• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang

Pemanfaatan hutan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional telah melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Peran hutan selama ini baru terfokus pada sisi produksi kayu, sementara hasil hutan nonkayu yang telah diusahakan oleh masyarakat secara tradisional dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan belum dimanfaatkan secara optimum. Berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan masih belum mampu menyelesaikan permasalahan di bidang kehutanan. Penerapan kebijakan soft landing hingga kini berdampak pada kesenjangan bahan baku yang diperkirakan mencapai sekitar 26 juta m3 per tahun. Sementara itu, nilai tambah dari produk hutan nonkayu seperti air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam belum berkembang seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor ekonomi (Bappenas 2011). Saat ini kebutuhan bahan baku kayu di tingkat nasional semakin meningkat sedangkan kemampuan pasokan kayu dari hutan alam terus menurun karena tingkat deforestasi yang tinggi dari tahun ke tahun (Forest Watch Indonesia 2011). Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya persediaan bahan baku. Keadaan ini tentu saja kurang menguntungkan bagi keberadaan dunia usaha perkayuan. Upaya yang dapat dilakukan agar usaha tetap berlangsung adalah dengan mencari material yang setara dengan kayu, salah satu yang ditawarkan adalah bambu yang memiliki sifat seperti kayu dan potensinya cukup besar.

Bambu merupakan tanaman monokotil yang memiliki anatomi sederhana karena pertumbuhan dan diferensiasi selnya terjadi sangat cepat (Liese 2006). Struktur jaringan pada bambu tersusun dalam bentuk pola ikatan pembuluh dan terletak terpencar pada jaringan dasar parenkim. Bambu sebagai bahan substitusi kayu memiliki keunggulan, yaitu sebagai tanaman yang cepat tumbuh, dapat dipanen pada umur 4 tahun (memiliki rotasi tebang pendek) sehingga untuk satuan waktu tertentu mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Ditinjau dari sisi potensi, negara Indonesia memiliki 143 jenis dari keseluruhan keanekaragaman bambu di dunia yang berjumlah 1200–1300 jenis (Widjaja 2001) juga 50% bambu-bambu unggul di dunia ada di Indonesia (Darupratomo 2008). Bambu

juga dapat ditemukan hampir di setiap pulau di Indonesia (FAO 2002) sehingga masih banyak peluang untuk memanfaatkan bambu sebagai bahan baku, apalagi baru 32 jenis bambu saja yang memiliki kegunaan yang jelas (Widjaja et al. 2004). Dengan kelebihan ini diharapkan kebutuhan bahan baku teratasi, walaupun bambu memiliki kelemahan, yaitu pada umumnya memiliki daya tahan yang rendah terhadap jamur dan serangga (Barly 1999).

Di antara negara penghasil bambu, China adalah salah satu penghasil bambu terbesar di dunia (Jifan 1985). Sebagai bahan yang sangat penting, bambu di negara China digunakan untuk industri perikanan, konstruksi, pulp dan kertas, bahan kerajinan dan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bambu di Indonesia mengacu pada hasil penelusuran Nuriyatin (2000), ternyata memiliki 20 jenis kegunaan di masyarakat. Penggunaan bambu bisa berkembang lebih banyak lagi baik melalui eksplorasi jenis-jenis bambu maupun eksplorasi penggunaan lain dengan serangkaian kegiatan penelitian. Mengingat keadaan ini, perlu dilakukan berbagai pendukung penggunaan bambu secara lebih luas termasuk penggunaan bukan hanya secara tradisional. Dengan demikian terbuka lebar peluang untuk memanfaatkan bambu secara tepat baik yang menyangkut mutu maupun ragam penggunaan.

Ada hal yang menjadi pertanyaan, yaitu kenapa beberapa jenis bambu mempunyai kegunaan tertentu sedangkan jenis bambu yang lain tidak dapat dipergunakan untuk keperluan itu. Hal ini berarti bahwa suatu jenis bambu mempunyai ciri tertentu sehingga akan sesuai jika digunakan untuk tujuan tertentu saja. Pendekatan yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah melalui serangkaian kegiatan penelitian sifat-sifat dasar terutama dimulai dari penelusuran sifat anatomi. Penelitian sifat anatomi mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat menentukan sifat-sifat bambu dan penggunaannya (Liese 2003).

Penelitian anatomi bambu diawali oleh Ota (1951) yang meneliti pengaruh persentase elemen struktur pada bobot jenis (BJ) dan kekuatan bambu. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya penelitian Liese (1986) yang mempelajari tentang karakter dan penggunaan bambu. Setahun kemudian, Liese (1987) meneliti sifat-sifat dasar bambu yang menginformasikan sifat-sifat

anatomi, kimia, fisik, dan mekanik bambu, Mohmod et al. (1990) mendalami tampilan anatomi dan sifat-sifat mekanik dari 3 jenis bambu Malaysia. Selanjutnya Liese (1992) meneliti struktur bambu dan hubungannya dengan sifat- sifat dan penggunaan di masyarakat. Penelitian ini lebih diperdalam lagi oleh Liese (2003) melalui pengamatan pengaruh struktur bambu terhadap pemanfaatannya. Penelitian yang lebih terperinci tentang karakterisasi anatomi bambu telah dilakukan oleh Londono et al. (2002) yang mencoba menganalisis karakter anatomi bambu Guadua angustifolia. Penelitian yang sama telah dilakukan juga oleh Nuriyatin (2000), yaitu tentang sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan penggunaan namun belum sampai pada tahap analisis hubungan antara pola struktur dan tujuan penggunaan. Dengan demikian kajian lebih mendalam perlu dikembangkan mengingat manfaatnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan penggunaannya di masyarakat.

Batang bambu tersusun selain atas 50% parenkim, 40% serabut, juga oleh 10% sel-sel penyalur (Dransfield dan Widjaja 1995). Grosser dan Liese (l973) mengemukakan bahwa struktur anatomi batang-batang bambu terutama ditentukan oleh ikatan pembuluh yang tertanam dalam jaringan parenkim. Lebih jauh dinyatakan pula oleh Lwin et al. (2007) bahwa struktur anatomi penampang melintang ruas bambu ditentukan oleh bentuk, ukuran, susunan dan jumlah ikatan pembuluh. Ikatan pembuluh itu sendiri merupakan susunan pola pembuluh yang terdiri atas 2 pembuluh metaxilem dengan 1 atau 2 elemen protoxilem yang kecil dan floem (Liese 1980). Ikatan pembuluh merupakan karakteristik anatomi yang stabil karena tidak dipengaruhi umur (Londono et al. 2002). Dengan demikian penelitian pada anatomi bambu selalu mempertimbangkan tampilan ikatan pembuluh sebagai suatu hal yang penting (Liese 2006).

Grosser dan Liese (l971) menyatakan bahwa pola ikatan pembuluh yang terdapat pada bambu terdiri atas 4 jenis yaitu tipe 1, 2, 3, dan 4 yang menjadi pembeda antargenus dan antarspesies. Perkembangan lebih lanjut, pola ikatan pembuluh menjadi 5 jenis dengan jenis yang ke-5 merupakan pengembangan pola 1 (Liese 1985, Taihui dan Wenwei 1985). Liese (1998) menemukan pengembangan pola ke-2 sehingga secara keseluruhan ada 6 jenis pola ikatan pembuluh.

Pola ikatan pembuluh merupakan susunan pola pembuluh yang didukung oleh serabut baik berada dalam bentuk selubung sklerenkim (pola 1 dan 2) maupun berbentuk rantai serabut (pola 3 dan 4). Keberadaan serabut pada setiap pola cukup penting karena memberikan kontribusi 60-70% terhadap bobot total jaringan batang (Lwin etal. 2007). Tempat beradanya dan distribusi serabut akan mempengaruhi sifat-sifat tertentu seperti misalnya mempengaruhi BJ dan sifat kekuatan. Kandungan serabut yang tinggi juga berpengaruh pada produksi pulp (Liese 1992). Demikian pula panjang serabut mempengaruhi sifat-sifat kekuatan. Struktur lamela serabut pada bagian pinggir tepi batang berpengaruh pada sifat- sifat mekanik. Kandungan dan juga penyebaran serabut pada setiap pola akan memberikan kontribusi pada tujuan pemakaian akhir bambu di mana di antara ke- 4 pola ikatan yang ada masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan perbedaan ini signifikan diantara spesies dan genus (Londono et al. 2002, Grosser dan Liese 1971).

Dalam penggunaan bambu sebagai bahan kostruksi ternyata bambu memiliki nilai kekuatan yang cenderung meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung (Nuriyatin 2000). Penelitian Nuriyatin (2001) telah menganalisis sifat dasar bambu dikaitkan dengan tujuan penggunaan, melalui penelitian tersebut terungkap bahwa dari 5 jenis bambu yang diteliti yaitu seluruhnya layak untuk dijadikan bahan baku pulp dan kertas. Hasil pengujian mutu suara menyatakan bahwa Gigantochloa atroviolacea (bambu hitam) memiliki mutu suara terbaik karena selain memiliki BJ cukup tinggi juga ikatan pembuluh dalam batang menyebar secara merata. Penelitian ini belum sempurna karena tidak sampai pada keterkaitan langsung antara pola ikatan pembuluh dengan tujuan penggunaan. Berdasarkan analisa data dan hasil penelitian sebelumnya diduga bahwa pola ikatan pembuluh berpengaruh pada pola penggunaan.

Struktur kimia bambu memiliki peranan penting karena mempunyai banyak hubungan dengan penggunaan (Liese l992, Liese 2006) diantaranya bahwa kandungan holoselolosa dari bahan tanaman adalah penting untuk industri seperti pulp dan kertas (Youdi et al. 1985). Demikian pula kandungan ekstraktif suatu jenis bambu akan memberikan informasi terhadap penggunaan karena dapat mengontrol keawetan juga bertanggung jawab terhadap peningkatan BJ dan

penurunan keseimbangan kadar air (Liese 2006). Dengan demikian sifat kimia merupakan sifat yang selalu diikutsertakan dalam studi sifat dasar.

Berdasar uraian tersebut diduga terdapat hubungan antara pola ikatan pembuluh dengan keragaman sifat dasar. Hal ini berarti juga diduga ada keterkaitan antara pola ikatan pembuluh dengan penggunaan. Sehubungan dengan hal itu maka perlu dikembangkan penelitian sehingga dapat diperoleh dasar yang kuat untuk membentuk pola pendugaan pemanfaatan bambu. Untuk lebih jelasnya alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat diamati pada Gambar 1 sedangkan kerangka penelitian terdapat pada Gambar 2.

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

Bentuk hubungan antara pola ikatan pembuluh dengan sifat dasar Analisis

Pendugaan pola penggunaan bambu

Keragaman ikatan pembuluh  keragaman spesies  keragaman sifat dasar Riset sifat-sifat dasar

Pola ikatan pembuluh

Kelemahan:

 Bernuansamiskin

 Dipergunakan berdasarkan kebiasaan

 Tingkat keawetan yang rendah

Sangat penting karena:  Penentu anatomi

batang bambu

 Dasar klasifikasi sbg

pembeda antar spesies dan genus

 Karakteristik anatomi yang stabil Kelebihan:  Dikenal luas  Dipergunakan untuk berbagai penggunaan Peluang:

 Jumlah spesies bambu banyak (143 jenis)

 Spesies yang diketahui kegunaannya sedikit

( 32 jenis)

Riset bidang anatomi

Sifat fisik mekanik Sifat kimia

Kelangkaan kayu

B a m b u

Pengembangan berbagai riset ilmiah

Tujuan Penelitian

Penelitian 3

Penelitian 2

Sifat fisik dan mekanik Sifat anatomi

Pengolahan data

Analisis dan integrasi elemen dasar bambu

Tujuan penggunaan

Analisis pola penggunaan Parameter penggunaan

Penelitian 4

Gambar 2. Alur penelitian

Penelitian 1

Pengukuran sifat-sifat dasar Penetapan pola ikatan pembuluh

Tujuan penelitian ini ialah menentukan penggunaan bambu berdasarkan karakter yang dimiliki oleh pola ikatan pembuluh.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini ialah bahwa pola ikatan pembuluh pada penampang lintang bambu akan memberikan kontribusi terhadap karakter bambu, dan pola ikatan pembuluh akan membantu dalam mengarahkan pola penggunaan bambu

Manfaat Penelitian

Bagi peneliti diharapkan pola ikatan pembuluh memberikan kontribusi dalam pemanfaatan bambu secara optimum dengan melibatkan secara langsung sebagai faktor tunggal ataupun bagian dari variabel yang menentukan pola pemanfaatan bambu. Bagi masyarakat/kalangan industriawan diharapkan hasil penelitian dapat diaplikasikan dalam pendugaan pemanfaatan bambu. Hal ini didukung dengan cara penetapan pola ikatan pembuluh yang relatif mudah. Dengan demikian pemanfaatan yang sesuai dengan karakter bambu diharapkan akan berguna dalam penggunaan bambu sehingga proses dan produk yang dihasilkan akan optimum. Bagi dunia keilmuan diharapkan hasil penelitian akan memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu terutama karena peranannya dalam menemukan hal baru sehingga dapat memanfaatkan sumber daya bambu secara efisien.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan pada jenis-jenis bambu yang mewakili 4 pola ikatan pembuluh terutama yang diambil dari koleksi bambu yang tumbuh di Kebun Raya Bogor dan dari lokasi arboretum Fakultas Kehutanan di Kampus Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor. Pengujian sifat anatomi, fisik, mekanik dan kimia dilakukan pada posisi pangkal, tengah dan ujung batang khususnya pada bagian ruas. Penetapan pola ikatan pembuluh dilakukan pada 9 jenis bambu dan pengolahan data sifat anatomi hanya pada 8 jenis bambu. Pengujian sifat fisik mekanik pada 3 jenis bambu (terkait dengan persyaratan sampel uji). Pengujian

sifat kimia hanya pada 4 jenis bambu yang mewakili setiap pola ikatan pembuluh. Pengolahan data menggunakan analisis deskripsi, analisis keragaman dan analisis regresi dengan peubah boneka (dummy).

DAFTAR PUSTAKA

Barly. 1999. Pengawetan bambu untuk bahan konstruksi bangunan dan mebel (petunjuk teknis). Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.

[Bappenas] Badan perancang pembangunan nasional. 2011. Perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1134/[25D2011].

Darupratomo. 2008. Pengaruh proses pengawetan bambu terhadap karakteristik bambu sebagai bahan bangunan. Prospect,tahun 4, no. 6, hal: 7-20.

Dransfield, Widjaja. E. 1995. Bamboos. Indonesia: Prosea Bogor.

Forest Watch Indonesia. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode 2000- 2009. www.fwi.or.id [25 Desember 2011].

[FAO] Food and Agricultural Organizatin. 2002. Non-wood forest products in 15 countries of tropical Asia : A regional and national overview. Vantomme P, Markkula A, Leslie RN, editor.

Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with spesial reference to their vaskular bundles. Wood Sci and Tech 5: 290-312.

Grosser D, Liese W. l973. Present status and problems of bamboo classification. J Arn Abor 54 (2): 293-308

Jifan Z. 1985. Bamboo development in China. Dalam Rao AN, Dhanarajan G, Sastry CB, editor. Proceedings of the International Bamboo Workshop; Hangzhou, People’s Republic of China, October 6-14, 1985.

Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos. http://www.myanmar.gov.mm/Ag/Jur/ProcFo01.10.[3 Nov. 2007]

Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Di dalam: Lessard G dan Chounard A, editor. Proceedings of a Workshop. Singapore, 28-30 Mei 1980.

Liese W. 1985. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada, hal : 196-208.

Liese W. 1986. Characterization and utilization of bamboo. In: Bamboo production and utilization. Proceedings VIII IUFRO World Congress, Ljubljana, Yugoslavia, September 7-21: 11-16.

Liese W. 1987. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada, hal: 196-208.

Liese W. 1992. The structure of bamboo in relation to its properties and utilization. Dalam Bamboo And Its Use, International Symposium On Industrial Use Of Bamboo. Beijing, China, 7-11 Desember 1992, hal: 1 – 6. Liese W. 1998. The anatomy of bamboo culms. INBAR Technology Report No

18.

Liese W. 2003. Structures of bamboo culm affecting its utilization. Di dalam Xuhe C, Yiping L, Ying H, editor. Proceedings of International Workshop on Bamboo Industrial Utilization. Hubei dan Xianning, Oktober 2003. hlm 6 – 10.

Liese W. 2006. The Anatomy of bamboo culms. Http://www.inbar.int/ publication/txt/tr18/default2.htm [24 Desember 2006].

Londono X, Camayo GC, Riano NM, Lopez Y. 2002. Characterization of the anatomy of Guadua angustifolia (Poaceae: Bambusoideae) culms. J Am

Bam Soc 16 (1): 18-31.

Nuriyatin N. 2000. Studi analisa sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan penggunaan [tesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Nuriyatin N. 2001. Studi analisa sifat dasar bambu sebagai bahan baku kertas. J

Ilm Pert Ind 3: 56-61.

Ota M. 1951. The influence of the percentage of structural elements on the specific gravity and compressive strength of bamboo splint. J Jappan

Forest Soc 19: 25-47.

Taihui W, Wenwei C. 1985. A Study on the anatomy of the vascular bundles of bamboos from China. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada.

Widjaja, EA. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor : LIPI–seri panduan lapangan.

Widjaja EA, Utami NW, Saefudin. 2004. Panduan Membudidyakan Bambu. Bogor : LIPI.

Youdi C, Wenlong Q, Xiuling L, Jianping G, Nimanna. 1985. The Chemical Composition of Ten Bamboo Spesies. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6- 14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's Republic of China & International Development Research Centre, Canada.

II. ANATOMI PENAMPANG LINTANG BATANG

9 JENIS BAMBU

Abstrak

Ketersediaan bambu yang melimpah serta keterbatasan pemanfaatan bambu mendorong dilakukannya penelitian dasar di bidang anatomi untuk memperoleh landasan ilmiah mengenai karakter bambu yang dapat digunakan untuk mengarahkan pemanfaatan bambu secara optimum. Metode analisis adalah pendekatan regresi dengan peubah boneka dengan melibatkan faktor jenis, posisi bambu secara vertikal (pangkal, tengah, dan ujung), posisi bambu secara horizontal (tepi, tengah, pusat dan dalam), serta pola ikatan pembuluh bambu (pola 1, 2, 3, dan 4). Hasil penelitian ini menetapkan bahwa setiap spesies bambu memiliki pola ikatan pembuluh dari pola 1 sampai pola 4, baik itu pola tunggal ataupun pola kombinasi. Dendrocalamus strictus, bagian ujung batang, bagian tepi penampang lintang, dan pola ikatan pembuluh 1 memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh tertinggi dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan lainnya. Bambu Cephalostachyum pergracile memiliki nilai panjang serabut terendah dibandingkan dengan spesies bambu lain. Panjang serabut tertinggi dimiliki oleh bambu-bambu yang memiliki pola 4. Persen serabut tertinggi pada penampang lintang batang ada pada bagian tepi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa pola ikatan pembuluh mempunyai nilai penting untuk membedakan jenis bambu juga dapat digunakan untuk menentukan arah penggunaan bambu.

Kata kunci: kerapatan ikatan pembuluh, pola, persentase serabut, panjang serabut, penampang lintang

Abstrak

Abundant availability of bamboo and limitations in the use of bamboo encourage basic research in the field of anatomy. The study is expected to provide a scientific basic for the character of bamboo that can be used to direct the optimum utilization of bamboo. The research method is the approach of regression with dummy variables which involved factors of bamboo species, position of bamboo vertical (base, middle, and top), bamboo horizontal position (edge, middle, center, inner) and bamboo patterns (1, 2, 3 and 4 ). The result of this study is that every bamboo species has vascular bundle pattern from 1 to 4 as well as the single patern and the combination pattern. Dendrocalamus strictus species, the culm top, edges of the cross section, vascular bundle pattern 1 have the highest vascular bundle density values andsignificantly different with others.

Cephalostachyum pergracile fiber length has the lowest compared to other

species of bamboo but pattern 4 has the highest fiber length. The highest percent of fibers in the cross section of the stem is at the edge. The conclusion of this study is the vascular bundle patterns have important value for distinguishing species of bamboo and they can also be used to determine the direction of bamboo’s utilization.

Key word : vascular bundle density, pattern, fibre percentage, fibre length, cross section

Pendahuluan

Bambu merupakan tanaman monokotil yang tersedia melimpah di Indonesia bahkan di dunia, yang digunakan untuk berbagai tujuan walaupun dalam hal ini tidak semua spesies sesuai untuk tujuan tertentu. Bambu mempunyai sifat-sifat fisik dan mekanik yang berbeda sehingga menghasilkan produk dengan mutu yang berbeda pula. Pengetahuan mengenai komponen anatomi bambu memegang peranan penting bahkan diperlukan dalam penemuan suatu produk baru. Dengan demikian, riset dasar sangat penting untuk mendapatkan suatu karakterisasi bambu. Menurut American Bamboo Society (1999), riset pada sifat-sifat dasar akan membawa kepada penggunaan yang lebih baik dan peningkatan nilai tambah produk. Untuk penggunaan yang lebih optimum diperlukan kriteria tertentu yang sesuai dan sering terkait dengan struktur sel (anatomi) dan sifat-sifat pada bambu (Liese 1987). Gritsch dan Murphy (2005) menyatakan bahwa struktur anatomi bambu menentukan sifat dasar terutama sifat fisik dan mekanik.

Bambu dikenal sebagai salah satu tanaman cepat tumbuh sehingga dapat menjadi alternatif terbaik pengganti kayu di masa datang. Tidak seperti kayu, bambu hanya memerlukan 3-4 tahun untuk siap tebang dan digunakan (Wahab et al. 2009). Jenis-jenis bambu yang tumbuh di Indonesia sangat banyak dan belum dimanfaatkan secara optimum. Dengan demikian, terbuka peluang untuk memanfaatkan lebih banyak jenis-jenis bambu yang ada.

Untuk mengenal seluruh jenis bambu relatif sulit karena banyak bambu yang belum dikenal di masyarakat. Perlu dicari upaya lain agar dapat mengenal dalam konteks menggunakan bambu secara tepat dengan lebih mudah. Penelitian ini mencoba untuk mengamati secara mendalam sifat anatomi penampang lintang bambu dengan memperhatikan berbagai informasi yang muncul dari penampang lintang bambu-bambu yang diujikan. Penelitian pada bidang anatomi sebaiknya dikembangkan untuk menggali potensi yang dimiliki bambu sehingga hasilnya dapat dipergunakan terutama dalam memanfaatkan bambu secara optimum (Lwin etal. 2007).

Seperti halnya tanaman monokotil lain, anatomi batang bambu tersusun selain oleh parenkim sebagai jaringan dasar juga oleh ikatan pembuluh yang tertanam dalam parenkim (Londono et al. 2002). Keragaman di antara genus dan

spesies bambu terkait dengan jenis pola ikatan pembuluh (Grosser dan Liese 1971). Tampilan pola ikatan pembuluh itu sendiri akan dapat dilihat dengan jelas pada penampang melintang bambu (Lwin et al. 2007). Bambu memiliki 4 pola ikatan pembuluh yaitu tipe 1 yang terdapat pada genus Leptomorph seperti Arundinaria, tipe 2 terdapat pada genus Melocanna dan Cephalostachyum, sedangkan tipe 3 dan 4 muncul pada genus Dendrocalamus dan Gigantochloa. Perbedaan struktur anatomi yang mendasar antara keempat pola mempengaruhi sifat-sifat kerapatan, kekuatan, dan kelenturan (Grosser dan Liese 1971). Dengan demikian, melalui penelitian sifat anatomi diharapkan akan dapat diketahui sifat- sifat struktural dan hubungan dengan sifat dasar lainnya secara lengkap.

Penetapan pola ikatan pembuluh dilakukan pada 9 jenis bambu. Pada proses selanjutnya sampel bambu yang diambil hanya 8 jenis bambu (tanpa

Gigantochloa atroviolacea) karena setiap pola cukup terwakili oleh 2 jenis

bambu. Diharapkan melalui kegiatan penelitian ini akan diperoleh informasi secara lengkap mengenai sifat anatomi penampang lintang batang bambu.

Bahan dan Metode Bahan

Bahan penelitian adalah 9 jenis bambu yang telah berumur 3-4 tahun serta