• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Persepsi, Sikap, dan Strategi Koping Keluarga Miskin terkait Program Konversi Minyak Tanah ke LPG di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Persepsi, Sikap, dan Strategi Koping Keluarga Miskin terkait Program Konversi Minyak Tanah ke LPG di Kota Bogor"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERSEPSI, SIKAP, DAN STRATEGI KOPING

KELUARGA MISKIN TERKAIT PROGRAM KONVERSI

MINYAK TANAH KE LPG DI KOTA BOGOR

EKA WULIDA LATIFAH

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

EKA WULIDA LATIFAH. The Analysis of Poor Family’s Perception, Attitude, and Coping Strategy Regarding on Kerosene Convertion Program to LPG in Bogor City. Under Direction of HARTOYO and SUPRIHATIN GUHARDJA.

The increasing of Indonesian population over years (2.6 million per years) causing increasing demand of energy being something that cannot be avoided. In addition, Indonesia’s dependable to energy had increased the demand of energy. Meanwhile, energy reserve is running low in Indonesia. Energy crisis that happen o this time trigger various side to do new experiments especially that concern to public policy. One of the step strived by the government to overcome this kerosene crisis is the conversion from kerosene to LPG. The conversion program from Kerosene to LPG program is one of the efforts that done by government to decrease dependency society towards kerosene.

The aim of this study was to analyzeof the poor family respons to cerosene convertion program to LPG in Sindang Barang Village and Cikaret Village, Bogor City. The study implemented cross sectional and survey method through the process of purposive sampling procedures. One of the criteria of the study location was the location that had the highest quantity which received kerosene convertion program to LPG. The samples of the family were chosen randomly from the chosen location. The total of samples was 60 families. The study used descriptive analysis that contains of secondary data, literature study, and primary data (from questionnaire). Beside that, Pearson correlation dan linear regression was used to analyze data.

The result found out that 18.33 percent of the samples were actually not really receive the program. Around 60.00 percent of the family had monthly expense per capita of Rp 222 123 which was below the poverty line. Kerosene conversion program is proved to decrease family expenditure at kerosene user who convert to LPG. This is showed by expenditure depreciation existence after conversion program is carried out around Rp 66 400 every month (used kerosene prices before program) and Rp 202 350 every month (used kerosene prices after program). But for samples that convert from wood to LPG, the expenditure rise from Rp 10 250 every month become Rp 44 700 every month.The study also found that in general, most of LPG user ask money to the extended family and cook in their family when they have not money to buy LPG refill. Sosialization about a good way to use LPG, not only give the information that LPG is safe, clean, cheap, and good for environment is very important. Besides that, it’s need to empower society in order to prepare money to buy LPG refill.

(3)

Miskin terkait Program Konversi Minyak Tanah ke LPG di Kota Bogor. Dibimbing oleh HARTOYO dan SUPRIHATIN GUHARDJA.

Dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi (2.6 juta jiwa per tahun), kebutuhan bahan bakar minyak tentunya akan meningkat. Sementara itu, cadangan minyak di Indonesia semakin berkurang, sehingga Indonesia harus mengimpor bahan bakar minyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Salah satu jenis sumber energi yang banyak dikonsumsi dan membebani keuangan negara dengan subsidi adalah minyak tanah. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan program konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG. Program konversi ini dilakukan melalui pembagian paket LPG 3 kg beserta tabung, kompor, regulator dan selang secara gratis kepada keluarga miskin di Indonesia.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalis respon keluarga miskin terhadap program konversi minyak tanah ke LPG di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Cikaret, Kota Bogor. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga penerima program konversi minyak tanah ke LPG, (2) mengidentifikasi persepsi dan sikap ibu rumah tangga terhadap LPG, (3) mengidentifikasi perubahan pengeluaran bahan bakar keluarga sesudah program konversi minyak tanah ke LPG, (4) mengidentifikasi strategi koping keluarga contoh terhadap masalah-masalah yang timbul dalam penggunaan LPG, (5) menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga contoh dengan persepsi dan sikap ibu rumah tangga , dan (6) menganalisis faktor yang mempengaruhi strategi koping keluarga contoh terhadap ketidakmampuan membeli isi ulang LPG.

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan, dan pengeluaran keluarga), karakteristik ibu rumah tangga (umur, pekerjaan, dan pendidikan), persepsi, persepsi terhadap waktu, sikap, perubahan pengeluaran rumah tangga, dan strategi koping. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait meliputi gambaran umum wilayah, potensi wilayah, data keluarga miskin, dan data pendistribusian LPG. Data yang diperoleh selanjutnya coding, entry, dan di-cleaning menggunakan program Microsoft Excel dan selanjutnya dianalisis menggunakan program SPSS 10 for window.

Usia suami berkisar antara 27 hingga 80 tahun dengan rata-rata usia 46.22 tahun. Sebanyak 51.18 persen diantaranya berusia di atas 41 tahun, sedangkan yang berusia di bawah 41 tahun sebanyak 40.82 persen. Usia istri berkisar antara 23 sampai 85 tahun dengan rata-rata usia 44 tahun. Sebanyak 51.67 persen diantaranya berusia di atas 41 tahun, sedangkan yang berusia di bawah 41 tahun sebanyak 48.33 persen. Persentase tingkat pendidikan terbesar suami (32.65%) dan istri (38.33%) ialah tamat SD.

(4)

kemiskinan pusat pada tahun 2009, yakni sebesar Rp 222 123. Rata-rata jumlah penghematan yang dapat dilakukan oleh keluarga contoh yang beralih dari minyak tanah ke LPG ialah sebesar Rp 66 400 per bulan jika menggunakan harga minyak tanah sebelum program konversi dan sebesar Rp 202 350 per bulan jika menggunakan harga minyak tanah setelah program konversi. Namun, bagi keluarga contoh yang beralih dari kayu bakar ke LPG, rata-rata biaya yang dikeluarkan justru menjadi lebih besar, yakni dari Rp 10 250 per bulan menjadi Rp 44 700 per bulan.

Masih terdapat 18.33 persen keluarga contoh yang tidak mengunakan LPG (10% menggunakan minyak tanah dan 8.33% menggunakan kayu bakar) dengan alasan takut terhadap LPG dan merasa bahwa kayu bakar ataupun minyak tanah lebih aman meskipun seluruhnya diberikan bantuan kompor gas dan tabung LPG secara gratis. Adapun alasan lainnya ialah harga isi ulang LPG yang cukup mahal, tidak bisa menggunakan LPG, dan menjual tabung LPG untuk membayar hutang keluarga.

Sebagian besar ibu rumah tangga (71.67%) memiliki persepsi yang baik terhadap LPG dan masih terdapat 28.33 persen ibu rumah tangga yang memiliki persepsi yang kurang baik terhadap LPG. Sebagian besar ibu rumah tangga memiliki sikap yang cukup baik terhadap LPG (83.33%) dan minyak tanah (96.67%). Dari seluruh keluarga contoh yang menggunakan LPG (81.67%), sebagian diantaranya (55.10%) pernah mengalami kerusakan LPG. Strategi koping yang paling banyak dilakukan oleh keluarga ketika mengalami kerusakan pada LPG ialah dengan meminta bantuan tetangga (40.70%) dan mengganti peralatan yang rusak dengan yang baru (44.40%). Hampir seluruh keluarga contoh pengguna LPG pernah mengalami ketidakmampuan dalam membeli LPG (91.84%). Strategi koping yang paling banyak dilakukan oleh keluarga contoh ialah meminta uang pada keluarga dekat (82.22%) dan ikut memasak di tempat saudara (77.78%).

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk melakukan penyuluhan mengenai bagaimana cara menggunakan LPG yang baik sangat diperlukan agar masyarakat merasa aman saat menggunakan LPG; menyediakan LPG dan perangkatnya dengan jaminan keamanan yang tinggi berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI); dan memformulasikan program-penanggulangan kemiskinan yang diintegrasikan dengan program konversi BBM.

(5)

ANALISIS PERSEPSI, SIKAP, DAN STRATEGI KOPING

KELUARGA MISKIN TERKAIT PROGRAM KONVERSI

MINYAK TANAH KE LPG DI KOTA BOGOR

EKA WULIDA LATIFAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ilmu Keluarga Dan Konsumen

pada

Departemen Ilmu keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Persepsi, Sikap, Strategi Koping Keluarga Miskin terkait Program Konversi Minyak Tanah ke LPG di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

(7)

Program Konversi Minyak Tanah ke LPG di Kota Bogor Nama : EKA WULIDA LATIFAH

NIM : I24052753

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr.Ir.Hartoyo, MSc) (Dr.Ir.Suprihatin Guhardja, MS) NIP : 19630714 198703 1002 NIK : 1302035760

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

(Dr.Ir.Hartoyo, MSc) NIP : 19630714 198703 1002

(8)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 November 1987 dari pasangan Engkos Koswara (Alm) dan Maridah. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Kartini Bogor pada tahun 1993, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Papandayan 3. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 3 Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 7 Bogor dan masuk program IPA pada tahun 2003. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Lembaga Dakwah Kampus Dewan Kemakmuran Masjid Al-Hurriyyah (LDK DKM Al-Hurriyyah) sebagai Bendahara Divisi Sosial Kemasyarakatan pada tahun 2005/2007, Lembaga Dakwah Fakultas Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (FORSIA) sebagai staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia pada tahun 2006/2008, Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai Sekretaris Divisi Tumbuh Kembang Anak pada tahun 2006/2007, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) sebagai Sekretaris Umum pada tahun 2007/2008. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum perilaku konsumen selama 3 tahun dan asisten Manajemen Keuangan Konsumen selama satu semester.

(9)

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, taufik, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Analisis Persepsi, Sikap, dan Strategi Koping Keluarga Miskin terkait Program Konversi Minyak Tanah ke LPG”. Skripsi ini disusun oleh penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Banyak kendala yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, namun berkat rahmat dan karunia dari Allah SWT serta bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, Alhamdulillah skripsi ini dapat penulis selesaikan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu dan keluarga besar atas semua dorongan, semangat, dan doa yang tulus yang selama ini telah diberikan kepada penulis. Pada kesempatan ini, penulis pun ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr.Ir. Hartoyo, MSc. selaku dosen pembimbing I, dosen pembimbing akademik, dan ketua departemen yang telah memberikan petunjuk, pengarahan dan sumbangan pemikiran kepada penulis dengan sabar untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr.Ir. Suprihatin Guhardja, MS. selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, pengarahan dan sumbangan pemikiran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr.Ir. Euis Sunarti, MS. selaku dosen penguji atas kesediaannya menguji, serta saran dan kritiknya terhadap skripsi yang dikerjakan oleh penulis.

4. Dr.Ir. Titiek Sumarti, MSc, Ir. Dwi Hastuti, Ir. Melly Latifah, Ir.Irni Rahmayani Johan, SP, MM dan Megawati Simanjuntak, SP atas bimbingan, perhatian, dan nasehat-nasehat yang diberikan sehingga penulis termotivasi untuk terus bermimpi dan bercita-cita meraih tujuan hidup yang diinginkan.

5. Seluruh staf pengajar IKK yang telah mendidik dan memberikan ilmu serta hikmah kepada penulis selama berkuliah di IPB.

(10)

7. Rekan-rekan IKK 42, rekan-rekan etoser Bogor, teman-teman seperjuangan di Al Hurriyyah, rekan-rekan B17-B18, rekan seperjuangan di FEMA dan teman-teman asrama A2, terima kasih atas kebersamaan yang selama ini tercipta dan akan menjadi kenangan terindah.

8. Berbagai pihak baik perorangan maupun kelembagaan yang tidak dapat disebutkan satu per satu, namun telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang ada, skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan segala informasi yang terdapat di dalamnya.

Bogor, Februari 2010

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Energi memainkan peranan penting dalam semua aspek kehidupan manusia. Peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Remi (2008) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia dalam waktu 25 tahun mendatang diperkirakan akan terus meningkat yaitu dari 205.8 juta pada tahun 2000 menjadi 273.7 juta pada tahun 2025, sehingga kebutuhan energi di masa mendatang diperkirakan akan meningkat pula.

Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu jenis energi yang banyak digunakan di Indonesia. Cadangan BBM di Indonesia semakin menipis sehingga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerintah harus mengimpor BBM. Namun, salah satu permasalahan yang pernah dialami oleh Pemerintah ialah tingginya harga minyak dunia yang mendekati angka US $ 100 per barel pada tahun 2008 sehingga memerlukan devisa yang cukup untuk mensubsidi BBM (Gambar 1). Peningkatan harga BBM dunia berakibat pada pengurangan cadangan devisa negara dan meningkatnya biaya subsidi minyak dan pada gilirannya dapat membebani APBN dari tahun ke tahun.

Sumber : OPEC dalam Nasrullah (2009) Gambar 1 Perkembangan harga minyak dunia.

(12)

karena itu, penggunaan minyak tanah pada skala rumah tangga di Indonesia dianggap tidak efektif dan efisien.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah menetapkan program konversi minyak tanah ke LPG (Liquified Petroleum Gas). Hasil perhitungan yang dilakukan oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral menunjukkan bahwa penerapan kebijakan ini dapat mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah seperti yang terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan minyak tanah dan LPG

PERBANDINGAN MINYAK TANAH LPG

Kesetaraan 1 Liter 0.57 Kg

Nilai Kalori (Kcal/Liter) 8 498.75 6 302.58

Pengalihan Volume Minyak Tanah

Subsidi 10 000 000 Kiloliter 5 746 095 MT/Tahun

Asumsi Harga Keekonomian Rp 5 665 /Liter Rp 7 127 /Kg

Harga Jual Rp 2 000 /Liter Rp 4 250 /Kg

Besaran Subsidi Rp 3 665 /Liter Rp 2 877 /Kg

Total Subsidi Rp 36.65 Triliun/Tahun Rp 16.53 Triliun/Tahun

Selisih Rp 20.12 Triliun/Tahun

Sumber : ( Departemen ESDM 2007)

Dari tabel tersebut terlihat bahwa dengan program konversi minyak tanah ke LPG, Pemerintah Indonesia dapat menghemat subsidi sebesar Rp 20.12 triliun/ tahun. Program konversi seluruh minyak tanah bersubsidi ke LPG ini direncanakan akan selesai dalam jangka waktu 5 tahun (dari tahun 2007 hingga tahun 2012).

(13)

untuk menggunakan LPG, namun di sisi lain, masyarakat juga memiliki banyak keterbatasan untuk beradaptasi dengan penggunaan LPG ini.

Penelitian mengenai keluarga miskin penerima program konversi minyak tanah ke LPG ini dianggap perlu untuk dilakukan oleh Pemerintah khususnya Pemerintah Kota Bogor agar dapat diketahui bagaimana respon masyarakat miskin penerima bantuan kompor LPG terhadap teknologi yang dianggap baru oleh mereka. Hal ini penting dilakukan agar program ini dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan, yakni seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin mau menerima LPG dengan kesadaran penuh.

Perumusan Masalah

Keberadaan LPG yang dianggap sebagai solusi permasalahan energi bahan bakar harus dapat dibuktikan daya penerimaannya oleh masyarakat. Suatu teknologi baru belum tentu dapat dipahami dan diterima dengan mudah oleh masyarakat. Sebelum menerima suatu produk (dalam hal ini LPG) diperlukan beberapa kriteria yang dianggap dapat memenuhi syarat diterimanya suatu produk oleh masyarakat. Kriteria ini meliputi pengetahuan teknis mengenai penggunaan LPG yang memadai, keamananan LPG, dan keterjangkauan harga LPG bagi sejumlah masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah.

Permasalahan pengetahuan teknis mengenai seluk beluk penggunaan, fungsi, dan prosedur pengamanan kompor LPG jika terjadi kebocoran dan cara penanganan kerusakan lainnya sangat diperlukan agar penggunaan LPG dapat dilakukan dengan aman. Ketidaktahuan masyarakat dari segi teknis penggunaan kompor LPG dapat menimbulkan pikiran-pikiran negatif antara lain berupa ketakutan atau trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat penggunanya (Azis 2008). Selain itu, meskipun pengeluaran untuk LPG lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah, tetapi pembelian LPG tidak dapat dilakukan dengan mengecer seperti minyak tanah.

(14)

Bertolak dari uraian sebelumnya, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah keluarga yang telah menerima bantuan program konversi minyak tanah ke LPG menggunakan apa yang telah diterimanya? Apakah masih ada keluarga yang tidak menggunakan bantuan yang telah diterimanya? Jika masih ada yang tidak menggunakan bantuan, mengapa mereka tidak menggunakannya?

2. Apa ciri-ciri dari mereka yang sudah menggunakan dan yang belum menggunakan LPG? Apakah mereka yang telah menggunakan LPG pernah mengalami masalah baik dalam menggunakan maupun dalam memperoleh LPG serta peralatannya?

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalis respon keluarga miskin terhadap program konversi minyak tanah ke LPG di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Cikaret, Kota Bogor. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga penerima program konversi minyak tanah ke LPG

2. Mengidentifikasi persepsi dan sikap ibu rumah tangga terhadap LPG di Kota Bogor

3. Menghitung perubahan pengeluaran bahan bakar keluarga pasca program konversi minyak tanah ke LPG

4. Mengidentifikasi strategi koping keluarga contoh terhadap terhadap

masalah-masalah yang timbul dalam penggunaan LPG

5. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga contoh dengan persepsi dan sikap ibu rumah tangga terhadap LPG

6. Menganalisis faktor yang mempengaruhi strategi koping keluarga contoh terhadap ketidakmampuan membeli isi ulang LPG

Kegunaan Penelitian

(15)

1. Bagi masyarakat ;

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi sehingga dapat menentukan langkah yang tepat dalam menerima produk baru.

2. Bagi institusi pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian yang berkaitan dengan ekonomi keluarga serta menambah penelitian tentang ekonomi keluarga.

3. Bagi pemerintah dan instansi terkait

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan dan Manajemen Sumberdaya Keluarga Miskin

Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang berarti “tidak memiliki harta-benda” (Gunawan 2009). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dimaknai sebagai suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga menyebabkan kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.

Berbagai sudut pandang tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan struktural,

kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Menurut Gunawan (2009),

kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup dan martabat kemanusiaan.

Menurut Gunawan (2009), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan ialah bahwa kemiskinan merupakan sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Kehidupan yang miskin bukan hanya berarti kehidupan dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses yang rendah terhadap beragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Kehidupan dalam kemiskinan juga sering diartikan sebagai akses yang rendah terhadap kekuasaan.

Selanjutnya, menurut Gunawan (2009), dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling tidak terdapat tiga bentuk potensi yang dapat diamati, yakni:

1. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar

Tinjauan tentang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dapat dilihat dari aspek (a) pengeluaran keluarga, (b) human capital atau kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan, dan (c)

security capital atau kemampuan menjangkau perlindungan dasar. 2. Kemampuan dalam pelaksanaan peran sosial

(17)

3. Kemampuan dalam menghadapi permasalahan

Tinjauan tentang kemampuan dalam menghadapi permasalahan dapat dilihat dari upaya yang mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi.

Adapun gambaran mengenai penduduk miskin di Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 2. Provinsi Jawa Barat menempati urutan ke-3 jumlah penduduk miskin terbanyak, yakni mencapai angka 4 983 570 jiwa setelah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia menurut provinsi periode Maret 2008 - 2009

(18)

Beberapa ukuran dan kriteria dapat digunakan untuk menetapkan garis kemiskinan, yaitu batas dimana penduduk yang mempunyai pengeluaran kurang dari batas tersebut akan dikatakan miskin. Adapun batas garis kemiskinan perkotaan pada tahun 2008 ialah sebesar Rp 204 896 perkapita/bulan dan pada tahun 2009 sebesar Rp 222 123 perkapita/bulan (Tabel 3).

Tabel 3 Garis kemiskinan, jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia menurut daerah periode Maret 2008 - 2009

Sumber : BPS (2009)

Menurut pendekatan basic needs, kemiskinan dipandang sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Batas kecukupan pangan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2100 kalori per kapita per hari. Batas kecukupan non makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain (Dinas Kesehatan 2008).

(19)

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam Guhardja et al (1992) yang dimaksud dengan sumberdaya ialah alat atau kekayaan yang tersedia (available means), kemampuan atau bahan untuk menyelesaikan persoalan atau masalah. Sumberdaya merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan. Sumberdaya ini tidak perlu bersifat langka, tetapi dapat pula bersifat melimpah. Sumberdaya yang melimpah memudahkan dalam memenuhi keinginan dan sebaliknya apabila sumberdaya itu terbatas. Utilitas atau kegunaan merupakan ciri khas dari semua sumberdaya. Segala sesuatu yang ada di sekitar kita apabila belum diketahui kegunaannya maka belum dapat dikatakan sebagai sumberdaya.

Manajemen sumberdaya keluarga adalah penggunaan sumberdaya keluarga dalam usaha atau proses mencapai sesuatu yang dianggap penting oleh keluarga. Manajemen ini bertujuan untuk mencapai hasil sebaik-baiknya

dengan sumberdaya yang sekecil-kecilnya (Guhardja, et al 1992). Maryam

(2007) menyatakan bahwa sumberdaya dalam keluarga terdiri atas :

1. Unsur manusia : jumlah anggota keluarga, umur, tipe keluarga, hubungan antar anggota dalam keluarga dan hubungan antar keluarga dengan keluarga lain, serta faktor-faktor yang ada pada manusia seperti pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan minat (interest).

2. Unsur materi : pendapatan berupa uang atau barang dan kekayaan milik keluarga yang dapat berupa lahan (pekarangan, kebun, sawah serta rumah yang dihuni).

3. Unsur waktu : sumberdaya waktu merupakan sumberdaya yang unik, karena selain tidak dapat dikategorikan sebagai sumberdaya manusia atau sumberdaya non-manusia, juga tidak dapat ditambah, dikurangi, diakumulasi atau disimpan (Guhardja et al 1992).

(20)

sumberdaya tersebut antara lain kondisi kesehatan, kepribadian, konsep diri, dukungan sosial, dan aset ekonomi.

Dalam penelitian ini sumberdaya koping yang digunakan adalah karakteristik sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga, umur, pendidikan suami/istri, pekerjaan suami/istri, dan pendapatan keluarga), persepsi dan sikap. Greenberg (2002) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu stressor yang berkaitan dengan masalah keuangan keluarga.

Proses Adopsi Teknologi Rumah Tangga

Inovasi merupakan istilah yang telah dipakai secara luas dalam berbagai bidang baik industri, pemasaran maupun jasa. Secara sederhana, Adams (1988) menyatakan bahwa inovasi merupakan suatu ide atau objek yang dianggap baru oleh seseorang. Begitu pula dengan Roger dan Shoemaker (1971) yang menyatakan bahwa inovasi merupakan suatu ide, praktek atau objek yang dianggap baru oleh individu. Dalam perspektif pemasaran, Simamora (2003) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide, praktek atau produk yang dianggap baru oleh individu atau kelompok yang relevan.

Sementara itu, Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, atau ide yang dianggap baru oleh seseorang. Definisi yang lebih lengkap disampaikan oleh Van Den Ban dan Hawkins (1996) yang menyatakan bahwa :

an innovation is an idea, method, or object, which is regarded as new by individual, but which is not always the result of recent research.

Adopsi adalah suatu keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya suatu ide baru (inovasi) dimana keputusan ini merupakan jalan terbaik dari tindakan- tindakannya. Proses adopsi merupakan proses-proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan) hal yang baru tersebut (Roger dan Shoemaker 1971).

Adopsi inovasi merupakan proses mental atau perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai ia memutuskan untuk mengadopsinya (Rogers and Shoemaker 1971). Kategori adopter yang mengadopsi suatu inovasi adalah klasifikasi anggota sistem sosial

berdasarkan innovativeness yang didasari juga oleh waktu relatif yang

(21)

mengatakan bahwa tidak setiap orang mengadopsi inovasi pada tingkat yang sama. Ada orang yang melakukannya dalam waktu singkat tetapi ada yang melakukannya setelah waktu bertahun-tahun.

Berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan seluruh proses adopsi, dari tahap kesadaran hingga tahap penerimaan, maka sasaran dapat dikelompokkan menjadi lima kategori yakni (a) pelopor atau inovator, (b) penerap dini atau early adopter, (c) penerap awal atau early majority, (d) penerap akhir atau late majority, dan (e) penolak atau laggard. Karakteristik dari kelima kategori adopter tersebut berbeda satu dengan yang lainnya berdasarkan aspek usia, pendidikan, status ekonomi, dan status sosial.

Tahap-tahap proses adopsi (proses dimana seseorang mulai mengenal adanya suatu inovasi sampai mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari) dapat melalui beberapa tahap. Menurut penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh North Central Rural Sociology Sub Committee of Farm Practice

dalam buku Roger dan Shoemaker (1971), tahapan proses adopsi dalam penerimaan perubahan (inovasi) melalui tahap-tahap berikut yaitu :

a. Awareness yaitu kesadaran adanya suatu inovasi namun informasi mengenai inovasi tersebut masih terbatas.

b. Interest yaitu adanya ketertarikan terhadap inovasi dan mencoba mencari tahu lebih jauh mengenai inovasi tersebut

c. Evaluation yaitu proses mencari informasi atas inovasi yang kemungkinan akan diterima.

d. Trial yaitu tahap percobaan terhadap inovasi baru tersebut dalam skala kecil untuk mengetahui kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari

e. Adoption yaitu proses mengadopsi atau menerima inovasi baru tersebut serta menggunakannya secara kontinu.

Sejumlah studi menunjukkan adanya beberapa pertimbangan penting yang mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi (Van den Ban 1996), yaitu: (a) memiliki keuntungan relatif yang tinggi bagi pengguna; (b) sesuai dengan nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhannya; (c) tidak rumit; (d) dapat dicoba dalam skala kecil; dan (e) mudah diamati.

(22)

terjangkau; (d) masyarakat diberikan contoh cara penggunaan produk baru dengan baik; (e) pengadopsian secara berkelompok lebih efektif; dan (f) pendekatan yang dilakukan berbeda pada masing-masing orang.

Teknologi menurut Roger dan Shoemakers (1967) mempunyai dua

komponen utama yaitu (1) komponen perangkat keras hardware yang

merupakan perangkat yang menunjuk teknologi dalam wujudnya sebagai materi atau alat tertentu, dan (2) komponen perangkat lunak software yang merupakan informasi atau penjelasan terhadap teknologi yang bersangkutan.

Berkaitan dengan teori di atas, bahan bakar merupakan salah satu jenis produk yang terus-menerus mengalami inovasi. Kayu bakar merupakan salah satu jenis bahan bakar yang sudah cukup lama digunakan oleh masyarakat untuk keperluan memasak. Masyarakat mulai beralih dari kayu bakar sejak ditemukannya minyak tanah sebagai pengganti kayu bakar. Minyak tanah merupakan cairan hidrokarbon yang tidak berwarna dan memiliki sifat mudah terbakar. Minyak tanah diperoleh dengan melalui destilasi fraksional dari petroleum yang dipanaskan pada suhu 150°C and 275°C (rantai karbon dari C12

sampai C15). Minyak tanah juga digunakan sebagai bahan bakar untuk lampu

tempel.

Saat ini, penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak hanya terbatas di negara berkembang. Di negara lain, minyak tanah diolah kembali menjadi bahan bakar pesawat terbang yang nilai jualnya lebih tinggi. Selain itu, minyak tanah juga di gunakan untuk membasmi serangga seperti semut dan kecoa, serta digunakan juga sebagai campuran dalam cairan pembasmi serangga (Anonim 2008a).

Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi penciptaan bahan bakar pun semakin berkembang. Bahan bakar yang lebih modern setelah minyak tanah ialah gas alam. Ketersediaan gas alam di Indonesia sangat tinggi. Namun, penggunaan gas alam hanya dapat dilakukan oleh kalangan menengah ke atas karena biaya yang dibutuhkan dalam penggunaannya cukup besar. Saat ini, bahan bakar yang digunakan untuk memasak sudah lebih modern. LPG merupakan salah satu bentuk teknologi yang cukup baru dari gas. Peet et al

(1979) mendefinisikan LPG sebagai campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari LPG alam. Sebagian besar komponennya terdiri dari propana (C3H8) dan butana (C4H10). Elpiji juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam

(23)

bentuk cairan melalui proses distilasi dengan menambahkan tekanan dan menurunkan suhunya. Selain berfungsi sebagai bahan bakar rumah tangga, LPG juga cukup banyak digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor (walaupun mesin kendaraannya harus dimodifikasi terlebih dahulu). Pada awalnya, LPG dipasarkan bagi kalangan terbatas dengan produk tabung 12 kg dan 50 kg. Namun seiring dengan permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan energi, dimana subsidi bahan bakar minyak tanah semakin lama semakin besar dan adanya arah kebijakan energi nasional yang baru, maka sejak tahun 2007 Pemerintah melakukan program konversi minyak tanah ke LPG dalam bentuk LPG 3 kg.

Berdasarkan penjelasan di atas, LPG merupakan salah satu bentuk inovasi yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mengatasi permasalahan energi rumah tangga di Indonesia. Inovasi yang dihasilkan oleh Pemerintah ini berwujud teknologi dan kebijakan. Namun, LPG memiliki resiko kebocoran pada tabung atau instalasi LPG sehingga bila terkena api dapat menyebabkan kebakaran. Pada awalnya, LPG LPG tidak berbau sehingga dapat mengakibatkan kesulitan dalam pendeteksian kebocoran pada tabung LPG. Maka dari itu, Pertamina menambahkan LPG mercaptan, yang memiliki bau yang khas sebagai pendeteksi adanya kebocoran pada LPG.

Konversi minyak tanah ke LPG sebenarnya berada di jalur yang tepat, mengingat cadangan LPG Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan minyak bumi. Namun, yang tidak tepat adalah mengimplementasikan program konversi bahan bakar dalam waktu yang singkat yakni hanya 3 tahun. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa transisi ke energi yang lebih modern sekurangnya memerlukan waktu hingga puluhan tahun. Misalnya, di Amerika Serikat memerlukan hampir 70 tahun (1850-1920) dan di Korea waktu yang dibutuhkan hanya 30 tahun (1950-1980) akibat adanya kemajuan teknologi. Penduduk Brazil yang menggunakan elpiji sebanyak 16 persen pada 1960 menjadi 78 persen pada 1985, dan hampir seluruhnya pada 2004 (UN Millenium Project 2005 dalam Nasrullah 2009).

Persepsi dan Sikap

(24)

sekitar atau melihat situasi yang terjadi untuk mendapatkan informasi tentang sesuatu. Persepsi masing-masing individu terhadap satu situasi yang sama bisa berbeda-beda. Hal itu disebabkan karena setiap orang menerima, mengorganisasi, dan menerjemahkan informasi dengan caranya masing-masing.

Schifmann dan Kanuk (2000) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana individu menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan stimulus ke dalam gambaran kata yang bermakna dan koheren. Proses dasar dalam pembentukan persepsi seseorang menurut Schiffman dan Kanuk (2007) meliputi:

1. Perceptual Selection

Konsumen mengambil dan memilih rangsangan yang diterima (yang dianggap sesuai dengan dirinya). Dalam proses pengambilan keputusan, konsumen akan sangat selektif dalam memilih informasi, yaitu yang akan membantu konsumen dalam mengevaluasi merek yang akan memenuhi kebutuhan dan memenuhi atau cocok dengan kepercayaan.

2. Perceptual Organization

Konsumen tidak memisahkan rangsangan-rangsangan yang sudah dipilih dari lingkungan. Konsumen mengelompokkan informasi-informasi yang diterima dari berbagai sumber dan menyusunnya secara utuh yang memiliki arti khusus sehingga konsumen dapat mengambil keputusan berdasarkan hal tersebut. 3. Perceptual Interpretation

Konsumen biasanya menghubungkan rangsangan yang diterima pada faktor-faktor yang paling disukai dan sesuai dengan diri konsumen. Pengalaman masa lalu dan interaksi sosial membantu terbentuknya harapan, yang kemudian memberikan pilihan-pilihan yang nantinya digunakan untuk menginterpretasikan rangsangan.

Engel et al (1994) menyatakan bahwa terdapat lima tahap pengolahan informasi, yaitu :

1. Pemaparan (exposure) : pemaparan stimulus, yang menyebabkan konsumen menyadari stimulus tersebut melalui pancainderanya.

2. Perhatian (attention) : kapasitas pengolahan yang dialokasikan konsumen terhadap stimulus yang masuk.

(25)

5. Retensi (retention) : pengalihan makna stimulus dan persuasi ke ingatan jangka panjang (long term memory).

Proses pengolahan informasi diartikan sebagai proses yang dialami oleh konsumen dimana konsumen terpapar terhadap informasi, terlibat di dalamnya, memperhatikannya, menyimpannya ke dalam memori dan kemudian akan mengingatnya kembali untuk dipergunakan (Mowen dan Minor 2002).

Mowen dan Minor (2002) menyebut tahap pemaparan, perhatian, dan pemahaman sebagai proses pembentukan persepsi. Persepsi ini bersama

keterlibatan konsumen (level of consumer involvement) dan memori akan

mempengaruhi pengolahan informasi. Selanjutnya ia mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana individu terpapar terhadap informasi, memperhatikan informasi, dan menyimpannya.

Proses persepsi berbeda-beda untuk setiap produk. Pada produk-produk yang membutuhkan keterlibatan yang rendah biasanya konsumen akan menyimpan informasi dalam memorinya tanpa melalui tahap perhatian dan percakapan. Terdapat dua faktor dasar yang memandu proses persepsi konsumen dan membantu menjelaskan perbedaan konsumen dalam memandang informasi suatu produk, yakni selektivitas dan organisasi.

(Sumber : Engel et al 1994)

Gambar 2 Tahap-tahap pengolahan Informasi.

Kotler (2000) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor internal yang terdiri dari kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas

Retensi Penerimaan Pemahaman Perhatian Pemaparan

Stimulus

(26)

alat indera, dan jenis kelamin. Sementara, menurut Horovitz (2000), persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:

1. Faktor Psikologis

Faktor psikologis akan membuat perubahan dalam persepsi konsumen. Perubahan yang dimaksudkan termasuk memori, pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai yang dianggap konsumen penting dan berguna.

2. Faktor Fisik

Faktor ini akan mengubah persepsi konsumen melalui apa yang konsumen lihat dan rasakan. Faktor fisik dapat memperkuat atau justru menghancurkan persepsi konsumen terhadap kualitas layanan yang diberikan oleh perusahaan. Misalnya pada saat konsumen memilih restoran mana yang akan dikunjungi, ada hal penting yang menjadi faktor penentu konsumen dalam memilih yakni kebersihan. Bila dekorasi restoran terlihat kotor dan tidak terawat, maka konsumen mempunyai anggapan bahwa dapur dan restoran tersebut tidak sehat.

3. Image yang terbentuk

Image yang dimaksud disini adalah image konsumen terhadap perusahaan atau produk. Lebih lanjut menurut Kotler, Bowen & Makens (1999) diacu dalam Horovitz (2000) menyatakan bahwa ketika terjadi persaingan antara 2 merek produk yang sama, konsumen bisa melihat perbedaan melalui image

dari perusahaan atau merek itu sendiri. Oleh karena itu perusahaan harus

mampu menciptakan image yang akan membedakannya dari pesaing.

Menciptakan image yang kuat dan berbeda memerlukan kreativitas dan kerja keras. Image yang sudah tercipta harus didukung oleh segala sesuatu yang dilakukan dan dikatakan oleh perusahaan.

Persepsi memiliki keterkaitan yang erat dengan sikap seseorang terhadap suatu produk. Menurut Boyz et al (2000), sikap merupakan perasaan positif dan negatif mengenai suatu objek yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku tertentu terhadap objek tersebut. Schifmann dan Kanuk (2000) mendefinisikan sikap sebagai ekspresi perasaan mendalam yang merefleksikan apakah seseorang menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Engel et al (1994) mengemukakan bahwa sikap menunjukkan apa yang konsumen sukai dan yang tidak disukai.

Sikap (attitudes) konsumen adalah faktor penting yang akan

(27)

konsep kepercayaan (beliefs) dan perilaku (behavior). Mowen dan Minor (2002) menyebutkan bahwa istilah pembentukan sikap konsumen (beliefs) seringkali menggambarkan hubungan antara kepercayaan, sikap, dan perilaku. Kepercayaan, sikap, dan perilaku juga terkait dengan konsep atribut produk. Atribut produk adalah karakteristik dari suatu produk. Konsumen biasanya memiliki kepercayaan terhadap atribut suatu produk.

Kepercayaan konsumen adalah pengetahuan konsumen mengenai suatu objek, atribut, dan manfaatnya (Mowen dan Minor 2002). Sikap atau kepercayaan konsumen berkaitan dengan kepercayaan bahwa suatu produk memiliki berbagai atribut, dan manfaat dari berbagai atribut tersebut. Pengetahuan tersebut akan berguna dalam mengkomunikasikan atribut suatu produk kepada konsumen. Kepercayaan konsumen terhadap suatu produk, atribut, dan manfaatnya menggambarkan persepsi konsumen (Sumarwan 2003).

Engel et al (1994) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan antara

pembentukan sikap dan pengubahan sikap. Jika konsumen masih harus mengembangkan suatu sikap terhadap topik pesan, maka hal ini berkaitan dengan pembentukan sikap. Perubahan sikap mencirikan latar dimana konsumen memiliki sikap yang sudah ada sebelumnya yang berbeda dengan posisi yang dianjurkan oleh pesannya. Pengubahan sikap lebih sulit dilakukan karena dapat menimbulkan penolakan tambahan yang diakibatkan oleh komitmen pada sikap yang sudah ada.

Umar (2005) menuturkan bahwa sikap dan perilaku konsumen juga merupakan bagian dari konsep perilaku konsumen yang lain. Untuk mengukur sikap dan perilaku konsumen dapat dilakukan dengan model multiatribut. Salah satu model sikap yang terkenal adalah model sikap multiatribut dari Fishbein. Model ini berfokus pada prediksi sikap yang dibentuk seorang terhadap obyek tertentu.

Sumber : Umar (2005)

Gambar 3 Hubungan antara komponen dalam model sikap dan perilaku Fishbein Kepercayaan akan

atribut yang menonjol

Evaluasi atribut

Kepercayaan Normatif

Motivasi

Sikap

Norma Subyektif

Maksud perilaku

Faktor lain

(28)

Model Fishbein ini mengidentifikasi tiga faktor utama untuk memprediksi sikap, yakni (1) kepercayaan seseorang terhadap atribut yang menonjol dari obyek, (2) kekuatan kepercayaan seseorang bahwa suatu produk memiliki atribut khas, biasanya diketahui dalam bentuk pertanyaan, dan (3) evaluasi dari masing-masing kepercayaan akan atribut yang menonjol, di mana diukur seberapa baik atau tidak baik kepercayaan mereka terhadap atribut-atribut itu.

Model Fishbein memiliki dua komponen, yaitu komponen sikap dan komponen norma subyektif. Komponen sikap bersifat internal individu, yakni berkaitan langsung dengan obyek penelitian dan atribut-atribut langsungnya yang memiliki peranan yang penting dalam pengukuran perilaku karena akan menentukan tindakan apa yang akan dilakukan dengan tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Komponen norma subyektif bersifat eksternal individu yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku individu. Komponen ini dapat dihitung dengan cara mengalikan antara nilai kepercayaan normatif individu terhadap atribut dengan motivasi bersetuju terhadap atribut tersebut. Adapun rumus model sikap multiatribut Fishbein sebagai berikut:

=

=

n i

o

bi

ei

A

1

)

)(

(

dimana:

A

o = sikap total individu terhadap objek tertentu

bi = kekuatan kepercayaan konsumen bahwa objek memiliki atribut i

ei = evaluasi kepercayaan individu mengenai atribut i n = jumlah kriteria atribut yang relevan

Program Konversi Minyak Tanah ke LPG

(29)

Kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama dari kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.

Kebijakan sosial merupakan sub kategori dari kebijakan publik. Titmuss (1968) menyebutkan bahwa kebijakan sosial terdiri atas tindakan pemerintah yang menekankan pada berbagai macam alasan politis untuk mencakup kebutuhan, dimana pasar tidak dapat memenuhinya, seperti untuk kaum miskin dan lansia. Pengukuran ekonomis dipandang penting untuk mengukur kebijakan sosial secara objektif. Kaitannya dengan konteks ini, konsep biaya sosial dan biaya oportunitas adalah penting.

Salah satu bentuk kebijakan sosial yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengatasi permasalahan energi khususnya bahan bakar di Indonesia ialah dengan menetapkan program konversi minyak tanah ke LPG. Sebagian besar energi yang digunakan oleh rumah tangga di Indonesia saat ini adalah minyak tanah. Penggunaan LPG di Indonesia sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga dan industri masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga. Di Malaysia, penduduk yang mengkonsumsi elpiji sudah mencapai angka 5 persen dari jumlah penduduk. Thailand yang memiliki kondisi ekonominya relatif sama dengan Indonesia, mencapai angka 2 persen dari jumlah penduduk yang mengkonsumsi LPG. Sementara di Indonesia, baru sekitar 0.5 persen dari jumlah penduduk mengonsumsi LPG, atau sekitar satu juta ton per tahun.

(30)

rumah tangga yang dikenakan program konversi ini ialah : ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan, pengguna minyak tanah murni, kelas sosial C1 ke bawah (keluarga yang penghasilannya kurang dari 1.5 juta rupiah per bulan), serta penduduk yang sah pada daerah tempat konversi tersebut dilakukan (Anonim 2008a). Adapun landasan hukum yang digunakan untuk program ini adalah :

1. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan LPG Bumi, yang menyatakan bahwa Menteri (yang bertanggung jawab di bidang minyak dan LPG bumi) bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan di bidang miLPG.

2. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. a. Bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan

keamanan pasokan energi dalam negeri.

b. Mengurangi ketergantungan penggunaan energi yang berasal dari minyak bumi, salah satunya dengan mengalihkan ke energi lainnya. c. Terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu

peranan minyak bumi menjadi 20 persen dan peranan LPG bumi menjadi lebih dari 30 persen terhadap konsumsi energi nasional.

3. UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN yang memuat anggaran untuk subsidi LPG 3 kg pada tahun 2007 sebesar Rp 1.8 Triliun.

4. Peraturan Presiden No.10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan TuLPG Eselon I Kementrian Republik Indonesia.

Adapun tujuan dari kebijakan ini ialah dalam rangka : (a) melakukan diversifikasi pasokan energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya minyak tanah; (b) melakukan efisiensi anggaran pemerintah karena penggunaan LPG lebih efisien dan subsidinya relatif lebih kecil daripada subsidi minyak tanah; serta (c) menyediakan bahan bakar yang praktis, bersih, dan efisien untuk rumah tangga dan usaha mikro. Pengurangan penggunaan minyak tanah akan bermanfaat karena :

1. Meningkatkan potensi nilai tambah minyak tanah menjadi bahan bakar avtur.

2. Mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi.

(31)

Program ini telah dimulai di beberapa wilayah di Indonesia. Pada tahun 2007, program ini mulai dilaksanakan di Jawa dan Bali. Kemudian, pada tahun 2008, program dilanjutkan ke beberapa daerah meliputi Medan, Riau, Palembang, Balikpapan, dan Makassar. Penelitian mengenai program konversi minyak tanah ke LPG di wilayah Bekasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa sikap negatif warga terhadap LPG, yakni sikap terhadap keamanan dan kenyaman dalam menggunakan LPG (Nurmayanti 2009). Sementara, penelitian di wilayah Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan, persepsi dan sikap pengguna LPG lebih baik dibandingkan dengan bukan pengguna LPG. Masih banyak warga yang tidak mengetahui alasan pemerintah meluncurkan program konversi minyak tanah ke LPG dan pengetahuan contoh mengenai tujuan pemerintah melakukan program konversi tergolong rendah. Hal ini dikarenakan keterbatasan informasi program yang diterima, baik melalui media elektronik, media massa maupun melalui penyuluhan langsung (Amiruddin, 2009).

Sesuai dengan penjelasan di atas, keluarga miskin merupakan salah satu target sasaran program konversi minyak tanah ke LPG. Mc Cubbin dan Thompson (1987) menyatakan bahwa koping merupakan manajemen dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga termasuk memelihara organisasi keluarga (secara internal), mempertahankan keutuhan keluarga, peningkatan kebebasan dan penghargaan pada diri sendiri, mempertahankan hubungan dengan masyarakat dan mengontrol pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi suatu proses pencapaian keseimbangan dalam sistem keluarga. Menurut Skinner (1982) diacu dalam Lukman (2002), maksud dari koping adalah mengarah kepada penyesuaian tingkah laku untuk mempertahankan dan memperkuat sistem keluarga dan melindungi keluarga dari pengaruh luar.

(32)

dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri individu, faktor sosial dan faktor lainnya yang sangat berpengaruh pada kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya.

Keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang memadai dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi, salah satunya dengan melakukan strategi koping. Lazarus (1976) dalam Agustina (2006) menyatakan bahwa strategi koping dibagi menjadi dua yaitu :

1. Problem-focused coping

Problem-focused coping yaitu jenis strategi koping untuk memecahkan masalah yang akan dilakukan dengan menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, mempertimbangkan alternatif terkait biaya dan manfaat, memilih salah satu alternatif yang dipilih. Individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang dapat menimbulkan stres.

2. Emotion-focused coping

Emotion-focused coping yaitu strategi koping yang berfokus pada emosi dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.

Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian, individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari. Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya.

(33)

Friedman (1998) mengemukakan bahwa terdapat tujuh strategi dalam strategi koping keluarga internal atau intrafamiliar. Ketujuh strategi tersebut adalah mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga, penggunaan humor, musyawarah bersama (memelihara ikatan kebersamaan), mengartikan masalah, pemecahan masalah secara bersama, fleksibilitas peran, dan normalisasi. Dalam strategi koping keluarga eksternal, terdapat empat strategi koping ekstrafamiliar. Keempat strategi tersebut adalah mencari informasi, memelihara hubungan aktif dengan komunitas, mencari sistem pendukung sosial, dan mencari dukungan spiritual.

(34)

KERANGKA PEMIKIRAN

Program konversi minyak tanah ke LPG dilakukan melalui pembagian paket LPG 3 kg beserta tabung, kompor, regulator dan selang secara gratis kepada keluarga miskin yang jumlahnya mencapai 41.1 juta jiwa (LIPI 2008) dan termasuk 170 000 jiwa di Kota Bogor (BPS 2009). Program konversi ini diperkirakan memerlukan waktu penerimaan yang cukup lama sebagai bentuk adaptasi masyarakat terhadap LPG yang dianggap sebagai teknologi baru (adopsi inovasi). Maka dari itu, peneliti menganggap perlu dilakukannya penelitian mengenai persepsi, sikap, dan strategi koping keluarga miskin yang menerima program konversi minyak tanah ke LPG sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai penerimaan masyarakat miskin terhadap LPG.

(35)

Gambar 4 Bagan kerangka pemikiran penelitian.

Program Konversi Minyak Tanah ke LPG Karakteristik Contoh :

‐ Umur Contoh

‐ Pendidikan Contoh ‐ Status Pekerjaan

Strategi Kopingterhadap Masalah :

- Penggunaan LPG

- Pembelian LPG

Karakteristik Keluarga : ‐ Besar Keluarga ‐ Pendidikan Suami ‐ Pekerjaan Suami

‐ Pendapatan Keluarga

‐ Pengeluaran Keluarga

Persepsi Contoh terhadap LPG

Sikap Contoh terhadap LPG : - Tingkat Kepentingan

(36)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study (pengamatan yang dilakukan sekaligus pada waktu yang bersamaan) dengan metode survei. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data utama.

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi penerima bantuan kompor LPG dan LPG gratis terbanyak di Kota Bogor. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor, maka dipilih Kecamatan Bogor Barat (45 016 keluarga) dan Kecamatan Bogor Selatan (41 092 keluarga) sebagai kecamatan penerima bantuan terbanyak. Dari kedua kecamatan tersebut dipilih kelurahan dengan kriteria yang sama yaitu Kelurahan Sindang Barang (4 093 keluarga) dan Kelurahan Cikaret (3 873 keluarga). Demikian halnya untuk pemilihan RW dari masing-masing kelurahan.

Pengambilan data dilakukan selama 5 minggu mulai dari awal bulan Mei 2009 hingga awal bulan Juni 2009. Namun, secara keseluruhan, penelitian ini meliputi persiapan, pengumpulan data, pengolahan, dan analisis data serta penyusunan laporan dilakukan selama sepuluh bulan, yakni sejak bulan April 2009 hingga bulan Februari 2010.

Metode Penarikan Contoh

(37)

pada penelitian ini hanya dilakukan pada contoh yang menggunakan LPG (N = 49).

Cara Pemilihan Contoh :

Pemilihan Kota Bogor purposive

(dua kecamatan terbanyak)

purposive

(dua kelurahan terbanyak)

purposive

(RW terbanyak)

purposive

simple random sampling

Gambar 5 Skema cara penarikan contoh.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan, umur, pekerjaan dan pendidikan kepala keluarga), karakteristik ibu rumah tangga (umur, pekerjaan, dan pendidikan), persepsi terhadap LPG, persepsi terhadap waktu penggunaan LPG, sikap terhadap LPG, perubahan pengeluaran rumah tangga setelah program konversi, dan strategi koping

Kecamatan Bogor Barat Kecamatan Bogor Selatan

Kelurahan Sindang Barang Kelurahan Cikaret

RW Terpilih (RW 04) RW Terpilih (RW 08)

N = 128 N = 183

n = 30

n = 60

(38)

[image:38.595.100.507.219.435.2]

keluarga terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul setelah menggunakan LPG. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait meliputi gambaran umum wilayah, potensi wilayah, data keluarga miskin, dan data pendistribusian LPG. Metode pengumpulan data dilakukan secara survey melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Jenis dan cara pengumpulan data ditunjukkan oleh Tabel 4.

Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data

Jenis data Data Cara Pengumpulan

Data

Alat ukur

Primer Karakteristik keluarga

Karakteristik contoh Perubahan pengeluaran pasca program konversi Persepsi contoh terhadap LPG

Persepsi contoh terhadap waktu penggunaan LPG Sikap contoh terhadap LPG Strategi koping Contoh

Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner

Sekunder Gambaran umum wilayah

Potensi wilayah Data keluarga miskin Data pendistribusian LPG

Data Kelurahan Data Kelurahan Data Kelurahan Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Pengolahan dan Analisis Data

[image:38.595.102.510.633.750.2]

Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for windows untuk mempelajari persepsi, persepsi terhadap waktu, sikap, perubahan pengeluaran rumah tangga, dan strategi koping. Pengolahan data meliputi beberapa tahap yaitu pengeditan, pemberian kode, pemberian skor, pengentrian, peng-cleaning-an, dan analisis. Pemberian kategori dan kode dijelaskan pada Tabel 5.

Tabel 5 Pemberian kategori dan kode alat ukur penelitian

Variabel Kategori Ukuran Kode

Usia (tahun) Dewasa muda

Dewasa madya Dewasa tua

20 – 40 41 – 65

> 65

1 2 3

Pendidikan (tahun) Tidak sekolah

Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tidak tamat SMU Tamat SMU

0 1 - 5

6 9 10 – 11

(39)

Tabel 5 Lanjutan

Variabel Kategori Ukuran Kode

Jenis pekerjaan Tidak bekerja

Buruh Pegawai Pedagang Jasa angkutan Pemulung Pekerja rumah tangga 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah anggota keluarga

(orang)

Keluarga kecil Keluarga sedang Keluarga besar

≤ 4 5 – 7

≥ 7

1 2 3 Pendapatan per kapita

(rupiah)

Sangat miskin Miskin

Tidak miskin

≤ 100 000 100 000 – 222 123

> 222 123

1 2 3 Pengeluaran per kapita

(rupiah)

Sangat miskin Miskin

Tidak miskin

≤ 100 000

100 000 – 222 123 > 222 123

1 2 3 Pengeluaran bahan bakar

rumah tangga (rupiah)

Rendah Sedang Tinggi

Sangat tinggi

≤ 50 000 50 000 – 100 000 100 000 – 200 000

> 200 000

1 2 3 4 Persepsi contoh terhadap

LPG (skor) Buruk Kurang baik Cukup baik Baik Sangat baik

≤ 14.4

14.5 – 19.9 20.0 – 26.4 26.5 – 32.9

> 33 1 2 3 4 5 Persepsi contoh terhadap

waktu penggunaan LPG (skor)

Lebih lambat Sama saja Lebih cepat

≤ 17 18 – 23

> 23

1 2 3 Sikap contoh terhadap

bahan bakar (skor)

Buruk Kurang baik Cukup baik Baik Sangat baik

≤ 5.9 6 – 10.7 10.8 – 15.6 15.7 – 20.5

> 20.5 1 2 3 4 5 Strategi koping terhadap

kesulitan membeli isi ulang LPG (skor) Rendah Tinggi ≤ 3 > 4 1 2

(40)

Pemberian skor ditujukan pada setiap variabel (kecuali pertanyaan terbuka), kemudia skor tersebut dijumlahkan. Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

Untuk mengetahui hubungan di antara variabel secara deskriptif, digunakan tabulasi silang, sedangkan secara inferensia digunakan dua uji, yaitu : 1. Uji korelasi Pearson

Uji ini digunakan pada seluruh keluarga contoh untuk menganalisis hubungan antara variabel- variabel :

a. Karakteristik ibu rumah tangga dan keluarga (umur, pendidikan, pekerjaan, besar keluarga, pendapatan dan pengeluaran per kapita) dengan persepsi ibu rumah tangga terhadap LPG

b. Karakteristik ibu rumah tangga dan keluarga (umur, pendidikan, pekerjaan, besar keluarga, pendapatan dan pengeluaran per kapita) dengan sikap ibu rumah tangga terhadap LPG

2. Uji regresi linear berganda :

Uji ini digunakan khusus untuk keluarga contoh pengguna LPG yang pernah mengalami ketidakmampuan untuk membeli isi ulang LPG dengan menganalisis pengaruh karakteristik ibu rumah tangga (umur, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan) dan karakteristik keluarga (pekerjaan suami, pendidikan suami, jumlah anggota keluarga, dan pendapatan per kapita), persepsi, dan sikap ibu rumah tangga terhadap strategi koping keluarga contoh ketika tidak mampu membeli isi ulang LPG. Model regresinya didefinisikan dalam persamaan berikut :

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + ε

dimana:

Y1 = strategi koping contoh (skor)

X1 = umur contoh (tahun)

X2 = lama pendidikan contoh (tahun)

X3 = pekerjaan contoh

(dummy variable)

X4 = tipe keluarga (dummy variable)

X5 = jumlah anggota keluarga(orang)

X6 = persepsi contoh (skor)

X7 = sikap contoh (skor)

ε = galat

Skor Maksimum (NT) – Skor Minimum (NR)

Interval Kelas (I) =

(41)

Definisi Operasional

Karakteristik keluarga adalah ciri- ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing keluarga, seperti umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran.

Keluarga miskin adalah keluarga yang tercatat sebagai penduduk miskin berdasarkan data yang diperoleh dari masing-masing kelurahan.

Karakteristik ibu rumah tangga adalah ciri- ciri khas yang dimiliki oleh ibu rumah tangga seperti umur, tingkat pendidikan dan status pekerjaan.

Usia adalah umur suami dan contoh yang berkisar antara dewasa muda sampai dewasa tua (20 - 65 tahun).

Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang diselesaikan oleh suami dan contoh yang dibedakan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMU, dan tamat SMU.

Pekerjaan adalah usaha-usaha yang dilakukan suami dan contoh untuk mendapatkan uang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, dikelompokkan menjadi keluarga kecil (<= 4 orang), keluarga sedang (5 - 7 orang), dan keluarga besar ( > 7 orang) (Hurlock 1991).

Pendapatan per kapita keluarga adalah jumlah penghasilan yang berasal dari anggota keluarga yang dinilai dengan uang pada enam bulan terakhir dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

Perubahan pengeluaran rumah tangga adalah jumlah pengurangan atau penambahan biaya yang digunakan untuk membeli bahan bakar pasca program konversi minyak tanah ke LPG, dikategorikan menjadi rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

Persepsi terhadap LPG adalah cara pandang contoh terhadap atribut yang melekat pada LPG yang dikelompokkan menjadi tidak baik, kurang baik, cukup baik, baik, dan sangat baik.

(42)

Sikap terhadap LPG adalah penilaian contoh mengenai baik atau tidaknya penggunaan bahan bakar yang dikelompokkan menjadi tidak baik, kurang baik, cukup baik, baik, dan sangat baik.

Strategi kopingkeluarga adalah usaha-usaha dan perilaku yang dilakukan oleh keluarga sebagai upaya adaptasi terhadap berbagai permasalahan LPG dan ketidakmampuan membeli LPG, baik dengan cara berhemat atau menambah pendapatannya dengan cara mengandalkan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya, dikategorikan menjadi rendah (skor < 4) dan tinggi (skor ≥ 4).

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Keadaan geografis kedua kelurahan yang menjadi lokasi penelitian yaitu Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Cikaret. Masing-masing kelurahan berbatasan dengan kelurahan lainnya seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Batas kelurahan lokasi penelitian

Batas Kelurahan

Desa Sindang Barang

( 159. 01 ha)

Cikaret ( 153. 47 ha)

Sebelah Utara Kelurahan Bubulak Kelurahan Pasir Kuda

Sebelah Selatan Kelurahan Loji Kelurahan Mulyaharja

Sebelah Barat Kelurahan Margajaya Desa Kota Batu

Sebelah Timur Kelurahan Menteng Kelurahan Pasirjaya

Kelurahan Sindang Barang memiliki luas daerah yang lebih besar dibandingkan dengan Kelurahan Cikaret, yaitu 159.01 ha. Wilayah yang digunakan untuk perumahan/permukiman lebih besar dibandingkan untuk lahan pertanian dan perikanan.

Jumlah penduduk di Kelurahan Sindang Barang sebanyak 14 351 jiwa, sementara jumlah penduduk di Kelurahan Cikaret sebanyak 15 269 jiwa. Jumlah kepala keluarga adalah 3 514 KK (Kelurahan Sindang Barang) dan 3 666 KK (Kelurahan Cikaret). Kelurahan Cikaret memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan Kelurahan Sindang Barang.

Sebagian besar penduduk di kelurahan Sindang Barang memiliki mata pencaharian sebagai pegawai swasta. Namun, di kelurahan Cikaret sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai wiraswasta atau pedagang.

Penduduk di dua lokasi penelitian ini memiliki tingkat pendidikan yang cukup. Sebagian besar penduduk di kelurahan Sindang Barang tamat SMU, sementara di kelurahan Cikaret sebagian besar penduduknya tamat SMP. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kelurahan Sindang Barang lebih baik dibandingkan dengan Kelurahan Cikaret. Hal ini mungkin dapat dikarenakan terbatasnya jumlah SMU dan jarak sekolah yang cukup jauh dari permukiman.

(44)

Kelurahan Cikaret masih mengalami keterbatasan jumlah SMU. Sarana peribadatan di masing-masing kelurahan juga sudah mencukupi. Secara umum, kedua lokasi penelitian ini mudah dijangkau dengan fasilitas transportasi umum. Hanya saja wilayah Cikaret jauh dari pusat keramaian kota.

Sarana kesehatan yang ada di masing-masing kelurahan adalah Puskesmas dan Poliklinik. Alat transportasi yang paling umum digunakan adalah angkutan umum dengan kapasitas 12 orang penumpang. Selain angkutan umum, alat transportasi lain yang digunakan di Kelurahan Cikaret adalah jasa ojek motor.

Karakteristik Keluarga Contoh Usia Suami dan Istri

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sebanyak 83.3 persen keluarga dengan ibu rumah tangga yang masih memiliki suami. Usia suami berkisar antara 27 – 80 tahun dengan rata-rata usia suami secara keseluruhan adalah 46.22 tahun (Tabel 7). Sebanyak 44.90 persen diantaranya berusia 41 – 65 tahun, sedangkan yang berusia di bawah 41 tahun sebanyak 40.82 persen. Sebanyak 44 persen suami di Sindang Barang berusia antara 21 – 65 tahun, dengan rata-rata usia 46.04 tahun, sehingga keluarga contoh termasuk ke dalam keluarga muda dan keluarga menengah. Usia suami di wilayah Sindang Barang termasuk ke dalam usia produktif. Usia produktif adalah masa seseorang untuk aktif bekerja sebelum memasuki masa pensiun. Sementara di Cikaret, sebanyak 58.33 persen suami berusia 41 – 65 tahun dengan rata-rata usia 46.42 tahun. Dilihat dari usia suami, maka keluarga contoh di Cikaret termasuk ke dalam keluarga menengah dimana suami sudah mulai mendekati usia pensiun. Proporsi suami di Sindang Barang yang berusia di bawah 41 tahun lebih banyak (44%) dibandingkan dengan di Cikaret (37.5%), sedangkan suami yang berusia 41 – 65 tahun di Sindang Barang lebih sedikit (44.00%) dibandingkan dengan di Cikaret (58.33%).

(45)

44.17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa istri di Sindang Barang dan Cikaret termasuk dalam kategori dewasa madya. Istri yang termasuk ke dalam kategori usia produktif lebih banyak terdapat di wilayah Cikaret (53.33%) dibandingkan dengan wilayah Sindang Barang (43.33%).

Tabel 7 Sebaran suami dan istri berdasarkan kelompok usia (persen)

Kategori Usia

Sindang Barang Cikaret Total

Suami (n =25)

Istri (n=30)

Suami (n =25)

Istri (n=30)

Suami (N=49)

Istri (N=60)

21 – 40 tahun 44.00 43.33 37.50 53.33 40.82 48.33

41 – 65 tahun 44.00 50.00 58.33 36.67 51.02 43.33

> 65 tahun 12.00 6.67 4.17 10.00 8.16 8.33

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Tipe dan Besar Keluarga

Tipe keluarga ada dua yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas

(extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak, sementara keluarga luas adalah keluarga yang terdiri dari anggota lain selain ayah, ibu dan anak, serta tinggal bersama dalam satu atap. Keluarga contoh tersebar ke dalam kedua tipe keluarga. Sebanyak 60.00 persen keluarga contoh adalah keluarga inti, sementara sebanyak 40.00 persen keluarga contoh merupakan keluarga luas. Pada keluarga contoh yang tinggal di Sindang Barang, proporsi terbesar adalah keluarga luas (56.67%), sementara pada keluarga contoh yang tinggal di Cikaret, proporsi terbesar adalah keluarga inti (76.67%).

Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan tipe keluarga (persen)

Anggota keluarga contoh berkisar antara 3 – 13 orang dengan rata-rata 5.7 orang, artinya rata-rata keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 9, sebanyak 48.33 persen keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang. Kondisi ekonomi keluarga contoh yang hampir seluruhnya termasuk ke dalam kategori keluarga miskin diduga dapat diatasi dengan memiliki anak yang banyak, keluarga contoh menganggap bahwa anak merupakan tenaga kerja, dengan semakin banyak

Tipe Keluarga Sindang Barang (n= 30)

Cikaret (n = 30)

Total (N = 60)

Keluarga Inti 43.33 76.67 60.00

Keluarga Luas 56.67 23.33 40.00

(46)

anak berarti semakin banyak pula tenaga kerja yang dapat diberdayakan untuk membantu kekurangan finansial keluarga.

Persentase terbesar keluarga contoh (53.33%) di Sindang Barang termasuk dalam kategori keluarga sedang, sementara itu sebanyak 43.33 persen keluarga contoh di Cikaret keluarga sedang. Rata-rata besar keluarga contoh di Sindang Barang adalah 6.00, sedangkan pada keluarga contoh di Cikaret adalah sebesar 5.70. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang. Keluarga kecil lebih banyak (36.67%) terdapat pada keluarga contoh di Cikaret dibandingkan dengan keluarga contoh di Sindang Barang (23.33%). Hal ini diduga karena usia ibu rumah tangga pada keluarga contoh di Cikaret sebagian besar berada pada usia 20 – 40 tahun, yang berarti ibu rumah tangga pada keluarga contoh di Cikaret tergolong pada kelompok usia dewasa muda. Kondisi ini dapat menyebabkan jumlah anak pada keluarga contoh di Cikaret lebih sedikit daripada keluarga contoh di Sindang Barang.

Tabel 9 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga (persen)

Tingkat Pendidikan Suami dan Istri

Salah satu cara untuk mengetahui keadaan sosial ekonomi rumah tangga suatu daerah adalah dengan melihat tingkat pendidikan di daerah tersebut. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan keluarga untuk mengakses kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan suami akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998 diacu dalam Astuti 2007). Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari lamanya pendidikan formal yang berhasil diselesaikan. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan suami dan istri tersebar pada berbagai tingkat pendidikan yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA. Tidak ada suami atau istri yang tingkat pendidikannya sampai dengan perguruan tinggi atau akademi.

Besar Keluarga (orang) Sindang Barang (n = 30)

Cikaret (n = 30)

Total (N = 60)

Kecil (≤ 4) 23.33

Gambar

Tabel 4  Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 14  Rata-rata pengeluaran keluarga contoh perkapita per bulan
Tabel 22  Sebaran ibu rumah tangga menurut jawaban persepsi terhadap LPG (persen)
Tabel 24   Sebaran ibu rumah tangga berdasarkan evaluasi tingkat kepentingan (ei)  atribut produk bahan bakar (persen)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pejaten Timur Pasar Minggu). Skripsi, Program Studi Pendidikan Sosiologi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, 2018. Penelitian ini bertujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran histopatologi organ hati mencit terhadap pemberian suspensi daging buah kepel karena hati merupakan organ

Sehingga dapat dipastikan dengan bertambahnya pilihan cara atau sistem dalam pelaksanaan pemilihan umum dapat menciptakan sistem pemilihan yang lebih baik di

Konsep perancangan dan pengembangan produk inovasi sapu lantai multifungsi ini mengacu pada konsep ergonomis, dimana adanya modifikasi gagang sapu yang bisa

Set iap pelanggar an yang dikenai sanksi pidana dalam Undang- Undang ini dan j uga diancam dengan sanksi pidana dalam Undang- Undang lain yang ber sifat k husus,

Dibandingkan dengan metode asumsi beam 9.43 Hz dan Metode Elemen Hingga Tiga Dimensi 9.69 Hz, maka hasil pemodelan dalam penelitian ini terverifikasi secara

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa peluang untuk melakukan ekspor produk kertas, terutama untuk jenis produk-produk kertas yang lebih spesifik yang disebutkan

(1) Pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BNPB atau kepala BPBD, sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya, meminta kepada instansi/lembaga terkait untuk mengirimkan