BAB IV HASIL PEBELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
Pelaksanaan fisioterapi di SLB Negeri 1 Bantul telah sesuai dengan tujuan pendidikan bagi anak tunadaksa yaitu membantu perkembangan fisik anak tunadaksa. Sarana dan prasarana yang ada di ruang fisioterapi sudah sesuai dengan sarana dan prasarana yang dijabarkan oleh Mumpuniarti (2001:135). Di dalam ruang tersebut memiliki ruang bermain bebas yang cukup luas dengan dilengkapi alat-alat yang dapat menunjang perkembangan fisik anak tunadaksa. Namun, masih banyak peralatan yang belum dimaksimalkan dengan baik. Peralatan yang lengkap tersebut belum digunakan secara maksimal karena dalam melakukan fisioterapi waktunya terbatas sehingga fisioterapis tidak bisa melatih anak dengan peralatan yang ada.
Menurut Kementerian Kesehatan (2008: 13) pelayanan fisioterapi kepada pasien/klien dilaksanakan sesuai dengan proses fisioterapi yang meliputi asesmen, diagnosis, perencanaan, intervensi, evaluasi dan dokumentasi fisioterapi. Asesmen yang dilakukan layanan fisioterapi SLB Negeri 1 Bantul sudah cukup baik. Asesmen dilakukan dengan memeriksa kondisi fisik, mewawancarai orang tua mengenai riwayat anak dan asesmen dilakukan bekerja sama dengan dokter. Diagnosis mengenai kondisi anak dilakukan oleh dokter.
Salah satu layanan fisioterapi yang diberikan adalah infrared. Penggunaan
infrared dalam layanan fisioterapi di SLB Negeri 1 Bantul yaitu kurang lebih
2-4 menit. Hal tersebut tidak sesuai dengan Sujatno, dkk (1993: 92) yang menyatakan bahwa lama terapi dengan infrared yaitu 20 menit. Ini terjadi
72
karena jam untuk fisioterapi yaitu hanya 2x 30 menit perkelas dengan tenaga yang masih terbatas dan anak tunadaksa yang cukup banyak.
Terdapat beberapa hal yang belum dapat dilakukan secara maksimal oleh layanan fisioterapi di SLB Negeri 1 Bantul. Berdasarkan hasil penelitian, layanan fisioterapi di SLB Negeri 1 Bantul belum melaksanakan evaluasi sesuai dengan standar layanan fisioterapi menurut kementerian kesehahatan (2008). Evaluasi yang dilakukan di SLB Negeri 1 Bantul yaitu dengan melihat secara kasat mata perkembangan atau perubahan yang terjadi pada anak, evaluasi tidak dilakukan secara formal dan fisioterapis tidak melakukan asesmen ulang. Selain itu, layanan fisioterapi di SLB Negeri 1 Bantul tidak memiliki dokumentasi fisioterapi.
Pelaksanaan fisioterapi didampingi oleh orang tua anak-anak tunadaksa. Beberapa orang tua melatih anaknya untuk berjalan atau berdiri. Latihan dilakukan oleh orang tua, namun tidak semua orang tua melatih anaknya. Terdapat beberapa orang tua yang apabila anak sudah diterapi dengan alat maka mereka akan melatih anak untuk berjalan di pararel bar, atau melatih keseimbangan anak dengan peralatan yang ada di ruang fisioterapi. Tidak semua orang tua melatih anaknya, terdapat pula orang tua yang langsung pulang apabila anaknya sudah mendapat layanan fisioterapi. Anak tunadaksa yang selalu dilatih oleh orang tua saat di sekolah maupun di rumah akan berbeda dengan anak yang tidak diberikan latihan-latihan oleh orang tua mereka. Orang tua sebagai orang terdekat anak diharapkan memberikan dukungan kepada fisioterapis agar layanan fisioterapi yang diberikan kepada
73
anak dapat berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan kondisi fisik anak tunadaksa. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Heward (dalam Lismadiana, 2012: 219) yang menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam diri seseorang dengan jauh lebih baik dari pada orang lain.
Pelaksanakan layanan fisioterapi di SLB Negeri 1 Bantul mengalami berbagai kendala. Kendala yang dihadapi oleh fisioterapis dibagi menjadi 2 yaitu kendala yang dihadapi saat melakukan fisioterapi dan saat melakukan asesmen pada anak tunadaksa. Berdasarkan deskripsi data yang ada, kendala yang dihadapi oleh fisioterapis juga berasal dari fisioterapis sendiri, anak maupun lingkungan. Kendala yang dihadapi fisioterapis antara lain kurangnya dukungan dari lingkungan. Lingkungan yang dimaksud yaitu guru dan orang tua. Keberhasilan suatu program seharusnya mendapat dukungan dari berbagai pihak antara lain guru dan orang tua.
Tingkat kekakuan pada anak merupakan salah satu kendala fisioterapis dalam melakukan fisioterapi. Kekakuan yang terjadi pada anak tunadaksa berbeda-beda. Menurut Mohammad Sugiarmin dan Ahmad Toha Muslim (1996: 33) otot yang kaku dan terlalu keras tidak dapat berfungsi dengan baik. Ini dikarenakan terdapat kelainan pada traktus piramidalis yang berfungsi untuk mengendalikan tonus otot agar tetap nomal. Adanya kelainan pada traktus piramidalis yaitu tidak berfungsi dalam mengendalikan otot tersebut
74
maka tonus otot akan berlebihan. Tulang pada anak-anak yang masih rentan merupakan salah satu kendala fisioterapis dalam memberikan fisioterapi kepada anak tunadaksa. Tulang pada masa anak-anak masih rapuh, apalagi anak tunadaksa yang pada umumnya mengalami gangguan pada tulang, syaraf, otot maupun sendi.
Pada perkembangan jaman sekarang ini, banyak penyakit baru yang muncul, begitu pula dengan kelainan yang terjadi pada anak tunadaksa. Hal tersebut menjadi salah satu kendala dalam melakukan fisioterapi. Selain itu, saat asesmen dilakukan, terdapat anak tunadaksa yang merasa takut untuk dipegang fisioterapis. Anak tunadaksa yang baru pertama kali diperiksa belum beradaptasi dengan orang disekitar sehingga dengan melihat orang baru ia merasa takut. Anak merasa bahwa fisioterapis akan menyakiti sehingga anak menjadi takut untuk dipegang dan diperiksa. Ada pula anak yang mengalami trauma sehingga menyebabkan anak takut untuk dipegang dan diperiksa oleh orang lain.
Namun demikian, fisioterapis telah melakukan berbagai upaya agar fisioterapi dapat diberikan kepada anak dengan maksimal. Banyak orang tua yang tidak melatih anaknya di rumah sehingga fisioterapis memberi saran kepada orang tua agar melatih anak di rumah. Hal tersebut dilakukan agar kondisi anak semakin baik.
Sikap fisioterapis sangat bersahabat dengan anak-anak tunadaksa. Fisioterapis sering mengajak anak bercanda sehingga anak akan merasa nyaman dan tidak tegang. Apabila anak tegang maka akan berpengaruh pada
75
otot, otot menjadi lebih kaku dan menyulitkan fisioterapis untuk melakukan fisioterapi.
Keberhasilan dalam mengembangkan fisik anak tunadaksa perlu dukungan dan peran dari guru. Abdul Salim (1996: 175) menyatakan bahwa para guru PLB memiliki peran yang strategis, mengingat jumlah banyaknya waktu bersama anak dalam setiap hari, termasuk dalam hal membina kemampuan fisik dan psikis anak. Namun dalam layanan fisioterapi di SLB Negeri 1 Bantul guru belum berperan secara maksimal. Dari kelima guru yang diwawancarai dan berdasarkan observasi, guru tidak mengikuti pelaksanaan fisioterapi. Guru menyerahkan kepada fisioterapis dalam melakukan fisioterapi anak tunadaksa. Guru mengajar anak dalam pembelajaran di kelas. Saat anak memasuki jadwal fisioterapi guru tidak ikut mengantar atau mempersiapkan anak untuk diterapi. Hal tersebut dikarenakan anak telah didampingi oleh orang tua atau pengasuh sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan anak dilakukan oleh orang tua atau pengasuh anak. Saat anak melakukan fisioterapi, guru berada di ruang guru. Hal tersebut dikarenakan sekolah belum memiliki aturan legal mengenai keikutsertaan guru tunadaksa dalam layanan fisioterapi. Guru berperan yaitu melakukan konsultasi dengan psikolog atau guru lainnya apabila terdapat permasalahan. Selain itu, guru selalu menginformasikan kemajuan atau peningkatan yang terjadi pada anak ke orang tua anak tunadaksa.
Asesmen yang dilakukan di SLB Negeri 1 Bantul yaitu asesmen fisik dan asesmen pendidikan. Asesmen dilakukan utnuk melihat kemampuan anak
76
dalam hal akademik dan kemampuan fisik dari anak tunadaksa. Hal tersebut telah sesuai dengan pernyataan Haryanto (2005: 99) yang menyatakan bahwa tujuan asesmen anak tunadaksa adalah untuk mengenal dan memahami anak tunadaksa, termasuk mengetahui kemampuan dan ketidakmampuan anak baik fisik maupun mental dan lingkungannya. Guru tidak mengikuti dalam proses asesmen fisik anak tunadaksa. Hal tersebut belum sesuai dengan Sri Widati, dkk., (2010: 11) yang menyatakan bahwa guru memiliki tugas untuk melakukan asesmen anak tunadaksa bersama dengan terapis. Asesmen yang dilakukan yaitu asesmen gerak dan asesmen pendidikan bagi anak tunadaksa. Peran guru dalam layanan fisioterapi anak tunadaksa masil belum maksimal. Dari beberapa guru yang diwawancarai, terdapat 2 guru yang memberikan program khusus yaitu melatih motorik halus anak sebelum memulai pembelajaran dan sebelum istirahat. Sebagian guru tidak memberikan program/layanan khusus bagi anak dikarenakan guru lebih mengutamakan pembelajaran akademik bagi anak tunadaksa. Hal tersebut belum sesuai dengan pernyataan Abdul Salim (1996: 176) yaitu guru menyiapkan program layanan/bimbingan/latihan tertentu pada anak, lewat kegiatan-kegiatan yang memiliki makna teraputik. Namun, semua guru selalu memberikan informasi kemajuan anak tunadaksa kepada orang tua. Ini dilakukan agar orang tua mengetahui perkembangan dan kemajuan akademik yang terjadi pada anak. Orang tua atau pengasuh selalu mendampingi anak sehingga guru mudah untuk melaporkan kemajuan anak dalam hal akademik maupun non-akademik. Hal tersebut telah sesuai dengan pernyataan . Abdul Salim (1996: 176) bahwa guru
77
perlu melaporkan kondisi anak dan kemajuan yang dicapai kepada orang tua dan memberikan saran-saran kepada orangtua dalam menstimulus kemampuan fisik/psikis anak tunadaksa.
Berdasarkan data hasil penelitian guru belum melakukan peran yang seharusnya dilakukan oleh guru anak tunadaksa. Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Salim (1996: 176) bahwa guru harus membuat catatan tertentu tentang masing-masing anak dan apabila menghadapi kesulitan/hambatan mengenai keadaan fisik anak tunadaksa dibicarakan kepada teman sejawat dan atau konsultasi dengan tenaga profesional. Pada kenyataannya, guru belum memiliki catatan tertentu mengenai masing-masing anak. Namun guru telah melakukan konsultasi atau bertanya pada guru sejawat dan ahli lain yaitu psikolog apabila menemukan permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sendiri.
Guru berpendapat bahwa layanan fisioterapi berpengaruhi terhadap anak tunadaksa dalam pembelajaran. Contohnya seperti tangan anak tunadaksa menjadi lebih lemas sehingga ia mampu memegang pensil lebih baik. Terdapat anak yang mampu berdiri tanpa bantuan, hal tersebut mempermudah dalam mobilisasi anak dari ruang kelas menuju lab atau ruang ketrampilan.
Contoh diatas memperlihatkan bahwa layanan fisioterapi di SLB Negeri 1 Bantul membantu dalam memperbaiki kondisi fisik anak tunadaksa sehingga memberi kemudahan dalam pembelajaran di kelas. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan bagi anak tunadaksa yaitu mengembangkan fungsi fisik anak tunadaksa. Selain itu, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Abdul Salim
78
(1996: 3) bahwa melalui latihan-latihan yang terprogram dalam bidang terapi fisik dan kegiatan lain yang memiliki makna teraputik (penyembuhan) yang dilakukan oleh guru di sekolah maupun di kelas maka problem pribadi yang berkaitan dengan keterbatasan kemampuan gerak dapat dikurangi sekaligus kemandirian anak dapat ditingkatkan.