• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Analisis Inferensial Kecerdasan Spiritual Dengan Depresi Pada Penyandang Cacat Pasca Kusta Di Liposos Donorojo Binaan

4.4 Hasil Uji Asumsi .1Uji Normalitas .1Uji Normalitas

4.5.2. Pembahasan Analisis Inferensial Kecerdasan Spiritual Dengan Depresi Pada Penyandang Cacat Pasca Kusta Di Liposos Donorojo Binaan

Yastimakin Bangsri Jepara

Berdasarkan hasil uji korelasi penelitian, diperoleh bahwa hipotesis yang

berbunyi “Ada hubungan negatif antara kecerdasan spiritual dengan depresi pada

penyandang cacat pasca kusta di Liposos Donorojo binaan Yastimakin Bangsri

Jepara” ditolak. Hasil korelasi antara kecerdasan spiritual dengan depresi

menunjukkan bahwa hubungan antara keduanya adalah positif. Artinya adalah hubungan antara kedua variabel linier atau searah, jadi jika variabel X tinggi maka variabel Y tinggi yang dalam hal ini jika kecerdasan spiritual tinggi maka depresi akan tinggi.

Depresi dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah faktor psikososial. Setelah dilakukan obesrvasi dan wawancara dengan subjek penelitian, peneliti mendapatkan hasil bahwa depresi yang terjadi pada penyandang cacat pasca kusta di Liposos Donorojo binaan Yastimakin Bangsri Jepara lebih dominan

disebabkan karena faktor psikososial. Faktor psikososial merupakan kondisi dimana seseorang dalam lingkungan keluarga yang broken home, jumlah saudara banyak, status ekonomi orangtua rendah, pemisahan orangtua dengan karena meningggal atau perceraian serta buruknya fungsi keluarga (Mardya 2009: 2). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2012:137) meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penderita kusta di Kabupaten Pekalongan terhadap depresi, diperoleh hasil bahwa faktor psikososial paling banyak mempengaruhi penderita kusta mengalami depresi dibanding faktor penyebab depresi yang lain.

Salah satu kemampuan yang dapat menghindarkan individu mengalami depresi akibat faktor psikososial adalah kecerdasan spiritual. Sesuai dengan pendapat Zohar dan Marshall dalam Agustian (2001:57), kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Indikator penyusun kecerdasan spiritual yaitu kemampuan memiliki prinsip dan tujuan hidup yang kuat sesuai dengan kehendak Tuhan YME, kemampuan memaknai suatu peristiwa/masalah secara positif, kemampuan mencari solusi masalah/kesulitan dan kemampuan menghadapi masalah/kesulitan. Indikator penyusun kecerdasan spiritual memiliki hubungan positif dengan depresi. Hal ini sejalan dengan penelitian Aziz dan Mangestuti (2006:1) meneliti tentang pengaruh

terhadap agresivitas pada mahasiswa UIN Malang, diperoleh hasil korelasi sebesar 0,548 dengan nilai P=.000. Hasil ini berarti bahwa ada pengaruh positif karena diantara ketiga kecerdasan yang paling besar pengaruhnya terhadap agresivitas adalah kecerdasan spiritual.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa depresi pada penyandang cacat pasca kusta di Liposos Donorojo binaan Yastimakin Bangsri Jepara berada pada kategori sedang. Hasil ini berarti meskipun penyandang cacat pasca kusta memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi tetapi mereka juga masih mengalami depresi, hal ini dikarenakan kemampuan memiliki prinsip dan tujuan hidup sesuai kehendak Tuhan rendah. Sebagaimana pendapat Zohar dan Marshall (2000:14) kemampuan memiliki prinsip dan tujuan hidup yang sesuai kehendak Tuhan adalah kemampuan hidup seseorang yang didasarkan pada prinsip dan tujuan hidup yang pasti dan berpegang pada nilai-nilai yang mampu mendorong untuk mencapai tujuan tersebut. Maksud dari pernyataan tersebut adalah penyandang cacat pasca kusta yang memiliki kemampuan memiliki prinsip dan tujuan hidup sesuai kehendak Tuhan adalah individu yang dapat memiliki prinsip dan tujuan hidup yang dapat menghindarkan mereka dari stigma negatif agar tidak mengalami depresi. Seiring dengan pendapat Mahayana dalam Nggermanto (2000:123-136) memiliki prinsip dan tujuan hidup sesuai kehendak Tuhan adalah kebenaran yang dalam dan mendasar ia sebagai pedoman prilaku yang mempunyai nilai yang langgeng dan produktif. Prinsip manusia secara jelas tidak akan berubah, yang berubah adalah cara kita mengerti dan melihat prinsip tersebut. Semakin banyak kita tahu mengenai

prinsip yang benar semakin besar kebebasan pribadi kita untuk bertindak dengan bijaksana.

Ketika penyandang cacat pasca kusta memiliki prinsip dan tujuan hidup yang kuat sesuai kehendak Tuhan yang tinggi maka ia tidak akan mengalami depresi, hal ini dikarenakan pegangan hidup serta tujuan hidup yang mereka miliki menjadikan mereka individu yang kuat dalam menjalani hidup.

Kemampuan memaknai suatu masalah atau peristiwa secara positif juga dapat menjadi pengaruh terjadinya depresi. Penyandang cacat pasca kusta yang memiliki kemampuan memaknai suatu masalah secara positif yang tinggi maka ia akan berusaha untuk memaknai suatu masalah yang dialaminya dan tidak mudah menyerah karena keadaan. Sesuai dengan pendapat Mahayana dalam Nggermanto (2000:123-136) kemampuan memaknai suatu masalah secara positif adalah makna bersifat substansial, berdimensi spiritual. Makna adalah penentu identitas sesuatu yang paling signifikan. Sesorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan mampu memaknai atau menemukan makna terdalam dari segala sisi kehidupan, baik karunia tuhan yang berupa kenikmatan atau ujian dari_Nya. Ia juga merupakan manisfestasi kasih sayang dari_Nya. Ujiannya hanyalah pendewasaan spiritual manusia.

Depresi juga dipengaruhi oleh kemampuan dimana individu dapat mencari solusi dan menghadapi masalahnya. Penyandang cacat pasca kusta yang memiliki kemampuan mencari solusi dan kemampuan menghadapi masalah atau kesulitan yang tinggi tentu memiliki keinginan yang tinggi untuk dapat bisa terbebas dari masalah ataupun

dan menghadapi masalah yang tinggi akan berusaha untuk tidak merugikan orang lain. Sesuai dengan pendapat dalam Nggermanto (2000:123-136) kemampuan mencari solusi dan kemampuan menghadapi masalah adalah kemampuan yang paling berarti dalam kehidupan manusia adalah pada waktu ia sadar bahwa itu adalah bagian penting dari subtsansi yang akan mengisi dan mendewasakan sehingga ia menjadi lebih matang, kuat, dan lebih siap menjalani kehidupan yang penuh rintangan dan penderitaan.

Pelajaran tersebut akan mengukuhkan pribadinya setelah ia dapat menjalani dan berhasil untuk mendapatkan apa maksud terdalam dari pelajaran tadi. Kemampuan mencari solusi serta kemampuan menghadapi masalah/kesulitan akan mengasah menumbuh kembangkan, hingga pada proses pematangan dimensi spiritual manusia. Kecerdasan spiritual mampu mentransformasikan kesulitan menjadi suatu medan penyempurnaan dan pendidikan spiritual yang bermakna. Kecerdasan spiritual mampu memajukan seseorang karena pelajaran dari kesulitan dan kepekaan terhadap hati nuraninya.

Hasil penelitian ini diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,342. Angka tersebut mengandung arti bahwa dalam penelitian ini, kecerdasan spiritual memberikan sumbangan efektif sebesar 68% terhadap depresi. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tingkat konsistensi variabel depresi sebesar 68% dapat diprediksi oleh variabel kecerdasan spiritual, sedangkan sisanya sebesar 32% ditentukan oleh faktor psikososial seperti stigma negatif yang terjadi dimasyarakat dan lingkungannya bahwa cacat akibat penyakit kusta masih dapat menular meskipun

sudah dinyatakan sembuh sehingga penyandang cacat pasca kusta dijauhi dan dikucilkan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Nilai signifikansi pada penelitian ini adalah 0,000 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan spiritual dengan depresi pada penyandang cacat pasca kusta. Nilai koefisien korelasi positif menunjukkan hubungan lurus, dimana hubungan yang terjadi adalah hubungan positif, yaitu ada hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan depresi. Kenaikan suatu variabel akan menyebabkan kenaikan variabel lain, sedangkan penurunan suatu variabel akan menyebabkan penurunan variabel lain, dengan kata lain semakin tinggi kecerdasan spiritual maka semakin tinggi pula depresi pada penyandang cacat pasca kusta di Liposos Donorojo binaan Yastimakin Bangsri Jepara, begitupun sebaliknya.

Meskipun hipotesis penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ditolak, dan ada hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan depresi pada penyandang cacat pasca kusta di Liposos Donorojo binaan Yastimakin Bangsri Jepara, dimana semakin tinggi kecerdasan spiritual maka semakin tinggi depresi. Hal ini juga dikarenakan faktor psikososial dimana stigma yang terjadi dimasyarakat masih banyak menganggap penyakit kusta tidak dapat disembuhkan dan masih gampang menular, akibatnya penyandang cacat pasca kusta dijauhi dan dikucilkan dari masyarakat atau orang-orang sekitar, oleh karena itu penyandang cacat pasca kusta masih dapat mengalami depresi meskipun mereka juga memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.