POLA IKATAN PEMBULUH BAMBU
SEBAGAI PENDUGA PEMANFAATAN BAMBU
NANI NURIYATIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga Pemanfaatan Bambu adalah hasil karya saya sendiri bersama pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan oleh penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir setiap bab disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
ABSTRACT
NANI NURIYATIN. Vascular bundle pattern as predictor of bamboo utilization. Under direction of KURNIA SOFYAN, SURJONO SURJOKUSUMO, and SUMINAR S ACHMADI.
Bamboo is a plant which is widely distributed but can not be optimally utilized. This can be proved by the 143 species of bamboo in Indonesia, only 32 types among them have distinct purpose. Therefore, to optimize the bamboo utilization is through evaluating anatomy, mechanical, and chemical properties so that the results can be useful. The research method was approach by regression with dummy variables, and description analyze. The result of anatomy study showed that every bamboo species had specific vascular bundle pattern (type 1-4) as well as the single patern and its combination. The difference of vascular bundle pattern did not contributed to the physical and mechanical properties of bamboo investigated, except for MOR. The difference species of bamboo and vertical position of samples contributed to the different value of compressive strength parallel to grain, whereas tension strength was only affected by bamboo species. The results of chemical study showed that interaction between the species and the vascular bundle patterns of bamboo influences extractive, ash, lignin, and starch content except alpha cellulose content. The vascular bundle patterns have important value for distinguishing species of bamboo and they can also be used to help direction of the use of bamboo.
RINGKASAN
NANI NURIYATIN. Pola ikatan pembuluh bambu sebagai penduga pemanfaatan bambu. Dibimbing oleh KURNIA SOFYAN, SURJONO SURJOKUSUMO, dan SUMINAR S ACHMADI.
Bambu adalah tanaman yang tersedia melimpah di Indonesia. Tetapi dalam pemanfaatannya belum optimal karena penggunaan bambu selama ini masih mengandalkan cara tradisional secara turun-temurun. Tidak setiap jenis bambu mempunyai penggunaan yang sama, terkait dengan perbedaan sifat yang dimiliki bambu. Dengan demikian perlu penelitian dasar ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar acuan penggunaannya.
Beberapa sifat dasar bambu yang diteliti adalah sifat anatomi, fisik, mekanik, dan sifat kimia. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi dengan peubah boneka untuk aspek anatomi, fisik, dan mekanik. Sedangkan pengolahan data sifat kimia menggunakan analisis deskripsi dan keragaman.
Analisis deskripsi terhadap bambu yang diteliti sifat anatominya menetapkan bahwa seluruh jenis bambu yang diteliti memiliki pola ikatan pembuluh. Pola-pola tersebut dijumpai dalam bentuk pola tunggal maupun pola gabungan. Pola tunggal dimiliki oleh bambu Arundinaria hundsii, Arundinaria
javonica, Melocanna baccifera, Cephalostachyum pergracile, Dendrocalamus
strictus dan Dendrocalamus giganteus. Pola gabungan dimiliki oleh bambu
Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus dan Gigantochloa atroviolacea. Nilai
kerapatanikatan pembuluh bambu dipengaruhi oleh seluruh faktor yang diujikan, yaitu jenis bambu, posisi horizontal, posisi vertikal dan pola ikatan pembuluh. Sementara panjang serabut dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola ikatan pembuluh. Hanya persen serabut yang dipengaruhi oleh satu faktor saja yaitu posisi horizontal penampang lintang batang.
Nilai keteguhan lentur patah (MOR) bambu-bambu yang diteliti dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola ikatan pembuluh bambu. Pola 3 memiliki nilai MOR yang lebih tinggi dibandingkan pola 4. Dendrocalamus asper memiliki nilai MOR yang paling tinggi dibandingkan bambu lain. Nilai kekakuan (MOE) tidak dipengaruhi oleh faktor yang diujikan. Jenis bambu dan posisi vertikal batang mempengaruhi nilai keteguhan tekan sejajar serat. Dendrocalamus asper memiliki nilai keteguhan tekan paling tinggi dibandingkan bambu-bambu lain. Hanya pada posisi pangkal, keteguhan tekan memiliki nilai tertinggi. Hasil pengujian keteguhan tarik dipengaruhi oleh jenis bambu. Dendrocalamus asper cenderung mempunyai nilai keteguhan tarik lebih tinggi dibandingkan jenis lain.
alfa selulosa dan kadar pati rendah. Nilai alfa selulosa yang paling rendah dimiliki oleh bambu dengan pola 4. Sifat-sifat kimia yang dimiliki oleh bambu membantu dalam mengarahkan penggunaan bambu sebagai bahan serat.
Pola ikatan pembuluh bambu adalah variabel sifat anatomi yang sebaiknya dipertimbangkan dalam penggunaan bambu. Pola ikatan pembuluh pada bambu memiliki ciri tertentu yang dapat membantu mengarahkan penggunaan bambu. Bambu yang memiliki pola ikatan pembuluh 1 atau 2 dapat digunakan untuk bahan non struktural sedangkan bambu dengan pola ikatan pembuluh 3 atau 4 dapat digunakan sebagai bahan struktural. Pola ikatan pembuluh bambu terkait dengan sifat kimia yang penting peranannya dalam pendugaan pemanfaatan serat serta pemanfaatan bambu di lapangan.
Kata kunci: bambu, pola ikatan pembuluh, anatomi, kimia, fisik mekanik bambu, penggunaan bambu
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
POLA IKATAN PEMBULUH BAMBU
SEBAGAI PENDUGA PEMANFAATAN BAMBU
NANI NURIYATIN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr.Ir. Andi Gunawan, MSc
(Pengajar Departemen Arsitektur Landscap, Fakultas Pertanian, IPB)
2. Dr.Ir.Naresworo Nugroho, MS (Ketua Program Studi IPK)
Penguji pada ujian terbuka:
1. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS
(Pengajar Departemen Agronomi dan Holtikultur)
2. Dr. Krisdianto Sugiyanto, MSc
Judul : Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga Pemanfaatan Bambu
Nama Mahasiswa : Nani Nuriyatin
NRP : E 061050061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan Ketua
Prof.Dr.Ir. Surjono Surjokusumo, MSF Prof.Dr.Ir. Suminar S Achmadi, MSc Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr.Ir.Naresworo Nugroho,MS Dr.Ir.Dahrul Syah,MSc.Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allash SWT atas segala
karunia-Nya sehingga seluruh rangkaian penelitian/karya ilmiah berhasil diselesaikan.
Selain penelitian di berbagai laboratorium di lingkup Institut Pertanian Bogor,
penelitian juga dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir.Kurnia Sofyan,
Bapak Prof.Dr.Ir.Surjono Surjokusumo, MSF dan Ibu Prof. Dr.Ir.Suminar
S.Achmadi,MSc selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan,
gagasan, dan motivasi selama proses studi doktor. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Rektor Unib Bengkulu yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih kepada Dirjen Dikti atas beasiswa pendidikan BPPS yang
sangat membantu kelancaran studi di IPB, Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor IPB,
Ketua Program Studi IPK yang telah memberikan kesempatan untuk menimba
ilmu. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada penguji luar yaitu Ibu Dr. Ir.
Sandra Arifin Aziz, MS, Bapak Dr. Krisdianto Sugiyanto, MSc, Bapak Dr.Ir.Andi
Gunawan, MSc serta Dr.Ir.Naresworo Nugroho, MS yang telah memberi arahan
dan masukan dalam penulisan disertasi. Ucapan terima kasih yang tulus juga
disampaikan kepada Bapak dan mimih (alm.) serta Ama, teteh Ifa, teteh Angi,
Adam serta semua pihak yang telah membantu kelancaran seluruh pelaksanaan
studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 5 Mei 1963 dari ayah H. Hardja
Sadeli dan ibu Hj.Sri Suweni (alm.) Penulis merupakan anak kelima dari
delapan bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Teknologi Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1987. Pada
tahun 1996 penulis diterima di Progam Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB
dan lulus pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program
doktor diperoleh pada tahun 2005 dengan beasiswa BPPS-Dikti.
Penulis bekerja sebagai dosen di Universitas Bengkulu sejak tahun 1994.
Bidang pengajaran dan penelitian yang ditekuni adalah struktur dan sifat kayu dan
berlanjut sampai saat ini.
Selama mengikuti program S-3, penulis menjadi anggota MAPEKI
(Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia). Karya ilmiah berjudul Kemungkinan
Pemanfaatan Beberapa Jenis Bambu Tertentu, Berdasarkan Pola Penyusunan
Berkas Pembuluh, sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas diterbitkan di Jurnal
Penelitian Hasil Hutan, Vol. 29 No. 4 tahun 2011 halaman 287-300. Karya
DAFTAR ISI
II ANATOMI PENAMPANG LINTANG BATANG 9 JENIS BAMBU
III KORELASI POLA IKATAN PEMBULUH PADA SIFAT FISIK DAN MEKANIK 3 JENIS BAMBU
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pola ikatan pembuluh pada 9 jenis bambu…...……….…… ... 41
2 Hasil uji Duncan untuk persentase serabut……….. ... 50
3 Pola ikatan pembuluh pada bambu yang d iteliti……….. 63
4 Persentase serabut pada 2 jenis bambu ….……….. 68
5 Standar pengujian untuk analisis sifat kimia bambu……… 77
6 Rata-rata nilai kandungan kimia pada berbagai jenis dan pola bambu………... 78
7 Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar ekstraktif pada jenis/pola bambu………... 80
8 Ketebalan dinding sel dan persen serabut D. asper, D. giganteus, C.pergracile dan A.hundsii……….. 82
9 Hasil uji beda Duncan terhadap kandungan abu………... 83
10 Kerapatan ikatan pembuluh dan diameter metaxilem bambu………... 85
11 Hasil uji Duncan terhadap kadar pati bambu ... 88
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Skema Kerangka Pemikiran ……….………. 6
2 Alur penelitian... 7
3 (a). Bentuk pohon bambu A. hundsii secara utuh, (b) Sayatan
mikro pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)……….. 18
4 Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. hundsii.……..….... 18 5 (a). Bentuk pohon bambu A. javonica secara utuh, (b). Sayatan
pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)………. 19
6 Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. javonica………. 19 7 Bentuk pohon bambu M. bacciferasecara utuh ……….. 19 8 (a). M. baccifera bagian pangkal dengan pembesaran 40x
(b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera..…………. 20 9 (a). M. baccifera bagian tengah (pembesaran 40x) (b) Sketsa
pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera..……….. 20
10 (a) Penampang lintang M. baccifera bagian ujung
(pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada
M. baccifera………. 21
11 Bentuk pohon bambu C. pergracile….………..….……… 21 12 (a) Tampilan penampang lintang bambu C. pergracile bagian
pangkal dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan
pembuluh 2 pada C. pergracile……… 22 13 (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian tengah
dengan pembesaran 40x (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada
C. pergracile………. 23
14 (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada
16 (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian pangkal 18 (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian ujung dengan
pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada
D. giganteus...………... 25 19 Bentuk pohon bambu D. strictussecara utuh ….……… 26 20 (a). Penampang lintang Dendrocalamus strictus bagian pangkal
(pembesaran 40x) (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 3 D. strictus... 27 21 (a) Penampang lintang D. strictus bagian tengah dengan
24 (a) Penampang melintang bambu D. asper bagian pangkal dengan
pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4………... 29
31 Bentuk pohon bambu G. atroviolecea……….… 33
32 (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian pangkal dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. atroviolacea……….………. 33
. 33 (a) Penampang lintang bambu Gigantochloa atroviolacea bagian tengah dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. atroviolacea………... 34
34 (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. atroviolacea………... 34
35 Sketsa pola ikatan pembuluh 1 (a) dan 2 (b)…………...……… 35
36 Sketsa pola ikatan pembuluh 3 (c) dan 4 (d)……….. 36
37 Pola ikatan pembuluh pada (a) A. javonica (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh A. javonica, (b) Pola ikatan pembuluh A. hundsii (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 1 pada A. hundsii...……….. 37
38 Pola ikatan pembuluh pada (a) C. pergracile (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile, (b) M. baccifera dengan pembesaran 40x, (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera……….. 38
39 Pola ikatan pembuluh pada (a) D. strictus (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus, (b) Pola ikatan pembuluh D. giganteus (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus ………..39
40 Bentuk rantai serabut pada bagian ujung (a) D. asper, (b) G. atroviolacea dan (c) G. apus ………... 40
41 Kerapatan ikatan pembuluh (/mm2) pada 8 jenis bambu…………... 42
42 Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi pangkal, tengah dan ujung... 43
43 Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi horizontal………. 44
44 Kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai pola………... 45
45 Posisi panjang serabut (µm) berbagai jenis bambu……….. 47
47 Persentase serabut penampang lintang bambu……… 51
48 Hubungan antara kerapatan ikatan pembuluh dan persentase serabut……….. 52
49 Bentuk contoh uji bobot jenis (BJ)... 59
50 Bentuk contoh uji tekan sejajar serat... 59
51 Bentuk contoh uji lentur……….. 60
52 Bentuk contoh uji tarik sejajar serat……… 60
53 Posisi nilai MOR untuk 3 jenis bambu……… 64
54 Posisi nilai MOR (kg/cm2) untuk bambu dengan pola 3 dan 4…….. 65
55 Posisi nilai keteguhan tekan pada 3 jenis bambu………... 67
56 Posisi nilai keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm2) pada bagian batang bambu ……….. 69
57 Posisi jenis bambu berdasar nilai keteguhan tarik (kg/cm2)…………. 70
58 Kadar ekstraktif (%) pada 4 jenis/pola bambu………. 79
59 Kadar abu (%) pada 4 jenis /pola bambu ………... 83
60 Kadar lignin (%) pada 4 jenis/pola bambu………... 86
61 Kadar pati (%) 4 jenis /pola bambu………... 88
62 Kadar alfa selulosa pada 4 jenis/pola bambu………. 91
63 Pemanfaatan bambu berdasarkan pola………... 101
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Panduan penetapan pola ikatan pembuluh berdasar Grosser dan ...
Liese (1971) ... 105
2 Kerapatan ikatan pembuluh pada penampang lintang 8 jenis bambu ... 106
3 Analisis keragaman pengaruh jenis bambu, posisi vertikal batang dan pola pada kerapatan pola pembuluh……… ……… . 107
4 Panjang serabut 8 jenis bambu ... 108
5 Analisis keragaman panjang serabut……… ... 109
6 Analisis keragaman persentase serabut ……… ... 109
7 Nilai Bobot Jenis (BJ) ... 110
8 Nilai MOE dan MOR (kg/cm2) pada beberapa jenis bambu... 111
9 a. Analisis keragaman MOR ……… ... 112
b. Analisis keragaman MOE…. ... 112
10 Nilai keteguhan keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan tarik ... 113
11 a. Analisis keragaman keteguhan tekan………... 114
b. Analisis keragaman keteguhan tarik……… 114
12 Klasifikasi kelas kuat pada kayu... 115
13 Persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas... ... 110
I. PENDAHULUAN UMUM
Latar BelakangPemanfaatan hutan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional telah
melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Peran hutan selama ini baru terfokus pada sisi produksi kayu, sementara hasil
hutan nonkayu yang telah diusahakan oleh masyarakat secara tradisional dan jasa
lingkungan dari ekosistem hutan belum dimanfaatkan secara optimum. Berbagai
kebijakan yang telah dilaksanakan masih belum mampu menyelesaikan
permasalahan di bidang kehutanan. Penerapan kebijakan soft landing hingga kini berdampak pada kesenjangan bahan baku yang diperkirakan mencapai sekitar 26
juta m3 per tahun. Sementara itu, nilai tambah dari produk hutan nonkayu seperti
air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam belum berkembang
seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor ekonomi (Bappenas 2011).
Saat ini kebutuhan bahan baku kayu di tingkat nasional semakin meningkat
sedangkan kemampuan pasokan kayu dari hutan alam terus menurun karena
tingkat deforestasi yang tinggi dari tahun ke tahun (Forest Watch Indonesia 2011).
Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya persediaan bahan baku. Keadaan ini
tentu saja kurang menguntungkan bagi keberadaan dunia usaha perkayuan. Upaya
yang dapat dilakukan agar usaha tetap berlangsung adalah dengan mencari
material yang setara dengan kayu, salah satu yang ditawarkan adalah bambu
yang memiliki sifat seperti kayu dan potensinya cukup besar.
Bambu merupakan tanaman monokotil yang memiliki anatomi sederhana
karena pertumbuhan dan diferensiasi selnya terjadi sangat cepat (Liese 2006).
Struktur jaringan pada bambu tersusun dalam bentuk pola ikatan pembuluh dan
terletak terpencar pada jaringan dasar parenkim. Bambu sebagai bahan substitusi
kayu memiliki keunggulan, yaitu sebagai tanaman yang cepat tumbuh, dapat
dipanen pada umur 4 tahun (memiliki rotasi tebang pendek) sehingga untuk satuan
waktu tertentu mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Ditinjau dari sisi
potensi, negara Indonesia memiliki 143 jenis dari keseluruhan keanekaragaman
bambu di dunia yang berjumlah 1200–1300 jenis (Widjaja 2001) juga 50%
juga dapat ditemukan hampir di setiap pulau di Indonesia (FAO 2002) sehingga
masih banyak peluang untuk memanfaatkan bambu sebagai bahan baku, apalagi
baru 32 jenis bambu saja yang memiliki kegunaan yang jelas (Widjaja et al. 2004). Dengan kelebihan ini diharapkan kebutuhan bahan baku teratasi,
walaupun bambu memiliki kelemahan, yaitu pada umumnya memiliki daya tahan
yang rendah terhadap jamur dan serangga (Barly 1999).
Di antara negara penghasil bambu, China adalah salah satu penghasil
bambu terbesar di dunia (Jifan 1985). Sebagai bahan yang sangat penting, bambu
di negara China digunakan untuk industri perikanan, konstruksi, pulp dan kertas,
bahan kerajinan dan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bambu di
Indonesia mengacu pada hasil penelusuran Nuriyatin (2000), ternyata memiliki
20 jenis kegunaan di masyarakat. Penggunaan bambu bisa berkembang lebih
banyak lagi baik melalui eksplorasi jenis-jenis bambu maupun eksplorasi
penggunaan lain dengan serangkaian kegiatan penelitian. Mengingat keadaan ini,
perlu dilakukan berbagai pendukung penggunaan bambu secara lebih luas
termasuk penggunaan bukan hanya secara tradisional. Dengan demikian terbuka
lebar peluang untuk memanfaatkan bambu secara tepat baik yang menyangkut
mutu maupun ragam penggunaan.
Ada hal yang menjadi pertanyaan, yaitu kenapa beberapa jenis bambu
mempunyai kegunaan tertentu sedangkan jenis bambu yang lain tidak dapat
dipergunakan untuk keperluan itu. Hal ini berarti bahwa suatu jenis bambu
mempunyai ciri tertentu sehingga akan sesuai jika digunakan untuk tujuan
tertentu saja. Pendekatan yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut
adalah melalui serangkaian kegiatan penelitian sifat-sifat dasar terutama dimulai
dari penelusuran sifat anatomi. Penelitian sifat anatomi mempunyai peranan yang
sangat penting karena dapat menentukan sifat-sifat bambu dan penggunaannya
(Liese 2003).
Penelitian anatomi bambu diawali oleh Ota (1951) yang meneliti pengaruh
persentase elemen struktur pada bobot jenis (BJ) dan kekuatan bambu.
Perkembangan selanjutnya adalah munculnya penelitian Liese (1986) yang
mempelajari tentang karakter dan penggunaan bambu. Setahun kemudian, Liese
anatomi, kimia, fisik, dan mekanik bambu, Mohmod et al. (1990) mendalami tampilan anatomi dan sifat-sifat mekanik dari 3 jenis bambu Malaysia.
Selanjutnya Liese (1992) meneliti struktur bambu dan hubungannya dengan
sifat-sifat dan penggunaan di masyarakat. Penelitian ini lebih diperdalam lagi oleh
Liese (2003) melalui pengamatan pengaruh struktur bambu terhadap
pemanfaatannya. Penelitian yang lebih terperinci tentang karakterisasi anatomi
bambu telah dilakukan oleh Londono et al. (2002) yang mencoba menganalisis karakter anatomi bambu Guadua angustifolia. Penelitian yang sama telah dilakukan juga oleh Nuriyatin (2000), yaitu tentang sifat-sifat dasar bambu pada
beberapa tujuan penggunaan namun belum sampai pada tahap analisis hubungan
antara pola struktur dan tujuan penggunaan. Dengan demikian kajian lebih
mendalam perlu dikembangkan mengingat manfaatnya bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan penggunaannya di masyarakat.
Batang bambu tersusun selain atas 50% parenkim, 40% serabut, juga oleh
10% sel-sel penyalur (Dransfield dan Widjaja 1995). Grosser dan Liese (l973)
mengemukakan bahwa struktur anatomi batang-batang bambu terutama
ditentukan oleh ikatan pembuluh yang tertanam dalam jaringan parenkim. Lebih
jauh dinyatakan pula oleh Lwin et al. (2007) bahwa struktur anatomi penampang melintang ruas bambu ditentukan oleh bentuk, ukuran, susunan dan jumlah ikatan
pembuluh. Ikatan pembuluh itu sendiri merupakan susunan pola pembuluh yang
terdiri atas 2 pembuluh metaxilem dengan 1 atau 2 elemen protoxilem yang kecil
dan floem (Liese 1980). Ikatan pembuluh merupakan karakteristik anatomi yang
stabil karena tidak dipengaruhi umur (Londono et al. 2002). Dengan demikian penelitian pada anatomi bambu selalu mempertimbangkan tampilan ikatan
pembuluh sebagai suatu hal yang penting (Liese 2006).
Grosser dan Liese (l971) menyatakan bahwa pola ikatan pembuluh yang
terdapat pada bambu terdiri atas 4 jenis yaitu tipe 1, 2, 3, dan 4 yang menjadi
pembeda antargenus dan antarspesies. Perkembangan lebih lanjut, pola ikatan
pembuluh menjadi 5 jenis dengan jenis yang ke-5 merupakan pengembangan pola
1 (Liese 1985, Taihui dan Wenwei 1985). Liese (1998) menemukan
pengembangan pola ke-2 sehingga secara keseluruhan ada 6 jenis pola ikatan
Pola ikatan pembuluh merupakan susunan pola pembuluh yang didukung oleh
serabut baik berada dalam bentuk selubung sklerenkim (pola 1 dan 2) maupun
berbentuk rantai serabut (pola 3 dan 4). Keberadaan serabut pada setiap pola
cukup penting karena memberikan kontribusi 60-70% terhadap bobot total
jaringan batang (Lwin etal. 2007). Tempat beradanya dan distribusi serabut akan mempengaruhi sifat-sifat tertentu seperti misalnya mempengaruhi BJ dan sifat
kekuatan. Kandungan serabut yang tinggi juga berpengaruh pada produksi pulp
(Liese 1992). Demikian pula panjang serabut mempengaruhi sifat-sifat kekuatan.
Struktur lamela serabut pada bagian pinggir tepi batang berpengaruh pada
sifat-sifat mekanik. Kandungan dan juga penyebaran serabut pada setiap pola akan
memberikan kontribusi pada tujuan pemakaian akhir bambu di mana di antara
ke-4 pola ikatan yang ada masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan
perbedaan ini signifikan diantara spesies dan genus (Londono et al. 2002, Grosser dan Liese 1971).
Dalam penggunaan bambu sebagai bahan kostruksi ternyata bambu
memiliki nilai kekuatan yang cenderung meningkat dari bagian pangkal ke bagian
ujung (Nuriyatin 2000). Penelitian Nuriyatin (2001) telah menganalisis sifat dasar
bambu dikaitkan dengan tujuan penggunaan, melalui penelitian tersebut
terungkap bahwa dari 5 jenis bambu yang diteliti yaitu seluruhnya layak untuk
dijadikan bahan baku pulp dan kertas. Hasil pengujian mutu suara menyatakan
bahwa Gigantochloa atroviolacea (bambu hitam) memiliki mutu suara terbaik karena selain memiliki BJ cukup tinggi juga ikatan pembuluh dalam batang
menyebar secara merata. Penelitian ini belum sempurna karena tidak sampai pada
keterkaitan langsung antara pola ikatan pembuluh dengan tujuan penggunaan.
Berdasarkan analisa data dan hasil penelitian sebelumnya diduga bahwa pola
ikatan pembuluh berpengaruh pada pola penggunaan.
Struktur kimia bambu memiliki peranan penting karena mempunyai banyak
hubungan dengan penggunaan (Liese l992, Liese 2006) diantaranya bahwa
kandungan holoselolosa dari bahan tanaman adalah penting untuk industri seperti
pulp dan kertas (Youdi et al. 1985). Demikian pula kandungan ekstraktif suatu jenis bambu akan memberikan informasi terhadap penggunaan karena dapat
penurunan keseimbangan kadar air (Liese 2006). Dengan demikian sifat kimia
merupakan sifat yang selalu diikutsertakan dalam studi sifat dasar.
Berdasar uraian tersebut diduga terdapat hubungan antara pola ikatan
pembuluh dengan keragaman sifat dasar. Hal ini berarti juga diduga ada
keterkaitan antara pola ikatan pembuluh dengan penggunaan. Sehubungan
dengan hal itu maka perlu dikembangkan penelitian sehingga dapat diperoleh
dasar yang kuat untuk membentuk pola pendugaan pemanfaatan bambu. Untuk
lebih jelasnya alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat diamati pada
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran
Bentuk hubungan antara pola ikatan pembuluh dengan sifat dasar
Analisis
Pendugaan pola penggunaan bambu
Keragaman ikatan pembuluh keragaman spesies keragaman sifat dasar Riset sifat-sifat dasar
Jumlah spesies bambu banyak (143 jenis)
Spesies yang diketahui kegunaannya sedikit
Tujuan Penelitian
Penelitian 3
Penelitian 2
Sifat fisik dan mekanik
Sifat anatomi
Pengolahan data
Analisis dan integrasi elemen dasar bambu
Tujuan penggunaan
Analisis pola penggunaan Parameter penggunaan
Penelitian 4
Gambar 2. Alur penelitian
Penelitian 1
Pengukuran sifat-sifat dasar Penetapan pola ikatan pembuluh
Tujuan penelitian ini ialah menentukan penggunaan bambu berdasarkan
karakter yang dimiliki oleh pola ikatan pembuluh.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini ialah bahwa pola ikatan pembuluh pada
penampang lintang bambu akan memberikan kontribusi terhadap karakter
bambu, dan pola ikatan pembuluh akan membantu dalam mengarahkan pola
penggunaan bambu
Manfaat Penelitian
Bagi peneliti diharapkan pola ikatan pembuluh memberikan kontribusi
dalam pemanfaatan bambu secara optimum dengan melibatkan secara langsung
sebagai faktor tunggal ataupun bagian dari variabel yang menentukan pola
pemanfaatan bambu. Bagi masyarakat/kalangan industriawan diharapkan hasil
penelitian dapat diaplikasikan dalam pendugaan pemanfaatan bambu. Hal ini
didukung dengan cara penetapan pola ikatan pembuluh yang relatif mudah.
Dengan demikian pemanfaatan yang sesuai dengan karakter bambu diharapkan
akan berguna dalam penggunaan bambu sehingga proses dan produk yang
dihasilkan akan optimum. Bagi dunia keilmuan diharapkan hasil penelitian akan
memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu terutama karena peranannya
dalam menemukan hal baru sehingga dapat memanfaatkan sumber daya bambu
secara efisien.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan pada jenis-jenis bambu yang mewakili 4 pola ikatan
pembuluh terutama yang diambil dari koleksi bambu yang tumbuh di Kebun Raya
Bogor dan dari lokasi arboretum Fakultas Kehutanan di Kampus Institut Pertanian
Bogor, Darmaga, Bogor. Pengujian sifat anatomi, fisik, mekanik dan kimia
dilakukan pada posisi pangkal, tengah dan ujung batang khususnya pada bagian
ruas. Penetapan pola ikatan pembuluh dilakukan pada 9 jenis bambu dan
pengolahan data sifat anatomi hanya pada 8 jenis bambu. Pengujian sifat fisik
sifat kimia hanya pada 4 jenis bambu yang mewakili setiap pola ikatan pembuluh.
Pengolahan data menggunakan analisis deskripsi, analisis keragaman dan analisis
DAFTAR PUSTAKA
Barly. 1999. Pengawetan bambu untuk bahan konstruksi bangunan dan mebel (petunjuk teknis). Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.
[Bappenas] Badan perancang pembangunan nasional. 2011. Perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1134/[25D2011].
Darupratomo. 2008. Pengaruh proses pengawetan bambu terhadap karakteristik bambu sebagai bahan bangunan. Prospect,tahun 4, no. 6, hal: 7-20.
Dransfield, Widjaja. E. 1995. Bamboos. Indonesia: Prosea Bogor.
Forest Watch Indonesia. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode 2000-2009. www.fwi.or.id [25 Desember 2011].
[FAO] Food and Agricultural Organizatin. 2002. Non-wood forest products in 15 countries of tropical Asia : A regional and national overview. Vantomme P, Markkula A, Leslie RN, editor.
Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with spesial reference to their vaskular bundles. Wood Sci and Tech 5: 290-312.
Grosser D, Liese W. l973. Present status and problems of bamboo classification. J Arn Abor 54 (2): 293-308
Jifan Z. 1985. Bamboo development in China. Dalam Rao AN, Dhanarajan G, Sastry CB, editor. Proceedings of the International Bamboo Workshop; Hangzhou, People’s Republic of China, October 6-14, 1985.
Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos. http://www.myanmar.gov.mm/Ag/Jur/ProcFo01.10.[3 Nov. 2007]
Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Di dalam: Lessard G dan Chounard A, editor. Proceedings of a Workshop. Singapore, 28-30 Mei 1980.
Liese W. 1986. Characterization and utilization of bamboo. In: Bamboo production and utilization. Proceedings VIII IUFRO World Congress, Ljubljana, Yugoslavia, September 7-21: 11-16.
Liese W. 1987. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada, hal: 196-208.
Liese W. 1992. The structure of bamboo in relation to its properties and utilization. Dalam Bamboo And Its Use, International Symposium On Industrial Use Of Bamboo. Beijing, China, 7-11 Desember 1992, hal: 1 – 6.
Liese W. 1998. The anatomy of bamboo culms. INBAR Technology Report No 18.
Liese W. 2003. Structures of bamboo culm affecting its utilization. Di dalam Xuhe C, Yiping L, Ying H, editor. Proceedings of International Workshop on Bamboo Industrial Utilization. Hubei dan Xianning, Oktober 2003. hlm 6 – 10. penggunaan [tesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Nuriyatin N. 2001. Studi analisa sifat dasar bambu sebagai bahan baku kertas. J
Ilm Pert Ind 3: 56-61.
Ota M. 1951. The influence of the percentage of structural elements on the specific gravity and compressive strength of bamboo splint. J Jappan
Forest Soc 19: 25-47.
Widjaja, EA. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor : LIPI–seri panduan lapangan.
Widjaja EA, Utami NW, Saefudin. 2004. Panduan Membudidyakan Bambu. Bogor : LIPI.
II. ANATOMI PENAMPANG LINTANG BATANG
9 JENIS BAMBU
Abstrak
Ketersediaan bambu yang melimpah serta keterbatasan pemanfaatan bambu mendorong dilakukannya penelitian dasar di bidang anatomi untuk memperoleh landasan ilmiah mengenai karakter bambu yang dapat digunakan untuk mengarahkan pemanfaatan bambu secara optimum. Metode analisis adalah pendekatan regresi dengan peubah boneka dengan melibatkan faktor jenis, posisi bambu secara vertikal (pangkal, tengah, dan ujung), posisi bambu secara horizontal (tepi, tengah, pusat dan dalam), serta pola ikatan pembuluh bambu (pola 1, 2, 3, dan 4). Hasil penelitian ini menetapkan bahwa setiap spesies bambu memiliki pola ikatan pembuluh dari pola 1 sampai pola 4, baik itu pola tunggal ataupun pola kombinasi. Dendrocalamus strictus, bagian ujung batang, bagian tepi penampang lintang, dan pola ikatan pembuluh 1 memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh tertinggi dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan lainnya. Bambu Cephalostachyum pergracile memiliki nilai panjang serabut terendah dibandingkan dengan spesies bambu lain. Panjang serabut tertinggi dimiliki oleh bambu-bambu yang memiliki pola 4. Persen serabut tertinggi pada penampang lintang batang ada pada bagian tepi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa pola ikatan pembuluh mempunyai nilai penting untuk membedakan jenis bambu juga dapat digunakan untuk menentukan arah penggunaan bambu.
Kata kunci: kerapatan ikatan pembuluh, pola, persentase serabut, panjang serabut, penampang lintang
Abstrak
Abundant availability of bamboo and limitations in the use of bamboo encourage basic research in the field of anatomy. The study is expected to provide a scientific basic for the character of bamboo that can be used to direct the optimum utilization of bamboo. The research method is the approach of regression with dummy variables which involved factors of bamboo species, position of bamboo vertical (base, middle, and top), bamboo horizontal position (edge, middle, center, inner) and bamboo patterns (1, 2, 3 and 4 ). The result of this study is that every bamboo species has vascular bundle pattern from 1 to 4 as well as the single patern and the combination pattern. Dendrocalamus strictus species, the culm top, edges of the cross section, vascular bundle pattern 1 have the highest vascular bundle density values andsignificantly different with others.
Cephalostachyum pergracile fiber length has the lowest compared to other
species of bamboo but pattern 4 has the highest fiber length. The highest percent of fibers in the cross section of the stem is at the edge. The conclusion of this study is the vascular bundle patterns have important value for distinguishing species of bamboo and they can also be used to determine the direction of bamboo’s utilization.
Pendahuluan
Bambu merupakan tanaman monokotil yang tersedia melimpah di Indonesia
bahkan di dunia, yang digunakan untuk berbagai tujuan walaupun dalam hal ini
tidak semua spesies sesuai untuk tujuan tertentu. Bambu mempunyai sifat-sifat
fisik dan mekanik yang berbeda sehingga menghasilkan produk dengan mutu
yang berbeda pula. Pengetahuan mengenai komponen anatomi bambu memegang
peranan penting bahkan diperlukan dalam penemuan suatu produk baru. Dengan
demikian, riset dasar sangat penting untuk mendapatkan suatu karakterisasi
bambu. Menurut American Bamboo Society (1999), riset pada sifat-sifat dasar
akan membawa kepada penggunaan yang lebih baik dan peningkatan nilai tambah
produk. Untuk penggunaan yang lebih optimum diperlukan kriteria tertentu yang
sesuai dan sering terkait dengan struktur sel (anatomi) dan sifat-sifat pada bambu
(Liese 1987). Gritsch dan Murphy (2005) menyatakan bahwa struktur anatomi
bambu menentukan sifat dasar terutama sifat fisik dan mekanik.
Bambu dikenal sebagai salah satu tanaman cepat tumbuh sehingga dapat
menjadi alternatif terbaik pengganti kayu di masa datang. Tidak seperti kayu,
bambu hanya memerlukan 3-4 tahun untuk siap tebang dan digunakan (Wahab et al. 2009). Jenis-jenis bambu yang tumbuh di Indonesia sangat banyak dan belum dimanfaatkan secara optimum. Dengan demikian, terbuka peluang untuk
memanfaatkan lebih banyak jenis-jenis bambu yang ada.
Untuk mengenal seluruh jenis bambu relatif sulit karena banyak bambu
yang belum dikenal di masyarakat. Perlu dicari upaya lain agar dapat mengenal
dalam konteks menggunakan bambu secara tepat dengan lebih mudah. Penelitian
ini mencoba untuk mengamati secara mendalam sifat anatomi penampang lintang
bambu dengan memperhatikan berbagai informasi yang muncul dari penampang
lintang bambu-bambu yang diujikan. Penelitian pada bidang anatomi sebaiknya
dikembangkan untuk menggali potensi yang dimiliki bambu sehingga hasilnya
dapat dipergunakan terutama dalam memanfaatkan bambu secara optimum (Lwin
etal. 2007).
Seperti halnya tanaman monokotil lain, anatomi batang bambu tersusun
selain oleh parenkim sebagai jaringan dasar juga oleh ikatan pembuluh yang
spesies bambu terkait dengan jenis pola ikatan pembuluh (Grosser dan Liese
1971). Tampilan pola ikatan pembuluh itu sendiri akan dapat dilihat dengan jelas
pada penampang melintang bambu (Lwin et al. 2007). Bambu memiliki 4 pola ikatan pembuluh yaitu tipe 1 yang terdapat pada genus Leptomorph seperti
Arundinaria, tipe 2 terdapat pada genus Melocanna dan Cephalostachyum,
sedangkan tipe 3 dan 4 muncul pada genus Dendrocalamus dan Gigantochloa.
Perbedaan struktur anatomi yang mendasar antara keempat pola mempengaruhi
sifat-sifat kerapatan, kekuatan, dan kelenturan (Grosser dan Liese 1971). Dengan
demikian, melalui penelitian sifat anatomi diharapkan akan dapat diketahui
sifat-sifat struktural dan hubungan dengan sifat-sifat dasar lainnya secara lengkap.
Penetapan pola ikatan pembuluh dilakukan pada 9 jenis bambu. Pada
proses selanjutnya sampel bambu yang diambil hanya 8 jenis bambu (tanpa
Gigantochloa atroviolacea) karena setiap pola cukup terwakili oleh 2 jenis
bambu. Diharapkan melalui kegiatan penelitian ini akan diperoleh informasi
secara lengkap mengenai sifat anatomi penampang lintang batang bambu.
Bahan dan Metode
Bahan
Bahan penelitian adalah 9 jenis bambu yang telah berumur 3-4 tahun serta
memiliki pola ikatan pembuluh 1-4 yang ditentukan berdasarkan panduan
penetapan pola ikatan pembuluh bambu oleh Grosser dan Liese (1971) (Lampiran
1) dengan ulangan 3 kali. Bambu-bambu tersebut terdiri atas Arundinaria
hundsii Munro (Ah), Arundinaria javonica (Aj), Melocanna baccifera (Mb),
Cephalostahyum pergracile (Munro)(Cp), Dendrocalamus giganteus (Wallich ex
Munro (Dg/sembilang), Dendrocalamus strictus (Roxb.) Nees (Ds),
Dendrocalamus asper (Schultes f.) (Da/betung/petung), Gigantochloa
atroviolacea (Widjaja) (Gat/hitam atau pring wulung), dan Gigantochloa apus
(J.A. & J.H. Schultes) Kurz (Ga/tali) dengan lokasi pengambilan 6 jenis bambu
pertama di Kebun Raya Bogor, sedangkan lokasi pengambilan 3 jenis bambu yang
Penentuan sifat anatomi
Variabel pengamatan adalah tipe dan kerapatan ikatan pembuluh, panjang
serabut dan persentase serabut. Sampel uji ditetapkan pada penampang lintang
ruas tengah bagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu, sedangkan pada
posisi horizontal (penampang lintang batang), sampel uji ditetapkan pada bagian
tepi, tengah, pusat, dan dalam. Maserasi menggunakan metode Schultze, sedangkan pembuatan preparat sayatan mengacu kepada Sass (1951).
Kerapatan ikatan pembuluh ditentukan berdasarkan perhitungan jumlah pola
ikatan pembuluh untuk setiap luasan tertentu. Persentase serabut ditentukan
dengan menghitung luasan serabut untuk setiap luasan tertentu dalam satuan
persen. Kerapatan ikatan pembuluh dan persentase serabut diukur dengan alat
stereo discovery V8 merk Zeiss dengan kamera Axio Cam M Rc 5 yang
dihubungkan komputer dengan perangkat lunak Axio Vision Rel. 4.6. Sementara pengukuran panjang serabut dilakukan dengan mikroskop. Dokumentasi foto
mikro bambu dilakukan dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 40 kali.
Analisis data
Data dianalisis dengan pendekatan regresi dengan peubah boneka. Peubah
boneka dalam analisis ini adalah 8 (delapan) jenis bambu yang terwakili dalam
peubah X1-X7; 3 (tiga) posisi vertikal yaitu pangkal, tengah, dan ujung yang
terwakili dalam peubah X8 dan X9; 4 (empat) posisi horizontal yaitu tepi, tengah,
pusat, dan dalam yang terwakili dalam X10-X12; 4 (empat) pola bambu yang
terwakili dalam X13- X15. Dalam penentuan panjang serabut hanya ada 12 peubah
boneka (dummy) karena tidak ada peubah untuk posisi horizontal. Kontribusi keseluruhan peubah akan dianalisis dalam persamaan regresi.
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi pola ikatan pembuluh bambu
Pengamatan pola ikatan pembuluh pada 9 jenis bambu memberikan hasil
dilakukan dengan pengamatan bentuk pola pada bagian pusat (setelah bagian
tengah) penampang lintang batang karena bentuk dan ukuran pola telah mencapai
diferensiasi optimum (Londono et al. 2002). Pada bagian tengah batang bambu,
Arundinaria hundsii dan Arundinaria javanica memiliki ikatan pembuluh pola 1,
sedangkan Melocanna baccifera dan Cephalostahyum pergracile baik bagian pangkal, tengah, dan ujung memiliki pola 2. Demikian pula Dendrocalamus
giganteus dan Dendrocalamus strictus memiliki pola 3 pada keseluruhan bagian
batang (pangkal, tengah, dan ujung). Namun, pola pada bambu Dendrocalamus
asper berbeda dengan spesies bambu sebelumnya, yaitu pada bagian pangkal
memiliki pola 4, sedangkan pada bagian tengah dan ujung mempunyai pola 3.
Bambu Gigantochloa atroviolacea dan Gigantochloa apus pada bagian pangkal dan tengah mempunyai pola 4, sedangkan pada bagian ujung mempunyai pola 3.
Selanjutnya, akan diuraikan deskripsi pola ikatan pembuluh untuk setiap jenis
bambu.
Arundinaria hundsii
A. hundsii adalah bambu yang termasuk kelompok bambu monopodial.
Umumnya, ketinggian batang 3 m. Bambu ini memiliki dinding batang tipis
dibandingkan dengan spesies bambu lain, yaitu tebal dinding batang bagian
pangkal rata-rata 0.6 cm, sedangkan bagian ujung rata-rata 0.4 cm. Bentuk pola
pada penampang lintang bambu dapat diamati secara jelas pada bagian tengah dan
bagian dalam yang berbentuk pola 1. Bentuk pola pada bagian tepi belum terlihat
jelas karena rantai pembuluh pusat masih bergabung dengan rantai serabut.
Sementara itu, bentuk pola pada bagian tengah dan dalam terlihat jelas. Selubung
sklerenkim pada bagian tengah lebih tebal dibandingkan dengan bagian dalam.
Adapun gambaran tanaman bambu secara utuh dan sayatan pola ikatan pembuluh
Arundinaria javonica
Seperti halnya spesies bambu sebelumnya, bambu A. javonica adalah bambu yang termasuk kelompok monopodial yang berasal dari negara Jepang (Botanic
Garden of Indonesia 2001). Ketinggian batang bambu ini rata-rata 4 m dengan
tebal dinding batang bagian pangkal rata-rata adalah 0.6 cm dan bagian ujung
adalah 0.4 cm. Umumnya, dinding batang hanya terbagi atas 3 bagian saja yaitu
bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola ikatan pembuluh antara bagian
tengah dan dalam hampir sama, tetapi ada sedikit perbedaan dalam selubung
serabut, yaitu pada bagian dalam ukurannya lebih kecil. Bentuk pola terlihat jelas
pada bagian tengah yaitu membentuk pola 1. Tampilan bambu secara utuh dan
sayatan penampang lintang A. javonica dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan sketsa pola ikatan pembuluh tercantum pada Gambar 6.
Gambar 3. (a). Bentuk pohon bambu A. hundsii secara utuh, (b). Sayatan mikro pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)
parenkim
metaxilem
ruang antar sel
sklerenkim
jar. floem
Gambar 4. Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. hundsii
kulit dalam
(a)
Melocanna baccifera
Bambu M. baccifera berasal dari negara Banglades, Burma, dan India, tetapi telah menyebar luas ke seluruh dunia ( Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini
termasuk kelompok simpodial. Di Kebun Raya Bogor, bambu ini tumbuh dengan
tinggi batang rata-rata 8 m dan tebal dinding batang pangkal adalah 0.7 cm dan
bagian ujung 0.3 cm. Tampilan secara utuh pohon bambu Melocanna baccifera terlihat pada Gambar 7. Uraian sifat anatomi berdasarkan bagian pada batang,
yaitu pada pangkal, tengah, dan ujung.
Gambar 7. Bentuk pohon bambu M. baccifera secara utuh
Gambar 5. (a). Bentuk pohon bambu A. javonica secara utuh, (b). Sayatan pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)
parenkim
metaxilem
ruang antar sel
sklerenkim jar. floem
Gambar 6. Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. javonica
kulit dalam
(a)
Pangkal
Pola ikatan pembuluh pada bambu M. baccifera merupakan pola 2 yang terlihat jelas pada bagian tengah penampang lintang batang. Pada bagian tepi
penampang lintang, selubung serabut masih menyatu dengan rantai pembuluh
pusat. Sementara itu, pada bagian tengah penampang lintang batang, bentuk pola
sudah jelas terlihat. Pada bagian dalam, gambaran pola tidak sempurna karena
perluasan selubung sklerenkim pada ruang antar sel sangat sedikit (Gambar 8).
Tengah
Seperti pada bagian pangkal, pola ikatan pembuluh bambu M. baccifera bagian tepi penampang lintang batang belum memberikan gambaran pola yang
jelas. Pada bagian tengah penampang lintang batang, gambaran pola sudah
terbaca berupa pola 2 dan bentuk pola yang tidak sempurna muncul pada bagian
dalam seperti yang tertera pada Gambar 9.
Ujung
Pola ikatan pembuluh pada bagian ujung sama seperti pada bagian pangkal
dan tengah, tetapi ukurannya lebih kecil. Pada bagian tepi penampang lintang
batang, gambaran pola tidak jelas terlihat. Pola ikatan pembuluh terlihat jelas
hanya pada bagian tengah. Bagian dalam disusun oleh pola-pola yang tidak
sempurna (Gambar 10).
Cephalostachyum pergracile
Bambu C.pergracile adalah kelompok bambu simpodial yang berasal dari India, Nepal, Burma, Thailand, dan China ( Dransfield dan Widjaja 1995).
Bambu ini tumbuh di Kebun Raya Bogor dengan tinggi batang rata-rata 14 m.
Ketebalan dinding batang pada bagian pangkal rata-rata 1.4 cm, sedangkan bagian
ujung adalah 0.6 cm. Tampilan pohon bambu secara utuh dapat diamati pada
Gambar 11. Pembahasan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi berdasarkan
bagian batang, yakni pangkal, tengah, dan ujung.
Gambar 10. (a). Penampang lintang M. baccifera bagian ujung (pembesaran 40x), (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera
kulit dalam
parenkim
metaxilem
ruang antar sel
sklerenkim
jar. floem
(b)
Pangkal
Pada bagian tepi penampang lintang batang, rantai pembuluh pusat
dikelilingi oleh selubung serabut sehingga belum dapat ditentukan bentuk
polanya. Pada bagian tengah penampang lintang terlihat perluasan selubung
serabut dekat ruang antar sel sehingga bakal pembentukan pola 2 sudah mulai
terlihat. Demikian pula pada bagian pusat, bentuk pola ikatan hampir sama
dengan bagian tengah, tetapi perluasan selubung serabutnya agak memanjang.
Namun, pada bagian dalam, perluasan selubung serabut pada ruang antar sel tidak
seluas seperti pada bagian tepi, tengah, dan pusat (Gambar 12).
Gambar 12. (a) Tampilan penampang lintang bambu C. pergracile bagian pangkal l dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile
Tengah
Pada bagian tepi penampang lintang batang, selubung serabut mengelilingi
seluruh rantai pembuluh pusat. Bagian tengah penampang lintang berbeda dengan
bagian tepi karena perluasan selubung sudah mulai terlihat. Hal yang sama terjadi
pada bagian dalam penampang lintang batang. Dengan demikian, pada bagian
tengah dan bagian dalam, bentuk pola ikatan pembuluh sudah terlihat jelas, yaitu
pola 2 (Gambar 13).
Gambar 11. Bentuk pohon bambu C. pergracile
parenkim
metaxilem
ruang antar sel
sklerenkim
jar. floem
kulit dalam
(a)
Ujung
Pada bagian tepi penampang lintang batang, rantai pembuluh pusat
seluruhnya dikelilingi oleh selubung serabut dengan bagian yang agak menonjol
pada bagian ruang antar sel. Bentuk pola ikatan pada bagian tengah penampang
lintang adalah pola 2. Pada bagian dalam penampang lintang batang, bentuk pola
ikatan pembuluh ada yang tidak sempurna (Gambar 14).
Gambar 13. (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian tengah (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile
Gambar 14. (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile
parenkim
metaxilem
ruang antar sel
sklerenkim
jar. floem
parenkim
metaxilem
ruang antar sel
sklerenkim jar. floem
kulit dalam
kulit dalam
(a)
(b)
Pengamatan pada susunan pola ikatan pembuluh pada posisi vertikal, pada
bagian pangkal, jarak antara ikatan pembuluh agak renggang dan selubung
serabut agak memanjang ke arah radial. Pada bagian tengah, selubung serabut
relatif agak pendek. Pada bagian ujung, selubung serabut lebih tipis dengan tetap
menunjukkan kekhasan pola 2-nya.
Dendrocalamus giganteus
D. giganteus adalah bambu simpodial dengan asal yang belum diketahui
secara pasti, tetapi kemungkinan berasal dari Burma dan Thailand (Dransfield dan
Widjaja 1995). Di Kebun Raya Bogor, tinggi batang bambu ini rata-rata 24 m.
Rata-rata tebal dinding batang bagian pangkal adalah 2.4 cm, sedangkan pada
bagian ujung adalah 0.6 cm. Adanya perbedaan yang mencolok dari ketebalan
dinding batang juga terlihat dari perbedaan diameter batang antara bagian pangkal
dan bagian ujung (Gambar 15). Selanjutnya, diuraikan sifat anatomi pada bagian
pangkal, tengah, dan ujung bambu.
Pangkal
Pada bagian tepi penampang lintang batang, sebagian besar sudah terlihat
cikal bakal munculnya pola 3, yaitu dengan adanya rantai serabut, sedangkan pada
bagian tengah penampang lintang sudah memunculkan bentuk pola 3 dengan
bentuk rantai serabut yang membulat. Bentuk pola yang hampir sama juga ada
pada bagian pusat dengan rantai serabut yang lebih pipih dan memanjang. Pada
bagian dalam, bentuk pola ikatan pembuluhnya tidak sempurna. Gambar 15. Tampilan utuh bambu D. giganteus
rantai serabut parenkim
metaxilem
ruang antar sel
Tengah
Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola tidak terlihat karena
pembuluh pusat dan rantai serabut masih menyatu. Pada bagian tengah
penampang lintang, bentuk pola sudah terlihat jelas dengan rantai serabut yang
bulat dan agak runcing pada bagian ujungnya. Pada bagian pusat, bentuk pola
hampir sama dengan tengah penampang lintang, tetapi bentuk rantai serabut
ramping. Bentuk yang hampir sama ditemukan pada bagian dalam, tetapi
dikombinasikan juga dengan adanya pola yang tidak sempurna karena tidak
mengandung rantai serabut (Gambar 17).
Ujung
Bentuk pola pada seluruh bagian penampang lintang bambu bagian ujung
hampir sama dengan bagian tengah dengan ukuran yang lebih kecil. Pada bagian
tepi penampang lintang batang, bentuk pola belum terlihat. Pada bagian tengah,
bentuk pola sudah terlihat, yaitu pola 3. Pada bagian dalam penampang lintang,
bentuk pola tidak sempurna ( Gambar 18).
Gambar 16. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian pangkal (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus
Susunan pola pada berbagai posisi vertikal terlihat berbeda. Pada bagian
pangkal bentuk rantai serabut ramping agak melengkung ke arah tangensial.
Sementara pada bagian tengah rantai serabut membulat agak melengkung
walaupun sebagian kecil berbentuk lurus (tidak melengkung). Pada bagian ujung
bentuk rantai serabut membulat dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan
bagian pangkal dan tengah.
Dendrocalamus strictus
Bambu D. strictus termasuk ke dalam bambu simpodial yang berasal dari negara India, Nepal, Banglades, Burma dan Thailand (Dransfield danWidjaja
1995). Di kebun raya Bogor, bambu ini tumbuh dengan rata-rata tinggi batang
adalah 9 m dengan rata-rata tebal dinding batang bagian pangkal adalah 1.5 cm
(Gambar 19). Pada bagian ujung, penampang lintang batang berbentuk solid (tidak berongga). Tahapan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi pada pangkal,
tengah dan ujung batang.
Pangkal
Gambar 18. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian ujung (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3pada D. giganteus
Gambar 19. Bentuk pohon bambu D. strictus secara utuh
kulit dalam
Pola ikatan pembuluh bambu D. strictus bagian pangkal adalah pola 3 yang tampak jelas pada bagian tengah penampang lintang batang dengan rantai
serabut berbentuk setengah bulatan. Pada bagian dalam, bentuk pola tampak
tidak sempurna karena hanya terdiri atas rantai pembuluh pusat (Gambar 20).
Tengah
Pola ikatan pembuluh pada bagian tengah mempunyai bentuk yang sama
dengan bagian pangkal dan ujung, hanya ukuran dan kerapatannya saja yang
berbeda. Bentuk rantai serabut berupa setengah bulatan yang kelihatan jelas pada
bagian tengah dan pusat penampang lintang batang sementara pada bagian tepi
rantai serabut masih bergabung dengan dengan rantai pembuluh pusat sementara
pada bagian dalam bentuk pola tidak sempurna karena rantai serabut tidak ada
lagi (Gambar 21).
Ujung
Bentuk pola ikatan pembuluh pada bagian ujung agak berbeda
dibandingkan dengan bagian pangkal dan tengah karena bentuknya ramping.
Rantai serabut setengah bulatan yang lonjong yang terlihat jelas polanya pada
bagian tengah. Perubahan bentuk pola yang sangat mendadak terlihat antara
bagian tepi dengan tengah yang diduga terjadi karena dinding batang yang sempit
(Gambar 22).
Dendrocalamus asper
Bambu D. asper adalah bambu kelompok simpodial yang berasal dari Jawa dan Malaysia (Botanic Garden of Indonesia 2001). Tingggi batang bambu
rata-rata 21 m dengan diameter batang pada bagian pangkal sebesar 1.8 cm sedangkan
ketebalan batang pada bagian ujung adalah 0.8 cm. Tampilan bambu D. asper secara utuh dapat diamati pada Gambar 23. Uraian sifat anatomi pada berbagai
posisi vertikal dijelaskan pada uraian selanjutnya.
Gambar 21. (a) Penampang lintang D. strictus bagian tengah dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus
Gambar 22. (a) Penampang melintang D. strictus bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus
rantai serabut
sklerenkim metaxilem
ruang antar sel parenkim
jar. floem
kulit dalam
Pangkal
Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh
tampak terdiri atas 2 bagian yaitu rantai pembuluh pusat dan rantai serabut.
Ukuran rantai serabut lebih besar dibandingkan rantai pembuluh pusat. Pada
bagian tengah penampang lintang, sudah terlihat bentuk pola yaitu pola 4 dengan
bentuk rantai serabut agak membulat dan tebal. Demikian pula pada bagian pusat
bentuk pola 4 terlihat jelas dengan sedikit perbedaan dalam bentuk rantai
serabutnya yang lebih memanjang. Sementara pada bagian dalam bentuk pola
mirip dengan bagian pusat namun dengan rantai serabut yang memanjang tipis
atau bahkan berbentuk tidak sempurna (Gambar 24).
Tengah
Pada bagian tepi penampang lintang batang, kedua rantai serabut saling
bersambungan sehingga rantai pembuluh pusat seperti berada di tengah-tengah
serabut. Pada bagian tengah penampang lintang batang, bentuk pola ikatan
pembuluh terlihat jelas membentuk pola ikatan pembuluh 4 dan sebagian kecil
muncul pola ikatan pembuluh 3 (Gambar 25). Hal sama juga terlihat pada bagian
pusat penampang lintang, hanya bentuk kedua rantai serabut relatif memanjang Gambar 23. Bentuk pohon bambu D. asper
dan pada bagian ini terbentuk pola 3 dan 4. Pada bagian dalam bentuk pola ikatan
pembuluh ada yang sempurna dan tidak sempurna.
Ujung
Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh
belum terlihat karena rantai serabut masih menyatu. Sedangkan pada bagian
tengah penampang lintang sudah terlihat pemisahan rantai serabut membentuk
pola 3. Pada bagian pusat bentuk kedua rantai serabut terlihat memanjang dan
menjadi tidak sempurna pada bagian dalam (Gambar 26).
Gigantochloa apus
G. apus adalah bambu yang berasal dari Burma dan Thailand dan termasuk
ke dalam bambu simpodial (Dransfield dan Widjaja 1995). Tinggi batang
rata-rata 17 m dengan diameter batang bagian pangkal adalah 7.2 cm. Pada bagian
ujung batang, diameternya adalah 5.2 cm. Ketebalan dinding batang
berturut-turut pada bagian pangkal dan ujung adalah 1 cm dan 0.5 cm (Gambar 27).
Selanjutnya adalah uraian sifat anatomi bambu pada bagian pangkal, tengah, dan
ujung batang.
Pangkal
Pola ikatan pembuluh pada bambu G.apus adalah pola 4 yang kelihatan jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang (Gambar 28).
Rantai serabut yang muncul mendahului rantai pembuluh pusat berbentuk
setengah bulatan dengan ukuran lebih kecil dibandingkan rantai serabut
pasangannya. Pada bagian tepi penampang lintang, kedua rantai serabut masih
menyatu dengan rantai pembuluh pusat sehingga bentuk pola tidak terlihat jelas.
Hal yang agak berbeda terlihat di bagian dalam yaitu bentuk pola tampak tidak
sempurna karena ada sebagian rantai serabut yang hilang.
Gambar 26. Penampang lintang D. asper bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan pembuluh 3 pada D. asper
rantai serabut parenkim
metaxilem
ruang antar sel
sklerenkim jar. floem
Tengah
Pola ikatan pembuluh pada bagian tengah batang adalah pola 4 yang jelas
terlihat pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang. Pada bagian tepi
penampang lintang, rantai serabut sebagian masih bergabung dengan rantai
pembuluh pusat sedangkan yang lainnya terlihat sudah terpisah. Dua rantai
serabut yang bergabung dengan rantai pembuluh pusat memiliki ukuran yang
berbeda (Gambar 29).
Ujung
Pola ikatan pembuluh pada bagian ujung batang adalah pola 3. Rantai
serabut pada bagian ujung berbentuk memanjang ramping di bagian pusat
penampang lintang dan agak membulat pada bagian tengah penampang lintang.
Gigantochloa atroviolacea
G. atrovilacea adalah bambu yang berasal dari negara Indonesia dan
tumbuh secara simpodial (Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini tumbuh di
daerah Dermaga, Bogor (Fakultas Kehutanan) dengan tinggi batang rata-rata 19
m. Diameter batang bagian pangkal adalah 6.2 cm dengan ketebalan dinding
batang 1.1 cm. Diameter batang bagian ujung adalah 5.1 cm dengan ketebalan
dinding batang sebesar 0.6 cm. Gambaran lengkap bambu G. atroviolacea dapat diamati pada Gambar 31. Adapun uraian sifat anatomi batang pada bagian
pangkal, tengah dan ujung diuraikan dalam tulisan selanjutnya.
Pangkal
Pola ikatan pembuluh bambu Gigantochloa atroviolacea adalah pola 4 yang terlihat sangat jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang
batang. Rantai serabut pada bagian tepi penampang lintang masih bergabung
dengan rantai pembuluh pusat sehingga bentuk pola belum terlihat. Pada bagian
dalam sebagian pola tersusun sempurna dan sebagian lagi tidak sempurna.
Bentuk rantai serabut sangat unik dibandingkan dengan pola pada spesies bambu
lain yaitu seperti bulan sabit yang melengkung tajam. Memang ada 2 rantai
serabut yang menyusun pola tetapi ukuran salah satu rantai serabut yang satu Gambar 31. Bentuk pohon bambu G. atroviolecea
Gambar 30. (a) Penampang lintang G. apus bagian ujung ( pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. apus
kulit dalam
lebih kecil dibanding pasangannya (Gambar 32). Sifat anatomi batang bagian
pangkal, tengah, dan ujung batang akan diuraikan pada penjelasan selanjutnya.
Tengah
Pada posisi ini, bambu G. atroviolacea memiliki pola 4 yang terlihat sangat jelas baik pada bagian tengah maupun pusat penampang lintang bambu (Gambar
33). Rantai serabut membentuk setengah bulatan tipis yang melengkung tajam.
Ukuran rantai serabut yang membentuk satu pola ikatan tidak sama. Pola yang
sangat jelas terlihat pada penampang lintang bagian tengah dan pusat sementara
pola ikatan pembuluh pada bagian dalam tidak sempurna.
Ujung
Bagian ujung batang bambu G. atroviolacea memilikipola 3. Pada bagian ujung ini rantai serabut berbentuk setengah bulatan yang lebih tebal dibandingkan
dengan bagian pangkal dan tengah. Dinding batang yang relatif tipis membagi
penampang lintang batang hanya terdiri atas tepi, tengah dan dalam (Gambar 34). Gambar 32. (a). Penampang lintang G. atroviolacea bagian pangkal (pembesaran