• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum ekstraksi dilakukan perlu dilakukan beberapa perlakuan khusus. Tanaman rumput mutiara yang baru dipetik dikeringudarakan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mematikan enzim guna mencegah terjadinya oksidasi enzimatik atau hidrolisis senyawaan yang akan diisolasi. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas. Teknik ini digunakan karena relatif sederhana tapi menghasilkan produk yang baik (Meloan 1999, diacu dalam Wulandari 2005). Maserasi ini dilakukan dengan merendam serbuk kering rumput mutiara

Hewan Coba dan Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan lima kali ulangan. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Spraque-Dawley

dengan jenis kelamin jantan, sehat, mempunyai aktivitas normal, dengan berat badan ± 150-200 g, dan berumur ± 6 minggu (Gambar 4). Sebelum mendapatkan perlakuan, tikus diadaptasikan selama dua minggu untuk menyesuaikan kondisi fisiologis, menyeragamkan cara hidup dan makanannya, yaitu dengan memberi pakan standar dan air minum ad libitum. Selama perlakuan, tujuh minggu tikus diberi pakan standar dan air minum ad libitum.

Adapun pembagian kelompok perlakuan, yaitu kelompok A sebagai kontrol tikus diinduksi aquades selama 7 minggu; kelompok B sebagai kelompok hepatotoksik, tikus diinduksi parasetamol dosis 250 mg/kgBB selama 7 minggu; kelompok C tikus diinduksi parasetamol 250 mg/kgBB selama 7 minggu, awal minggu ke-5 sampai minggu ke-7 diberi ekstrak rumput mutiara 400 mg/kgBB; kelompok D tikus diinduksi parasetamol selama 7 minggu, awal minggu ke-5 sampai minggu ke-7 diberi ekstrak rumput mutiara 800 mg/kgBB; kelompok E tikus diinduksi parasetamol sampai minggu ke-4, awal minggu ke-5 sampai minggu ke-7 diberi ekstrak rumput mutiara 400 mg/kgBB; kelompok F tikus diinduksi parasetamol sampai minggu ke-4, awal minggu ke-5 sampai minggu ke-7 diberi ekstrak rumput mutiara 800 mg/kgBB.

Gambar 3 Tikus percobaan galur

Spraque-Dawley

Penimbangan Berat Badan dan Analisis Kadar SGPT dan SGOT

Penimbangan berat badan pada masa adaptasi dilakukan pada awal minggu pertama, akhir minggu pertama dan akhir minggu ke-dua. Setelah dilakukan perlakuan, penimbangan bobot badan dilakukan setiap hari untuk menyesuaikan dosis pemberian parasetamol dan ekstrak rumput mutiara. Pengambilan darah tikus dilakukan sebanyak lima kali, yaitu satu kali sebelum perlakuan, dan empat kali setelah perlakuan, yaitu akhir

minggu ke-empat, ke-lima, ke-enam dan ke- tujuh. Darah tikus diambil melalui pembuluh vena ekor, dan ditampung dalam tabung sentrifus kemudian disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan serumnya (serum berada di bagian atas), serum berwarna kuning muda bening. Setelah itu dilakukan analisis kadar SGPT dan SGOT.

Prosedur analisis SGPT dan SGOT mengikuti metode dari International Federation of Clinical Chemystry (IFCC). Penentuan kadar GPT dan GOT caranya sama hanya berbeda jenis reagen yang digunakan. Metode analisis GPT dan GOT adalah serum darah tikus diambil sebanyak 100 μL dicampur dengan reagen GPT sebanyak 1000

μL, setelah itu campuran disimpan di penangas air suhu 37 0C kemudian absorbannya dibaca dengan menggunakan fotometer UV pada panjang gelombang 340 nm. Pembacaan dilakukan pada menit ke-1, 2 dan 3. Kadar GPT dicari dengan rumus Δ A/menit x 1745. Kadar GOT dicari dengan cara yang sama seperti GPT tetapi menggunakan reagen GOT.

Analisis Data Statistik

Analisis data terhadap kadar enzim SGPT dan SGOT menggunakan analisis ragam (ANOVA) rancangan acak lengkap (RAL) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0,05 dan kemudian dilanjutkan dengan uji duncan untuk melihat perbedaan pengaruh perlakuan antar kelompok percobaan. Data kadar SGPT dan SGOT dianalisis menggunakan program SAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi

Sebelum ekstraksi dilakukan perlu dilakukan beberapa perlakuan khusus. Tanaman rumput mutiara yang baru dipetik dikeringudarakan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mematikan enzim guna mencegah terjadinya oksidasi enzimatik atau hidrolisis senyawaan yang akan diisolasi. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas. Teknik ini digunakan karena relatif sederhana tapi menghasilkan produk yang baik (Meloan 1999, diacu dalam Wulandari 2005). Maserasi ini dilakukan dengan merendam serbuk kering rumput mutiara

dengan pelarut selama 3x24 jam dengan mengganti pelarut setiap 24 jam. Hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil ekstrak yang maksimal. Perbandingan bahan dan pelarut dapat mempengaruhi hasil ekstraksi.

Menurut Cowley (1973), diacu dalam Melawati (2006) perbandingan yang baik antara bahan dan pelarut adalah 1:10. Oleh karena itu penelitian ini juga menggunakan perbandingan tersebut. Pada penelitian ini, pelarut yang digunakan untuk maserasi rumput mutiara adalah etanol 70%. Pemilihan etanol 70% sebagai pelarut karena etanol 70% sering digunakan untuk ekstraksi dan menghasilkan senyawa bahan aktif yang optimal dan kemungkinan jumlah pengotor yang ikut dalam larutan pengekstrak sangat kecil (Harbone 1997). Rendemen ekstrak rumput mutiara yang telah dirotavapor/dipekatkan adalah sebesar 30.06% dari 3 kali ulangan. Rendemen ekstrak ini kemudian akan digunakan untuk menentukan dosis ekstrak yang akan diberikan ke tikus.

Uji Fitokimia

Sampel yang digunakan adalah ekstrak pekat rumput mutiara Penapisan fitokimia secara kualitatif dilakukan sebagai uji awal untuk mengetahui keberadaan senyawa kimia spesifik, yaitu senyawa metabolit sekunder yang diharapkan dapat berperan sebagai antihepatotoksik. Penapisan fitokimia ini didasarkan pada metode Harborne (1987). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak rumput mutiara mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan steroid (Tabel 1). Pada uji alkaloid sampel menunjukkan hasil positif terhadap ketiga pereaksi (Wagner, Mayer, dan Dragendorf). Adanya flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna merah jingga. Tanin ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna hitam kehijauan. Saponin ditunjukkan dengan adanya busa dan tetap stabil setelah didiamkan selama 10 menit. Steroid ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna hijau.

Senyawa-senyawa metabolit sekunder yang dapat bersifat sebagai hepatoprotektor adalah flavonoid berdasarkan penelitian Ardiningsih (1995) dan saponin berdasarkan penelitian Kayun (2003). Menurut Robinson (1995), flavonoid sering merupakan senyawa pereduksi yang baik, karena mampu menghambat banyak reaksi oksidasi, baik

secara enzimatis maupun nonenzimatis. Aktivitas antioksidan dari beberapa golongan

flavonoid dapat menjelaskan mengapa flavonoid yang merupakan komponen aktif dari tumbuhan digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati (Robinson 1995). Keberadan saponin dalam tumbuhan dapat juga dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Lacaile dan Wagner (1996) aktivitas spesifik saponin termasuk aktivitas yang berhubungan dengan kanker, seperti sitotoksik, antitumor, antiperadangan, antialergenik, antivirus, antihepatotoksik, antidiabetes, dan antifungal.

Tabel 1 Hasil uji fitokimia ekstrak pekat rumput mutiara. Uji Hasil Alkaloid + Flavonoid + Saponin + Triterpenoid - Steroid + Tanin + Keterangan :

(+) = mengandung senyawa uji, (-) = tidak mengandung senyawa uji

Hepatotoksik Parasetamol

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada minggu ke-0 (sebelum perlakuan) kadar SGPT tikus kelompok B, E, dan D tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan kelompok A, sedangkan kelompok F dan C berbeda nyata dengan kelompok A tetapi tidak berbeda nyata dengan kelompok B. Hasil yang tidak berbeda nyata ini disebabkan oleh kondisi fisioligis hewan coba yang tidak seragam, lingkungan juga bisa mempengaruhi fisiologis hewan coba tersebut, ada beberapa tikus yang terlihat sangat agresif, ada tikus yang membuang- buang pakan yang diberikan, serta ada tikus yang terlihat lemah. Walaupun demikian kadar SGPT tikus masih dalam keadaan normal, hal ini sesuai dengan kisaran kadar SGPT tikus normal menurut Girindra (1989), yaitu sebesar 17 U/L─30.2 U/L. Kelompok C dan F kadar rata-rata kadar SGPTnya berada diluar kisaran normal, yaitu 31.257 U/L dan 32.476 U/L. Namun hal ini masih bisa dianggap normal karena nilai kadar tersebut tidak begitu jauh dari kisaran normal kadar SGPT tikus menurut Girindra (1989). Kadar SGOT tikus pada minggu ke-0 (sebelum perlakuan) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata setiap antar kelompok. Kadar SGOTnya tersebut berada dalam keadaan normal dan sesuai dengan kisaran kadar SGOT tikus normal menurut Girindra (1989), yaitu 45.7-80.8 U/L.

Setelah dilakukan perlakuan pemberian parasetamol dosis 250 mg/kgBB selama 4 minggu terhadap kelompok B, C, D, E dan F telah menaikkan kadar SGPT 4-5 kali dan kadar SGOT tikus 4-6 kali keadaan normalnya, terlihat pada Gambar 4 dan 5. Kadar SGPT kelompok perlakuan yang diberi parasetamol 250 mg/kgBB berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan berbeda nyata dengan kelompok A (normal). Kadar SGPT kelompok E dan F tidak saling berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan kelompok B dan D, sedangkan kelompok C tidak berbeda nyata dengan kelompok B, D dan E. Kadar SGOT tikus setelah diinduksi perasetamol 250 mg/kgBB selama 4 minggu telah menyebabkan kenaikan kadar SGOTnya dan berbeda nyata dengan kelompok normalnya. Kenaikan 4-6 kali kadar SGPT dan SGOT mengindikasikan telah terjadi kerusakan fungsi hati yang bersifat hepatitis kronis.

Menurut Suarsana dan Budiasa (2005) peningkatan kadar SGPT dan SGPT 1-5 kali lebih tinggi dari keadaan normalnya menunjukkan kerusakan hati yang terjadi bersifat hepatotoksis kronis. Kelompok B (kelompok hepatotoksik), yaitu tikus diinduksi perasetamol sampai minggu ke-7 ternyata mengalami kenaikan kadar SGPT dan SGOT yang cukup tajam pada minggu ke-7, Kerusakan fungsi hati yang terjadi dapat bersifat hepatotoksik kronis yang permanen.

Uji Antihepatotoksik

Setelah dilakukan pemberian ekstrak etanol rumput mutiara, pada minggu ke-5 (seminggu setelah pemberian ekstrak etanol rumput mutiara), kadar SGPT kelompok C, D dan E berbeda nyata dengan kelompok B juga berbeda nyata dengan kelompok A. Kelompok F tidak berbeda nyata dengan kelompok B, tetapi berbeda nyata dengan kelompok C, D dan E Kelompok F penurunan kadar SGPTnya sangat kecil sehingga masih tidak berbeda nyata dengan kelompok B, dan berbeda nyata dengan kelompok C, D dan E. Namun semua kelompok yang telah seminggu diberi ekstrak etanol rumput mutiara berdasarkan uji statistik menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) dengan kelompok A. Kadar SGOT setelah seminggu diberi ekstrak etanol rumput mutiara mengalami penurunan yang sangat kecil dan penurunannya belum begitu terlihat, sehingga kelompok yang telah diberi ekstrak etanol rumput mutiara pada minggu ke-5 memperlihatkan hasil uji statistik yang tidak berbeda nyata dengan kelompok B, dan

berbeda nyata dengan kelompok A. Hal ini disebabkan pemberian ekstrak 400 maupun 800 mg/kgBB yang diberikan belum dapat melawan efek hepatotoksik parasetamol karena waktu pemberian masih relatif singkat.

Penurunan kadar SGPT dan SGOT baru terlihat jelas setelah minggu ketujuh, tetapi pada minggu ketujuh pun belum mencapai keadaan normalnya seperti sebelum diberi perlakuan dan masih berbeda nyata dengan kelompok normal yang dicekok akuades, kemungkinan pemberian ekstrak etanol rumput mutiara perlu diperpanjang lagi waktunya. Kadar SGPT pada minggu ke-7 berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa kelompok C, D, E dan F tidak saling berbeda nyata tetapi berbeda nyata terhadap kelompok B. Kelompok C tidak berbeda nyata dengan kelompok A tetapi kelompok D, E, dan F berbeda nyata dengan kelompok A. Kadar SGOT tikus pada minggu ke-7 berdasarkan uji statistik menujukkan bahwa kelompok C, D, E dan F tidak saling berbeda nyata tetapi berbeda nyata terhadap kelompok B dan juga terhadap kelompok A. Kelompok normal juga mengalami kenaikan kadar SGPT dan SGOT disebabkan tikus mengalami stres akibat pencekokan, dan pemotongan ekor untuk pengambilan darah, seperti terlihat pada Gambar 4 dan 5.

Perlakuan C dan D ingin membuktikan apakah ekstrak etanol rumput mutiara bersifat hepatoprotektor. Pemberian ekstrak rumput mutiara dilakukan memasuki minggu ke-5 sampai minggu ke-7 dengan tidak menghentikan pemberian parasetamol. Hasil analisis memperlihatkan pemberian ekstrak etanol rumput mutiara selama tiga minggu pada kelompok C dengan dosis 400 mg/kgBB dan kelompok D dosis 800 mg/kgBB dapat menurunkan kadar SGPT dan SGOT tikus. Berdasarkan data statistik setelah pemberian ekstrak etanol rumput mutiara selama 3 minggu, pada minggu ke-7 kadar SGPT tikus kelompok C dan D menujukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) bila dibandingkan dengan perlakuan B juga berbeda nyata dengan kelompok A. Kadar SGOTnya pada minggu ke-7 memperlihatkan hasil uji statistik yang berbeda nyata terhadap kelompok B dan juga kelompok A, namun telah memperlihatkan penurunan yang cukup berarti (Gambar 4 dan 5).

Perlakuan E dan F ingin membuktikan apakah ekstrak etanol rumput mutiara bersifat antihepatotoksik. Pemberian ekstrak rumput mutiara dilakukan memasuki minggu ke-5 sampai minggu ke-7 pemberian parasetamol

10 40 70 100 130 160 190 220 250 0 1 2 3 4 5 6 7 8 minggu ke- k a d a r S G O T ( U /L ) S GOT kelompok A S GOT kelompok B S GOT kelompok C S GOT kelompok D S GOT kelompok E S GOT kelompok F 10 50 90 130 170 210 0 1 2 3 4 5 6 7 8 m inggu ke- k a d a r S G P T ( U /L ) SGPT kelompok A SGPT kelompok B SGPT kelompok C SGPT kelompok D SGPT kelompok E SGPT kelompok F

250 mg/kgBB dihentikan pada minggu ke-4. Hasil analisis memperlihatkan pemberian ekstrak etanol rumput mutiara selama tiga minggu pada kelompok E dengan dosis 400 mg/kgBB dan kelompok F dosis 800 mg/kgBB dapat menurunkan kadar SGPT dan SGOT tikus. Hal ini dapat dilihat dari penurunan aktivitas enzim SGPT serta SGOT pada minggu ke-7, berdasarkan uji statistiknya berbeda secara nyata (P<0.05) bila dibandingkan dengan perlakuan B, tetapi kelompok E sudah tidak berbeda nyata dengan kelompok A sedangkan kelompok F masih berbeda nyata dengan kelompok A.

Pemberian ekstrak etanol rumput mutiara dosis 400 dan 800 mg/hari/kgBB selama 3 minggu memperlihatkan efek sebagai hepatoprotektif yaitu mampu menurunkan kadar SGPT dan SGOT tikus yang terus dipapar dengan parasetamol. Ekstrak etanol rumput mutiara juga mempunyai efek antihepatotoksik, menurunkan kadar SGPT dan SGOT tikus akibat pemberian parasetamol selama 4 minggu.

Gambar 4 dan 5 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rumput mutiara dosis 400 dan 800 mg/kgBB selama 3 minggu pada kelompok yang dipapar terus parasetamol, yaitu kelompok C dan D pada minggu ke-7 berdasarkan uji statistiknya menunjukkan tidak saling berbeda nyata. Kelompok E dan F yang dihentikan pemberian parasetamolnya pada minggu keempat dan dilanjutkan dengan pemberian ektrak rumput mutiara dosis 400 dan 800 mg/kgBB selama 3 minggu menunjukkan adanya penurunan kadar SGPT dan SGOT yang tidak saling berbeda nyata. Kelompok E dan F juga tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok C dan D yang terus dipapar parasetamol. Artinya dari keempat kelompok tersebut dengan dosis ekstrak rumput mutiara 400 dan 800 mg/kgBB mampu melindungi hati dan mampu mengobati kerusakan fungsi hati. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan dosis 800 mg/kgBB, pengaruh pemberian ekstrak rumput mutiara antara kedua dosis tersebut tidak berbeda, artinya pengaruh antara kedua dosis tersebut sama saja. Sehingga dosis 400 mg/kgBB sudah cukup efektif untuk menurunkan kadar SGPT maupun SGOT tikus pada tingkat 4-6 kali keadaan normalnya. Dosis 400 mg/kgBB tersebut tidak berbeda dengan hasil penelitian Ardiningsih (1995) yang menyatakan bahwa ekstrak kasar dari rumput laut (Sargassum sp.) dapat berfungsi sebagai antihepatotoksik pada ayam yang dinduksi parasetamol (250 mg/kgBB).

Gambar 4 Kadar SGPT rata-rata tikus selama perlakuan

Gambar 5 Kadar SGOT rata-rata tikus selama Perlakuan

Bobot Badan

Gambar 6 menyajikan rataan bobot badan hewan uji untuk keenam kelompok. Sebelum perlakuan selama masa adaptasi konsumsi pakan semua kelompok tikus sedikit kemungkinan masih belum bisa menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan pemberian jenis pakan yang baru. Memasuki masa perlakuan 1-3 minggu kenaikan bobot badan tikus rata-rata naik, tetapi memasuki minggu keempat kelompok perlakuan yang diinduksi parasetamol mengalami penurunan rata-rata bobot badan. Hal ini disebabkan mungkin karena telah terjadi kerusakan jaringan hati oleh parasetamol sehingga fungsi hati dalam metabolisme menurun, akibatnya tikus berkurang dalam mengkonsumsi pakannya. Gambar 7 memperlihatkan penurunan bobot badan tikus kelompok B dari hari ke-28 mengalami penurunan drastis, hal ini dimungkinkan akibat kerusakan hati akut pada tikus mengakibatkan konsumsi pakan tikus berkurang akibat dari menurunnya fungsi metabolik hati. Kelompok C, D, E dan F setelah dilakukan pemberian ekstrak rumput mutiara dari hari ke-28 mengalami kenaikan bobot badan yang signifikan. Hal ini disebabkan jaringan hati yang rusak telah mengalami regenerasi sel akibat pemberian ekstrak rumput mutiara, sehingga kemampuan metabolismenya normal kembali.

130 140 150 160 170 180 0 7 14 21 28 35 42 49 56 hari b o b o t (g ra m ) kelompok A kelompok B kelompok C kelompok D kelompok E kelompok F

Gambar 6 Ratan bobot badan tikus selama perlakuan

Dokumen terkait