• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lam.)

Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa

(L.) Lam. ) mempunyai nama sinonim, yaitu

Oldenlandia corymbosa, Linn. Rumput ini juga mempunyai beberapa nama lokal, diantaranya rumput siku-siku, bunga telor belungkas (Indonesia); daun mutiara, rumput mutiara (Jakarta), katepan, urek-urek polo (Jawa), pengka (Makasar), Shui xian cao (China). Rumput mutiara diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Asterdae, ordo Rubiales, famili Rubiaceae, genus Oldenlandia L, spesies

PENDAHULUAN

Seiring dengan berkembangnya penggunaan tanaman obat dalam kesehatan dengan semboyan “back to nature”, keingintahuan masyarakat terhadap khasiat dan manfaat tanaman obatpun semakin berkembang. Saat ini masyarakat mulai menyadari bahwa pemakaian bahan kimia sering menimbulkan efek samping, sehingga lebih memilih menggunakan bahan alami yang berasal dari tumbuhan. Obat tradisional dan tanaman obat banyak digunakan masyarakat menengah ke bawah terutama dalam upaya preventif, promotif dan rehabilitasi.

Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap berbagai penyakit degeneratif dan penyakit infeksi. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, turunan senyawa flavonoid, sulfida, alkaloid, dan asam fitat.

Penyakit hati atau yang lebih dikenal sebagai hepatitis merupakan suatu proses peradangan pada jaringan hati. Penyebab timbulnya kerusakan fungsi hati ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, aflatoksin, konsumsi alkohol yang berkepanjangan serta obat-obatan. Hati merupakan organ yang sangat penting dan memiliki aneka fungsi dalam proses metabolisme sehingga organ ini sering terpajan zat kimia. Zat kimia tersebut akan mengalami detoksikasi dan inaktivasi sehingga menjadi tidak berbahaya bagi tubuh. Kerusakan hati karena obat dan zat kimia dapat terjadi jika cadangan daya tahan hati berkurang dan kemampuan regenerasi sel hati hilang dan selanjutnya akan mengalami kerusakan permanen sehingga dapat fatal.

Berbagai upaya pengobatan gangguan fungsi hati secara klinis telah dilakukan, namun cara ini membutuhkan pengeluaran biaya yang mahal dan menyebabkan efek samping yang merugikan. Oleh karena itu, penelitian mulai dialihkan pada pengobatan tradisional yang dapat dijangkau masyarakat. Secara tradisional. Banyak jenis tumbuhan yang digunakan karena aktivitas antihepatotoksiknya sebagai obat peradangan hati, salah satunya adalah rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.). Masyarakat

menggunakan tanaman tersebut dengan cara meminum air rebusannya.

Penggunaan parasetamol sebagai model penelitian karena pemberian parasetamol dosis berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan kerusakan sel hati secara konsisten. Hepatotoksisitas adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan kerusakan pada hati akibat penggunaan obat. Hepatotoksik dari parasetamol pada manusia dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 g (200-250 mg/kgBB). Gejala pada hari pertama keracunan akut parasetamol tidak mencerminkan bahaya yang mengancam. Anoreksia, mual dan muntah serta sakit perut terjadi 24 jam pertama dan dapat berlangsung selama seminggu atau lebih. Gangguan fungsi hati terjadi dalam waktu 24 jam dan mencapai puncak lebih kurang 4 hari setelah pemberian obat tersebut (Boyer & Rouff 1977). Donatus dan Susana (1992) menyatakan bahwa dosis parasetamol 250 mg/kgBB telah memberikan efek hepatotoksik yang nyata (P<0.05) pada mencit percobaan.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek pemberian ekstrak etanol rumput mutiara sebagai antihepatotoksik terhadap penurunan kadar SGOT dan SGPT tikus putih yang diinduksi parasetamol dosis tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah informasi ilmiah mengenai pemanfaatan rumput mutiara dalam mengobati penyakit hati. Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol 70% rumput mutiara dapat menurunkan kadar SGOT dan SGPT tikus putih yang diinduksi parasetamol dosis hepatotoksik.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L.)

Lam.)

Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa

(L.) Lam. ) mempunyai nama sinonim, yaitu

Oldenlandia corymbosa, Linn. Rumput ini juga mempunyai beberapa nama lokal, diantaranya rumput siku-siku, bunga telor belungkas (Indonesia); daun mutiara, rumput mutiara (Jakarta), katepan, urek-urek polo (Jawa), pengka (Makasar), Shui xian cao (China). Rumput mutiara diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Asterdae, ordo Rubiales, famili Rubiaceae, genus Oldenlandia L, spesies

Oldenlandia corymbosa L. atau Hedyotis corymbosa L. (DepKes BPPK 1999).

Rumput mutiara ini tumbuh rindang berserak, berupa semak, batang tegak, berbulu, agak lemah, tinggi 15-50 cm, tumbuh subur pada tanah lembab di sisi jalan, pinggir selokan dan cukup sinar matahari, 1 batang bersegi dan mempunyai banyak percabangan. Daun berhadapan bersilang, tangkai daun pendek/hampir duduk, berbentuk lanset, dan berwarna hijau panjang daun 2 - 5 cm, ujung runcing, tulang daun satu di tengah dan ujung daun mempunyai rambut yang pendek. Bunga ke luar dari ketiak daun, bentuknya seperti payung berwarna putih, berupa bunga majemuk 2-5, tangkai bunga (induk) keras seperti kawat, panjangnya 5-10 mm. Buahnya bulat, berwarna coklat dan ujungnya pecah- pecah (Anonim 2005) ditunjukan pada Gambar 1.

Menurut Kusuma dan Zazky (2005), bagian tanaman yang digunakan sebagai obat, yaitu seluruh tanaman, segar atau yang dikeringkan. Sifat kimiawi dan efek farmakologisnya diantaranya rasa manis, tawar, sedikit pahit, netral, lembut dan sejuk agak dingin (Dalimarta 2006; Kusuma & Zaky 2005). Kandungan kimia yang terkandung dalam rumput mutiara diantaranya hentriakontan, stigmasterol, asam ursolat, asam oleanolat, Beta-sitosterol, sitosterol-D- glukosida, p-asam kumarat, flavonoid glikosida, baihuasheshecaosu (analog kumarin), iridoid glikosida, alizarin, krorogenin, dan ikatan antragalol (Wijaya 2004; Soenanto & Kuncoro 2005).

Rumput mutiara memiliki khasiat sebagai antiradang (antiinflamasi), diuretik, antipiretik, antitoksin, antikarbunkular (menyembuhkan bisul), memperlancar sumbatan sperma (Kusuma & Zaky 2005 ; trubus 2005), meningkatkan daya fagositosis sel darah putih dan imunitas hormonal (Dalimarta 2005). Rumput ini juga dapat mengobati berbagai penyakit, seperti hepatitis, radang kandung empedu, hipertensi, tonsilis, brochitis, gondongan, pneumonia, radang usus buntu, infeksi saluran kemih, radang panggul, infeksi saluiran kemih, bisul dan borok (Anonim 2005, Permadi 2006).

Gambar 1 Tanaman Rumput Mutiara (Hedyotis Corymbosa (L.) Lam)

Organ Hati dan Fungsinya

Hati merupakan organ tempat proses metabolisme terbesar dan terpenting dalam tubuh. Letaknya di perut bagian kanan, di belakang tulang iga. Sebagai organ terbesar di antara organ dalam lain, hati berbobot sekitar 1/36 berat badan orang dewasa, atau kira-kira 1.200-1.600 gram. Normalnya, hati berukuran selebar telapak tangan pemiliknya atau 7-10 cm. Hati memiliki beberapa fungsi penting, yaitu pembentukan dan ekskresi cairan empedu, fungsi metabolik, pertahanan tubuh, dan tempat detoksifikasi berbagai macam zat toksik.. Empedu dibentuk oleh hati. Sekitar satu liter cairan empedu diekskresikan (dikeluarkan) oleh hati setiap hari. Garam empedu yang dihasilkan penting untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus halus. Garam ini sebagian diserap kembali oleh usus halus dan dialirkan ke hati.

Hati terlibat dalam sintesis, penyimpanan dan metabolisme banyak senyawa endogen dan klirens senyawa eksogen, termasuk obat dan toksin yang lain dari tubuh (Kenward & Chik 2003). Sebagian besar racun memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap racun dibawa oleh vena vorta hati ke hati. Hati akan mengubah senyawa racun menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut air (Casarett & Doull’s 1989). Senyawa racun dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati sehingga dapat menyebabkan kerusakan hati, seperti steatosis, kolestasis, nekrosis, dan sirosis.

Steatosis (perlemakan hati) adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Toksin dari tetrasiklin dapat menyebabkan butiran lemak dalam suatu sel, sedangkan etanol dapat menyebabkan butiran lemak besar yang menggantikan inti, yang paling umum adalah mekanisme rusaknya pelepasan trigliserida hati ke plasma. Nekrosis adalah kematian hepatosit dan merupakan suatu manifestasi akut yang berbahaya tetapi tidak terlalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali (Lu 1995). Sirosis adalah suatu kondisi di mana jaringan hati yang sehat digantikan oleh jaringan parut. Akibatnya, aliran darah menuju hati menjadi terhambat, sehingga fungsi hati pun menjadi terganggu.

Parasetamol

Parasetamol atau asetaminofen merupakan kelompok obat para amino fenol yang berfungsi sebagai analgesik dan

antipiretik. Struktur parasetamol ditunjukkan pada Gambar 3. Parasetamol memberikan efek yang sangat baik dan aman jika digunakan dalam dosis pengobatan yang tepat. Clark (1973) menyatakan bahwa penggunaan parasetamol secara terus menerus dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati karena terbentuknya ikatan antara makromolekul sel hati dengan metabolit intermediet parasetamol. Toksisitas parasetamol akan berbeda pada setiap spesies. Penurunan jumlah glutation jaringan hati lebih peka terhadap hewan-hewan yang peka terhadap keracunan parasetamol dibandingkan pada binatang yang tidak peka walaupun diberikan dosis parasetamol yang sama (Davis

et al. 1976).

Menurut Goodman dan Gilman’s (1980), parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim mikrosomal hati. Parasetamol mengalami biotranformasi di hati dan sebagian besar dieksekresikan setelah berkonjugasi dengan glukuronat (60%), asam sulfat (3%) dan sistein (3%). Jika mengkonsumsi dalam dosis yang tinggi, maka parasetamol ikut mengalami N-hidroksilasi dengan secara spontan mengalami dehidratasi membentuk metabolit N-asetil-p- benzoquinone yang bersifat hepatotoksik. Masih menurut Goodman dan Gilman’s, hepatotoksis dapat terjadi setelah mengkonsumsi dosis tunggal 10-15 g (200- 250 mg/kg) parasetamol. Dosis di atas 250 mg/kg secara potensial sangat fatal. Indikasi klinik terhadap manifestasi kerusakan hati terjadi 2-6 hari setelah mengkonsumsi parasetamol dosis toksik.

Hipotesis mekanisme toksisitas parasetamol dibagi menjadi dua yaitu melalui antaraksi kovalen dan antaraksi nirkovalen. Antaraksi kovalen, terjadi karena pemberian parasetamol dosis toksik akan menguras kandungan GSH-sitosol sehingga N-asetil-p- benzokuinonimina (NAPBKI) akan berikatan secara kovalen dengan makromolekul protein sel hati, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan sel (Gillette 1981; Tirmenstein & Nelson 1990), sedangkan antaraksi nirkovalen, melibatkan pembentukan radikal bebas N-asetil-p-semikuinonimina (NAPSKI), pembangkitan oksigen reaktif, anion superoksida serta gangguan homeostasis Ca

2+

, yang semuanya akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel hati (Chan, Han & Kan 2001). Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma, pada nekrosis, terjadi pembengkakan mitokondria, pembengkakan sitoplasma, penghancuran

organel dan inti, dan pecahnya membran plasma. HN OH C CH3 O

Gambar 2 Struktur parasetamol

SGPT dan SGOT

Jaringan hati mengandung enzim-enzim transaminase dalam jumlah yang besar seperti Glutamat Piruvat Transaminase (GPT) dan Glutamat Oksaloasetat Transaminase (GOT). Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permeabilitas membran akan mengakibatkan enzim GOT dan GPT, arginase, laktat dehidrogenase (LDH) dan gamma-glutamil transaminase (GGT) bebas keluar sel, sehingga enzim masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat (Girindra 1986). Indikator yang lebih baik untuk mendeteksi kerusakan jaringan hati adalah SGPT dan SGOT, karena kedua enzim tersebut akan meningkat terlebih dahulu dan peningkatannya lebih nyata bila dibandingkan dengan enzim-enzim lainnya (Calbreath 1982). Kenaikan kadar transaminase dalam serum disebabkan oleh sel–sel yang kaya akan transaminase mengalami nekrosis atau hancur. SGPT adalah ukuran nekrosis hepatoseluler yang paling spesifik dan paling luas digunakan, SGOT bekerja serupa tetapi kurang spesifik (Sujono 2002).

Enzim GPT akan memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus keto dari α- ketoglutarat membentuk glutamat dan piruvat. Selanjutnya piruvat diubah menjadi laktat. Reaksi tersebut dikatalisis oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi yang dikatalisisnya. Enzim GPT merupakan enzim yang spesifik ada pada hati. Persamaan reaksi dari aktivitas GPT dan LDH terlihat pada reaksi sebagai berikut:

α-ketoglutarat + L-alanin piruvat + L-glutamat piruvat + NADH +H+ L-laktat + NAD+

Enzim GOT mengkatalisis pemindahan gugus amino pada L-aspartat ke gugus keto dari α-ketoglutarat membentuk glutamat dan oksalat. Selanjutnya oksaloasetat diubah menjadi malat. Reaksi tersebut dikatalisis oleh enzim malat dehidrogenase (MDH) yang

(LDH) (GPT)

membutuhkan NADH dalam reaksi yang dikatalisisnya. Persamaan reaksi aktivitas GOT sebagai berikut:

α-ketoglutarat + L-aspartat Lglutamat + oksaloasetat

oksaloasetat + NADH +H+ L-malat + NAD+ Enzim GOT tidak spesifik untuk disfungsi hati karena enzim ini juga ditemukan pada otot rangka, ginjal, dan pankreas.

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait