• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Keadaan geografis kedua kelurahan yang menjadi lokasi penelitian yaitu Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Cikaret. Masing-masing kelurahan berbatasan dengan kelurahan lainnya seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Batas kelurahan lokasi penelitian

Batas Kelurahan Desa Sindang Barang ( 159. 01 ha) Cikaret ( 153. 47 ha)

Sebelah Utara Kelurahan Bubulak Kelurahan Pasir Kuda

Sebelah Selatan Kelurahan Loji Kelurahan Mulyaharja

Sebelah Barat Kelurahan Margajaya Desa Kota Batu

Sebelah Timur Kelurahan Menteng Kelurahan Pasirjaya

Kelurahan Sindang Barang memiliki luas daerah yang lebih besar dibandingkan dengan Kelurahan Cikaret, yaitu 159.01 ha. Wilayah yang digunakan untuk perumahan/permukiman lebih besar dibandingkan untuk lahan pertanian dan perikanan.

Jumlah penduduk di Kelurahan Sindang Barang sebanyak 14 351 jiwa, sementara jumlah penduduk di Kelurahan Cikaret sebanyak 15 269 jiwa. Jumlah kepala keluarga adalah 3 514 KK (Kelurahan Sindang Barang) dan 3 666 KK (Kelurahan Cikaret). Kelurahan Cikaret memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan Kelurahan Sindang Barang.

Sebagian besar penduduk di kelurahan Sindang Barang memiliki mata pencaharian sebagai pegawai swasta. Namun, di kelurahan Cikaret sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai wiraswasta atau pedagang.

Penduduk di dua lokasi penelitian ini memiliki tingkat pendidikan yang cukup. Sebagian besar penduduk di kelurahan Sindang Barang tamat SMU, sementara di kelurahan Cikaret sebagian besar penduduknya tamat SMP. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kelurahan Sindang Barang lebih baik dibandingkan dengan Kelurahan Cikaret. Hal ini mungkin dapat dikarenakan terbatasnya jumlah SMU dan jarak sekolah yang cukup jauh dari permukiman.

Sarana dan prasarana yang ada di masing-masing kelurahan terdiri dari sekolah, sarana olahraga, tempat ibadah, dan sarana kesehatan. Ketersediaan sarana pendidikan di masing-masing kelurahan sudah cukup baik, namun di

Kelurahan Cikaret masih mengalami keterbatasan jumlah SMU. Sarana peribadatan di masing-masing kelurahan juga sudah mencukupi. Secara umum, kedua lokasi penelitian ini mudah dijangkau dengan fasilitas transportasi umum. Hanya saja wilayah Cikaret jauh dari pusat keramaian kota.

Sarana kesehatan yang ada di masing-masing kelurahan adalah Puskesmas dan Poliklinik. Alat transportasi yang paling umum digunakan adalah angkutan umum dengan kapasitas 12 orang penumpang. Selain angkutan umum, alat transportasi lain yang digunakan di Kelurahan Cikaret adalah jasa ojek motor.

Karakteristik Keluarga Contoh Usia Suami dan Istri

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sebanyak 83.3 persen keluarga dengan ibu rumah tangga yang masih memiliki suami. Usia suami berkisar antara 27 – 80 tahun dengan rata-rata usia suami secara keseluruhan adalah 46.22 tahun (Tabel 7). Sebanyak 44.90 persen diantaranya berusia 41 – 65 tahun, sedangkan yang berusia di bawah 41 tahun sebanyak 40.82 persen. Sebanyak 44 persen suami di Sindang Barang berusia antara 21 – 65 tahun, dengan rata- rata usia 46.04 tahun, sehingga keluarga contoh termasuk ke dalam keluarga muda dan keluarga menengah. Usia suami di wilayah Sindang Barang termasuk ke dalam usia produktif. Usia produktif adalah masa seseorang untuk aktif bekerja sebelum memasuki masa pensiun. Sementara di Cikaret, sebanyak 58.33 persen suami berusia 41 – 65 tahun dengan rata-rata usia 46.42 tahun. Dilihat dari usia suami, maka keluarga contoh di Cikaret termasuk ke dalam keluarga menengah dimana suami sudah mulai mendekati usia pensiun. Proporsi suami di Sindang Barang yang berusia di bawah 41 tahun lebih banyak (44%) dibandingkan dengan di Cikaret (37.5%), sedangkan suami yang berusia 41 – 65 tahun di Sindang Barang lebih sedikit (44.00%) dibandingkan dengan di Cikaret (58.33%).

Sementara, usia istri berkisar antara 23 – 85 tahun dengan rata-rata 44 tahun, artinya istri termasuk dalam kategori dewasa madya. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 7, persentase terbesar istri termasuk dalam kategori dewasa muda (48.33%). Setengah dari istri di Sindang Barang (50.00%) termasuk dalam kategori dewasa madya, sementara itu sebanyak 53.33 persen istri di Cikaret termasuk dalam kategori dewasa muda. Rata-rata usia istri di Sindang Barang adalah 43.83 tahun, sedangkan istri di Cikaret adalah sebesar

44.17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa istri di Sindang Barang dan Cikaret termasuk dalam kategori dewasa madya. Istri yang termasuk ke dalam kategori usia produktif lebih banyak terdapat di wilayah Cikaret (53.33%) dibandingkan dengan wilayah Sindang Barang (43.33%).

Tabel 7 Sebaran suami dan istri berdasarkan kelompok usia (persen)

Kategori Usia

Sindang Barang Cikaret Total

Suami (n =25) Istri (n=30) Suami (n =25) Istri (n=30) Suami (N=49) Istri (N=60) 21 – 40 tahun 44.00 43.33 37.50 53.33 40.82 48.33 41 – 65 tahun 44.00 50.00 58.33 36.67 51.02 43.33 > 65 tahun 12.00 6.67 4.17 10.00 8.16 8.33 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Tipe dan Besar Keluarga

Tipe keluarga ada dua yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas

(extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak, sementara keluarga luas adalah keluarga yang terdiri dari anggota lain selain ayah, ibu dan anak, serta tinggal bersama dalam satu atap. Keluarga contoh tersebar ke dalam kedua tipe keluarga. Sebanyak 60.00 persen keluarga contoh adalah keluarga inti, sementara sebanyak 40.00 persen keluarga contoh merupakan keluarga luas. Pada keluarga contoh yang tinggal di Sindang Barang, proporsi terbesar adalah keluarga luas (56.67%), sementara pada keluarga contoh yang tinggal di Cikaret, proporsi terbesar adalah keluarga inti (76.67%).

Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan tipe keluarga (persen)

Anggota keluarga contoh berkisar antara 3 – 13 orang dengan rata-rata 5.7 orang, artinya rata-rata keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 9, sebanyak 48.33 persen keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang. Kondisi ekonomi keluarga contoh yang hampir seluruhnya termasuk ke dalam kategori keluarga miskin diduga dapat diatasi dengan memiliki anak yang banyak, keluarga contoh menganggap bahwa anak merupakan tenaga kerja, dengan semakin banyak

Tipe Keluarga Sindang Barang (n= 30) Cikaret (n = 30) Total (N = 60) Keluarga Inti 43.33 76.67 60.00 Keluarga Luas 56.67 23.33 40.00 Total 100.00 100.00 100.00

anak berarti semakin banyak pula tenaga kerja yang dapat diberdayakan untuk membantu kekurangan finansial keluarga.

Persentase terbesar keluarga contoh (53.33%) di Sindang Barang termasuk dalam kategori keluarga sedang, sementara itu sebanyak 43.33 persen keluarga contoh di Cikaret keluarga sedang. Rata-rata besar keluarga contoh di Sindang Barang adalah 6.00, sedangkan pada keluarga contoh di Cikaret adalah sebesar 5.70. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang. Keluarga kecil lebih banyak (36.67%) terdapat pada keluarga contoh di Cikaret dibandingkan dengan keluarga contoh di Sindang Barang (23.33%). Hal ini diduga karena usia ibu rumah tangga pada keluarga contoh di Cikaret sebagian besar berada pada usia 20 – 40 tahun, yang berarti ibu rumah tangga pada keluarga contoh di Cikaret tergolong pada kelompok usia dewasa muda. Kondisi ini dapat menyebabkan jumlah anak pada keluarga contoh di Cikaret lebih sedikit daripada keluarga contoh di Sindang Barang.

Tabel 9 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga (persen)

Tingkat Pendidikan Suami dan Istri

Salah satu cara untuk mengetahui keadaan sosial ekonomi rumah tangga suatu daerah adalah dengan melihat tingkat pendidikan di daerah tersebut. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan keluarga untuk mengakses kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan suami akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998 diacu dalam Astuti 2007). Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari lamanya pendidikan formal yang berhasil diselesaikan. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan suami dan istri tersebar pada berbagai tingkat pendidikan yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA. Tidak ada suami atau istri yang tingkat pendidikannya sampai dengan perguruan tinggi atau akademi.

Besar Keluarga (orang) Sindang Barang (n = 30) Cikaret (n = 30) Total (N = 60) Kecil (≤ 4) 23.33 23.33 30.00 Sedang (5–7) 53.33 53.33 48.33 Besar (≥ 8) 23.33 23.33 21.67 Total 100.00 100.00 100.00

Persentase terbesar tingkat pendidikan suami ialah tamat SD (32.65%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan suami masih rendah. Jika dilihat dari masing-masing wilayah maka persentase terbesar pendidikan suami di Sindang Barang adalah tamat SLTP (28.00%), sedangkan persentase terbesar tingkat pendidikan suami di Cikaret adalah tamat SD (41.67%). Berdasarkan hasil perbandingan antara tingkat pendidikan pada keluarga contoh Sindang Barang dan Cikaret dapat terlihat bahwa tingkat pendidikan suami di Sindang Barang lebih baik karena tingkat pendidikannya lebih tinggi dibandingkan dengan Cikaret.

Sama halnya dengan tingkat pendidikan suami, sebanyak 78 persen istri masih berada pada tingkat pendidikan yang rendah. Persentase terbesar tingkat pendidikan istri secara umum ialah tamat SD (38.30%). Pada istri yang tinggal Sindang Barang, persentase pendidikan menyebar mulai dari tidak tamat SD hingga tamat SLTP. Namun, pada istri yang tinggal di Cikaret, persentase pendidikan hanyalah menyebar pada tingkat tidak tamat SD hingga tamat SD sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan istri yang tinggal di Cikaret lebih tinggi dibandingkan dengan istri yang tinggal di Sindang Barang.

Tabel 10 Sebaran suami dan istri berdasarkan tingkat pendidikan (persen)

Tingkat Pendidikan

Sindang Barang Cikaret Total

Suami (n =25) Contoh (n=30) Suami (n =25) Contoh (n=30) Suami (N=49) Contoh (N=60) Tidak sekolah 4.00 16.67 8.33 3.33 6.12 10.00 Tidak tamat SD 16.00 26.67 16.67 33.33 16.33 30.00 Tamat SD 24.00 30.00 41.67 46.67 32.5 38.30 Tamat SLTP 28.00 20.67 8.33 10.00 18.37 15.00

Tidak Tamat SMU 0.00 0.00 8.33 0.00 4.08 0.00

Tamat SMU 28.00 6.67 16.67 6.67 22.45 6.70

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Pekerjaan Suami dan Istri

Sebagian besar pendapatan keluarga sangat berhubungan dengan pekerjaan suami. Berdasarkan hasil penelitian, dari sebanyak 83.33 persen ibu rumah tangga yang masih memiliki suami, persentase terbesar pekerjaan suami yang tinggal di Sindang Barang (60.00%) dan Cikaret (66.67%) ialah buruh. Tabel 11 menunjukkan persamaan jenis pekerjaan suami di Sindang Barang dan Cikaret. Pekerjaan utama suami adalah sebagai buruh, sehingga pendapatan terbesar diperoleh dari kegiatannya sebagai buruh.

Jumlah suami yang tidak bekerja ternyata mencapai angka 14.29 persen. Hal ini menunjukkan bahwa angka pengangguran pada masyarakat miskin perkotaan cukup besar pada laki-laki yang sudah berkeluarga. Pengangguran atau semi pengangguran merupakan salah satu penyebab rendahnya pendapatan akibat sulitnya mencari pekerjaan tetap. Kondisi suami yang tidak bekerja juga dapat diakibatkan oleh keterbatasan akses terhadap pendidikan sesuai dengan gambaran pada Tabel 10 yang menunjukkan bahwa persentase terbesar tingkat pendidikan pada suami hanya hingga tamat SD.

Secara umum, proporsi ibu yang bekerja (45.00%) lebih sedikit dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja (55.00%). Proporsi ibu rumah tangga yang bekerja pada contoh yang tinggal di wilayah Cikaret (63.33%) jauh lebih sedikit dibandingkan dengan proporsi ibu rumah tangga yang bekerja pada contoh yang tinggal di wilayah Sindang Barang (46.67%). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sebanyak 16.67 persen ibu rumah tangga tangga yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Cukup banyaknya jumlah istri yang bekerja dapat mempengaruhi jumlah pendapatan yang diterima oleh keluarga. Fenomena istri bekerja pada keluarga miskin merupakan salah satu cara untuk menambah pendapatan sesuai dengan pernyataan Moser (1988) yang menyatakan bahwa aset tenaga kerja biasanya dimanfaatkan oleh keluarga miskin untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi keluarga.

Tabel 11 Sebaran suami dan istri berdasarkan pekerjaan (persen)

Pekerjaan Sindang Barang Cikaret Total

Suami (n =25) Contoh (n=30) Suami (n =25) Contoh (n=30) Suami (N=49) Contoh (N=60) Tidak bekerja 16.00 46.67 12.50 63.33 14.29 55.00 Buruh 60.00 20.00 66.67 3.33 63.27 11.67 Pegawai 16.00 0.00 0.00 3.33 8.16 1.67 Pedagang 8.00 16.67 8.33 20.00 8.16 15.00 Jasa Angkutan 0.00 0.00 8.33 0.00 4.08 0.00 Pemulung 0.00 0.00 4.17 0.00 2.04 0.00

Pekerja Rumah Tangga 0.00 16.67 0.00 16.67 0.00 16.67

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Pendapatan per Kapita Keluarga

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi. Sumber penghasilan rumah tangga berupa pendapatan digunakan untuk membeli dan memproduksi barang dan jasa yang

dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan anggota rumahtangga. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain). Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Pada kondisi pendapatan terbatas, keluarga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan digunakan untuk mengkonsumsi makanan.

Tabel 12 menunjukkan bahwa kondisi ekonomi keluarga contoh Sindang Barang hampir sama dengan keluarga contoh Cikaret. Keluarga contoh di Sindang Barang memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp 105 456 (Standar Deviasi = Rp 66 117), hampir sama dengan pendapatan per kapita keluarga contoh di Cikaret yaitu sebesar Rp 107 477 (Standar Deviasi = Rp 44 800). Pendapatan terkecil dan terbesar terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di wilayah Sindang Barang, yakni sebesar Rp 10 000 per kapita per bulan dan Rp 300 000 per kapita per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan keluarga per kapita per bulan di kedua wilayah masih berada di bawah garis kemiskinan, yakni batas dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhan makanan dan non-makanan (Dinas Kesehatan 2008).

Tabel 12 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kelompok pendapatan per kapita per bulan (persen)

Pendapatan perkapita per Bulan Sindang Barang (n= 30) Cikaret (n = 30) Total (N = 60) ≤ Rp 100 000 56.67 50.00 53.33 Rp 100 000 - Rp 222 123* 36.67 46.67 41.67 > Rp 222 123 6.67 3.33 5.00 Total 100.00 100.00 100.00

*berdasarkan batas garis kemiskinan BPS (2009)

Pengeluaran per Kapita Keluarga

Tabel 13 menunjukkan bahwa keluarga contoh di Sindang Barang memiliki rata-rata pengeluaran sebesar Rp 205 641 (Standar Deviasi = Rp 78 357), hampir sama dengan pengeluaran per kapita keluarga contoh di Cikaret yaitu sebesar Rp 205 052 (Standar Deviasi = Rp 93 391). Pengeluaran terkecil terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di Cikaret, yakni sebesar Rp 67 722 per kapita per bulan dan pengeluaran terbesar terdapat pada keluarga contoh

yang tinggal di wilayah Sindang Barang yakni sebesar Rp 470 833 per kapita per bulan.

Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, berdasarkan data pengeluaran keluarga, ternyata terdapat 60 persen keluarga contoh yang termasuk ke dalam kategori keluarga miskin dan 40 persen lainnya tidak termasuk ke dalam kategori keluarga miskin. Persentase keluarga contoh yang miskin lebih banyak terdapat pada keluarga contoh yang tinggal di Sindang Barang (63.33%) dibandingkan dengan keluarga contoh yang tinggal di Cikaret (56.67%). Hal ini menunjukkan bahwa standar kemiskinan yang digunakan oleh pihak kelurahan berbeda dengan hasil penelitian.

Permasalahan ini dapat diakibatkan oleh penggunaan indikator kemiskinan BPS masih kurang tepat dan kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi, seperti indikator yang digunakan hanya berdasarkan keadaan fisik rumah, misalnya : (1) rumah masih berlantai tanah, bambu, atau kayu murah, padahal di daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin sudah berlantaikan plester, (2) Jenis dinding bambu/rumbia/kayu/tembok tanpa diplester, padahal di daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin berdindingkan tembok yang sudah diplester, (3) tidak menggunakan lampu sebagai penerangan, padahal di daerah perkotaan hampir seluruh rumah keluarga miskin sudah menggunakan lampu meskipun menumpang di saudara atau tetangganya, (4) pendidikan maksimal SD, padahal di daerah perkotaan banyak kepala keluarga yang pendidikannya sudah tingkat menengah

Tabel 13 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kelompok pengeluaran per kapita per bulan (persen)

Pengeluaran perkapita per Bulan Sindang Barang (n = 30) Cikaret (n = 30) Total (N = 60) ≤ Rp 100 000 10.00 10.00 10.00 Rp 100 000 - Rp 222 123* 53.33 46.67 50.00 > Rp 222 123 36.67 43.33 40.00 Total 100.00 100.00 100.00

*berdasarkan batas garis kemiskinan BPS (2009)

Tabel 14 memperlihatkan bahwa alokasi pengeluaran pangan antara keluarga contoh Sindang Barang dan Cikaret hampir sama. Rata-rata pengeluaran pangan keluarga contoh Sindang Barang sebesar Rp 133 614 dan keluarga contoh Cikaret sebesar Rp 137 165. Rata-rata pengeluaran non-pangan

keluarga contoh Sindang Barang sebesar Rp 72 027 dan keluarga contoh Cikaret sebesar Rp 67 887.

Berdasarkan proporsi dari pengeluaran total, alokasi pengeluaran pangan dan non-pangan pada keluarga contoh Sindang Barang dan Cikaret tidak berbeda jauh. Pada keluarga contoh di Sindang Barang, alokasi pengeluaran pangan ialah sebesar 64.97 persen dan pengeluaran non pangan ialah sebesar 35.03 persen. Sementara, pada keluarga contoh di Cikaret, alokasi pengeluaran pangan ialah sebesar 66.89 persen dan pengeluaran non pangan ialah sebesar 33.11 persen. Secara keseluruhan pengeluaran rata-rata untuk pangan lebih besar daripada rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Perhitungan pengeluaran per kapita menunjukkan bahwa keluarga contoh Sindang Barang memiliki pengeluaran rata-rata yang hampir sama dengan keluarga contoh Cikaret.

Rata-rata pengeluaran total keluarga contoh ialah sebesar Rp 205 346, dengan pengeluaran terendah sebesar Rp 67 722 pada keluarga contoh di Sindang Barang dan yang tertinggi sebesar Rp 470 833 yang terdapat pada keluarga contoh di Cikaret. Rata-rata pengeluaran pada keluarga contoh Sindang Barang ialah sebesar Rp 205 641, dan pada keluarga contoh Cikaret ialah sebesar Rp 205 052.

Tabel 14 Rata-rata pengeluaran keluarga contoh perkapita per bulan

*Keterangan : SD = Standar Deviasi

Nama Kelurahan

Pengeluaran Keluarga

Jenis Pengeluaran

Rata-rata Pengeluaran per kapita per bulan Rupiah % Sindang Barang Pangan 133 614 (SD = 53 231) 64.97 Non Pangan (SD = 37 509) 72 027 35.03 Total (SD = 78 357) 205 641 100.00 Cikaret Pangan 137 165 (SD = 53 528) 66.89 Non Pangan 67 887 (SD = 49 564) 33.11 Total (SD = 93 391) 205 052 100.00 Total Pangan (SD = 52 955) 135 389 65.93 Non Pangan 69 957 (SD = 43 628 ) 34.07 Total 205 346 (SD = 85 043) 100.00

Penggunaan Energi dalam Rumah Tangga

Sebelum program konversi minyak tanah ke LPG berlangsung, sebanyak 55 persen keluarga contoh menggunakan kayu bakar dan 45 persen lainnya menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun keluarga contoh merupakan masyarakat perkotaan, ternyata sebagian besar diantaranya masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Menurut Nuryanti (2007), penggunaan bahan bakar non-komersial (khususnya kayu bakar) dalam konsumsi energi pada sektor rumah tangga dimungkinkan karena 3 (tiga) faktor, yaitu :

1. Faktor ekonomi

Keterbatasan ekonomi menyebabkan contoh memilih bahan bakar yang harganya terjangkau. Walaupun ada pilihan, keluarga miskin lebih memilih energi yang harganya tidak melebihi daya beli sehingga kayu bakar menjadi pilihan.

2. Faktor infrastruktur

Keterbatasan infrastruktur juga menghambat contoh dalam mengkonsumsi energi komersial. Kelangkaan LPG dapat menyebabkan contoh tidak memungkinkan memakai LPG untuk memasak meski sebenarnya mereka mampu membeli.

3. Faktor pola pikir (mind set)

Faktor pola pikir juga menjadi faktor penghambat dalam konsumsi energi komersial, misalnya, faktor ketakutan untuk menggunakan kompor LPG atau bahkan kompor minyak tanah, menyebabkan banyak masyarakat bertahan menggunakan kayu bakar. Hal ini juga bisa berarti bahwa contoh menganggap bahwa menggunakan kayu bakar jauh lebih menguntungkan karena harga ekonominya tidak ada sehingga waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mencari kayu bakar maupun hasil samping pembakaran berupa CO2 tidak dianggap sebagai harga mahal yang harus dibayar.

Setelah program konversi minyak tanah ke LPG berlangsung, terdapat 81.67 persen keluarga contoh yang menggunakan LPG dan masih ada 11 keluarga contoh (18.33%) yang tidak mengunakan LPG (Tabel 15). Keluarga contoh yang saat ini tidak menggunakan LPG, ada yang menggunakan kayu bakar (8.3%) dan minyak tanah (10.00%) walaupun sebenarnya seluruh keluarga

contoh diberikan bantuan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua keluarga contoh menggunakan LPG setelah diberikan bantuan berupa kompor LPG, selang dan regulator oleh Pemerintah secara gratis. Sebagian dari mereka menggunakan bahan bakar yang sama dengan bahan bakar yang digunakan sebelum program konversi, yakni sebanyak 12.10 persen tetap menggunakan kayu bakar dan 14.80 persen tetap menggunakan minyak tanah. Sebanyak 6.10 persen keluarga contoh beralih dari minyak tanah ke kayu bakar. Hal ini berkaitan dengan semakin sulitnya keluarga contoh menemukan kayu bakar di sekitarnya. Sementara itu, sebanyak 3.70 persen keluarga contoh beralih dari minyak tanah ke kayu bakar. Hal ini berkaitan dengan semakin langka dan mahalnya harga minyak tanah sehingga keluarga contoh lebih memilih menggunakan kayu bakar.

Tabel 15 Sebaran keluarga contoh menurut bahan bakar yang digunakan Jenis Bahan Bakar Sebelum Program Konversi

Sesudah Program Konversi Kayu Bakar Minyak Tanah LPG Total n % n % n % n % n % Kayu Bakar 33 55.00 4 12.10 2 6.10 27 81.80 33 100.00 Minyak Tanah 27 45.00 1 3.70 4 14.80 22 81.50 27 100.00 Total 60 100.00 5 8.33 6 10.00 49 81.67 60 100.00

Ada beberapa alasan yang menyebabkan keluarga contoh tidak menggunakan LPG. Sebanyak 54.55 persen keluarga contoh merasa takut sehingga penggunaan kayu bakar ataupun minyak tanah yang dianggap lebih aman bagi mereka. Sebagian kecil diantaranya tidak menggunakan LPG karena memang tidak bisa menggunakannya, harga isi ulang LPG yang cukup mahal, dan menjual tabung LPG untuk membayar hutang keluarga (Tabel 16).

Tabel 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan alasan tidak menggunakan LPG (persen)

Alasan Sindang Barang

(n = 3) Cikaret (n = 8) Total (n = 11) Takut Menggunakan LPG 100.00 37.50 54.55

Tidak bisa mengunakan LPG 0.00 25.00 18.18

Harga Isi Ulang LPG Mahal 0.00 25.00 18.18

Menjual Tabung LPG 0.00 12.50 9.09

Pada keluarga contoh yang menggunakan LPG (81.67%), banyaknya LPG yang digunakan cukup bervariasi, mulai dari 1 hingga 3 tabung per bulan. Presentase penggunaan LPG terbanyak ialah sebanyak 3 tabung per bulan. Sebanyak 46.94 persen keluarga contoh pengguna LPG menggunakan LPG sebanyak 3 kali setiap bulan. Dilihat dari jumlah anggota keluarga, sebagian besar keluarga contoh yang menggunakan LPG termasuk kedalam keluarga sedang sehingga penggunaan LPG setiap bulan cukup banyak. Namun, masih cukup banyak keluarga contoh yang hanya menggunakan LPG 1 hingga 2 tabung per bulan. Hal ini mungkin berkaitan dengan penggunaan LPG pada masing-masing keluarga. Ada yang menggunakan seperlunya saja dan ada yang menggunakannya hampir setiap hari.

Tabel 17 Sebaran keluarga contoh menurut banyaknya penggunaan LPG per bulan (persen)

Banyaknya Penggunaan tabung LPG per bulan

Sindang Barang (n = 27) Cikaret (n = 22) Total (n = 49) 1 27.27 22.22 24.49 2 36.36 22.22 28.57 3 36.36 37.04 46.94 Total 100.00 100.00 100.00

Berdasarkan hasil penelitian, keluarga contoh yang menggunakan LPG (81.67%) memiliki bahan bakar cadangan ketika sulit memperoleh LPG atau tidak mampu membeli LPG (Tabel 18). Bahan bakar cadangan yang paling banyak digunakan oleh keluarga contoh pengguna LPG ialah kayu bakar (48.98%). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kayu bakar menjadi alternatif bagi keluarga miskin karena biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah.

Tabel 18 Sebaran keluarga contoh pengguna LPG berdasarkan bahan bakar cadangan yang digunakan (persen)

Jenis Bahan Bakar Sindang Barang

(n = 26)

Cikaret (n = 23)

Total (n = 49)

Tidak memiliki cadangan 38.46 56.52 46.94

Minyak tanah 0.00 4.35 2.04

Kayu Bakar 61.54 34.78 48.98

Minyak tanah + kayu bakar 0.00 4.35 2.04

Namun, jika dilihat pada masing-masing wilayah, sebagian keluarga contoh yang tinggal di Cikaret (56.52%) tidak memiliki cadangan selain LPG. Hal ini berarti keluarga contoh hanya mengandalkan LPG untuk memasak. Berbeda dengan keluarga contoh di Sindang Barang yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar cadangan (61.54%). Hal ini berkaitan dengan ketersediaan bahan bakar di wilayah Sindang Barang yang lebih banyak dijumpai

Dokumen terkait