• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 ELIMINASI Carnation mottle virus MENGGUNAKAN SENYAWA ANTIVIRAL PADA KULTUR JARINGAN

7 PEMBAHASAN UMUM

Tanaman anyelir (Dianthus caryophyllus L.) merupakan salah satu bunga potong yang diproduksi dalam skala besar di beberapa negara di dunia. Menurut hasil pemaparan dari salah satu pengusaha anyelir di Jawa Barat, anyelir yang ada di Indonesia, khususnya Jawa Barat diintroduksi dari negara Spanyol, Belanda dan Vietnam dalam bentuk bibit. Penggunaan bibit introduksi tersebut mewajibkan pengusaha anyelir di Indonesia untuk membayar royalty yang cukup tinggi kepada pemberi bibit. Untuk mengatasi masalah tersebut, petani/pengusaha anyelir di Indonesia akhirnya memperbanyak bibit sendiri secara terus-menerus dari tanaman introduksi tersebut. Di samping itu, Balai Penelitian Tanaman Hias, Pusat Penelitian Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian, mengembangkan bibit sendiri melalui pemuliaan tanaman anyelir yang indukannya berasal dari tanaman introduksi. Penyilangan beberapa indukan tanaman introduksi telah menghasilkan beberapa varietas anyelir yang memiliki bunga dengan bentuk dan warna yang bervariasi. Namun, varietas-varietas yang dihasilkan belum dapat dikembangkan secara optimal. Saat ini varietas-varietas yang dihasilkan disimpan dan dikonservasi pada media in vitro yang sesuai.

Produksi bunga potong anyelir di Indonesia menghadapi beberapa kendala yang sampai saat ini belum dapat teratasi. Ketersediaan benih bermutu merupakan kendala utama dalam budidaya anyelir. Penggunaan tanaman induk secara berulang untuk mendapatkan benih anyelir telah secara langsung menurunkan kualitas bunga yang dihasilkan karena terakumulasinya patogen sistemik seperti virus dalam jaringan tanaman. Gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama virus merupakan kendala yang cukup serius dan perlu ditangani lebih intensif. Tanaman yang sudah terinfeksi oleh virus daya imunnya sangat lemah sehingga berpeluang sangat tinggi untuk terinfeksi oleh patogen lainnya. Oleh karena itu banyak ditemukan gejala infeksi ganda virus dan cendawan pada tanaman anyelir di lapangan yang dapat menyebabkan kematian tanaman.

Tingginya insidensi penyakit belang yang disebabkan CarMV pada tanaman anyelir di Jawa Barat disebabkan mudahnya penularan dan penyebaran virus tersebut pada pertanaman sehat di sekitarnya. Ini dapat dipahami karena perbanyakan tanaman anyelir dilakukan secara vegetatif melalui stek tunas samping. Perdagangan dan penyebaran bibit-bibit anyelir antar daerah di Indonesia (Jawa Barat) telah secara langsung menyebarkan virus yang menginfeksi pada bibit tanaman tersebut. Gejala belang ringan dan symptomless

yang ditimbulkannya telah menyebabkan penyakit berkembang dengan cepat. Sifat yang mudah menular secara mekanis dibuktikan dalam hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa CarMV isolat Jawa Barat dapat ditularkan melalui inokulasi secara mekanis pada beberapa tanaman indikator kecuali pada

Phalaenopsis spdan G. globosa.

Di antara patogen tanaman, virus tanaman memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap fisiologi tanaman inangnya, karena mereka menggunakan mesin seluler inang untuk mereplikasi diri. Interaksi inang yang rentan dengan virus menyebabkan gangguan atau kompetisi sumber daya inang sehingga menyebabkan gangguan terhadap fisiologi inang. Namun, virus harus

mempertahankan tanaman inangnya untuk tetap hidup, karena mereka membutuhkan energi dari tanaman inang untuk proses hidupnya. Terganggunya kloroplas menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan fisiologi yang berkaitan dengan fotosintesis, misalnya terganggunya sintesis atau terjadinya kerusakan- kerusakan pada zat hijau daun yang disebut klorofil.

Tingginya homologi sekuen gen CP CarMV isolat Jawa Barat dengan isolat- isolat CarMV yang terdapat di GenBank menunjukkan bahwa isolat-isolat CarMV yang ada di Indonesia sekerabat dengan isolat-isolat yang dibandingkan dan masih merupakan spesies virus yang sama. Ini tidak menutup kemungkinan bahwa introduksi stek/bibit tanaman anyelir ke Indonesia melalui impor sudah menyebabkan ikut terbawanya patogen virus (CarMV) bersama sama dengan bibit tersebut ke Indonesia. Gejala tanaman anyelir terinfeksi yang kadang-kadang bersifat ringan karena tertutup oleh lapisan lilin pada permukaan daun menyebabkan tanaman terinfeksi dapat lolos dari pengawasan karantina dan masuk ke Indonesia. Stek tanaman sakit yang diintroduksi tersebut kemudian diperbanyak dan disebarkan ke petani-petani yang menbutuhkan di berbagai tempat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Kemungkinan inilah yang menyebabkan virus ini menyebar dan menginfeksi setiap tanaman anyelir yang ditanam.

Keragaman motif protein dalam gen CP CarMV berhubungan dengan keragaman genetik gen CP. Sembilan isolat CarMV asal Jawa memiliki urutan nukleotida gen CP yang beragam. Pada beberapa tempat yang sama atau berbeda dalam gen CP CarMV terjadi perubahan basa nukleotida yang menyebabkan perubahan kodon yang beberapa dapat menyebabkan perubahan asam amino yang disandi. Perubahan susunan asam amino inilah yang menyebabkan perubahan pada motif-motif protein yang disandi. Karena motif-motif protein tersebut berkaitan dengan proses transduksi sinyal dalam aktivasi virus dalam sel inang, maka keragaman dalam motif-motif protein inilah yang diduga menyebabkan terjadinya variasi gejala pada tanaman yang terinfeksi CarMV. Dengan demikian, variasi gejala yang ditemukan pada tanaman anyelir terinfeksi CarMV berhubungan dengan keragaman genetik dan keragaman motif protein gen CP.

Pada penelitian deteksi cepat untuk mengevaluasi tiga metode ekstraksi RNA total, diperoleh dua metode ekstraksi sederhana yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan templat dari daun tanaman anyelir terinfeksi CarMV. Deteksi keberadaan CarMV dalam jaringan tanaman dapat dilakukan dengan cepat menggunakan gabungan ekstraksi RNA total yang sederhana dengan metode amplifikasi menggunakan one step RT-PCR. Sintesis dan amplifikasi DNA dengan one step RT-PCR meminimalisasi kontaminasi antar sampel. Hal ini terjadi karena preparasi larutan RT-PCR dilakukan dengan cepat dan hanya dilakukan pada satu tabung yang sama. Disamping itu biaya yang harus dikeluarkan relatif lebih murah dibandingkan dengan two step RT-PCR.

Keberhasilan dalam mengisolasi RNA total dari jaringan tanaman menggunakan metode SDT dan SEM sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah kemampuan melakukan teknik isolasi dari pelaku ekstraksi, kandungan snyawa kimia dalam jaringan tanaman, dan kualitas bufer ekstraksi. Ketidakberhasilan mendapatkan pita DNA yang baik pada awal pengujian ketika menggunakan sampel batang kemungkinan karena adanya kandungan senyawa

kimia tertentu yang mengganggu pelepasan RNA. Dengan demikian daun merupakan bagian tanaman yang paling baik untuk dideteksi.

Ekstraksi dengan metode SEM dan SDT memiliki beberapa keunggulan maupun kelemahan dibandingkan ekstraksi dengan kit komersial. Keunggulan- keunggulan yang didapat dari kedua metode tersebut adalah dapat meminimalisasi terjadinya kontaminasi karena tidak terjadi transfer sampel yang berulang-ulang ke tabung berikutnya, tidak menggunakan bahan kimia berbahaya seperti fenol sehingga mengurangi tingkat bahaya pada pelaku ekstraksi, dapat menghasilkan pita DNA dengan intensitas yang baik, terutama jika ekstraksi dilakukan pada sampel daun, memiliki tingkat kerumitan yang lebih rendah pada proses ekstraksi, mengurangi waktu inkubasi dan meniadakan penggunakan sentrifugasi. Adapun kelemahan dari metode ekstraksi dengan SDT dan SEM dibandingkan kit komersial adalah kemurnian RNA total yang didapatkan dari metode SDT dan SEM jauh lebih rendah dibandingkan kit komersial. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya senyawa-senyawa kimia penghambat seperti RNase, atau senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman yang mengganggu proses pelepasan RNA atau menjadi kontaminan, seperti fenol dan polisakarida. Untuk mengatasi RNase diperlukan bahan-bahan kimia tertentu dalam bufer ekstraksi yang dapat menghambat kerja enzim RNase. Namun demikian, walaupun konsentrasi RNA yang didapatkan dengan metode SDT dan SEM rendah, one step RT-PCR masih mampu menghasilkan amplikon dengan hasil yang terbaik dari templat yang diperoleh melalui kedua metode tersebut. Metode ektraksi dengan SDT dan SEM yang dikombinasikan dengan sintesis dan amplifikasi DNA dengan one step RT-PCR membutuhkan biaya pengerjaan dan bahan kimia yang relatif lebih murah dan dapat diaplikasikan untuk deteksi CarMV secara rutin dan cepat pada indukan tanaman anyelir untuk menghasilkan bibit-bibit yang berkualitas, bebas dari infeksi virus.

Studi ekspresi gen CP CarMV pada bakteri E. coli dalam penelitian ini merupakan studi yang pertama dilakukan di Indonesia. Hasil ekspresi yang belum optimal dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan beberapa faktor, diantaranya ialah sekuen gen CP CarMV yang tidak penuh atau kondisi lingkungan di sekitar bakteri yang tidak mendukung untuk mengekspresikan gennya. Hal ini memerlukan kajian lebih lanjut mengenai beberapa faktor tersebut.

Selain untuk produksi antiserum, studi ekspresi gen CP CarMV juga bermanfaat untuk menghasilkan tanaman anyelir tahan CarMV, yaitu melalui teknik rekayasa genetika. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam penelitian ini, ke depannya diharapkan dapat mengaplikasikannya baik pada tanaman anyelir ataupun pada tanaman hias lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa CarMV dapat dideteksi dengan baik menggunakan metode deteksi secara serologi maupun menggunakan

one step RT-PCR. Kedua metode tersebut merupakan metode deteksi alternatif untuk mendeteksi CarMV dalam jaringan tanaman. Pemilihan metode deteksi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi laboratorium tempat pengujian.

Pada penelitian ini, CarMV ditemukan pada hampir semua sampel yang diuji, bahkan ditemukan pada semua kultivar yang diuji yang dikumpulkan dari tiga lokasi penanaman anyelir di Jawa Barat. Tanaman anyelir bebas CarMV

relatif sulit ditemukan di lapangan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan tanaman anyelir bebas virus tidak mungkin dilakukan melalui skrining. Upaya yang paling baik dan sesuai dilakukan ialah dengan melakukan pembebasan CarMV dari jaringan tanaman terinfeksi.

Pembebasan virus dari jaringan tanaman terinfeksi melalui metode eliminasi virus merupakan salah satu cara pengendalian yang umum dilakukan. Senyawa kimia 2-thiouracil dan amantadin yang digunakan dalam penelitian ini telah menunjukkan kemampuannya sebagai agen antiviral. Namun, kedua senyawa tersebut berbeda kemampuannya dalam melakukan pembebasan CarMV dari jaringan tanaman anyelir terinfeksi.

Berdasarkan hasil pemelitian diketahui bahwa tanaman anyelir bebas virus berpeluang lebih tinggi dihasilkan apabila tanaman yang telah diberi perlakuan antiviral kemudian diambil ujung meristemnya (0.5 mm) dan dikulturkan pada media kultur jaringan. Hal ini merupakan cara terbaik karena untuk mendapatkan tanaman bebes virus dengan pengambilan jaringan meristem saja (0.1-0.2 mm) yang diketahui merupakan daerah bebas infeksi virus sulit dilakukan. Ketidakberhasilan mendapatkan tanaman bebas virus pada konsentrasi antiviral yang lebih tinggi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan ketidakberhasilan dalam mengisolasi ujung meristem yang berukuran kecil (0.5 mm). Untuk dapat mengisolasi jaringan meristem yang berukuran sangat kecil diperlukan keahlian dan ketekunan yang tinggi dan perlu didukung dengan peralatan yang memadai.

Planlet-planlet anyelir bebas virus yang didapatkan dalam penelitian ini belum tentu menghasilkan 100% tanaman anyelir bebas virus. Tidak terdeteksinya virus pada planlet melalui metode DAS ELISA kemungkinan karena ketiadaan virus dalam jaringan atau karena konsentrasi virus yang sangat rendah. Pada medium pertumbuhan in vitro yang mengandung ZPT, multiplikasi sel pada jaringan planlet jauh lebih cepat dibandingkan multiplikasi virusnya, sehingga keberadaan virus dalam jaringan palnlet tersebut tidak dapat terdeteksi dengan baik. Salah satu cara yang dapat membuktikan bahwa planlet yang dihasilkan itu benar-benar sudah bebas virus ialah melalui skrining terhadap tanaman-tanaman di rumah kaca yang dihasilkan dari planlet bebas virus tersebut. Dengan kata lain, skrining virus perlu dilakukan setelah planlet bebas virus diaklimatisasi di rumah kaca. Tanaman bebas virus yang dihasilkan perlu ditangani dengan baik agar tidak terjadi reinfeksi virus.

Penelitian ini memiliki nilai kebaruan yang tinggi karena selama ini belum ditemukan laporan atau data-data mengenai CarMV pada tanaman anyelir di Indonesia secara komprehensip, sehingga dengan adanya penelitian ini status CarMV yang asalnya sebagai OPTK A1 menjadi OPTK A2 menurut Permentan nomor 51 tahun 2015. Disamping itu, penelitian ini sangat bermanfaat bagi perkembangan pertanian di Indonesia, diantaranya ialah memberikan informasi mengenai distribusi berbagai jenis virus pada tanaman anyelir dan karakteristik CarMV isolat Jawa Barat, sehingga dapat membantu dalam penentuan strategi pengendalian; informasi penemuan CarMV pada hampir semua kultivar anyelir di Jawa Barat dapat dijadikan sebagai dasar bagi pemulya tanaman untuk menghasilkan tanaman tahan virus; teknik preparasi RNA total yang sederhana dan cepat dapat digunakan untuk indeksing CarMV secara rutin pada tanaman anyelir dan mungkin juga pada virus tumbuhan lainnya, terutama bagi karantina tumbuhan dan institusi sertifikasi benih; teknik eliminasi yang diperoleh dapat

diaplikasikan secara rutin untuk menghasilkan tanaman anyelir bebas virus; dan planlet anyelir bebas virus yang diperoleh dapat dijadikan sumber eksplan untuk menghasilkan induk-induk tanaman anyelir bebas virus. Namun, antigen yang diperoleh melalui teknik ekspresi gen belum dapat digunakan untuk produksi antiserum karena jumlahnya yang tidak berlebih (tidak optimal). Oleh karena itu perlu kajian lebih lanjut terhadap ekspresi gen protein selubung CarMV.

Dokumen terkait