• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Subjek dan Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga

Karakteristik subjek meliputi umur dan jenis kelamin. Adapun kondisi sosial ekonomi keluarga terdiri dari jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, dan pendapatan per kapita. Karakteristik subjek dan kondisi sosial ekonomi keluarga disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik subjek dan sosial ekonomi keluarga

Karakteristik RPO Kontrol Total P-value

n % n % n % Jenis kelamin 0.068 Laki-laki 4 36.37 9 75 13 56.52 Perempuan 7 63.63 3 25 10 43.48 Total 11 100.00 12 100.00 23 100.00 Jumlah anggota keluarga 0.034* Kecil (≤ 4) 2 18.18 7 58.33 9 39.13 Sedang (5-6) 7 63.64 5 41.67 12 52.17 Besar (≥ 7) 2 18.18 0 0.00 2 8.70 Total 11 100.00 12 100.00 23 100.00 Pendidikan ayah 0.153 Tamat SD – SMP 5 45.45 9 75.00 14 60.87 Tamat SMA 5 45.45 3 25.00 8 34.78 Tamat PT 1 9.10 0 0.00 1 4.35 Total 11 100.00 12 100.00 23 100.00 Pekerjaan ayah 0.345 Petani/buruh tani 4 36.36 5 41.67 9 39.13 Pedagang 4 36.36 7 58.33 11 47.83 Jasa 2 18.18 0 0.00 2 8.70 PNS/ABRI/Polisi 1 9.10 0 0.00 1 4.34 Total 11 100.00 12 100.00 23 100.00 Pendapatan (Rp/kap/bln) Miskin (≤ Rp 479.101,00) 8 72.72 7 58.33 15 65.22 0.053 Tidak miskin (> Rp 479.101,00) 3 27.28 5 41.67 8 34.78 Total 11 100.00 12 100.00 23 100.00 *) p<0.05 = berbeda nyata

22 Umur

Anak sekolah dasar yang dipilih menjadi subjek penelitian adalah anak sekolah dasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, salah satunya adalah anak yang berumur 7-9 tahun. Rata-rata umur subjek pada kelompok RPO adalah 8.17±0.56 tahun dan pada kelompok kontrol adalah 9.21±0.22 tahun. Berdasarkan AKG tahun 2014, subjek tergolong dalam satu kategori umur 7-9 tahun sehingga memiliki angka kecukupan zat gizi dalam jumlah yang sama.

Jenis kelamin

Anak sekolah dasar yang menjadi subjek penelitian ini berjumlah 23 anak, terdiri dari 56.52% subjek berjenis kelamin laki-laki dan 43.48% subjek berjenis kelamin perempuan. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada kelompok RPO lebih banyak subjek berjenis kelamin perempuan (63.63%) sedangkan pada kelompok kontrol berjenis kelamin laki-laki (75%), namun secara statistik tidak berbeda nyata (Tabel 6).

Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya individu sebagai anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga yang menunjukkan ukuran keluarga tersebut. BKKBN membedakan ukuran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga menjadi 3 kategori : keluarga kecil (≤ 4), sedang (5-6), dan besar (≥ 7).

Subjek pada kelompok RPO sebagian besar memiliki jumlah anggota keluarga dalam kategori sedang dengan proporsi 63.64%, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar subjek (58.33%) tergolong keluarga kecil. Terdapat perbedaan yang nyata pada kategori jumlah anggota keluarga antar kedua kelompok tersebut (p=0.034). Besar anggota keluarga akan berpengaruh terhadap kebutuhan akan pangan dan non pangan. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan semakin tinggi. Pada penelitian ini, intervensi diberikan langsung kepada anak dan dilakukan di sekolah secara serentak pada jam istirahat, dengan demikian makanan intervensi tidak ada yang dibawa pulang atau dibagi dengan anggota keluarga lain, sehingga perbedaan jumlah anggota keluarga tidak akan berdampak pada hasil akhir intervensi.

Tingkat pendidikan kepala keluarga

Jenis pendidikan yang ditempuh para kepala keluarga sampel/subjek meliputi : tamat SD-SMP, tamat SMA dan tamat PT. Berdasarkan kategori tingkat pendidikan yang ditempuh, tingkat pendidikan kepala keluarga subjek sebagian besar hanya mencapai tamat SD-SMP dengan persentase total 60.87%. Sebagian besar kepala keluarga subjek pada kelompok RPO masing-masing (45.45%) menempuh pendidikan hingga tamat SMP dan SMA, sedangkan kepala keluarga pada kelompok kontrol sebagian besar menempuh pendidikan hingga tamat SMP (75.00%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pendidikan kepala keluarga pada kelompok RPO dengan kontrol (p>0.05). Tingkat pendidikan kepala keluarga biasanya berkorelasi dengan pendapatan keluarga. Tingkat pendapatan keluarga akan berkorelasi dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan.

23 Jenis pekerjaan kepala keluarga

Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung dapat memengaruhi kemampuan sebuah keluarga dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan pangan maupun non pangan. Pekerjaan orang tua dibedakan menurut jenisnya terdiri atas : petani/buruh tani, pedagang, jasa, dan PNS/ABRI/Polisi. Pada tabel 6 terlihat bahwa 47.83% ayah subjek memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Urutan kedua adalah petani/buruh tani yaitu sebesar 39.13%. Jenis pekerjaan pada sebagian besar kepala keluarga subjek kelompok RPO adalah petani/buruh tani dan pedagang (36.36%). Pada kelompok kontrol sebagian besar kepala keluarga bekerja sebagai pedagang (58.33%) dan sebesar 41.67% bekerja sebagai petani/buruh tani. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jenis pekerjaan kepala keluarga pada kelompok RPO dan kontrol.

Pendapatan per kapita

Pendapatan per kapita diperoleh dari pendapatan total dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Data memperlihatkan bahwa jumlah keluarga miskin lebih banyak dibanding keluarga tidak miskin pada kedua kelompok penelitian. Sebagian besar keluarga subjek pada kelompok RPO (72.72%) termasuk dalam kategori miskin. Sama halnya dengan kelompok kontrol, sebagian besar keluarga subjek (58.33%) tergolong keluarga miskin. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kategori pendapatan perkapita per bulan di kedua kelompok tersebut (p>0.05). Pendapatan keluarga yang rendah akan berpengaruh terhadap daya beli pangan sehari-hari. Sebagian besar keluarga subjek dari kedua kelompok termasuk dalam kategori keluarga miskin. Hal tersebut memungkinkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Data kategori keluarga berdasarkan pendapatan per kapita perbulan disajikan pada Tabel 6.

Asupan dan Kontribusi Energi/Zat Gizi Makanan Intervensi

Intervensi diberikan setiap hari selama 45 hari berupa makanan jajanan yang menggunakan gula kelapa diperkaya minyak sawit merah (RPO) dan gula kontrol sebagai pembanding. Rata-rata asupan energi dan zat gizi subjek yang berasal dari intervensi dan asupan harian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Rata-rata asupan energi dan zat gizi subjek yang berasal dari makanan intervensi dan asupan harian

Energi/Zat Gizi Kelompok RPO Kelompok Kontrol

Pangan intervensi Asupan harian Total % AKG Pangan intervensi Asupan harian Total % AKG Energi (Kal) 200.63 875.01 1075.64 58.14 196.11 816.94 1013.05 54.76 Protein (g) 2.91 24.72 27.63 56.39 2.91 23.93 26.84 54.78 Vitamin A (RE) 125.24 135.70 260.94 52.19 3.23 117.65 120.88 24.18

Rerata sumbangan energi yang berasal dari makanan intervensi kelompok gula RPO adalah 200.63 Kal dan pada kelompok gula kontrol adalah 196.11 Kal. Tingginya jumlah energi pada makanan tambahan berbasis gula RPO karena adanya kontribusi energi yang berasal dari minyak sawit merah. Pada pembuatan gula kelapa (gula kontrol), perajin umumnya menambahkan minyak sayur antara 10 – 20 ppm. Pada pembuatan gula RPO jumlah minyak sawit merah yang

24

ditambahkan 30 ppm. Menurut Almatsier (2005) minyak/lemak akan memberikan energi sebesar 9 Kal/g lemak. Asupan energi dan zat gizi pada masa intervensi selain diperoleh dari makanan intervensi yang diberikan juga berasal dari makanan yang dimakan sehari-hari (asupan harian).

Asupan energi dari makanan sehari-hari pada kelompok RPO sebesar 875.01 Kal (47.30% AKG) dan sumbangan dari makanan intervensi sebesar 200.63 Kal (10.84% AKG), sehingga total asupan energi per hari sebesar 1075.64 Kal (58.14% AKG). Sumbangan energi dari makanan intervensi terhadap asupan harian pada kelompok RPO adalah sebesar 22.93%. Pada kelompok kontrol, asupan energi dari makanan harian sebesar 816.94 Kal (44.16% AKG) dan sumbangan dari makanan intervensi sebesar 196.11 Kal (10.60% AKG) sehingga total asupan energi per hari sebesar 1013.05 Kal (54.76% AKG). Sumbangan energi dari makanan intervensi terhadap asupan harian pada kelompok kontrol adalah sebesar 19.36%. Gambar 3 menunjukkan bahwa asupan energi baik yang berasal dari makanan intervensi maupun asupan harian lebih besar pada kelompok RPO dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak memberikan perbedaan yang nyata pada kedua kelompok tersebut (p>0.05).

Gambar 3 Rerata asupan energi harian per subjek pada kelompok RPO dan kontrol (p>0.05)

Asupan protein dari makanan sehari-hari pada kelompok RPO sebesar 24.72 g (50.45% AKG) dan sumbangan dari makanan intervensi sebesar 2.91 g (5.94% AKG), sehingga total asupan protein per hari sebesar 27.63 g (56.39% AKG). Sumbangan protein dari makanan intervensi terhadap asupan harian pada kelompok RPO adalah sebesar 11.77%. Pada kelompok kontrol, asupan protein dari makanan harian sebesar 23.93 g (48.84% AKG) dan sumbangan dari makanan intervensi sebesar 2.91 g (5.94% AKG) sehingga total asupan protein per hari sebesar 26.84 g (54.78% AKG). Sumbangan protein dari makanan intervensi terhadap asupan harian pada kelompok kontrol adalah sebesar 12.16%. Seperti halnya pada sumbangan energi harian, asupan protein baik yang berasal dari makanan intervensi maupun asupan harian pada kelompok RPO lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara kedua kelompok (p>0.05) (Gambar 4).

25

Gambar 4 Rerata asupan protein harian per subjek pada kelompok RPO dan kontrol (p>0.05)

Asupan vitamin A harian pada subjek penelitian berasal dari makanan intervensi yang diberikan dan asupan dari makanan sehari. Asupan vitamin A dari makanan sehari-hari pada kelompok RPO sebesar 135.70 RE (27.14% AKG) dan sumbangan dari makanan intervensi sebesar 125.24 RE (25.05% AKG), sehingga total asupan harian sebesar 260.94 RE (52.19% AKG). Sumbangan vitamin A dari makanan intervensi terhadap asupan harian pada kelompok RPO adalah sebesar 92.29%. Pada kelompok kontrol, asupan dari konsumsi harian sebesar 117.65 RE (23.53% AKG) dan sumbangan dari makanan intervensi sebesar 3.23 RE (0.65% AKG) sehingga total asupan harian sebesar 120.88 RE (24.18% AKG). Sumbangan vitamin A dari makanan intervensi terhadap asupan harian pada kelompok kontrol adalah sebesar 2.75%.

Pada Gambar 5 terlihat bahwa asupan vitamin A dari makanan intervensi pada kelompok RPO secara nyata lebih tinggi (125.24 µg/g) daripada kelompok kontrol (3.23 µg/g) (p=0.024). Tingginya kandungan provitamin A pada makanan intervensi kelompok RPO dibandingkan kelompok kontrol karena gula kelapa yang digunakan pada pembuatan makanan intervensi kelompok RPO mengandung provitamin A yang tinggi yaitu mengandung beta karoten sebesar 29. 36 µg/g dengan retensi 64.55%, sedangkan pada kelompok kontrol kandungan provitamin A (beta karoten) gula yang digunakan untuk membuat makanan intervensi adalah 0 µg/g. Namun demikian jumlah asupan vitamin A dari makanan harian pada kedua kelompok tersebut tidak berbeda nyata (p=0.061).

26

Secara keseluruhan, tingkat kecukupan energi dan protein harian pada kelompok RPO dan kelompok kontrol hanya memenuhi sekitar 50% AKG. Disisi lain tingkat kecukupan vitamin A pada kelompok RPO mampu memenuhi 52.19 % AKG dan pada kelompok kontrol lebih rendah yaitu hanya memenuhi 24.18% AKG.

Keadaan tersebut di atas yaitu rendahnya tingkat konsumsi zat gizi subjek nampaknya berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi keluarga baik pada kelompok RPO maupun kontrol yang menunjukkan sebanyak 65.22% tergolong dalam kategori miskin. Hal inilah yang dapat menjadi salah satu faktor rendahnya konsumsi pangan subjek. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Martianto dan Ariani (2004) bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Pada kondisi dimana pendapat keluarga cukup, maka memungkinkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun non pangan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan gizi nya.

Pengaruh Intervensi terhadap Berat Badan

Jumlah asupan energi, protein, dan vitamin A akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Adanya sumbangan energi, protein, dan vitamin A dari makanan intervensi selama 45 hari terbukti dapat meningkatkan berat badan subjek. Sebelum intervensi subjek pada kelompok RPO memiliki berat badan rata-rata 19.91±1.68 kg, sedangkan kelompok kontrol memiliki berat badan rata-rata 22.33±1.53 kg. Pemberian makanan intervensi pada kelompok RPO selama 45 hari secara nyata meningkatkan berat badan subjek sebesar 0.5 kg (p<0.05), sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan berat badan secara tidak bermakna yaitu sebesar 0.17 kg (p>0.05). Perubahan berat badan pada kelompok RPO dan kontrol disajikan pada Tabel 8.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dwiyanti et al. (2013) bahwa intervensi selama 2 minggu dengan memberikan gula kelapa yang diperkaya RPO mampu meningkatkan berat badan tikus deplesi sebesar 3.54%. Penelitian yang dilakukan Edem et al. (2003) juga menunjukkan bahwa pemberian RPO yang disubstitusikan dalam 30% minyak dalam formula diet selama 4 minggu pada tikus normal, mampu menaikkan berat badan hingga 15.34 gram. Hal tersebut kemungkinan berhubungan dengan peran dari adanya tambahan vitamin A sebesar 125.24 RE per hari yang diperoleh pada kelompok RPO. Vitamin A mempunyai peran dalam proses pertumbuhan. Retinil β -glukorinade yang dibentuk dari retinol dan asam glukoronic acid akan berperan secara aktif mensuport pertumbuhan dan pembelahan sel. Pertumbuhan sel di stimulasi oleh growth factor yang terikat ke reseptor spesifik pada permukaan sel. Asam retinoat nampaknya meningkatkan jumlah reseptor spesifik untuk growth factor (Gropper et al. 2009). Peningkatan berat badan juga terjadi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 0.17 kg, namun tidak nyata (p>0.05). Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena asupan energi dan protein dari makanan intervensi yang berkontribusi terhadap peningkatan berat badan subjek.

27 Tabel 8 Rata-rata peningkatan berat badan (kg) subjek sebelum dan setelah

intervensi

RPO Kontrol p-value

Sebelum intervensi 19.91±1.68 22.33±1.53 0.002* Setelah intervensi 20.41±1.71 22.50±1.43 0.004* p-value 0.000* 0.368 Perubahan 0.50±0.32 0.17±0.62 0.167 *) p<0.05 = berbeda nyata

Pengaruh Intervensi terhadap Status Gizi (BB/U)

Adanya sumbangan energi, protein dan vitamin A dari makanan intervensi selama 45 hari berdampak pada status gizi subjek yang ditunjukkan dengan perubahan nilai BB/U. Kelompok yang diberikan makanan jajanan menggunakan gula RPO mengalami peningkatan status gizi yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai BB/U, yaitu sebesar 0.10±0.12. Sebaliknya pada kelompok kontrol terjadi penurunan nilai BB/U yaitu sebesar -0.02±0.2. Perubahan BB/U sejalan dengan peningkatan berat badan pada kelompok RPO yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa konsumsi RPO berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik melalui efek retensi gizi (Edem et al. 2003). Studi yang dilakukan oleh Oguntibeju et al. (2009) melaporkan bahwa konsumsi RPO pada taraf moderate mendorong efisiensi penggunaan zat gizi dan memperbaiki fungsi imun. Lebih lanjut menurut Gavin dan Zachary (2007), defisiensi vitamin A dapat mengakibatkan perubahan keutuhan sel-sel epithel usus, dimana sel-sel vili usus mengalami metaplasia yang akan berdampak pada ketidaknormalan fungsi usus termasuk dalam absorbsi zat gizi.

Keadaan tersebut nampaknya sejalan dengan penurunan angka morbiditas yang cukup nyata pada kelompok yang diberikan intervensi berupa makanan jajanan yang dibuat dengan gula kelapa RPO (Tabel 11). RPO mengandung komponen-komponen yang berperan dalam menjaga kondisi kesehatan optimal. Vitamin A, beta karoten dan vitamin E merupakan kofaktor di dalam respon imun (Chunningham et al. 2005). Perbaikan status imun akan memperbaiki proses metabolisme dalam tubuh termasuk dalam absorbsi dan sintesis zat gizi yang akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan yang lebih baik. Rata-rata peningkatan z-score subjek sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Rata-rata peningkatan z-score subjek sebelum dan setelah intervensi

RPO Kontrol p-value

Sebelum intervensi -1.78±0.41 -1.77±0.54 0.959 Setelah intervensi 1.68±0.40 -1.78±0.46 0.570 p-value 0.018* 0.806 Perubahan 0.10±0.12 -0.02±0.21 0.113 *) p<0.05 = berbeda nyata

28

Pengaruh Intervensi terhadap Kadar Retinol Serum

Nilai rata-rata kadar retinol serum pada kelompok RPO sebelum intervensi adalah 29.79±6.28 µg/dl, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 26.68±5.83 µg/dl. Hasil uji beda antara nilai rata-rata kadar retinol serum kelompok RPO dengan kelompok kontrol pada sebelum intervensi menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05). Rata-rata kadar retinol serum pada kedua kelompok meningkat setelah diberikan makanan intervensi selama 45 hari yaitu menjadi 47.59±9.02 µg/dL pada kelompok RPO, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 29.54±4.66 µg/dL. Kadar retinol serum pada kelompok RPO berbeda nyata (p<0.05) antara sebelum dan setelah intervensi, sebaliknya pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (Tabel 10).

Tabel 10 Rata-rata peningkatan retinol serum (µg/dl) subjek sebelum dan setelah intervensi

RPO Kontrol p-value

Sebelum intervensi 29.79±6.28 26.68±5.83 0.255 Setelah intervensi 47.59±9.02 29.54±4.66 0.000* p-value 0.001* 0.108 Perubahan 17.80±13.24 2.86±5.07 0.004* *) p<0.05 = berbeda nyata

Beta karoten yang terdapat di dalam gula kelapa RPO akan diserap di dalam saluran pencernaan yaitu di usus halus dan akan dioksidasi menjadi retinal dan kemudian direduksi menjadi retinol. Selanjutnya akan berikatan dengan asam lemak membentuk retinil ester yang kemudian bersama kilomikron akan beredar di dalam sirkulasi darah dan di bawa ke hati. Di dalam hati akan disimpan sebagai retinil palmitat dan bila dibutuhkan akan dilepaskan oleh hati ke dalam sirkulasi darah sebagai retinol dan akan membentuk kompleks dengan retinol binding protein (RBP) dan transthyretin atau disebut sebagai three molecullar complex (Gropper et al. 2009). Peningkatan jumlah retinol yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darah akan berkorelasi terhadap peningkatan kadar retinol serum. Studi yang dilakukan oleh Huang et al. (2007) menyebutkan bahwa bioavailabilitas karotenoid dari RPO adalah sebesar 37%.

Pada kelompok gizi kurang yang diberi makanan jajanan menggunakan gula kelapa RPO selama 45 hari dengan kadar vitamin A 25.05% AKG menunjukkan peningkatan kadar retinol serum 59.75% Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Stuijvenberg et al. (2001) tentang penggunaan RPO yang ditambahkan dalam biskuit dan diberikan selama 6 bulan

pada anak sekolah dengan kadar β-karoten 34% RDA, mampu memperbaiki status vitamin A dengan meningkatkan retinol serum 46.7%. Sivan et al. (2002) tentang pemberian RPO sejumlah 5 ml per hari pada anak sekolah selama 1 tahun berhasil meningkatkan kadar serum retinol dari 33.45 menjadi 63.75 µg/dl (90.58%). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Canfield et al. (2001) tentang

pemberian RPO yang diberikan setara dengan 90 mg β-caroten selama 10 hari pada ibu menyusui, mampu meningkatkan kadar serum retinol bayi hingga 15.63%.

29 Pengaruh Intervensi terhadap Morbiditas

Salah satu kegunaan vitamin A adalah untuk meningkatkan sistem imun tubuh. Peningkatan sistem imun dapat dilihat dari kemampuan tubuh subjek menahan serangan penyakit, terutama penyakit infeksi. Selain status gizi, morbiditas merupakan salah satu variabel yang mencerminkan status kesehatan. Morbiditas dalam penelitian ini merupakan angka kesakitan subjek selama 1 minggu sebelum intervensi dan 45 hari setelah intervensi. Perhitungan morbiditas berdasarkan kondisi atau keadaan kesehatan subjek yang didasarkan atas frekuensi dan lama hari sakit melalui wawancara langsung kepada subjek. Sugiyono (2009) mengkategorikan skor morbiditas menjadi tiga yaitu rendah (<4), sedang (4-7), dan tinggi (≥8). Subjek pada kelompok RPO dan kontrol

memiliki rata-rata skor morbiditas yang rendah pada sebelum intervensi. Rata-rata skor morbiditas kelompok RPO adalah sebesar 3.18 dan kelompok kontrol sebesar 2.42 (Tabel 11).

Tabel 11 Rata-rata skor morbiditas subjek sebelum dan setelah intervensi

RPO Kontrol p-value

Sebelum intervensi 3.18+3.82 2.42+4.01 0.425 Setelah intervensi 0.45+1.04 0.00+0.00 0.131 p-value 0.042* 0.042* Perubahan 2.73 2.42 *) p<0.05 = berbeda nyata

Rata-rata skor morbiditas sebelum intervensi baik pada kelompok RPO dan kontrol menunjukkan skor yang tergolong rendah. Pada akhir intervensi seluruh subjek dari kedua kelompok memiliki tingkat kesakitan yang rendah. Pada akhir intervensi juga terlihat bahwa kelompok kontrol mempunyai angka morbiditas yang lebih baik, karena tidak ada subjek yang menderita sakit sedangkan pada kelompok RPO terdapat 1 orang yang menderita sakit yang mengakibatkan angka morbiditas pada kelompok RPO lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Secara statistik tidak terdapat perbedaan skor morbiditas subjek antara kelompok RPO dan kontrol, baik pada sebelum maupun setelah intervensi (p>0.05), namun rata-rata skor morbiditas setelah intervensi menurun secara nyata pada kedua kelompok perlakuan.

Penurunan skor morbiditas pada kelompok RPO cenderung lebih tinggi (2.73) dibandingkan kelompok kontrol (2.42) meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata p=0.885. Hal ini diduga periode intervensi belum cukup menurunkan skor morbiditas secara nyata. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Fauzi (2014) yang meneliti tentang pengaruh intervensi minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari RPO bahwa vitamin A belum berpengaruh terhadap morbiditas. Penurunan skor morbiditas yang cenderung lebih tinggi pada kelompok RPO diduga karena adanya pengaruh dari pangan intervensi yaitu gula kelapa yang mengandung provitamin A. Asam retinoat yang merupakan salah satu bentuk vitamin A, berperan mempertahankan homeostasis kekebalan tubuh dengan meningkatkan fungsi sel Th1 dan Th2 (Mullin 2011), sehingga asupan vitamin A yang cukup akan dapat memperlancar imunitas humoral dan seluler di mukosa (Yang et al. 2011).

30

Dokumen terkait