningkatan upaya untuk semua unit penangkapan. Peningkatan upaya penangkapan yang berlebih diduga telah memberikan pengaruh buruk terhadap ketersediaan sumberdaya ikan (stok) sehingga selama beberapa tahun terakhir jumlah spesies ikan yang berhasil didaratkan oleh nelayan terus mengalami penurunan. Tingkat penurunan produksi ikan pelagis kecil di Kabupaten Pandeglang selama 10 tahun terakhir, berdasarkan hasil kajian ini memiliki hubungan linier dengan jumlah upaya penangkapan.

Terjadinya penurunan sumberdaya ikan di Pandeglang merupakan akibat dari perkembangan teknologi penangkapan ikan. Hal ini terlihat dari proporsi penggunaan jukung yang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sedangkan penggunaan perahu papan dengan tenaga penggerak motor tempel atau motor inboard mengalami peningkatan. Selain itu, jumlah unit penangkapan ikan mengalami peningkatan untuk semua jenis.

Secara teknis unit penangkapan ikan yang dioperasikan (gillnet, bagan, pancing, payang dan purse seine) layak untuk dioperasikan. Penentuan prioritas aspek teknis dilakukan dengan mengkaji metode pengoperasian alat tangkap, daya jangkau operasi, pengaruh lingkungan fisik, selektivitas alat dan penggunaan teknologi pada setiap alat tangkap. Berdasarkan hasil perhitungan, unit penangkapan pancing secara teknis lebih diprioritaskan dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Hal ini disebabkan unit penangkapan pancing, memiliki metode operasi mudah, selektivitas tinggi dan kerusakan lingkungan akibat pengoperasian rendah, bila dibandingkan dengan unit penangkapan lainnya. Tetapi kelemahan unit penangkapan pancing Pandeglang saat ini adalah tingkat penggunaan teknologi yang cenderung masih tradisional sehingga daya jangkau operasi alat tangkap pancing rendah.

Tingginya intensitas penangkapan ikan di Pandeglang seperti dikemukakan diatas telah menimbulkan penurunan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, diperlukan suatu penilaian aspek biologi terhadap pengoperasian suatu alat tangkap yang akan menjadi prioritas pengembangan. Berdasarkan hasil pengkajian terhadap aspek biologi perikanan pelagis kecil di Pandeglang (dengan kriteria penilaian meliputi CPUE (catch per unit effort), jumlah trip, komposisi hasil dan ukuran ikan yang tertangkap), maka unit penangkapan purse seine menjadi prioritas utama. Pemilihan

purse seine menjadi prioritas utama secara biologi karena alat tangkap purse seine

memiliki produktivitas tinggi dan komposisi hasil tangkap rendah atau hasil tangkapan purse seine lebih spesifik dibandingkan dengan alat tangkap lain. Kelemahan alat tangkap purse seine adalah trip penangkapan yang lebih lama dibandingkan dengan alat penangkapan lainnya.

Dalam pengkajian alat tangkap, aspek pembiayaan juga memegang peranan penting. Pembiayaan akan menentukan kemampuan orang untuk melakukan investasi dengan kondisi sumberdaya yang tersedia. Penilaian nilai-nilai ekonomi dari suatu alat tangkap juga diperlukan untuk menentukan prioritas pengembangan. Berdasarkan perhitungan terhadap kriteria finansial dan investasi usaha penangkapan ikan pelagis kecil di Pandeglang diperoleh hasil bahwa usaha penangkapan dengan menggunakan payang lebih diutamakan dibandingkan usaha penangkapan lainnya. Hal ini disebabkan tingkat keuntungan yang dihasilkan usaha penangkapan ikan dengan payang lebih tinggi dibandingkan alat tangkap lainnya. Selain itu, tingkat pengembalian usaha lebih cepat, nilai tambah usaha lebih tinggi serta tingkat keterpengaruhan usaha terhadap perubahan suku bunga pinjaman lebih kecil, bila dibandingkan dengan usaha penangkapan lainnya.

Selain nilai tambah yang diterima oleh individu (pengusaha), aspek lain yang diperhatikan dalam menentukan prioritas pengembangan alat tangkap adalah nilai tambah terhadap masyarakat. Oleh karena itu, penilaian aspek sosial terhadap pengoperasian alat tangkap juga menjadi perhatian dalam penentuan prioritas. Kriteria sosial yang digunakan adalah jumlah tenaga kerja dan tingkat pendapatan yang didapatkan oleh nelayan. Hasil perhitungan aspek sosial menunjukkan bahwa usaha penangkapan purse seine menjadi prioritas utama. Hal ini disebabkan usaha penangkapan dengan menggunakan purse seine lebih bersifat padat karya dengan tingkat pendapatan lebih tinggi bila dibandingkan dengan jenis usaha lain.

Hasil pengkajian prioritas alat tangkap dengan menggunakan pendekatan MCA, ternyata menghasilkan keluaran yang berbeda-beda, sehingga sulit untuk menentukan prioritas secara keseluruhan. Berdasarkan perhitungan LGP, jumlah output unit penangkapan dengan menggunakan skenario optimalisasi input produksi adalah

gillnet 242 unit, bagan 272 pancing 215 unit, payang 77 unit dan purse seine 32 unit. Hasil perhitungan ini hampir sama dengan dengan kondisi tahun 2006 perbedaannya terletak pada jumlah bagan yaitu 370 unit menjadi 272 unit.

Bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2006, hasil perhitungan LGP memberikan rekomendasi untuk mengurangi jumlah bagan yang dioperasikan di wilayah pantai.

Pengurangan bagan di wilayah pantai ini harus dilakukan karena wilayah pantai adalah daerah subur yang digunakan oleh juvenile untuk mencapai makan dan melakukan fase pertumbuhan (Nybaken 1988), selain itu bagan adalah alat tangkap yang kurang selektif terhadap ukuran dan jenis ikan karena mata jaring yang digunakan berukuran kecil.

Pengurangan jumlah bagan yang beroperasi telah sesuai dengan Instruksi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pandeglang No.05 Tahun 1998 tentang Penertiban Alat Penangkapan Ikan yang Dilarang Beroperasi di Perairan Laut Kabupaten Daerah Tingkat II Pandeglang. Instruksi tersebut menginstruksikan untuk menertibkan alat penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Daerah Tingkat II Pandeglang dengan melarang, membuat, membangun, menyimpan, memiliki dan mengoperasikan : jaring arad tarik, jaring gardan, lampara dasar dan bagan. Disamping itu, hasil kajian ini juga bersesuaian dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pandeglang No.15 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Alat Penangkapan Ikan yang Dilarang Beroperasi di Perairan Laut Kabupaten Daerah Tingkat II Pandeglang, didalamnya memutuskan untuk jenis bagan yang dilarang beroperasi meliputi bagan perahu dan bagan tancap.

Pembatasan jumlah bagan akan mengakibatkan nelayan bagan harus mencari mata pencaharian alternatif. Salah satu mata pencarian alternatif adalah budidaya kerang hijau. Hal ini karena Provinsi Banten melalui Dinas Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan budidaya kerang hijau di Kecamatan Panimbang dengan didirikannya Unit Depurasi Kekerangan dan ditetapkan sebagai daerah pengembangan kekerangan Nasional.

Hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah berkurangnya pendapatan juragan (pemilik). Juragan yang selama ini memberikan pinjaman untuk biaya opersioanal nelayan bagan dikhawatirkan menjadi kendala. Karena perubahan ini menjadikan juragan kehilangan sebagian keuntungan dalam transaksi simpan pinjam dengan nelayan bagan. Tentunya hal menjadi perhatian Pemda Pandeglang khususnya DKP bila pembatasan bagan diberlakukan.

Hasil simulasi kegiatan penangkapan ikan dengan membandingkan dampak penggunaan alokasi optimum unit penangkapan ikan pelagis kecil terhadap kondisi

aktual tahun 2006 menunjukkan hasil yang menurun untuk semua kriteria yaitu jumlah penyerapan tenaga kerja, pendapatan kotor nelayan, pengeluaran, keuntungan bersih nelayan dan pendapatan asli daerah.

Kenaikan BBM telah menurunkan pendapatan kotor nelayan, pengeluaran, keuntungan bersih nelayan dan tingkat kerugian. Namun demikian, nelayan masih dapat beroperasi serta mendapatkan keuntungan walaupun terjadi peningkatan harga BBM khususnya minyak tanah hingga mencapai 75% dari kondisi BBM tahun 2006 (Rp 3.000/liter). Skenario kondisi optimum dipilih karena tingkat kerugian yang diderita nelayan akibat kenaikan harga BBM lebih rendah dibandingkan skenario kondisi aktual tahun 2006.

Dalam struktur biaya yang dikeluarkan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil, komponen bahan bakar solar porsinya rata-rata mencapai sekitar 76,8 persen dari biaya produksi secara keseluruhan (Suyasa 2007). Sehingga bahan bakar solar menjadi variabel penting dalam simulasi manajemen usaha penangkapan ikan bila terjadi kenaikan BBM. Tingginya harga solar yang merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya operasi penangkapan ikan, menjadikan sebagian nelayan sulit untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari kegiatan penangkapan yang dilakukan. Bahkan dalam beberapa kasus, nelayan terpaksa menghentikan operasi penangkapannya karena pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan tidak lagi sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. Kondisi ini mengakibatkan semakin rendahnya pendapatan nelayan, dan pada akhimya akan bermuara pada menurunnya tingkat kesejahteraan nelayan.

Disisi lain, tingginya harga bahan bakar solar ini telah memberikan hikmah positif bagi pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya ikan pelagis kecil di perairan Laut Jawa. Hal ini disebabkan karena harga bahan bakar solar yang tinggi telah mengakibatkan biaya produksi menjadi semakin tinggi, dan akibat lanjutannya adalah semakin sedikit nelayan yang pergi menangkap ikan ke laut. Ini artinya, tekanan terhadap sumberdaya perikanan juga akan berkurang, sehingga ada kesempatan bagi sumberdaya tersebut untuk memperbaharui diri (Smith 1981 diacu dalam Suyasa 2007).

Dokumen terkait