• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM Pembahasan Umum

Pemanfaatan bambu berdasarkan pola

Lebih dari 1000 spesies bambu yang tersebar di dunia memiliki sifat fisik dan mekanik yang berbeda (Liese 1997). Perbedaan di antara spesies tanaman bambu tersebut terkait dengan perbedaan dalam sifat anatomi dan kimia (Lwin et al 2007 ). Dengan demikian studi pada sifat anatomi, fisik dan mekanik harus dibawa ke arah penjaminan mutu bambu. Karena itu diperlukan informasi yang menyeluruh dari sifat-sifat yang dimiliki bambu tersebut (Liese 1997). Pola ikatan pembuluh sebagai variabel sifat anatomi mempunyai karakter yang mewakili sifat-sifat suatu jenis bambu.

Pola ikatan pembuluh (disingkat pola) berperan dalam sifat mekanik sebagai faktor yang mempengaruhi kekuatan. Pola ikatan pembuluh juga mempunyai peran penting karena bersama-sama dengan jenis bambu berpengaruh pada beberapa sifat kimia bambu yang menjadi dasar dalam pemanfaatan bambu secara luas.

Bambu pada pola ikatan pembuluh 1

Dalam penelitian sifat anatomi bambu khususnya dalam penentuan kerapatan ikatan pembuluh ternyata salah satunya dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola. Pola 1 memiliki kerapatan ikatan pembuluh tertinggi dibandingkan dengan pola-pola yang ada. Kerapatan ikatan pembuluh umumnya terkait dengan nilai BJ. Hal ini berarti bahwa pola 1 berpeluang mempunyai nilai BJ yang tinggi. Hasil pengukuran nilai BJ bambu Arundinaria hundsii adalah 0.8 sedangkan nilai BJ bambu Arundinaria javonica adalah 0.6. Bambu dengan nilai BJ yang relatif tinggi dapat digunakan untuk pemanfaatan struktural dan termasuk ke dalam kelas kuat II jika dilihat dari sisi BJ saja (Lampiran 12).

Diameter dan tebal batang bambu A. hundsii pada bagian pangkal berturut-turut adalah 1.6 cm dan 0.6 cm, sedangkan diameter dan tebal batang bambu A.

javonica pada bagian pangkal berturut-turut adalah 2 cm dan 0.6 cm. Ditinjau dari

segi fisik, baik bambu A. hundsii maupun A. javonica memiliki kekurangan jika digunakan sebagai bahan konstruksi secara langsung. Dengan demikian untuk memanfaatkan kedua jenis bambu ini memerlukan dukungan teknologi khususnya dengan memanfaatkan teknologi laminasi bambu (Puslitbang Pemukiman 2009) sehingga dapat menghasilkan balok dengan kekuatan tinggi. Alternatif lain pemanfaatan bambu dengan diameter kecil adalah dengan memproses lebih lanjut sebagai bahan papan partikel bambu (Renjie et al. 2003). Penggunaan bambu pola 1 secara langsung adalah sebagai asesori elemen bangunan (Surjokusumo 1997) ataupun sebagai tanaman hias. Penggunaan bambu pola 1 sebagai asesori elemen bangunan didukung juga oleh potensi keawetannya karena termasuk kelompok bambu dengan kandungan ekstraktif yang tinggi dibandingkan pola lain. Kandungan pati yang rendah pada pola 1 akan memberikan ketahanan terhadap serangan serangga penggerek. Ditinjau dari sisi panjang serat, walaupun panjang serat yang dimiliki pola 1 paling rendah dibandingkan dengan pola-pola lain namun masih termasuk ke dalam kelompok kelas I apabila digunakan sebagai bahan baku serat/pulp dan kertas (acuan persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas pada Lampiran 13 dan hasil penetapan berdasarkan acuan pada Lampiran 14). Demikian pula potensi kandungan alfa selulosa yang relatif paling tinggi (49.1%) dibandingkan pola lain mengindikasikan bahwa pola 1 mempunyai kandungan serat yang paling tinggi. Namun kandungan ligninnya yang tinggi sehingga meningkatkan kebutuhan bahan kimia pemasak tinggi pula.

Bambu pada pola ikatan pembuluh 2

Pola 2 yang dimiliki oleh bambu Cephalostachyum pergracile dan

Melocanna baccifera memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh yang berada

setingkat lebih rendah dibandingkan kerapatan ikatan pembuluh pola 1. Sama halnya seperti pola 2, bambu dengan pola 1 pun berpotensi memiliki nilai BJ yang tinggi. Bambu yang tergolong pola 2 yaitu bambu Melocanna baccifera dan

(termasuk kelas kuat II apabila dilihat dari sisi BJ-nya). Hasil pengukuran terhadap diameter batang M. baccifera bagian pangkal adalah 3.4 cm dan tebal dinding batangnya adalah 0.7 cm. Diameter batang bambu C. pergracile adalah 4.7 cm sedangkan tebal dinding batangnya adalah 1.4 cm. Seperti halnya bambu

A. hundsii dan A. javonica, bambu M. baccifera dan bambu C. pergracile pun

tidak dapat dipergunakan secara langsung sebagai bahan konstruksi, tapi dapat diaplikasikan dalam bentuk bambu lamina dan bambu lapis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nuriyatin (2000) yang mengumpulkan informasi tentang jenis-jenis bambu serta kegunaannya, di antaranya menyatakan bahwa bambu C.

pergracile umumnya dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, sedangkan bambu

M. baccifera umumnya digunakan sebagai bahan bangunan, anyaman, kerajinan,

dan bahan baku pulp dan kertas (Dransfield dan Widjaja 1995). Hal yang harus diperhatikan untuk bambu berpola 2 adalah kandungan ekstraktifnya lebih rendah dibandingkan pola lain. Kandungan abu yang tinggi juga dimiliki oleh bambu ini. Diduga kadar silika yang tinggi ada pada bambu C. pergracile sehingga harus diwaspadai pada saat proses pemotongan karena akan menumpulkan pisau/gergaji. Namun bambu C. pergracile memiliki kadar pati yang rendah yang berarti relatif lebih tahan terhadap serangan serangga penggerek. Penggunaan bambu M. baccifera sebagai bahan kerajinan (Nuriyatin 2000) menghasilkan produk ramah lingkungan dan sangat diminati masyarakat dunia (Anonim 2011).

Bambu C.pergracile dan M.baccifera juga dapat digunakan sebagai bahan baku serat termasuk bahan baku pulp dan kertas. Panjang serabut bambu pada pola 2 termasuk ke dalam kelas I karena mempunyai panjang serat lebih dari 2000 mikron (Lampiran 14). Nilai alfa selulosanya pun mendukung karena mempunyai nilai yang relatif tinggi (46.7%) sehingga berpotensi untuk dijadikan bahan baku pulp. Kandungan lignin yang dimiliki pola 2 berada diantara pola-pola lain sehingga bahan kimia yang dibutuhkan diduga berada di antara pola-pola tersebut.

Nilai kerapatan ikatan pembuluh untuk pola 3 berada pada posisi paling rendah dibandingkan pola-pola lain. Bambu-bambu yang memiliki pola 3 adalah Dendrocalamus strictus, D. giganteus, D. asper bagian tengah dan ujung, serta

Gigantochloa apus bagian ujung. Ditinjau dari BJ, nilai BJ keseluruhan bambu

yang diteliti adalah 0.6 namun khusus bambu-bambu untuk keperluan konstruksi struktural, nilai BJ-nya adalah 0.8. D. asper, dan Gigantochloa apus secara tampilan fisik sesuai untuk penggunaan struktural. Berdasarkan hasil pengujian, salah satu variabel yang dilibatkan dalam standar kekuatan kayu adalah MOR yang dipengaruhi pola ikatan pembuluh. Posisi pola 3 dalam perannya sebagai bahan dasar konstruksi termasuk ke dalam kelas kuat II (Lampiran 12).

Bambu D. giganteus juga dapat dimanfaatkan sebagai elemen non struktural, bahan baku pulp dan kertas, kerajinan dan lain-lain. Bambu G. apus bagian ujung juga dapat digunakan sebagai bahan angklung. Dalam penelitian Nuriyatin (2000) dikemukakan bahwa diantara 5 jenis bambu yang diujikan ternyata bambu G. atroviolacea memiliki kualitas suara terbaik. Diduga hal ini terjadi selain karena nilai persentase serabut yang berdinding tebal cukup tinggi (BJ-nya adalah 0.7) juga kondisi serabut tersebar secara merata pada penampang lintang batang bambu. Bambu G. apus berada pada posisi ke-2 sebagai bahan angklung setelah bambu G. atroviolacea.

Seperti halnya pola-pola lain, bambu-bambu yang tergolong ke dalam pola 3- pun dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku serat/pulp dan kertas (Lampiran 14). Hal ini didukung ukuran serabut yang panjang sehingga termasuk ke dalam kualitas I jika digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Pola 3 yang berasal dari bambu D. asper memiliki sifat kimia yang khas karena memiliki kandungan ekstraktif serta kadar pati yang paling tinggi dibanding pola lain. Keadaan yang berbeda dimiliki oleh bambu D. giganteus yang mempunyai kandungan ekstraktif dan pati yang rendah.

Bambu pada pola ikatan pembuluh 4

Bambu-bambu yang memiliki pola 4 adalah adalah D. asper bagian pangkal

dan G. apus bagian pangkal dan tengah. Bambu-bambu tersebut memiliki

digunakan sebagai bahan baku struktural. Ditinjau dari sisi BJ-pun memiliki nilai yang cukup tinggi pula yaitu 0.6. Dengan nilai BJ yang tinggi diharapkan dimensi lebih stabil berdasarkan sifat mekanis serta mengacu kepada standar kayu sebagai bahan baku konstruksi maka bambu-bambu yang memiliki pola 4 dapat dikelompokan ke dalam kelas kuat III (Lampiran 14).

Hasil penelitian Nuriyatin (2000) menyatakan bahwa bambu D. asper mempunyai kegunaan sebagai bahan konstruksi, kerajinan, mebel, dan lain-lain. Sebagai bahan mebel, bambu D. asper memenuhi beberapa persyaratan termasuk karena kekokohannya (Ridwanti 2000). Hal ini sesuai apabila dikaitkan dengan persyaratan fisik mekanik kayu untuk mebel yang menuntut kekuatan dan keawetan bahan baku minimum kelas III (SNI 1989). Bambu G. apus selain dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi juga digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Hasil penelitian Bachtiar (2008) pada bambu G. apus menyatakan bahwa bambu ini dapat digunakan sebagai komponen konstruksi rangka batang ruang.

Bambu-bambu yang tergolong ke dalam pola 4 juga memiliki peluang yang baik sebagai bahah pulp dan kertas (Lampiran 14). Hal ini didukung dengan nilai serabut yang terpanjang dibandingkan pola-pola lain sehingga nilai daya tenun pun sangat baik (kelas I). Tapi di antara pola yang ada, kadar alfa selulosa pada pola 4 paling rendah sehingga dapat berpengaruh pada kekuatan serat. Bambu yang termasuk ke dalam pola 4 juga mempunyai kandungan ekstraktif yang tidak terlalu tinggi, kadar abu paling rendah, dan kadar pati yang tinggi sehingga harus diperhitungkan apabila persyaratan penggunannya memerlukan sifat keawetan tinggi.

Pola dalam Pemanfaatan Bambu

Pengamatan terhadap keseluruhan hasil penelitian memberikan gambaran pemanfaatan bambu dalam penggunaan tertentu dengan memanfaatkan pola yang dimiliki oleh setiap jenis bambu. Dalam penggunaan bambu sebagai bahan konstruksi, pola menunjukkan hubungan yang cukup erat terutama terhadap nilai MOR . Penelitian ini merupakan langkah awal dalam memanfaatkan bambu secara optimum. Langkah ke depan diharapkan adanya pengembangan standar

penggunaan bambu sebagai bahan dasar konstruksi dengan melibatkan pola ikatan pembuluh.

Penggunaan bambu sebagai bahan berserat (pulp dan kertas) telah lama dilakukan industri di berbagai negara. Penelitian terhadap bambu sebagai bahan serat dilakukan banyak peneliti yang menunjukkan prospek bambu. Hasil penelitian yang diperoleh dengan menguji melalui morfologi serat dan turunannya adalah bahwa bambu dengan pola ikatan pembuluh 1 sampai 4 memberikan hasil yang sama, yaitu setiap pola menghasilkan daya tenun kelas I sementara untuk nilai lainnya termasuk kelas III. Pengamatan lebih mendalam terhadap karakter pola ikatan pembuluh terkait dengan perannya sebagai bahan baku pulp dan kertas terlihat bahwa bambu pada pola 1 mempunyai ciri tertentu yaitu memiliki fleksibilitas yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain sementara ciri pada pola ikatan pembuluh 4 adalah mempunyai panjang serabut dan daya tenun yang paling tinggi.

Hasil penelaahan terhadap penggunaan bambu sebagai bahan kerajinan terlihat bahwa seluruh bambu yang tergabung dalam pola 4 dapat digunakan sebagai bahan kerajinan, demikian pula sebagian bambu yang tergabung dalam pola 2 (Cephalostachyum pergracile). Secara fisik, selama ini bambu-bambu yang dipergunakan sebagai bahan kerajinan berukuran besar baik diameter maupun ketebalan dinding batangnya.

Dalam aplikasi penggunaan, ciri-ciri yang dimiliki setiap pola akan memberikan kontribusi ketahanan terhadap serangan penggerek, tingkat kandungan serat dan kelancaran dalam proses pemesinan. Khusus bambu yang tergolong pola 1 selain memiliki kandungan serat tertinggi, ketahanan terhadap serangan penggerek juga tinggi. Sementara pada pola 2, diindikasikan bambu memiliki ketahanan terhadap serangan penggerek tinggi, juga diduga mengandung silika tinggi yang berpengaruh pada proses pemesinan. Bambu pada pola 3 mempunyai kandungan serat sedang dengan ketahanan terhadap serangan rayap beragam. Salah satu ciri yang dimiliki oleh bambu yang tergolong pola 4 adalah selain mempunyai kandungan serat paling rendah juga ketahanan terhadap penggereknya pun paling rendah.

Gambaran umum yang dapat dibaca dari keberadaan pola ikatan pembuluh bambu terkait dengan penggunaannya dapat dilihat pada Gambar 63.

Gambar 63. Pemanfaatan bambu berdasarkan pola

Simpulan umum

Pola ikatan pembuluh bambu (pola) adalah variabel sifat anatomi selain dapat digunakan sebagai kunci identifikasi juga menunjukkan karakter yang mewakili sifat-sifat suatu jenis bambu. Pola tersebut memiliki fungsi dan keterkaitan dengan sifat-sifat dasar yang berguna dalam arah pemanfaatan bambu.

Pola ikatan pembuluh muncul pada berbagai jenis bambu baik dalam bentuk pola tunggal atau bentuk pola kombinasi antara dua pola. Pola pada bagian pangkal batang terdiri dari pola tunggal sedangkan pola kombinasi terbentuk pada bagian tengah dan ujung batang bambu. Perbedaan pola berkaitan dengan kerapatan ikatan pembuluh, panjang serabut dan persentase kandungan serabut.

Pengujian sifat fisik dan mekanik bambu menunjukkan bahwa pola berpengaruh pada nilai MOR kecuali pada BJ, MOE, keteguhan tekan sejajar

Pola 1 •Konstruksi •Laminasi •Papan partikel •Serat/pulp dan kertas Pola 2 •Konstruksi •Kerajinan •Laminasi •Papan partikel •Serat/pulp dan kertas Pola 3 •Konstruksi •Meubel •Kerajianan •Alat musik •Laminasi •Papan partikel •Serat/pulp dan kertas Pola 4 •Konstruksi •Meubel •Kerajinan •Laminasi •Papan partikel •Serat/pulp dan kertas

serat, dan keteguhan tarik sejajar serat. Meskipun demikian pola tersebut cukup kuat dalam menduga kekuatan bambu sehingga dapat dipakai dalam arah pemanfaatan untuk bahan konstruksi, bahan bangunan, mebel dan sebagainya. Demikian pula pola dapat mengarahkan pemanfaatan untuk keperluan non struktural seperti kerajinan, asesori bahan bangunan, anyaman dan lain-lain.

Pengujian terhadap sifat kimia terbukti adanya hubungan erat antara jenis bambu dan pola dengan kadar ekstraktif, kadar abu, kadar pati, dan lignin kecuali dengan selulosa. Hal ini dapat menjadi dasar hubungan erat antara jenis dan pola dengan sifat kimia yang menjadi dasar pemanfaatan bambu seperti untuk bahan baku pulp dan kertas, dan papan serat.

Berdasarkan kajian hubungan antara pola dengan sifat-sifat dasar dan kaitannya dengan parameter pemanfaatan bambu, dapat disimpulkan bahwa pola tersebut dapat dipakai sebagai penduga kemungkinan pemanfaatan bambu dalam praktek. Selain itu penerapan di lapangan lebih mudah dan praktis. Untuk itu perlu dilengkapi dengan pembuatan matriks pemanfaatan dan parameter yang dipersyaratkan untuk tujuan pemakaian tertentu dengan memasukan penggolongan jenis bambu berdasar pola ikatan pembuluh.

Mengingat banyaknya jenis bambu, maka perlu dilakukan inventarisasi bambu-bambu yang tumbuh di Indonesia sekaligus menetapkan pola ikatan pembuluhnya. Selanjutnya untuk mempertegas peranan ikatan pembuluh dalam pendugaan penggunaannya, sebaiknya penelitian dikembangkan pula untuk bambu-bambu lainnya. Tahap selahjutnya diharapkan aplikasi pemanfaatan pola dapat dijadikan acuan dalam penentuan pemanfaatan bambu dengan dilibatkan secara langsung dalam klasifikasi kelas penggunaan bambu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Usaha Kerajinan Bambu Indonesia Diminati Pasar Dunia. Http:// bisnisukm.com/usaha-kerajinan-bambu-indonesia-diminati-pasar-

dunia.html.[17 Desember 2011]

Bactiar G. 2008. Pemanfaatan buluh bambu tali sebagai komponen pada konstruksi rangka batang ruang [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dransfield S, Widjaja EA, editor. 1995. Bamboos. No 7. Indonesia: Prosea Foundation Bogor.

Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos.

Nuriyatin N. 2000. Studi analisa sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan penggunaan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Puslitbang Pemukiman. 2009, Pengembangan Bambu Komposit sebagai Bahan

Bangunan Alternatif Pengganti Kayu

Renjie, Z, Zhe C, Jianhui Z. 2003. Technological innovative course and prospect of bamboo-based panel of China. Proceedings of International Workshop on Bamboo Industrial Utilization.

Ridwanti. 2002. Pemanfaatan bambu di Indonesia. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1989. Persyaratan kayu sebagai bahan mebel. Surjokusumo, HMS. 1997. Pemanfaatan bambu untuk bangunan. Dalam panel

diskusi bambu, 4 Desember 1997. Jakarta.

ABSTRACT

NANI NURIYATIN. Vascular bundle pattern as predictor of bamboo utilization. Under direction of KURNIA SOFYAN, SURJONO SURJOKUSUMO, and SUMINAR S ACHMADI.

Bamboo is a plant which is widely distributed but can not be optimally utilized. This can be proved by the 143 species of bamboo in Indonesia, only 32 types among them have distinct purpose. Therefore, to optimize the bamboo utilization is through evaluating anatomy, mechanical, and chemical properties so that the results can be useful. The research method was approach by regression with dummy variables, and description analyze. The result of anatomy study showed that every bamboo species had specific vascular bundle pattern (type 1-4) as well as the single patern and its combination. The difference of vascular bundle pattern did not contributed to the physical and mechanical properties of bamboo investigated, except for MOR. The difference species of bamboo and vertical position of samples contributed to the different value of compressive strength parallel to grain, whereas tension strength was only affected by bamboo species. The results of chemical study showed that interaction between the species and the vascular bundle patterns of bamboo influences extractive, ash, lignin, and starch content except alpha cellulose content. The vascular bundle patterns have important value for distinguishing species of bamboo and they can also be used to help direction of the use of bamboo.

RINGKASAN

NANI NURIYATIN. Pola ikatan pembuluh bambu sebagai penduga pemanfaatan bambu. Dibimbing oleh KURNIA SOFYAN, SURJONO SURJOKUSUMO, dan SUMINAR S ACHMADI.

Bambu adalah tanaman yang tersedia melimpah di Indonesia. Tetapi dalam pemanfaatannya belum optimal karena penggunaan bambu selama ini masih mengandalkan cara tradisional secara turun-temurun. Tidak setiap jenis bambu mempunyai penggunaan yang sama, terkait dengan perbedaan sifat yang dimiliki bambu. Dengan demikian perlu penelitian dasar ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar acuan penggunaannya.

Beberapa sifat dasar bambu yang diteliti adalah sifat anatomi, fisik, mekanik, dan sifat kimia. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi dengan peubah boneka untuk aspek anatomi, fisik, dan mekanik. Sedangkan pengolahan data sifat kimia menggunakan analisis deskripsi dan keragaman.

Analisis deskripsi terhadap bambu yang diteliti sifat anatominya menetapkan bahwa seluruh jenis bambu yang diteliti memiliki pola ikatan pembuluh. Pola-pola tersebut dijumpai dalam bentuk pola tunggal maupun pola gabungan. Pola tunggal dimiliki oleh bambu Arundinaria hundsii, Arundinaria

javonica, Melocanna baccifera, Cephalostachyum pergracile, Dendrocalamus

strictus dan Dendrocalamus giganteus. Pola gabungan dimiliki oleh bambu

Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus dan Gigantochloa atroviolacea. Nilai

kerapatanikatan pembuluh bambu dipengaruhi oleh seluruh faktor yang diujikan, yaitu jenis bambu, posisi horizontal, posisi vertikal dan pola ikatan pembuluh. Sementara panjang serabut dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola ikatan pembuluh. Hanya persen serabut yang dipengaruhi oleh satu faktor saja yaitu posisi horizontal penampang lintang batang.

Nilai keteguhan lentur patah (MOR) bambu-bambu yang diteliti dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola ikatan pembuluh bambu. Pola 3 memiliki nilai MOR yang lebih tinggi dibandingkan pola 4. Dendrocalamus asper memiliki nilai MOR yang paling tinggi dibandingkan bambu lain. Nilai kekakuan (MOE) tidak dipengaruhi oleh faktor yang diujikan. Jenis bambu dan posisi vertikal batang mempengaruhi nilai keteguhan tekan sejajar serat. Dendrocalamus asper memiliki nilai keteguhan tekan paling tinggi dibandingkan bambu-bambu lain. Hanya pada posisi pangkal, keteguhan tekan memiliki nilai tertinggi. Hasil pengujian keteguhan tarik dipengaruhi oleh jenis bambu. Dendrocalamus asper cenderung mempunyai nilai keteguhan tarik lebih tinggi dibandingkan jenis lain.

Hasil analisis deskripsi dan analisis keragaman menyatakan bahwa pada umumnya sifat-sifat kimia bambu dipengaruhi oleh interaksi antara jenis bambu dan pola yang dimilikinya. Beberapa sifat kimia yang dipengaruhi oleh interaksi adalah kandungan ekstraktif, kadar abu, kadar lignin, dan kandungan pati. Ciri yang menonjol yang dimiliki oleh pola 1 adalah mengandung ekstraktif, lignin dan alfa selulosa yang tinggi tetapi kadar pati rendah. Pola 2 memiliki ciri kadar ekstraktif dan pati rendah tetapi kadar abu tinggi. Pola 3 mempunyai ciri kadar

alfa selulosa dan kadar pati rendah. Nilai alfa selulosa yang paling rendah dimiliki oleh bambu dengan pola 4. Sifat-sifat kimia yang dimiliki oleh bambu membantu dalam mengarahkan penggunaan bambu sebagai bahan serat.

Pola ikatan pembuluh bambu adalah variabel sifat anatomi yang sebaiknya dipertimbangkan dalam penggunaan bambu. Pola ikatan pembuluh pada bambu memiliki ciri tertentu yang dapat membantu mengarahkan penggunaan bambu. Bambu yang memiliki pola ikatan pembuluh 1 atau 2 dapat digunakan untuk bahan non struktural sedangkan bambu dengan pola ikatan pembuluh 3 atau 4 dapat digunakan sebagai bahan struktural. Pola ikatan pembuluh bambu terkait dengan sifat kimia yang penting peranannya dalam pendugaan pemanfaatan serat serta pemanfaatan bambu di lapangan.

Kata kunci: bambu, pola ikatan pembuluh, anatomi, kimia, fisik mekanik bambu, penggunaan bambu

I. PENDAHULUAN UMUM