• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vascular bundle pattern as predictor of bamboo utilization

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Vascular bundle pattern as predictor of bamboo utilization"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

POLA IKATAN PEMBULUH BAMBU

SEBAGAI PENDUGA PEMANFAATAN BAMBU

NANI NURIYATIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga Pemanfaatan Bambu adalah hasil karya saya sendiri bersama pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir setiap bab disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Nani Nuriyatin

(3)

ABSTRACT

NANI NURIYATIN. Vascular bundle pattern as predictor of bamboo utilization. Under direction of KURNIA SOFYAN, SURJONO SURJOKUSUMO, and SUMINAR S ACHMADI.

Bamboo is a plant which is widely distributed but can not be optimally utilized. This can be proved by the 143 species of bamboo in Indonesia, only 32 types among them have distinct purpose. Therefore, to optimize the bamboo utilization is through evaluating anatomy, mechanical, and chemical properties so that the results can be useful. The research method was approach by regression with dummy variables, and description analyze. The result of anatomy study showed that every bamboo species had specific vascular bundle pattern (type 1-4) as well as the single patern and its combination. The difference of vascular bundle pattern did not contributed to the physical and mechanical properties of bamboo investigated, except for MOR. The difference species of bamboo and vertical position of samples contributed to the different value of compressive strength parallel to grain, whereas tension strength was only affected by bamboo species. The results of chemical study showed that interaction between the species and the vascular bundle patterns of bamboo influences extractive, ash, lignin, and starch content except alpha cellulose content. The vascular bundle patterns have important value for distinguishing species of bamboo and they can also be used to help direction of the use of bamboo.

(4)

RINGKASAN

NANI NURIYATIN. Pola ikatan pembuluh bambu sebagai penduga pemanfaatan bambu. Dibimbing oleh KURNIA SOFYAN, SURJONO SURJOKUSUMO, dan SUMINAR S ACHMADI.

Bambu adalah tanaman yang tersedia melimpah di Indonesia. Tetapi dalam pemanfaatannya belum optimal karena penggunaan bambu selama ini masih mengandalkan cara tradisional secara turun-temurun. Tidak setiap jenis bambu mempunyai penggunaan yang sama, terkait dengan perbedaan sifat yang dimiliki bambu. Dengan demikian perlu penelitian dasar ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar acuan penggunaannya.

Beberapa sifat dasar bambu yang diteliti adalah sifat anatomi, fisik, mekanik, dan sifat kimia. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi dengan peubah boneka untuk aspek anatomi, fisik, dan mekanik. Sedangkan pengolahan data sifat kimia menggunakan analisis deskripsi dan keragaman.

Analisis deskripsi terhadap bambu yang diteliti sifat anatominya menetapkan bahwa seluruh jenis bambu yang diteliti memiliki pola ikatan pembuluh. Pola-pola tersebut dijumpai dalam bentuk pola tunggal maupun pola gabungan. Pola tunggal dimiliki oleh bambu Arundinaria hundsii, Arundinaria javonica, Melocanna baccifera, Cephalostachyum pergracile, Dendrocalamus strictus dan Dendrocalamus giganteus. Pola gabungan dimiliki oleh bambu Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus dan Gigantochloa atroviolacea. Nilai kerapatanikatan pembuluh bambu dipengaruhi oleh seluruh faktor yang diujikan, yaitu jenis bambu, posisi horizontal, posisi vertikal dan pola ikatan pembuluh. Sementara panjang serabut dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola ikatan pembuluh. Hanya persen serabut yang dipengaruhi oleh satu faktor saja yaitu posisi horizontal penampang lintang batang.

Nilai keteguhan lentur patah (MOR) bambu-bambu yang diteliti dipengaruhi oleh jenis bambu dan pola ikatan pembuluh bambu. Pola 3 memiliki nilai MOR yang lebih tinggi dibandingkan pola 4. Dendrocalamus asper memiliki nilai MOR yang paling tinggi dibandingkan bambu lain. Nilai kekakuan (MOE) tidak dipengaruhi oleh faktor yang diujikan. Jenis bambu dan posisi vertikal batang mempengaruhi nilai keteguhan tekan sejajar serat. Dendrocalamus asper memiliki nilai keteguhan tekan paling tinggi dibandingkan bambu-bambu lain. Hanya pada posisi pangkal, keteguhan tekan memiliki nilai tertinggi. Hasil pengujian keteguhan tarik dipengaruhi oleh jenis bambu. Dendrocalamus asper cenderung mempunyai nilai keteguhan tarik lebih tinggi dibandingkan jenis lain.

(5)

alfa selulosa dan kadar pati rendah. Nilai alfa selulosa yang paling rendah dimiliki oleh bambu dengan pola 4. Sifat-sifat kimia yang dimiliki oleh bambu membantu dalam mengarahkan penggunaan bambu sebagai bahan serat.

Pola ikatan pembuluh bambu adalah variabel sifat anatomi yang sebaiknya dipertimbangkan dalam penggunaan bambu. Pola ikatan pembuluh pada bambu memiliki ciri tertentu yang dapat membantu mengarahkan penggunaan bambu. Bambu yang memiliki pola ikatan pembuluh 1 atau 2 dapat digunakan untuk bahan non struktural sedangkan bambu dengan pola ikatan pembuluh 3 atau 4 dapat digunakan sebagai bahan struktural. Pola ikatan pembuluh bambu terkait dengan sifat kimia yang penting peranannya dalam pendugaan pemanfaatan serat serta pemanfaatan bambu di lapangan.

Kata kunci: bambu, pola ikatan pembuluh, anatomi, kimia, fisik mekanik bambu, penggunaan bambu

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

POLA IKATAN PEMBULUH BAMBU

SEBAGAI PENDUGA PEMANFAATAN BAMBU

NANI NURIYATIN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup:

1. Dr.Ir. Andi Gunawan, MSc

(Pengajar Departemen Arsitektur Landscap, Fakultas Pertanian, IPB)

2. Dr.Ir.Naresworo Nugroho, MS (Ketua Program Studi IPK)

Penguji pada ujian terbuka:

1. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS

(Pengajar Departemen Agronomi dan Holtikultur)

2. Dr. Krisdianto Sugiyanto, MSc

(9)

Judul : Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga Pemanfaatan Bambu

Nama Mahasiswa : Nani Nuriyatin

NRP : E 061050061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan Ketua

Prof.Dr.Ir. Surjono Surjokusumo, MSF Prof.Dr.Ir. Suminar S Achmadi, MSc Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr.Ir.Naresworo Nugroho,MS Dr.Ir.Dahrul Syah,MSc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allash SWT atas segala karunia-Nya sehingga seluruh rangkaian penelitian/karya ilmiah berhasil diselesaikan. Selain penelitian di berbagai laboratorium di lingkup Institut Pertanian Bogor, penelitian juga dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir.Kurnia Sofyan, Bapak Prof.Dr.Ir.Surjono Surjokusumo, MSF dan Ibu Prof. Dr.Ir.Suminar S.Achmadi,MSc selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, gagasan, dan motivasi selama proses studi doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Unib Bengkulu yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih kepada Dirjen Dikti atas beasiswa pendidikan BPPS yang sangat membantu kelancaran studi di IPB, Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor IPB, Ketua Program Studi IPK yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada penguji luar yaitu Ibu Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS, Bapak Dr. Krisdianto Sugiyanto, MSc, Bapak Dr.Ir.Andi Gunawan, MSc serta Dr.Ir.Naresworo Nugroho, MS yang telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan disertasi. Ucapan terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada Bapak dan mimih (alm.) serta Ama, teteh Ifa, teteh Angi, Adam serta semua pihak yang telah membantu kelancaran seluruh pelaksanaan studi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 5 Mei 1963 dari ayah H. Hardja Sadeli dan ibu Hj.Sri Suweni (alm.) Penulis merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1996 penulis diterima di Progam Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB dan lulus pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor diperoleh pada tahun 2005 dengan beasiswa BPPS-Dikti.

Penulis bekerja sebagai dosen di Universitas Bengkulu sejak tahun 1994. Bidang pengajaran dan penelitian yang ditekuni adalah struktur dan sifat kayu dan berlanjut sampai saat ini.

(12)

DAFTAR ISI

II ANATOMI PENAMPANG LINTANG BATANG 9 JENIS BAMBU

III KORELASI POLA IKATAN PEMBULUH PADA SIFAT FISIK DAN MEKANIK 3 JENIS BAMBU

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pola ikatan pembuluh pada 9 jenis bambu…...……….…… ... 41

2 Hasil uji Duncan untuk persentase serabut……….. ... 50

3 Pola ikatan pembuluh pada bambu yang d iteliti……….. 63

4 Persentase serabut pada 2 jenis bambu ….……….. 68

5 Standar pengujian untuk analisis sifat kimia bambu……… 77

6 Rata-rata nilai kandungan kimia pada berbagai jenis dan pola bambu………... 78

7 Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar ekstraktif pada jenis/pola bambu………... 80

8 Ketebalan dinding sel dan persen serabut D. asper, D. giganteus, C.pergracile dan A.hundsii……….. 82

9 Hasil uji beda Duncan terhadap kandungan abu………... 83

10 Kerapatan ikatan pembuluh dan diameter metaxilem bambu………... 85

11 Hasil uji Duncan terhadap kadar pati bambu ... 88

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema Kerangka Pemikiran ……….………. 6

2 Alur penelitian... 7

3 (a). Bentuk pohon bambu A. hundsii secara utuh, (b) Sayatan

mikro pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)……….. 18

4 Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. hundsii.……..….... 18

5 (a). Bentuk pohon bambu A. javonica secara utuh, (b). Sayatan

pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)………. 19

6 Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. javonica………. 19

7 Bentuk pohon bambu M. bacciferasecara utuh ……….. 19

8 (a). M. baccifera bagian pangkal dengan pembesaran 40x

(b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera..…………. 20

9 (a). M. baccifera bagian tengah (pembesaran 40x) (b) Sketsa

pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera..……….. 20

10 (a) Penampang lintang M. baccifera bagian ujung

(pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada

M. baccifera………. 21

11 Bentuk pohon bambu C. pergracile….………..….……… 21

12 (a) Tampilan penampang lintang bambu C. pergracile bagian pangkal dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan

pembuluh 2 pada C. pergracile……… 22

13 (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian tengah dengan pembesaran 40x (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada

C. pergracile………. 23

14 (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada

C. pergracile ... 23

(15)

16 (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian pangkal

18 (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada

D. giganteus...………... 25

19 Bentuk pohon bambu D. strictussecara utuh ….……… 26

20 (a). Penampang lintang Dendrocalamus strictus bagian pangkal

(pembesaran 40x) (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 3 D. strictus... 27

21 (a) Penampang lintang D. strictus bagian tengah dengan

24 (a) Penampang melintang bambu D. asper bagian pangkal dengan

pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4………... 29

(16)

31 Bentuk pohon bambu G. atroviolecea……….… 33

32 (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian pangkal dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. atroviolacea……….………. 33

. 33 (a) Penampang lintang bambu Gigantochloa atroviolacea bagian tengah dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. atroviolacea………... 34

34 (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. atroviolacea………... 34

35 Sketsa pola ikatan pembuluh 1 (a) dan 2 (b)…………...……… 35

36 Sketsa pola ikatan pembuluh 3 (c) dan 4 (d)……….. 36

37 Pola ikatan pembuluh pada (a) A. javonica (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh A. javonica, (b) Pola ikatan pembuluh A. hundsii (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 1 pada A. hundsii...……….. 37

38 Pola ikatan pembuluh pada (a) C. pergracile (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile, (b) M. baccifera dengan pembesaran 40x, (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera……….. 38

39 Pola ikatan pembuluh pada (a) D. strictus (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus, (b) Pola ikatan pembuluh D. giganteus (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus ………..39

40 Bentuk rantai serabut pada bagian ujung (a) D. asper, (b) G. atroviolacea dan (c) G. apus ………... 40

41 Kerapatan ikatan pembuluh (/mm2) pada 8 jenis bambu…………... 42

42 Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi pangkal, tengah dan ujung... 43

43 Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi horizontal………. 44

44 Kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai pola………... 45

45 Posisi panjang serabut (µm) berbagai jenis bambu……….. 47

(17)

47 Persentase serabut penampang lintang bambu……… 51

48 Hubungan antara kerapatan ikatan pembuluh dan persentase serabut……….. 52

49 Bentuk contoh uji bobot jenis (BJ)... 59

50 Bentuk contoh uji tekan sejajar serat... 59

51 Bentuk contoh uji lentur……….. 60

52 Bentuk contoh uji tarik sejajar serat……… 60

53 Posisi nilai MOR untuk 3 jenis bambu……… 64

54 Posisi nilai MOR (kg/cm2) untuk bambu dengan pola 3 dan 4…….. 65

55 Posisi nilai keteguhan tekan pada 3 jenis bambu………... 67

56 Posisi nilai keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm2) pada bagian batang bambu ……….. 69

57 Posisi jenis bambu berdasar nilai keteguhan tarik (kg/cm2)…………. 70

58 Kadar ekstraktif (%) pada 4 jenis/pola bambu………. 79

59 Kadar abu (%) pada 4 jenis /pola bambu ………... 83

60 Kadar lignin (%) pada 4 jenis/pola bambu………... 86

61 Kadar pati (%) 4 jenis /pola bambu………... 88

62 Kadar alfa selulosa pada 4 jenis/pola bambu………. 91

63 Pemanfaatan bambu berdasarkan pola………... 101

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Panduan penetapan pola ikatan pembuluh berdasar Grosser dan ...

Liese (1971) ... 105

2 Kerapatan ikatan pembuluh pada penampang lintang 8 jenis bambu ... 106

3 Analisis keragaman pengaruh jenis bambu, posisi vertikal batang dan pola pada kerapatan pola pembuluh……… ……… . 107

4 Panjang serabut 8 jenis bambu ... 108

5 Analisis keragaman panjang serabut……… ... 109

6 Analisis keragaman persentase serabut ……… ... 109

7 Nilai Bobot Jenis (BJ) ... 110

8 Nilai MOE dan MOR (kg/cm2) pada beberapa jenis bambu... 111

9 a. Analisis keragaman MOR ……… ... 112

b. Analisis keragaman MOE…. ... 112

10 Nilai keteguhan keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan tarik ... 113

11 a. Analisis keragaman keteguhan tekan………... 114

b. Analisis keragaman keteguhan tarik……… 114

12 Klasifikasi kelas kuat pada kayu... 115

13 Persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas... ... 110

(19)

I. PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang

Pemanfaatan hutan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional telah melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Peran hutan selama ini baru terfokus pada sisi produksi kayu, sementara hasil hutan nonkayu yang telah diusahakan oleh masyarakat secara tradisional dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan belum dimanfaatkan secara optimum. Berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan masih belum mampu menyelesaikan permasalahan di bidang kehutanan. Penerapan kebijakan soft landing hingga kini berdampak pada kesenjangan bahan baku yang diperkirakan mencapai sekitar 26 juta m3 per tahun. Sementara itu, nilai tambah dari produk hutan nonkayu seperti air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam belum berkembang seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor ekonomi (Bappenas 2011). Saat ini kebutuhan bahan baku kayu di tingkat nasional semakin meningkat sedangkan kemampuan pasokan kayu dari hutan alam terus menurun karena tingkat deforestasi yang tinggi dari tahun ke tahun (Forest Watch Indonesia 2011). Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya persediaan bahan baku. Keadaan ini tentu saja kurang menguntungkan bagi keberadaan dunia usaha perkayuan. Upaya yang dapat dilakukan agar usaha tetap berlangsung adalah dengan mencari material yang setara dengan kayu, salah satu yang ditawarkan adalah bambu yang memiliki sifat seperti kayu dan potensinya cukup besar.

(20)

juga dapat ditemukan hampir di setiap pulau di Indonesia (FAO 2002) sehingga masih banyak peluang untuk memanfaatkan bambu sebagai bahan baku, apalagi baru 32 jenis bambu saja yang memiliki kegunaan yang jelas (Widjaja et al. 2004). Dengan kelebihan ini diharapkan kebutuhan bahan baku teratasi, walaupun bambu memiliki kelemahan, yaitu pada umumnya memiliki daya tahan yang rendah terhadap jamur dan serangga (Barly 1999).

Di antara negara penghasil bambu, China adalah salah satu penghasil bambu terbesar di dunia (Jifan 1985). Sebagai bahan yang sangat penting, bambu di negara China digunakan untuk industri perikanan, konstruksi, pulp dan kertas, bahan kerajinan dan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bambu di Indonesia mengacu pada hasil penelusuran Nuriyatin (2000), ternyata memiliki 20 jenis kegunaan di masyarakat. Penggunaan bambu bisa berkembang lebih banyak lagi baik melalui eksplorasi jenis-jenis bambu maupun eksplorasi penggunaan lain dengan serangkaian kegiatan penelitian. Mengingat keadaan ini, perlu dilakukan berbagai pendukung penggunaan bambu secara lebih luas termasuk penggunaan bukan hanya secara tradisional. Dengan demikian terbuka lebar peluang untuk memanfaatkan bambu secara tepat baik yang menyangkut mutu maupun ragam penggunaan.

Ada hal yang menjadi pertanyaan, yaitu kenapa beberapa jenis bambu mempunyai kegunaan tertentu sedangkan jenis bambu yang lain tidak dapat dipergunakan untuk keperluan itu. Hal ini berarti bahwa suatu jenis bambu mempunyai ciri tertentu sehingga akan sesuai jika digunakan untuk tujuan tertentu saja. Pendekatan yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah melalui serangkaian kegiatan penelitian sifat-sifat dasar terutama dimulai dari penelusuran sifat anatomi. Penelitian sifat anatomi mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat menentukan sifat-sifat bambu dan penggunaannya (Liese 2003).

(21)

anatomi, kimia, fisik, dan mekanik bambu, Mohmod et al. (1990) mendalami tampilan anatomi dan sifat-sifat mekanik dari 3 jenis bambu Malaysia. Selanjutnya Liese (1992) meneliti struktur bambu dan hubungannya dengan sifat-sifat dan penggunaan di masyarakat. Penelitian ini lebih diperdalam lagi oleh Liese (2003) melalui pengamatan pengaruh struktur bambu terhadap pemanfaatannya. Penelitian yang lebih terperinci tentang karakterisasi anatomi bambu telah dilakukan oleh Londono et al. (2002) yang mencoba menganalisis karakter anatomi bambu Guadua angustifolia. Penelitian yang sama telah dilakukan juga oleh Nuriyatin (2000), yaitu tentang sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan penggunaan namun belum sampai pada tahap analisis hubungan antara pola struktur dan tujuan penggunaan. Dengan demikian kajian lebih mendalam perlu dikembangkan mengingat manfaatnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan penggunaannya di masyarakat.

Batang bambu tersusun selain atas 50% parenkim, 40% serabut, juga oleh 10% sel-sel penyalur (Dransfield dan Widjaja 1995). Grosser dan Liese (l973) mengemukakan bahwa struktur anatomi batang-batang bambu terutama ditentukan oleh ikatan pembuluh yang tertanam dalam jaringan parenkim. Lebih jauh dinyatakan pula oleh Lwin et al. (2007) bahwa struktur anatomi penampang melintang ruas bambu ditentukan oleh bentuk, ukuran, susunan dan jumlah ikatan pembuluh. Ikatan pembuluh itu sendiri merupakan susunan pola pembuluh yang terdiri atas 2 pembuluh metaxilem dengan 1 atau 2 elemen protoxilem yang kecil dan floem (Liese 1980). Ikatan pembuluh merupakan karakteristik anatomi yang stabil karena tidak dipengaruhi umur (Londono et al. 2002). Dengan demikian penelitian pada anatomi bambu selalu mempertimbangkan tampilan ikatan pembuluh sebagai suatu hal yang penting (Liese 2006).

(22)

Pola ikatan pembuluh merupakan susunan pola pembuluh yang didukung oleh serabut baik berada dalam bentuk selubung sklerenkim (pola 1 dan 2) maupun berbentuk rantai serabut (pola 3 dan 4). Keberadaan serabut pada setiap pola cukup penting karena memberikan kontribusi 60-70% terhadap bobot total jaringan batang (Lwin etal. 2007). Tempat beradanya dan distribusi serabut akan mempengaruhi sifat-sifat tertentu seperti misalnya mempengaruhi BJ dan sifat kekuatan. Kandungan serabut yang tinggi juga berpengaruh pada produksi pulp (Liese 1992). Demikian pula panjang serabut mempengaruhi sifat-sifat kekuatan. Struktur lamela serabut pada bagian pinggir tepi batang berpengaruh pada sifat-sifat mekanik. Kandungan dan juga penyebaran serabut pada setiap pola akan memberikan kontribusi pada tujuan pemakaian akhir bambu di mana di antara ke-4 pola ikatan yang ada masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan perbedaan ini signifikan diantara spesies dan genus (Londono et al. 2002, Grosser dan Liese 1971).

Dalam penggunaan bambu sebagai bahan kostruksi ternyata bambu memiliki nilai kekuatan yang cenderung meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung (Nuriyatin 2000). Penelitian Nuriyatin (2001) telah menganalisis sifat dasar bambu dikaitkan dengan tujuan penggunaan, melalui penelitian tersebut terungkap bahwa dari 5 jenis bambu yang diteliti yaitu seluruhnya layak untuk dijadikan bahan baku pulp dan kertas. Hasil pengujian mutu suara menyatakan bahwa Gigantochloa atroviolacea (bambu hitam) memiliki mutu suara terbaik karena selain memiliki BJ cukup tinggi juga ikatan pembuluh dalam batang menyebar secara merata. Penelitian ini belum sempurna karena tidak sampai pada keterkaitan langsung antara pola ikatan pembuluh dengan tujuan penggunaan. Berdasarkan analisa data dan hasil penelitian sebelumnya diduga bahwa pola ikatan pembuluh berpengaruh pada pola penggunaan.

(23)

penurunan keseimbangan kadar air (Liese 2006). Dengan demikian sifat kimia merupakan sifat yang selalu diikutsertakan dalam studi sifat dasar.

(24)

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

Bentuk hubungan antara pola ikatan pembuluh dengan sifat dasar

Analisis

Pendugaan pola penggunaan bambu

Keragaman ikatan pembuluh  keragaman spesies  keragaman sifat dasar Riset sifat-sifat dasar

 Jumlah spesies bambu banyak (143 jenis)

(25)

Tujuan Penelitian

Penelitian 3

Penelitian 2

Sifat fisik dan mekanik

Sifat anatomi

Pengolahan data

Analisis dan integrasi elemen dasar bambu

Tujuan penggunaan

Analisis pola penggunaan

Parameter penggunaan

Penelitian 4

Gambar 2. Alur penelitian

Penelitian 1

Pengukuran sifat-sifat dasar Penetapan pola ikatan pembuluh

(26)

Tujuan penelitian ini ialah menentukan penggunaan bambu berdasarkan karakter yang dimiliki oleh pola ikatan pembuluh.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini ialah bahwa pola ikatan pembuluh pada penampang lintang bambu akan memberikan kontribusi terhadap karakter bambu, dan pola ikatan pembuluh akan membantu dalam mengarahkan pola penggunaan bambu

Manfaat Penelitian

Bagi peneliti diharapkan pola ikatan pembuluh memberikan kontribusi dalam pemanfaatan bambu secara optimum dengan melibatkan secara langsung sebagai faktor tunggal ataupun bagian dari variabel yang menentukan pola pemanfaatan bambu. Bagi masyarakat/kalangan industriawan diharapkan hasil penelitian dapat diaplikasikan dalam pendugaan pemanfaatan bambu. Hal ini didukung dengan cara penetapan pola ikatan pembuluh yang relatif mudah. Dengan demikian pemanfaatan yang sesuai dengan karakter bambu diharapkan akan berguna dalam penggunaan bambu sehingga proses dan produk yang dihasilkan akan optimum. Bagi dunia keilmuan diharapkan hasil penelitian akan memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu terutama karena peranannya dalam menemukan hal baru sehingga dapat memanfaatkan sumber daya bambu secara efisien.

Ruang Lingkup Penelitian

(27)
(28)

DAFTAR PUSTAKA

Barly. 1999. Pengawetan bambu untuk bahan konstruksi bangunan dan mebel (petunjuk teknis). Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.

[Bappenas] Badan perancang pembangunan nasional. 2011. Perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1134/[25D2011].

Darupratomo. 2008. Pengaruh proses pengawetan bambu terhadap karakteristik bambu sebagai bahan bangunan. Prospect,tahun 4, no. 6, hal: 7-20.

Dransfield, Widjaja. E. 1995. Bamboos. Indonesia: Prosea Bogor.

Forest Watch Indonesia. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode 2000-2009. www.fwi.or.id [25 Desember 2011].

[FAO] Food and Agricultural Organizatin. 2002. Non-wood forest products in 15 countries of tropical Asia : A regional and national overview. Vantomme P, Markkula A, Leslie RN, editor.

Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with spesial reference to their vaskular bundles. Wood Sci and Tech 5: 290-312.

Grosser D, Liese W. l973. Present status and problems of bamboo classification. J Arn Abor 54 (2): 293-308

Jifan Z. 1985. Bamboo development in China. Dalam Rao AN, Dhanarajan G, Sastry CB, editor. Proceedings of the International Bamboo Workshop;

Hangzhou, People’s Republic of China, October 6-14, 1985.

Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos. http://www.myanmar.gov.mm/Ag/Jur/ProcFo01.10.[3 Nov. 2007]

Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Di dalam: Lessard G dan Chounard A, editor. Proceedings of a Workshop. Singapore, 28-30 Mei 1980.

(29)

Liese W. 1986. Characterization and utilization of bamboo. In: Bamboo production and utilization. Proceedings VIII IUFRO World Congress, Ljubljana, Yugoslavia, September 7-21: 11-16.

Liese W. 1987. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada, hal: 196-208.

Liese W. 1992. The structure of bamboo in relation to its properties and utilization. Dalam Bamboo And Its Use, International Symposium On Industrial Use Of Bamboo. Beijing, China, 7-11 Desember 1992, hal: 1 – 6.

Liese W. 1998. The anatomy of bamboo culms. INBAR Technology Report No 18.

Liese W. 2003. Structures of bamboo culm affecting its utilization. Di dalam Xuhe C, Yiping L, Ying H, editor. Proceedings of International Workshop on Bamboo Industrial Utilization. Hubei dan Xianning, Oktober 2003. hlm 6 – 10. penggunaan [tesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Nuriyatin N. 2001. Studi analisa sifat dasar bambu sebagai bahan baku kertas. J Ilm Pert Ind 3: 56-61.

Ota M. 1951. The influence of the percentage of structural elements on the specific gravity and compressive strength of bamboo splint. J Jappan Forest Soc 19: 25-47.

(30)

Widjaja, EA. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor : LIPI–seri panduan lapangan.

Widjaja EA, Utami NW, Saefudin. 2004. Panduan Membudidyakan Bambu. Bogor : LIPI.

(31)

II. ANATOMI PENAMPANG LINTANG BATANG

9 JENIS BAMBU

Abstrak

Ketersediaan bambu yang melimpah serta keterbatasan pemanfaatan bambu mendorong dilakukannya penelitian dasar di bidang anatomi untuk memperoleh landasan ilmiah mengenai karakter bambu yang dapat digunakan untuk mengarahkan pemanfaatan bambu secara optimum. Metode analisis adalah pendekatan regresi dengan peubah boneka dengan melibatkan faktor jenis, posisi bambu secara vertikal (pangkal, tengah, dan ujung), posisi bambu secara horizontal (tepi, tengah, pusat dan dalam), serta pola ikatan pembuluh bambu (pola 1, 2, 3, dan 4). Hasil penelitian ini menetapkan bahwa setiap spesies bambu memiliki pola ikatan pembuluh dari pola 1 sampai pola 4, baik itu pola tunggal ataupun pola kombinasi. Dendrocalamus strictus, bagian ujung batang, bagian tepi penampang lintang, dan pola ikatan pembuluh 1 memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh tertinggi dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan lainnya. Bambu Cephalostachyum pergracile memiliki nilai panjang serabut terendah dibandingkan dengan spesies bambu lain. Panjang serabut tertinggi dimiliki oleh bambu-bambu yang memiliki pola 4. Persen serabut tertinggi pada penampang lintang batang ada pada bagian tepi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa pola ikatan pembuluh mempunyai nilai penting untuk membedakan jenis bambu juga dapat digunakan untuk menentukan arah penggunaan bambu.

Kata kunci: kerapatan ikatan pembuluh, pola, persentase serabut, panjang serabut, penampang lintang

Abstrak

Abundant availability of bamboo and limitations in the use of bamboo encourage basic research in the field of anatomy. The study is expected to provide a scientific basic for the character of bamboo that can be used to direct the optimum utilization of bamboo. The research method is the approach of regression with dummy variables which involved factors of bamboo species, position of bamboo vertical (base, middle, and top), bamboo horizontal position (edge, middle, center, inner) and bamboo patterns (1, 2, 3 and 4 ). The result of this study is that every bamboo species has vascular bundle pattern from 1 to 4 as well as the single patern and the combination pattern. Dendrocalamus strictus species, the culm top, edges of the cross section, vascular bundle pattern 1 have the highest vascular bundle density values andsignificantly different with others. Cephalostachyum pergracile fiber length has the lowest compared to other species of bamboo but pattern 4 has the highest fiber length. The highest percent of fibers in the cross section of the stem is at the edge. The conclusion of this study is the vascular bundle patterns have important value for distinguishing species of bamboo and they can also be used to determine the direction of

bamboo’s utilization.

(32)

Pendahuluan

Bambu merupakan tanaman monokotil yang tersedia melimpah di Indonesia bahkan di dunia, yang digunakan untuk berbagai tujuan walaupun dalam hal ini tidak semua spesies sesuai untuk tujuan tertentu. Bambu mempunyai sifat-sifat fisik dan mekanik yang berbeda sehingga menghasilkan produk dengan mutu yang berbeda pula. Pengetahuan mengenai komponen anatomi bambu memegang peranan penting bahkan diperlukan dalam penemuan suatu produk baru. Dengan demikian, riset dasar sangat penting untuk mendapatkan suatu karakterisasi bambu. Menurut American Bamboo Society (1999), riset pada sifat-sifat dasar akan membawa kepada penggunaan yang lebih baik dan peningkatan nilai tambah produk. Untuk penggunaan yang lebih optimum diperlukan kriteria tertentu yang sesuai dan sering terkait dengan struktur sel (anatomi) dan sifat-sifat pada bambu (Liese 1987). Gritsch dan Murphy (2005) menyatakan bahwa struktur anatomi bambu menentukan sifat dasar terutama sifat fisik dan mekanik.

Bambu dikenal sebagai salah satu tanaman cepat tumbuh sehingga dapat menjadi alternatif terbaik pengganti kayu di masa datang. Tidak seperti kayu, bambu hanya memerlukan 3-4 tahun untuk siap tebang dan digunakan (Wahab et al. 2009). Jenis-jenis bambu yang tumbuh di Indonesia sangat banyak dan belum dimanfaatkan secara optimum. Dengan demikian, terbuka peluang untuk memanfaatkan lebih banyak jenis-jenis bambu yang ada.

Untuk mengenal seluruh jenis bambu relatif sulit karena banyak bambu yang belum dikenal di masyarakat. Perlu dicari upaya lain agar dapat mengenal dalam konteks menggunakan bambu secara tepat dengan lebih mudah. Penelitian ini mencoba untuk mengamati secara mendalam sifat anatomi penampang lintang bambu dengan memperhatikan berbagai informasi yang muncul dari penampang lintang bambu-bambu yang diujikan. Penelitian pada bidang anatomi sebaiknya dikembangkan untuk menggali potensi yang dimiliki bambu sehingga hasilnya dapat dipergunakan terutama dalam memanfaatkan bambu secara optimum (Lwin etal. 2007).

(33)

spesies bambu terkait dengan jenis pola ikatan pembuluh (Grosser dan Liese 1971). Tampilan pola ikatan pembuluh itu sendiri akan dapat dilihat dengan jelas pada penampang melintang bambu (Lwin et al. 2007). Bambu memiliki 4 pola ikatan pembuluh yaitu tipe 1 yang terdapat pada genus Leptomorph seperti Arundinaria, tipe 2 terdapat pada genus Melocanna dan Cephalostachyum, sedangkan tipe 3 dan 4 muncul pada genus Dendrocalamus dan Gigantochloa. Perbedaan struktur anatomi yang mendasar antara keempat pola mempengaruhi sifat-sifat kerapatan, kekuatan, dan kelenturan (Grosser dan Liese 1971). Dengan demikian, melalui penelitian sifat anatomi diharapkan akan dapat diketahui sifat-sifat struktural dan hubungan dengan sifat-sifat dasar lainnya secara lengkap.

Penetapan pola ikatan pembuluh dilakukan pada 9 jenis bambu. Pada proses selanjutnya sampel bambu yang diambil hanya 8 jenis bambu (tanpa Gigantochloa atroviolacea) karena setiap pola cukup terwakili oleh 2 jenis bambu. Diharapkan melalui kegiatan penelitian ini akan diperoleh informasi secara lengkap mengenai sifat anatomi penampang lintang batang bambu.

Bahan dan Metode Bahan

Bahan penelitian adalah 9 jenis bambu yang telah berumur 3-4 tahun serta memiliki pola ikatan pembuluh 1-4 yang ditentukan berdasarkan panduan penetapan pola ikatan pembuluh bambu oleh Grosser dan Liese (1971) (Lampiran 1) dengan ulangan 3 kali. Bambu-bambu tersebut terdiri atas Arundinaria hundsii Munro (Ah), Arundinaria javonica (Aj), Melocanna baccifera (Mb), Cephalostahyum pergracile (Munro)(Cp), Dendrocalamus giganteus (Wallich ex

Munro (Dg/sembilang), Dendrocalamus strictus (Roxb.) Nees (Ds),

(34)

Penentuan sifat anatomi

Variabel pengamatan adalah tipe dan kerapatan ikatan pembuluh, panjang serabut dan persentase serabut. Sampel uji ditetapkan pada penampang lintang ruas tengah bagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu, sedangkan pada posisi horizontal (penampang lintang batang), sampel uji ditetapkan pada bagian tepi, tengah, pusat, dan dalam. Maserasi menggunakan metode Schultze, sedangkan pembuatan preparat sayatan mengacu kepada Sass (1951).

Kerapatan ikatan pembuluh ditentukan berdasarkan perhitungan jumlah pola ikatan pembuluh untuk setiap luasan tertentu. Persentase serabut ditentukan dengan menghitung luasan serabut untuk setiap luasan tertentu dalam satuan persen. Kerapatan ikatan pembuluh dan persentase serabut diukur dengan alat stereo discovery V8 merk Zeiss dengan kamera Axio Cam M Rc 5 yang dihubungkan komputer dengan perangkat lunak Axio Vision Rel. 4.6. Sementara pengukuran panjang serabut dilakukan dengan mikroskop. Dokumentasi foto mikro bambu dilakukan dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 40 kali.

Analisis data

Data dianalisis dengan pendekatan regresi dengan peubah boneka. Peubah boneka dalam analisis ini adalah 8 (delapan) jenis bambu yang terwakili dalam peubah X1-X7; 3 (tiga) posisi vertikal yaitu pangkal, tengah, dan ujung yang

terwakili dalam peubah X8 dan X9; 4 (empat) posisi horizontal yaitu tepi, tengah,

pusat, dan dalam yang terwakili dalam X10-X12; 4 (empat) pola bambu yang

terwakili dalam X13- X15. Dalam penentuan panjang serabut hanya ada 12 peubah

boneka (dummy) karena tidak ada peubah untuk posisi horizontal. Kontribusi keseluruhan peubah akan dianalisis dalam persamaan regresi.

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi pola ikatan pembuluh bambu

(35)

dilakukan dengan pengamatan bentuk pola pada bagian pusat (setelah bagian tengah) penampang lintang batang karena bentuk dan ukuran pola telah mencapai diferensiasi optimum (Londono et al. 2002). Pada bagian tengah batang bambu, Arundinaria hundsii dan Arundinaria javanica memiliki ikatan pembuluh pola 1, sedangkan Melocanna baccifera dan Cephalostahyum pergracile baik bagian pangkal, tengah, dan ujung memiliki pola 2. Demikian pula Dendrocalamus giganteus dan Dendrocalamus strictus memiliki pola 3 pada keseluruhan bagian batang (pangkal, tengah, dan ujung). Namun, pola pada bambu Dendrocalamus asper berbeda dengan spesies bambu sebelumnya, yaitu pada bagian pangkal memiliki pola 4, sedangkan pada bagian tengah dan ujung mempunyai pola 3. Bambu Gigantochloa atroviolacea dan Gigantochloa apus pada bagian pangkal dan tengah mempunyai pola 4, sedangkan pada bagian ujung mempunyai pola 3. Selanjutnya, akan diuraikan deskripsi pola ikatan pembuluh untuk setiap jenis bambu.

Arundinaria hundsii

(36)

Arundinaria javonica

Seperti halnya spesies bambu sebelumnya, bambu A. javonica adalah bambu yang termasuk kelompok monopodial yang berasal dari negara Jepang (Botanic Garden of Indonesia 2001). Ketinggian batang bambu ini rata-rata 4 m dengan tebal dinding batang bagian pangkal rata-rata adalah 0.6 cm dan bagian ujung adalah 0.4 cm. Umumnya, dinding batang hanya terbagi atas 3 bagian saja yaitu bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola ikatan pembuluh antara bagian tengah dan dalam hampir sama, tetapi ada sedikit perbedaan dalam selubung serabut, yaitu pada bagian dalam ukurannya lebih kecil. Bentuk pola terlihat jelas pada bagian tengah yaitu membentuk pola 1. Tampilan bambu secara utuh dan sayatan penampang lintang A. javonica dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan sketsa pola ikatan pembuluh tercantum pada Gambar 6.

Gambar 3. (a). Bentuk pohon bambu A. hundsii secara utuh, (b). Sayatan mikro pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

Gambar 4. Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. hundsii

kulit dalam

(a)

(37)

Melocanna baccifera

Bambu M. baccifera berasal dari negara Banglades, Burma, dan India, tetapi telah menyebar luas ke seluruh dunia ( Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini termasuk kelompok simpodial. Di Kebun Raya Bogor, bambu ini tumbuh dengan tinggi batang rata-rata 8 m dan tebal dinding batang pangkal adalah 0.7 cm dan bagian ujung 0.3 cm. Tampilan secara utuh pohon bambu Melocanna baccifera terlihat pada Gambar 7. Uraian sifat anatomi berdasarkan bagian pada batang, yaitu pada pangkal, tengah, dan ujung.

Gambar 7. Bentuk pohon bambu M. baccifera secara utuh

Gambar 5. (a). Bentuk pohon bambu A. javonica secara utuh, (b). Sayatan pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x)

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim jar. floem

Gambar 6. Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. javonica

kulit dalam

(a)

(38)

Pangkal

Pola ikatan pembuluh pada bambu M. baccifera merupakan pola 2 yang terlihat jelas pada bagian tengah penampang lintang batang. Pada bagian tepi penampang lintang, selubung serabut masih menyatu dengan rantai pembuluh pusat. Sementara itu, pada bagian tengah penampang lintang batang, bentuk pola sudah jelas terlihat. Pada bagian dalam, gambaran pola tidak sempurna karena perluasan selubung sklerenkim pada ruang antar sel sangat sedikit (Gambar 8).

Tengah

Seperti pada bagian pangkal, pola ikatan pembuluh bambu M. baccifera bagian tepi penampang lintang batang belum memberikan gambaran pola yang jelas. Pada bagian tengah penampang lintang batang, gambaran pola sudah terbaca berupa pola 2 dan bentuk pola yang tidak sempurna muncul pada bagian dalam seperti yang tertera pada Gambar 9.

(39)

Ujung

Pola ikatan pembuluh pada bagian ujung sama seperti pada bagian pangkal dan tengah, tetapi ukurannya lebih kecil. Pada bagian tepi penampang lintang batang, gambaran pola tidak jelas terlihat. Pola ikatan pembuluh terlihat jelas hanya pada bagian tengah. Bagian dalam disusun oleh pola-pola yang tidak sempurna (Gambar 10).

Cephalostachyum pergracile

Bambu C.pergracile adalah kelompok bambu simpodial yang berasal dari India, Nepal, Burma, Thailand, dan China ( Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini tumbuh di Kebun Raya Bogor dengan tinggi batang rata-rata 14 m. Ketebalan dinding batang pada bagian pangkal rata-rata 1.4 cm, sedangkan bagian ujung adalah 0.6 cm. Tampilan pohon bambu secara utuh dapat diamati pada Gambar 11. Pembahasan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi berdasarkan bagian batang, yakni pangkal, tengah, dan ujung.

Gambar 10. (a). Penampang lintang M. baccifera bagian ujung (pembesaran 40x), (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera

(pola 2)

kulit dalam

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

(b)

(40)

Pangkal

Pada bagian tepi penampang lintang batang, rantai pembuluh pusat dikelilingi oleh selubung serabut sehingga belum dapat ditentukan bentuk polanya. Pada bagian tengah penampang lintang terlihat perluasan selubung serabut dekat ruang antar sel sehingga bakal pembentukan pola 2 sudah mulai terlihat. Demikian pula pada bagian pusat, bentuk pola ikatan hampir sama dengan bagian tengah, tetapi perluasan selubung serabutnya agak memanjang. Namun, pada bagian dalam, perluasan selubung serabut pada ruang antar sel tidak seluas seperti pada bagian tepi, tengah, dan pusat (Gambar 12).

Gambar 12. (a) Tampilan penampang lintang bambu C. pergracile bagian pangkal l dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile

Tengah

Pada bagian tepi penampang lintang batang, selubung serabut mengelilingi seluruh rantai pembuluh pusat. Bagian tengah penampang lintang berbeda dengan bagian tepi karena perluasan selubung sudah mulai terlihat. Hal yang sama terjadi pada bagian dalam penampang lintang batang. Dengan demikian, pada bagian tengah dan bagian dalam, bentuk pola ikatan pembuluh sudah terlihat jelas, yaitu pola 2 (Gambar 13).

Gambar 11. Bentuk pohon bambu C. pergracile

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

kulit dalam

(a)

(41)

Ujung

Pada bagian tepi penampang lintang batang, rantai pembuluh pusat seluruhnya dikelilingi oleh selubung serabut dengan bagian yang agak menonjol pada bagian ruang antar sel. Bentuk pola ikatan pada bagian tengah penampang lintang adalah pola 2. Pada bagian dalam penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh ada yang tidak sempurna (Gambar 14).

Gambar 13. (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian tengah (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile

Gambar 14. (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim

jar. floem

parenkim

metaxilem

ruang antar sel

sklerenkim jar. floem

kulit dalam

kulit dalam

(a)

(b)

(42)

Pengamatan pada susunan pola ikatan pembuluh pada posisi vertikal, pada bagian pangkal, jarak antara ikatan pembuluh agak renggang dan selubung serabut agak memanjang ke arah radial. Pada bagian tengah, selubung serabut relatif agak pendek. Pada bagian ujung, selubung serabut lebih tipis dengan tetap menunjukkan kekhasan pola 2-nya.

Dendrocalamus giganteus

D. giganteus adalah bambu simpodial dengan asal yang belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan berasal dari Burma dan Thailand (Dransfield dan Widjaja 1995). Di Kebun Raya Bogor, tinggi batang bambu ini rata-rata 24 m. Rata-rata tebal dinding batang bagian pangkal adalah 2.4 cm, sedangkan pada bagian ujung adalah 0.6 cm. Adanya perbedaan yang mencolok dari ketebalan dinding batang juga terlihat dari perbedaan diameter batang antara bagian pangkal dan bagian ujung (Gambar 15). Selanjutnya, diuraikan sifat anatomi pada bagian pangkal, tengah, dan ujung bambu.

Pangkal

Pada bagian tepi penampang lintang batang, sebagian besar sudah terlihat cikal bakal munculnya pola 3, yaitu dengan adanya rantai serabut, sedangkan pada bagian tengah penampang lintang sudah memunculkan bentuk pola 3 dengan bentuk rantai serabut yang membulat. Bentuk pola yang hampir sama juga ada pada bagian pusat dengan rantai serabut yang lebih pipih dan memanjang. Pada bagian dalam, bentuk pola ikatan pembuluhnya tidak sempurna.

Gambar 15. Tampilan utuh bambu D. giganteus

rantai serabut parenkim

metaxilem

ruang antar sel

(43)

Tengah

Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola tidak terlihat karena pembuluh pusat dan rantai serabut masih menyatu. Pada bagian tengah penampang lintang, bentuk pola sudah terlihat jelas dengan rantai serabut yang bulat dan agak runcing pada bagian ujungnya. Pada bagian pusat, bentuk pola hampir sama dengan tengah penampang lintang, tetapi bentuk rantai serabut ramping. Bentuk yang hampir sama ditemukan pada bagian dalam, tetapi dikombinasikan juga dengan adanya pola yang tidak sempurna karena tidak mengandung rantai serabut (Gambar 17).

Ujung

Bentuk pola pada seluruh bagian penampang lintang bambu bagian ujung hampir sama dengan bagian tengah dengan ukuran yang lebih kecil. Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola belum terlihat. Pada bagian tengah, bentuk pola sudah terlihat, yaitu pola 3. Pada bagian dalam penampang lintang, bentuk pola tidak sempurna ( Gambar 18).

Gambar 16. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian pangkal (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus

(44)

Susunan pola pada berbagai posisi vertikal terlihat berbeda. Pada bagian pangkal bentuk rantai serabut ramping agak melengkung ke arah tangensial. Sementara pada bagian tengah rantai serabut membulat agak melengkung walaupun sebagian kecil berbentuk lurus (tidak melengkung). Pada bagian ujung bentuk rantai serabut membulat dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan bagian pangkal dan tengah.

Dendrocalamus strictus

Bambu D. strictus termasuk ke dalam bambu simpodial yang berasal dari negara India, Nepal, Banglades, Burma dan Thailand (Dransfield danWidjaja 1995). Di kebun raya Bogor, bambu ini tumbuh dengan rata-rata tinggi batang adalah 9 m dengan rata-rata tebal dinding batang bagian pangkal adalah 1.5 cm (Gambar 19). Pada bagian ujung, penampang lintang batang berbentuk solid (tidak berongga). Tahapan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi pada pangkal, tengah dan ujung batang.

Pangkal

Gambar 18. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian ujung (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3pada D. giganteus

Gambar 19. Bentuk pohon bambu D. strictus secara utuh

kulit dalam

(45)

Pola ikatan pembuluh bambu D. strictus bagian pangkal adalah pola 3 yang tampak jelas pada bagian tengah penampang lintang batang dengan rantai serabut berbentuk setengah bulatan. Pada bagian dalam, bentuk pola tampak tidak sempurna karena hanya terdiri atas rantai pembuluh pusat (Gambar 20).

Tengah

Pola ikatan pembuluh pada bagian tengah mempunyai bentuk yang sama dengan bagian pangkal dan ujung, hanya ukuran dan kerapatannya saja yang berbeda. Bentuk rantai serabut berupa setengah bulatan yang kelihatan jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang sementara pada bagian tepi rantai serabut masih bergabung dengan dengan rantai pembuluh pusat sementara pada bagian dalam bentuk pola tidak sempurna karena rantai serabut tidak ada lagi (Gambar 21).

(46)

Ujung

Bentuk pola ikatan pembuluh pada bagian ujung agak berbeda dibandingkan dengan bagian pangkal dan tengah karena bentuknya ramping. Rantai serabut setengah bulatan yang lonjong yang terlihat jelas polanya pada bagian tengah. Perubahan bentuk pola yang sangat mendadak terlihat antara bagian tepi dengan tengah yang diduga terjadi karena dinding batang yang sempit (Gambar 22).

Dendrocalamus asper

Bambu D. asper adalah bambu kelompok simpodial yang berasal dari Jawa dan Malaysia (Botanic Garden of Indonesia 2001). Tingggi batang bambu rata-rata 21 m dengan diameter batang pada bagian pangkal sebesar 1.8 cm sedangkan ketebalan batang pada bagian ujung adalah 0.8 cm. Tampilan bambu D. asper secara utuh dapat diamati pada Gambar 23. Uraian sifat anatomi pada berbagai posisi vertikal dijelaskan pada uraian selanjutnya.

Gambar 21. (a) Penampang lintang D. strictus bagian tengah dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus

Gambar 22. (a) Penampang melintang D. strictus bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus

rantai serabut

sklerenkim metaxilem

ruang antar sel parenkim

jar. floem

kulit dalam

(47)

Pangkal

Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh tampak terdiri atas 2 bagian yaitu rantai pembuluh pusat dan rantai serabut. Ukuran rantai serabut lebih besar dibandingkan rantai pembuluh pusat. Pada bagian tengah penampang lintang, sudah terlihat bentuk pola yaitu pola 4 dengan bentuk rantai serabut agak membulat dan tebal. Demikian pula pada bagian pusat bentuk pola 4 terlihat jelas dengan sedikit perbedaan dalam bentuk rantai

Pada bagian tepi penampang lintang batang, kedua rantai serabut saling bersambungan sehingga rantai pembuluh pusat seperti berada di tengah-tengah serabut. Pada bagian tengah penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh terlihat jelas membentuk pola ikatan pembuluh 4 dan sebagian kecil muncul pola ikatan pembuluh 3 (Gambar 25). Hal sama juga terlihat pada bagian pusat penampang lintang, hanya bentuk kedua rantai serabut relatif memanjang

Gambar 23. Bentuk pohon bambu D. asper

(48)

dan pada bagian ini terbentuk pola 3 dan 4. Pada bagian dalam bentuk pola ikatan pembuluh ada yang sempurna dan tidak sempurna.

Ujung

Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh belum terlihat karena rantai serabut masih menyatu. Sedangkan pada bagian tengah penampang lintang sudah terlihat pemisahan rantai serabut membentuk pola 3. Pada bagian pusat bentuk kedua rantai serabut terlihat memanjang dan menjadi tidak sempurna pada bagian dalam (Gambar 26).

(49)

Gigantochloa apus

G. apus adalah bambu yang berasal dari Burma dan Thailand dan termasuk ke dalam bambu simpodial (Dransfield dan Widjaja 1995). Tinggi batang rata-rata 17 m dengan diameter batang bagian pangkal adalah 7.2 cm. Pada bagian ujung batang, diameternya adalah 5.2 cm. Ketebalan dinding batang berturut-turut pada bagian pangkal dan ujung adalah 1 cm dan 0.5 cm (Gambar 27). Selanjutnya adalah uraian sifat anatomi bambu pada bagian pangkal, tengah, dan ujung batang.

Pangkal

Pola ikatan pembuluh pada bambu G.apus adalah pola 4 yang kelihatan jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang (Gambar 28). Rantai serabut yang muncul mendahului rantai pembuluh pusat berbentuk setengah bulatan dengan ukuran lebih kecil dibandingkan rantai serabut pasangannya. Pada bagian tepi penampang lintang, kedua rantai serabut masih menyatu dengan rantai pembuluh pusat sehingga bentuk pola tidak terlihat jelas. Hal yang agak berbeda terlihat di bagian dalam yaitu bentuk pola tampak tidak sempurna karena ada sebagian rantai serabut yang hilang.

Gambar 26. Penampang lintang D. asper bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan pembuluh 3 pada D. asper

rantai serabut parenkim

metaxilem

ruang antar sel

(50)

Tengah

Pola ikatan pembuluh pada bagian tengah batang adalah pola 4 yang jelas terlihat pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang. Pada bagian tepi penampang lintang, rantai serabut sebagian masih bergabung dengan rantai pembuluh pusat sedangkan yang lainnya terlihat sudah terpisah. Dua rantai serabut yang bergabung dengan rantai pembuluh pusat memiliki ukuran yang berbeda (Gambar 29).

Ujung

(51)

Gigantochloa atroviolacea

G. atrovilacea adalah bambu yang berasal dari negara Indonesia dan tumbuh secara simpodial (Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini tumbuh di daerah Dermaga, Bogor (Fakultas Kehutanan) dengan tinggi batang rata-rata 19 m. Diameter batang bagian pangkal adalah 6.2 cm dengan ketebalan dinding batang 1.1 cm. Diameter batang bagian ujung adalah 5.1 cm dengan ketebalan dinding batang sebesar 0.6 cm. Gambaran lengkap bambu G. atroviolacea dapat diamati pada Gambar 31. Adapun uraian sifat anatomi batang pada bagian pangkal, tengah dan ujung diuraikan dalam tulisan selanjutnya.

Pangkal

Pola ikatan pembuluh bambu Gigantochloa atroviolacea adalah pola 4 yang terlihat sangat jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang. Rantai serabut pada bagian tepi penampang lintang masih bergabung dengan rantai pembuluh pusat sehingga bentuk pola belum terlihat. Pada bagian dalam sebagian pola tersusun sempurna dan sebagian lagi tidak sempurna. Bentuk rantai serabut sangat unik dibandingkan dengan pola pada spesies bambu lain yaitu seperti bulan sabit yang melengkung tajam. Memang ada 2 rantai serabut yang menyusun pola tetapi ukuran salah satu rantai serabut yang satu

Gambar 31. Bentuk pohon bambu G. atroviolecea

Gambar 30. (a) Penampang lintang G. apus bagian ujung ( pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. apus

kulit dalam

(52)

lebih kecil dibanding pasangannya (Gambar 32). Sifat anatomi batang bagian pangkal, tengah, dan ujung batang akan diuraikan pada penjelasan selanjutnya.

Tengah

Pada posisi ini, bambu G. atroviolacea memiliki pola 4 yang terlihat sangat jelas baik pada bagian tengah maupun pusat penampang lintang bambu (Gambar 33). Rantai serabut membentuk setengah bulatan tipis yang melengkung tajam. Ukuran rantai serabut yang membentuk satu pola ikatan tidak sama. Pola yang sangat jelas terlihat pada penampang lintang bagian tengah dan pusat sementara pola ikatan pembuluh pada bagian dalam tidak sempurna.

Ujung

Bagian ujung batang bambu G. atroviolacea memilikipola 3. Pada bagian ujung ini rantai serabut berbentuk setengah bulatan yang lebih tebal dibandingkan dengan bagian pangkal dan tengah. Dinding batang yang relatif tipis membagi penampang lintang batang hanya terdiri atas tepi, tengah dan dalam (Gambar 34).

(53)

Hasil penelitian peneliti sebelumnya menyatakan bahwa genus Arundinaria memiliki pola 1 (Grosser dan Liese 1971). Dalam hal ini khusus untuk bambu A. hundsii dan A. javonica, pembuatan contoh uji dan pengamatan tidak dilakukan pada bagian pangkal dan ujung. Hal ini terjadi karena ukuran bambu sangat kecil (diameter 1-2 cm) sedangkan penelitian yang dilakukan membutuhkan bahan yang sangat banyak karena selain untuk bahan penelitian anatomi juga diperlukan juga sebagai bahan dalam penelitian kimia, fisik, dan mekanik. Demikian pula dinyatakan bahwa bambu genus Cephalostachyum hanya memiliki satu pola, yaitu pola 2 untuk semua bagian batang (pangkal, tengah, dan ujung) sedangkan untuk genus Melocanna pada ruas bawah terdapat gabungan pola 2 dan 3. Pada Dendrocalamus dan Gigantochloa pun pada ruas bawah umumnya merupakan gabungan antara pola 3 dan 4.

Penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil yang berbeda seperti yang ditunjukkan oleh spesies Gigantochloa apus dan G atroviolacea. Pada kedua bambu ini pada ruas bawah tidak terdapat pola gabungan, namun pada D. asper khususnya pada ruas bawah murni terdiri atas pola 4 sedangkan pola gabungan hanya ada pada bagian tengah yaitu gabungan pola 3 dan 4 yang didominasi oleh pola 3. Sebagai pembanding penelitian ini, sketsa 4 macam pola ikatan pembuluh hasil penelitian Grosser dan Liese (1971) disajikan pada Gambar 35 dan 36.

metaxilem

Selubung sklerenkim

Selubung pada ruang antar sel

Gambar 34. (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian ujung (pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. atroviolacea

kulit dalam

(54)

Sumber : Grosser dan Liese (1971)

Gambar 35. Sketsa pola ikatan pembuluh 1 (a) dan 2 (b)

Sumber : Grosser dan Liese (1971)

Gambar 36. Sketsa pola ikatan pembuluh 3 (c) dan 4 (d)

Penjelasan dari sketsa pola ikatan pembuluh menurut Grosser and Liese (1971) bahwa pola 1 tersusun atas rantai pembuluh pusat yang terdiri atas metaxilem, floem, dan ruang antar sel sedangkan pada pola 2 hanya ada tambahan berupa selubung pada ruang antar sel yang lebih besar dibanding selubung yang lain. Sementara pola 3 selain memiliki rantai pembuluh pusat juga didukung oleh 1 rantai serabut dan pola 4 memiliki susunan yang hampir sama dengan pola 3 , yaitu hanya memiliki 2 rantai serabut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola ikatan pembuluh pada bambu A. javonica dan A. hundsii yang sama-sama memiliki pola 1 ternyata memiliki beberapa perbedaan (Gambar 37). Perubahan bentuk pola secara bertahap terjadi pada bambu A. javonica sedangkan pada bambu A. hundsii perubahan bentuk pola

Rantai serabut

Selubung sklerenkim metaxilem

(a) (b)

(c)

(55)

tidak secara bertahap. Hal ini diduga karena adanya perbedaan ketebalan dinding batang. Bambu A. javonica memiliki dinding batang tipis dan secara umum dinding batang hanya terbagi atas 3 bagian saja yaitu bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola ikatan pembuluh antara bagian tengah dan dalam hampir sama tetapi ada sedikit perbedaan dalam selubung sklerenkim dimana pada bagian dalam ukurannya lebih kecil. Bentuk pola terlihat jelas pada bagian tengah yaitu membentuk pola 1.

Gambar 37. (a) Pola ikatan pembuluh pada A. javonica (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh A. javonica, (b) Pola ikatan pembuluh A. hundsii (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 1 pada A. hundsii.

Bambu A. hundsii juga memiliki dinding tipis sehingga penampang batang terbagi atas bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola 1 yang sudah jelas tampak pada bagian dalam. Hal ini dimungkinkan karena bambu A. hundsii memiliki dinding batang tipis sehingga perubahan bentuk pola yang cukup jelas baru muncul di bagian dalam batang.

Meta xilem

Meta xilem

Selubung sklerenkim

Selubung sklerenkim

(a)

(b)

(a1)

(56)

Bambu C. pergracile dan M. baccifera memiliki pola 2 baik pada bagian pangkal, tengah maupun ujung. Antara kedua bambu tersebut selain berbeda dalam ketebalan dinding sel di mana bambu C.pergracile lebih tebal dibandingkan dengan bambu M. baccifera juga selubung sklerenkim pada C. pergracile lebih lebar baik yang mengelilingi metaxilem maupun yang mengelilingi ruang antar sel. Untuk lebih jelasnya Gambar 38 menampilkan pola ikatan pembuluh 2 bagian tengah.

Gambar 38. Pola ikatan pembuluh pada (a) C. pergracil (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile, (b) M. baccifera dengan pembesaran 40x, (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera

Bambu-bambu yang memiliki pola 3 dalam penelitian ini adalah D. strictus dan D. giganteus. Bentuk pola bagian pangkal yang dimiliki oleh D. strictus lebih membulat dan berukuran lebih kecil tapi pada D. giganteus bentuk rantai serabutnya memanjang. Demikian pula bentuk rantai serabut kedua bambu pada

Selubung sklerenkim

Selubung sklerenkim pada ruang antar sel

Selubung sklerenkim

(a)

(b)

(a1)

(57)

bagian tengah sama dengan bentuk rantai serabut bagian pangkal dengan ukuran yang lebih kecil. Pada bagian ujung bentuk rantai serabut pada D. giganteus mendatar dan ramping sementara pada D. strictus tetap membulat. Gambaran yang lebih jelas dari kedua bambu pada bagian ujung seperti pada Gambar 39.

Gambar 39. Pola ikatan pembuluh pada (a) D. strictus (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus, (b) Pola ikatan pembuluh D. giganteus (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus

Rantai serabut yang membulat

Rantai serabut yang mendatar

(a)

(b)

(a1

(58)

Beberapa jenis bambu ternyata dalam tampilan batangnya mempunyai 2 jenis pola. Perbedaan pola antar bagian batang pada tingkatan jenis/spesies memang tidak diungkapkan dalam penelitian Grosser dan Liese (1971) tetapi dinyatakan bahwa perbedaan pola dalam satu batang bambu jenis tertentu kemungkinan ada terutama dengan munculnya pola gabungan. Dalam penelitian ini ternyata ditemukan ada 3 jenis bambu yang memiliki perbedaan pola antar bagian batangnya, misal untuk bambu G. apus dan G. atroviolacea memiliki tren pola yang sama yaitu pada bagian pangkal dan tengah mempunyai pola 4 sedangkan pada bagian ujung mempunyai pola 3. Hal ini mudah untuk dimengerti karena pola 4 merupakan pola yang memerlukan ruangan yang relatif lebih luas sehingga muncul hanya pada bagian batang dengan dinding yang relatif lebih tebal sedangkan pola 3 merupakan pola yang lebih sederhana dan memerlukan ruangan lebih sempit sehingga memungkinkan muncul pada bagian ujung. Hal yang sama berlaku pula untuk bambu D. asper namun perbedaan pola terjadi antar bagian pangkal dengan bagian tengah/ujung yaitu pola 4 berada pada bagian pangkal sedangkan bagian tengah dan ujung memiliki pola 3.

Bambu D. asper terutama pada bagian pangkal dan tengah memiliki bentuk rantai serabut yang lancip hampir seperti setengah lingkaran dengan jarak antar pola yang relatif renggang jika dibandingkan dengan pola ikatan pembuluh pada bambu G atroviolacea dan G. apus (Gambar 40). Pada G. atroviolacea bentuk rantai serabut lancip tajam dan jarak antar pola relatif rapat sementara pada G. apus bentuk rantai serabut membulat dan kecil dengan jarak antar pola relatif renggang. Pada bagian tengah batang bentuk rantai serabut sama dengan bagian pangkal dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk rantai serabut bagian ujung dari bambu D. asper adalah membulat ramping sampai datar, juga terdapat pada G. atroviolacea tetapi bentuk yang agak berbeda dimiliki oleh bambu G. apus dengan bentuk rantai serabut mulai dari yang mendatar hingga membulat dengan salah satu sisi melengkung atau meruncing.

(59)

Gambar

Gambar  3.  (a). Bentuk pohon bambu   A. hundsii secara utuh, (b).  Sayatan
Gambar 7.  Bentuk pohon bambu M. baccifera secara utuh
Gambar  9.  (a)  M.  baccifera bagian tengah (pembesaran 40x)  (b) sketsa  pola
Gambar 11. Pembahasan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, PERTUMBUHAN PENJUALAN, CURRENT RATIO, DEBT TO TOTAL ASSET RATIO DAN PERPUTARAN PERSEDIAAN TERHADAP ROA PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGES

Pesawat tempur awalnya dikembangkan pada Perang &unia I untuk menghadapi pesawat pengebom dan balon udara yang mulai la!im digunakan untuk melakukan serangan darat dan

a. Hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan

Tahun 1990-an dunia TI mulai menyadari kelemahan konsep terbuka tersebut ketika malware, istilah teknologi untuk software jahat (malicious software), muncul dalam bentuk

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui debit optimum yang terdapat pada sumur CLB – 122, memberikan gambaran pola tata tanam dan perencanaan jaringan irigasi

Dari hasil pengukuran yang diperoleh tersebut, maka tingkat kehampaan 10-7 torr sesuai denganyang direncanakan akan dapat dicapai apabila dua pasang pompa telah terpasang

PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Daerah Sumatera Utara tahun ini akan menyelenggarakan Seminar Perumahsakitan, Lokakarya dan Medan Hospital Expo VII yang

Penambahan Enzim Fitase pada Pakan Buatan terhadap Nilai Kecernaan Protein dan Energi Ikan Baung ( Mystus nemurus ) Dengan Teknik Pembedahan.. Dosen Pembimbing Utama Muhammad