• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Berdasarkan rataan peningkatan setiap indikator berpikir kritis yang menunjukkan kelas eksperimen mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Keterampilan memberikan argumen pada kelas eksperimen dari sangat rendah menjadi sedang, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Dengan demikian, keterampilan berargumen peserta didik lebih tergali dengan menggunakan model pembelajaran problem posing dengan media maket

77

dibandingkan dengan metode diskusi dengan media gambar. Hal ini diduga pada kelas eksperimen saat proses pembelajarannya terbiasa mengembangkan hipotesis, selain itu dengan menggunakan media maket peserta didik lebih mudah dalam memberikan alasan, menunjukkan perbedaan dan persamaan, serta argumen yang utuh, sehingga pada saat menjawab soal pertanyaan yang menuntut siswa dalam memberikan argumen untuk menggali keterampilan berpikir kritis menjadi lebih mudah dijawab oleh peserta didik. Seperti yang diungkapkan Meyers mengungkapkan bahwa seorang peserta didik tidak akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dengan baik, tanpa ditantang untuk berlatih menggunakannya dalam pembelajaran. Peserta didik akan mampu menyatakan argumen sesuai kebutuhan jika mereka merasa tertantang untuk melakukannya. Diperlukan motivasi yang lebih besar bagi mereka agar mampu menyatakan argumen yang logis dan sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan pada kelas kontrol proses pembelajarannya yang menggunakan metode diskusi dan hanya menggunakan media gambar, peserta didik yang terbiasa dengan pembelajaran tersebut menjadi kurang aktif untuk memberikan argumen yang menggali keterampilan berpikir kritis peserta didik secara maksimal.

Selanjutnya pada keterampilan melakukan deduksi, peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi sedang, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena pada kelas eksperimen peserta didik lebih mudah mendeduksikan secara logis dan melakukan interpretasi terhadap pernyataan antar data dengan menggunakan media maket. sedangkan pada kelas kontrol siswa terlihat merasa kesulitan dalam mendeduksikan secara logis dan melakukan

78

interpretasi terhadap pernyataan antar data dengan hanya menggunakan media gambar. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ibrahim bahwa tahap penyelidikan ilmiah sangat penting untuk dilakukan, agar peserta didik mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri, dalam rangka memperoleh jawaban pemecahan masalah. Pada tahap ini peserta didik dapat mengembangkan berbagai keterampilan yang mereka miliki, tidak hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga fungsi mental yang bersifat kognitif (termasuk keterampilan berpikir).

Pada keterampilan melakukan induksi, peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, berbeda pada kelas kontrol yang tetap rendah. Hal ini dikarenakan, pada saat proses pembelajaran siswa kelas eksperimen mampu melakukan pengumpulan data dan membuat generalisasi dari data secara maksimal melalui penggunaan media maket. Sehingga ketika peserta didik menghadapi soal yang mengharuskan mereka melakukan induksi, peserta didik lebih mudah menjawab dikarenakan mereka telah terbiasa melakukan induksi pada saat proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol terlihat kesulitan dalam melakukan pengumpulan data dan membuat generalisasi dari data dengan hanya menggunakan media gambar. Karakteristik suatu media adalah dinamis, artinya dapat memfasilitasi peserta didik untuk berpikir sistematis sesuai urutan kejadian yang didasarkan pada keteraturan fenomena atau gejala (logical

frame) sehingga peserta didik mampu memahami mengapa sesuatu dapat terjadi dan

seperti apa akibat yang dapat ditimbulkan (causality), untuk selanjutnya peserta didik membuat generalisasi dan mengambil suatu kesimpulan. Kemudian Dahar

79

menyatakan bahwa menggeneralisasikan informasi baru merupakan fase kritis peserta didik dalam belajar.

Selanjutnya pada keterampilan melakukan evaluasi, peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik pada kelas eksperimen pada saat proses pembelajarannya terbiasa dalam menganalisis data dan menguji hipotesis data, selain itu dengan menggunakan media maket peserta didik lebih mudah mengevaluasi berdasarkan fakta, maka pada saat menjawab soal evaluasi. Peserta didik lebih mudah menjawab dan memperoleh hasil yang memuaskan dikarenakan mereka telah terbiasa melakukan evaluasi pada saat proses pembelajaran. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol yang menggunakan metode diskusi dengan menggunakan media gambar lebih kurang tergali lagi dalam menganalisis data, sehingga merasa kesulitan dalam mengevaluasi berdasarkan fakta, sehingga pada saat menjawab soal evaluasi, hasil yang diharapkan masih kurang maksimal. Situasi masalah otentik yang disajikan dalam pembelajaran Problem posing harus membutuhkan analisis sebab akibat agar dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berhipotesis dan berspekulasi oleh karena itu permasalahan yang disajikan pada penelitian ini meliputi permasalahan atau fenomena yang relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari yang sering ditemui oleh peserta didik. Selain itu, adanya perbedaan antara peningkatan keterampilan berpikir kritis peserta didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, dipengaruhi oleh aktivitas peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.

80

Selanjutnya dapat terlihat aktivitas peserta didik dalam hal bekerja sama pada kelas eksperimen memiliki rataan yang tinggi dibandingkan aktivitas yang lain. Karena dalam pembelajaran problem posing, setiap peserta didik dari suatu kelas merupakan bagian dari suatu sistem kerja yang memiliki peran dan tanggung jawab dalam mencapai hasil belajar yang optimal. Sehingga setiap peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini dikarenakan pada kelas eksperimen yang pembelajaran menggunakan media maket dengan 3 dimensi, yang tidak hanya dapat dibayangkan tetapi juga dapat dirasakan secara langsung, nyata seperti yang terdapat di alam. Sehingga peserta didik merasa tertarik dan terlihat aktif pada saat proses pembelajaran berlangsung.

Pada aspek kegiatan visual, yang terdapat indikator aktivitas belajar membaca materi, Peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik pada kelas eksperimen pada saat sebelum proses pembelajarannya sudah terbiasa dalam membaca materi terlebih dahulu. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol tidak semua peserta didik yang membaca materi terlebih dahulu sebelum proses pembelajaran berlangsung.

Selanjutnya pada aspek kegiatan lisan, yang terdapat indikator aktivitas belajar bertanya, mengemukakan ide/gagasan, dan diskusi. Peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik pada kelas eksperimen sangat aktif bertanya dan mengemukakan pendapat masing-masing di dalam proses

81

pembelajaran berkelompok. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol masih terlihat pasif dan jarang bertanya pada saat proses pembelajaran berkelompok.

Selanjutnya pada aspek kegiatan mendengarkan, yang terdapat indikator aktivitas belajar mendengarkan materi pembelajaran, dan mendengarkan presentasi. Peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik pada kelas eksperimen sangat pada saat proses pembelajaran terlihat fokus dalam mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru maupun teman yang sedang presentasi. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol masih terlihat gaduh dan tidak semua mendengarkan apa yang telah disampaikan oleh guru maupun teman yang sedang presentasi.

Selanjutnya pada aspek kegiatan menulis, yang terdapat indikator aktivitas belajar membuat ringkasan, mengerjakan latihan, aktif mengumpukan ide dan mencatatnya. Peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik pada kelas eksperimen selalu membuat ringkasan materi dan mengerjakan latihan kemudian mencatatnya pada saat pembelajaran. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol masih kurang semangat dalam membuat ringkasan dan mengerjakan soal latihan.

Selanjutnya pada aspek kegiatankegiatan menggambar, yang terdapat indikator aktivitas belajar menggambar diagram, menggambar sumber, menggambar objek. Peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik

82

pada kelas eksperimen terlihat menggambar apa yang sedang mereka teliti dan juga sumber belajar yang digunakan pada saat pembelajaran. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol malas dalam menggambar pada proses penelitian.

Selanjutnya pada aspek kegiatan motorik, yang terdapat indikator aktivitas belajar hadir pada saat penelitian disekolah, melakukan/membantu menyiapkan media maket. Peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik pada kelas eksperimen aktif hadir tepat waktu dan membantu menyiapkan alat dan bahan sebelum penelitian di mulai pada saat pembelajaran. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol masih ada yang telat hadir pada saat penelitian.

Selanjutnya pada aspek kegiatan mental, yang terdapat indikator aktivitas belajar memecahkan masalah, menganalisis soal-soal dan mengambil keputusan. Peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik pada kelas eksperimen dalam menganalisis soal-soal selalu aktif. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol masih kurang semangat dalam menganalisis soal-soal.

Selanjutnya pada aspek kegiatan emosional, yang terdapat indikator aktivitas belajar bersemangat, berani, bosan, gugup, dan takut. Peserta didik pada kelas eksperimen meningkat dari sangat rendah menjadi tinggi, sedangkan pada kelas kontrol tetap rendah. Hal ini diduga karena peserta didik pada kelas eksperimen selalu bersemangat dan berani pada saat proses pembelajaran. Sedangkan peserta didik pada kelas kontrol masih kurang semangat dan kurang berani mengeluarkan ide pada saat proses pembelajaran.

83

Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah diperoleh, diketahui bahwa rata-rata N-gain skor peserta didik pada kelas yang menggunakan pembelajaran model problem posing dengan media maket berbeda signifikan dengan kelas yang pembelajarannya tanpa menggunakan media maket. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model problem posing dengan media maket memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan berpikir kritis dan aktivitas belajar peserta didik. Untuk melihat pengaruh dari model problem posing dengan media maket terhadap peningkatan berpikir kritis peserta didik pada materi keanekaragaman hayati antar kelas eksperimen dan kelas kontrol, dapat dilihat pada rata-rata dari nilai posttes peserta didik.

Berdasarkan hasil analisis data penelitian menggunakan angket maupun menggunakan tes, diketahui bahwa sampel berasal dari distribusi yang normal, dan memiliki varian yang homogen artinya kedua sampel memiliki kemampuan yang sama sehingga dapat digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini. Hasil penelitian pada angket aktivitas belajar menunjukkan rata-rata aktivitas peserta didik baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol meningkat. Pada kelas eksperimen dimana rata-rata normalitas pretes untuk angket 71,192 dan pada kelas kontrol yaitu 57,054. Sedangakan rata-rata normalitas postes untuk angket kelas eksperimen 88,977 dan pada kelas kontrol yaitu 71.241.

Hasil penelitian menggunakan tes dimana pada kelas eksperimen menunjukan hasil rata-rata peserta didik meningkat. Pada kelas eksperimen dimana nilai rata-rata normalitas pretes untuk kemampuan berpikir kritis yaitu 47.879 dan pada kelas kontrol yaitu 38.281. Sedangkan rata-rata normalitas postes untuk kemampuan

84

berpikir kritis kelas eksperimen yaitu 83.636 dan pada kelas kontrol yaitu 69.53. dari hasil rata-rata tersebut, diketahui bahwa penggunaan model problem posing dengan media maket dalam proses pembelajaran dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritis dan aktivitas belajar peserta didik kelas X pada materi keanekaragaman hayati di SMA Negeri 6 Bandar Lampung, karena peserta didik semangat dalam mengerjakan lembar kerja kelompok dengan melihat media maket yang telah disiapkan oleh pendidik mengakibatkan peserta didik lebih antusias dan aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

Selanjutnya jika dilihat dari hasil analisis statistik dengan menggunakan uji T, dari hasil uji T kemampuan berpikir kritis siswa thitung= 6,334 dan ttabel = 1,998 berarti

dalam hal ini H0 ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan analisis uji T menunjukkan

adanya pengaruh model problem posing dengan media maket terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas X pada materi keanekaragaman hayati di SMA Negeri 6 Bandar Lampung. Sedangkan dari hasil uji T Aktivitas Belajar Peserta didik diperoleh thitung = 7,600 dan thitung= 1,998 berarti dalam hal ini berarti dalamhal ini H0

ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan analisis uji T menunjukkan adanya pengaruh

model problem posing dengan media maket terhadap Aktivitas Belajar Peserta didik kelas X pada materi keanekaragaman hayati di SMA Negeri 6 Bandar Lampung.

Tingginya rata-rata nilai pretes dan postes peserta didik dengan menggunakan model problem posing dengan media maket karena model problem posing dengan media maket terdapat kelebihan untuk membuat peserta didik terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Adapun model problem posing peserta didik tidak hanya menerima saja materi dari guru, melainkan peserta didik juga berusaha menggali dan

85

mengembangkan sendiri. Hasil belajar tidak hanya menghasilkan peningkatan pengetahuan tetapi juga meningkatkan keterampilan berpikir. Kemampuan peserta didik untuk mengerjakan soal-soal sejenis uraian perlu dilatih, agar penerapan model pembelajaran problem posing dapat optimal. Kemampuan tersebut akan tampak dengan jelas bila peserta didik mampu mengajukan soal-soal secara mandiri maupun berkelompok. Kemampuan peserta didik untuk mengerjakan soal tersebut dapat dideteksi lewat kemampuannya untuk menjelaskan penyelesaian soal yang diajukannya di depan kelas. Dengan penerapan model pembelajaran problem posing dapat melatih peserta didik belajar kreatif, disiplin, dan meningkatkan keterampilan berpikir peserta didik. Dan kelebihan Media maket yaitu bentuknya yang dibuat dalam tiga dimensi seperti aslinya (dalam bentuk miniatur), ditambah dengan pemberian warna secara realistik dan pemberian bayangan yang digunakan untuk mengarahkan perhatian dan membedakan komponen-komponen dapat memberikan kesan yang menarik bagi siapa saja yang memandang. Seperti yang diungkapkan oleh Moedjiono, media tiga dimensi memiliki kelebihan-kelebihan: memberikan pengalaman secara langsung, penyajian secara kongkrit dan menghindari verbalisme, dapat menunjukkan obyek secara utuh baik konstruksi maupun cara kerjanya, dapat memperlihatkan struktur organisasi secara jelas, dapat menunjukkan alur suatu proses secara jelas, maka dengan itu diharapkan dapat meningkatkan daya ingat peserta didik terhadap informasi pembelajaran yang terkandung dalam media tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan model

problem posing dengan media maket terhadap peningkatan berpikir kritis dan

86

SMA Negeri 6 Bandar Lampung. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata nialai pretes postest peserta didik yang diperoleh pada kelas eksperimen dengan penggunaan model problem posing dengan media maket lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol yang menggunakan metode diskusi dengan media gambar.

Ditinjau dari proses pembelajaran biologi diketahui kelas eksperimen lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya dibandingkan dengan kelas kontrol. Aktivitas peserta didik kelas kontrol cenderung pasif karena media yang digunakan kurang menarik yaitu dengan menggunakan media gambar sehingga peserta didik kurang bersemangat dalam belajar.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat pengaruh model problem posing dengan media maket terhadap peningkatan berpikir kritis peserta didik biologi kelas x pada materi keanekaragaman hayati di SMA Negeri 6 Bandar Lampung. Hal tersebut

87

dibuktikan dengan hasil uji hipotesis T (Uji T independent) diperoleh ttabel <

thitung, yaitu 1,998 < 6,334 .

2. Terdapat pengaruh model problem posing dengan media maket terhadap peningkatan aktivitas belajar biologi peserta didik kelas x pada materi keanekaragaman hayati di SMA Negeri 6 Bandar Lampung. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji hipotesi T (Uji T independent) diperoleh ttabel <

thitung, yaitu 1,998 < 7,600.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Kepala sekolah dan Guru SMA Negeri 6 Bandar Lampung khususnya Guru biologi untuk menerapkan model problem posing dengan media maket sebagai salah satu alternative pembelajaran yang dapat dipergunakan dengan harapan bukan hanya dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik, namun dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan aktivitas belajar pada mata pelajaran biologi.

2. Penelitian ini sangat terbatas pada kemampuan peneliti, maka perlu kiranya diadakan penelitian lebih lanjut mengenai penerapan model problem posing dengan media maket secara luas dan mendalam (dalam cakupan materi lain), sehingga kemampuan berpikir peserta didik lebih berkembang dan peningkatannya dapat diamati lebih lanjut.

88

3. Bagi pembaca khususnya mahasiswa, dapat terus menerus memperbaiki penelitian ini dalam melakukan penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alec Fisher. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga, 2008. Amri S Dan Ahmadi. Proses Pembelajaran Kreatif Dan Inovatif Dalam Kelas.

Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya, 2010.

Anas Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan (cet. XXII). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Arief Sadiman dkk. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan Dan

Pemanfaatan. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Arif Pribadi dan Yanti Herlanti, BIOLOGI untuk SMA/MA Kelas X Kurikulum 2013. Jakarta: Yudhistira, 2014.

89

Bestari Dwi Handayani,” Efektivitas Penerapan Metode Problem Posing Dan Tugas

Terstruktur Terhadap Prestasi Belajar Siswa”. Jurnal Forum Kependidikan, Vol. 28 No. 1 (Januari 2016), h. 2.

Budiyono. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press, 2013. Colleta V.P. dan Phillips J.A. Interpreting FCI Scores: Normalized Gain,

Preinstruction Scoreand Scientific Reasoning Ability. California: Departement

of Physics Layola Marymount University, 2005.

Daryanto. Panduan Proses Pembelajaran Teori Dan Praktik Dalam Pengembangan

professionalisme Guru. Jakarta: AV Publisher, 2009.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: CV. Diponegoro, 2008.

Fatimatuzzahra. Pengaruh Penggunaan Media Maket Dengan Model Inkuiri Terpimpin Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Pokok

Ekosistem. Lampung: Universitas Lampung, 2011.

Hamdani. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

Hartono. PAIKEM Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Pekanbaru: Zanafa, 2008.

Herniza L. Pengaruh Media Audio-Visual Melalui Model THT Terhadap

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Pokok Sistem Pernafasan.

Lampung: Universitas Lampung, 2011.

Irnaningtyas. BIOLOGI untuk SMA/MA Kelas X Kurikullum 2013. Jakarta: Erlangga,2014.

Kunandar. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

Kinanti Ayu Puji Lestari,”Penerapan Model Pembelajaran Problem Posing Untuk

Mengajarkan Materi Botani Yang Teritegrasi Pada Siswa Kelas XI”. Jurnal

UNESA, Vol. 2 No. 3 (Januari 2016), h. 279.

Hartono D Mamu,”Pengaruh Strategi Pembelajaran, Kemampuan Akademik Dan

Interaksinya Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Kognitif IPA Biologi”.Jurnal Pendidikan Sains, Vol. 2 No. 1 (Maret 2016), h. 2.

Margono. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000.

Muhammad Ali. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008.

90

Novalia dan Muhamad Syazali. Olah Data Penelitian Pendidikan. Bandar Lampung:Anugrah Utama Raharja (AURA), 2014.

Oemar Hamalik. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosida, 2004.

Ratna Wilis Dahar. Teori-Teori Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga, 2002.

Ratna Kartika Irawati,” Pengaruh Model Problem Solving Dan Problem Posing Serta

Kemampuan Awal Terhadap Hasil Belajar Sisw”. Jurnal Pendidikan Sains, Vol. 2 No. 4 (Januari 2016), h. 185.

Sudaryono. Pengembangan Intrumen Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 20013.

Sudjana. Metode Statistik. Bandung: Tarsito, 2001.

Sugiyono. Metode penelitian kualitatif kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012.

Suharsimin Arikunto. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (cet.IV). Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Sumarna Surapranata, Analisis, Validasi, Reliabilitas, Dan Intrepretasi Hasil Tes,

Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.

Trianto. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Media Group, 2009.

……….. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007.

91

LAMPIRAN A

92

A. PROFIL SEKOLAH SMA NEGERI 6 BANDAR LAMPUNG 1) Sejarah Berdirinya SMA Negeri 6 Bandar Lampung

SMA Negeri 6 Bandarlampung berdiri pada tahun 1985, awalnya bernama SMA Negeri Panjang, yang pada waktu itu Kegiatan Belajar Mengajar menggunakan Aula Angkatan Laut Prokimal Jl. Yos Sudarso Panjang Bandarlampung, Pembangunan gedung di jalan Ki Agus Anang No 35 masih dalam proses. Pada tahun 1985, pembangunan gedung SMA Negeri 6 Kota Bandarlampung selesai, dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, yaitu Bapak Prof. DR Fuad Hasan pada Tanggal 23 Desember 1985 maka proses KBM mulai menempati gedung baru yang terdiri dari tiga lokal dan gedung perkantoran.

93

Selama perjalanan Sejarah Berdirinya SMA Negeri 6 Bandarlampung telah Dipimpin oleh 7 Orang Kepala Sekolah yaitu sebagai berikut :

1. Drs. Budi Raharjo 1985 – 1986 definitif 2. W. Siahaan 1986 – 1988 definitif 3. Fauzie Wansech BA 1988 – 1992 definitif 4. Drs. D Saridjo Dwiatmoko 1992 – 1997 definitif 5. Drs. Superman Achmad 1997 – 2004 definitif 6. Drs Ahmad Sukati 2004 - 2007 definitif 7. Drs. Hi. Ahyauddin,M.Pd 2007 - 2013 definitif 8. Mansurdin,S.Pd 2013 – sekarang 2) Tujuan, Visi dan Misi SMA Negeri 6 Bandar Lampung

Tujuan

1. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetehuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

2. Menjadikan warga sekolah yang memiliki budi pekerti luhur dalam pergaulan antar siswa, guru dan karyawan serta melaksanakan perintah agama.

3. Menindak lanjut setiap pelanggaran secara persuasif dan edukatif. 4. Menyelenggarakan program pendidikan berbasis kompetensi. 5. Menggalakan latihan-latihan Seni dan Olahraga

94

7. Mengadakan pelatihan-pelatihan mengenai teknologi informasi bagi

Dokumen terkait