• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh terhadap Belanja Daerah

4.7. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan Hasil Analisis

4.7.3. Pembahasan Hasil Analisis Pada Model Belanja Daerah (BD)

Secara umum, belanja daerah yang dikeluarkan oleh kota/kabupaten di jawa timur pada tahun 2008 dan 2009 dipengaruhi secara signifikan oleh variabel PAD dan DAU. Apabila dibandingkan tstat-nya, terlihat bahwa variabel DAU lebih berpengaruh secara signifikan terhadap belanja daerah daripada variabel PAD. Hal ini dapat dilihat pada tstat masing-masing, yaitu tlogDAU sebesar 10,19 dan

tlogPAD sebesar 3,910.

Variabel PAD mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah dengan koefisien β1 sebesar 0,2684. Angka tersebut menunjukkan elastisitas belanja daerah terhadap variabel PAD, yaitu jika nilai variabel bebas yang lain konstan maka dengan peningkatan variabel PAD sebesar 1% akan direspon dengan peningkatan nilai belanja tidak langsung sebesar 0,27%. Dari nilai tersebut dapat diketahui belanja daerah bersifat in-elastis terhadap perubahan PAD. Dengan demikian kenaikan PAD ternyata belum mampu mendapat respon yang besar dari perubahan belanja daerah.

Variabel DAU mempengaruhi belanja daerah dengan koefisien β2 sebesar 0,7113. Angka tersebut menunjukkan bahwa jika nilai variabel bebas yang lain konstan maka dengan peningkatan variabel DAU sebesar 1% akan direspon dengan peningkatan nilai belanja daerah sebesar 0,71%. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa belanja daerah bersifat in-elastis terhadap perubahan PAD maupun DAU. Dengan melihat besaran tlogDAU dan koefisien log DAU dan koefisien log PAD, meskipun sama-sama signifikan, namun terlihat bahwa DAU sangat mendominasi belanja daerah pada masing-masing kota/kabupaten di jawa timur. Apabila dibandingkan dengan variabel PAD, maka besaran belanja

daerah jauh lebih responsif terhadap perubahan DAU daripada dengan PAD. Adapun rasio PAD dan DAU terhadap belanja daerah dan pendapatan daerah dapat digambarkan melalui gambar 4.7. sebagai berikut:

Gambar 4.7: Rasio antara PAD dan DAU terhadap APBD Pada Kabupaten/Kota di Jawa timur Tahun 2008 dan 2009

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 2008 2009

Rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah Rasio PAD terhadap Belanja Daerah Rasio DAU terhadap Pendapatan Daerah Rasio DAU terhadap Belanja Daerah

Sumber: data sekunder, diolah

Pada tahun 2008 dan 2009, terlihat pada grafik 4.6 bahwa DAU masih mendominasi kontribusi terhadap pendapatan daerah dengan rasio sebesar 69.96% dan 66,41%. Begitu pula dengan rasio DAU terhadap belanja daerah yang mencapai 54,35% pada tahun 2008 dan 58,23% pada tahun 2009. Hal ini akan sangat timpang apabila dibandingkan dengan rasio PAD terhadap pendapatan daerah maupun belanja daerah yang nilainya berkisar dibawah 12% pada waktu dua tahun tersebut. Rendahnya tingkat PAD antara lain disebabkan oleh:

ƒ Terbatasnya sumber pendapatan daerah dan belum optimalnya penggalian sumber-sumber pendapatan baru.

ƒ Rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak/retribusi daerah. ƒ Masih kurangnya sarana dan prasarana terutama di bidang perekonomian. ƒ Keterbatasan BUMD dalam memberikan kontribusi terhadap PAD.

Hal ini memperkuat pembahasan sebelumnya bahwa belanja daerah memang masih cenderung memiliki respon yang lebih besar terhadap DAU daripada PAD.

Apabila melihat kembali analisis deskriptif sebagaimana telah disebutkan di atas, rasio total PAD dengan DAU pada tahun 2008 adalah sebesar 14,72% dan pada tahun 2008 meningkat menjadi sebesar 14,97%. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan PAD dari tahun 2008 ke 2009 ternyata tidak mengalami peningkatan yang signifikan apabila dibandingkan dengan total DAU diterima. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah kota maupun kabupaten di jawa timur secara umum masih memiliki ketergantungan terhadap DAU yang cukup tinggi dalam menjalankan pemerintahan dan melakukan pelayanan publik kepada masyarakat di wilayahnya masing-masing. Keadaan tersebut menjadi sejalan dengan second generation theories sebagaimana dikemukakan dalam Khusaini (2006:131) yang salah satunya adalah keterkaitan yang erat antara penerimaan daerah dengan pengeluaran daerah akan menjadi insentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan kemakmuran daerah dan sebaliknya transfer dari pemerintah pusat yang besar malah akan menimbulkan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah.

Besarnya standar deviasi pada PAD dan DAU pada analisis deskriptif PAD dan DAU Jawa timur dalam kurun waktu 2 tahun menunjukkan adanya kesenjangan antara penerimaan PAD dan ketergantungan terhadap DAU di masing-masing kota maupun kabupaten. Maka hal tersebut sejalan dengan konsep yang dituangkan dalam Kuncoro (2002:13), di mana desentralisasi fiskal menemui beberapa hambatan yang ditandai dengan rendahnya PAD dan tingginya ketergantungan terhadap pemerintah pusat, antara lain disebabkan: 1) Dominannya transfer dana dari pemerintah pusat, hal ini dapat terlihat pada

dominasi alokasi DAU pada kota maupun kabupaten di jawa timur yang memiliki kontribusi terhadap pendapatan daerah sebesar 69,96% pada tahun 2008 dan 66,41% pada tahun 2009.

2) Kurang berperannya BUMD sebagai sumber PAD, disebabkan karena: ƒ BUMD harus taat pada aturan pemerintah terutama regulasi perpajakan

dan terkendala penentuan harga produk yang tidak profit oriented karena tujuan BUMD adalah pelayanan publik secara luas.

ƒ BUMD juga tak terlepas dari kendala pada faktor produksi yang semakin sulit terjangkau serta SDM yang kurang memenuhi kualifikasi.

3) Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, sehingga pemerintah daerah di tingkat kabupaten maupun propinsi akan sulit memaksimalkan PAD-nya karena pajak yang berpotensi besar masih dikelola pemerintah pusat.

Fenomena-fenomena di atas sejalan dengan hipotesis pertama serta penelitan sebelumnya yang dilakukan oleh Prakosa (2004), Maimunah (2006) serta Kusumadewi dan Rahman (2007). Yang menunjukkan bahwa transfer pemerintah khususnya DAU begitu dominan dalam membiayai belanja pemerintah daerah. Berbagai fenomena tersebut antara lain disebabkan oleh perilaku asimetris antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terhadap alokasi transfer (DAU). Dalam hal ini, pemerintah daerah terkesan tidak mengoptimalkan seluruh potensi komponen-komponen pendapatan daerahnya. Sebaliknya, pos-pos pengeluaran yang membebani kapasitas fiskal dan tidak terlalu berpengaruh secara langsung (belanja tidak langsung) justru ditingkatkan dengan tujuan memperoleh porsi transfer (DAU) yang lebih besar untuk menutupi celah fiskal di daerahnya. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan awal diberlakukannya otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004.

Apabila ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Halim (2001:27), ciri utama daerah yang melakukan otonomi adalah:

1) Daerah memiliki kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan dan mengelola keuangannya sendiri untuk melakukan membiayai penyelenggaraan pemerintahan.

2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Berdasarkan teori di atas, dan dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa sebagian besar kota/kabupaten masih memiliki ketergantungan terhadap transfer dari pusat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan dan desentralisasi fiskal di daerah jawa timur tersebut masih harus dioptimalkan

Keadaan di atas juga sejalan dengan hipotesis kedua tentang indikasi Terjadinya Fenomena Flypaper Effect pada Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur. Hasil analisis regresi berganda dengan pendekatan metode efek tetap (fixed effect) menerima hipotesis penelitian ini yang menyatakan bahwa pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja daerah (BD) adalah lebih besar daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap belanja daerah (BD), di samping itu pengujian pada BTL dan Belanja langsung juga menunjukkan bahwa pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja daerah (BD) adalah lebih besar daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi flypaper effect pada kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur untuk tahun anggaran 2008 sampai dengan 2009. Hasil ini konsisten terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Maimunah (2006), dan Diah Ayu Kusumadewi dan Arief Rahman (2007).

4.8 Terjadi Fenomena Flypaper Effect pada Kabupaten/Kota di Propinsi

Dokumen terkait